• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi persoalan sepanjang tidak mengalami ketidakadilan gender. Namun, fakta menunjukkan sebaliknya.

Feminisme adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya.

Kenyataan tentang ketidakadilan gender itulah yang kemudian melahirkan gerakan feminisme.

1

Di Indonesia, gerakan perempuan baru dimulai pada permulaan abad ke-20, tatkala perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Awalnya sebatas membantu suami, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Martha Christina Tiahahu, Emmy Saelan yang mendampingi Monginsidi, Roro Gusik bersama Surapati, Nyi Ageng Serang adalah contoh pejuang perempuan ketika itu. Namun perjuangan mereka belum dilandasi gagasan kesetaraan gender dan sama sekali belum menjadi kesadaran.

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Gerakan ini lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan.

2

1

dalam Pemilia, Kartika. Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel ‘Perempuan Berkalung Sorban’ (On line)

http://inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:kritik-terhadap-konstruksi-feminisme-dalam-novel-perempuan-berkalung-sorban&catid=32:gender&Itemid=100 diunduh pada 22 November 2011pukul 13.15 WIB

2

Annelies. Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum Kemerdekaan (pdf) diunduh pada 2 Desember 2011 pukul 13.00 WIB

(2)

2

Perkembangan kedua, pada waktu dikembangkannya Politik Etis Belanda. Gerakan perempuan Indonesia waktu itu masih bersifat non politis, baru dalam batas kedaerahan, juga untuk mempertinggi kedudukan sosial. Tujuan gerakan pada umumnya untuk mengangkat kaum perempuan dari keterbelakangan pendidikan, dan membebaskan kaumnya dari kungkungan tradisi yang menindas terutama masalah perkawinan dan perceraian. Pejuang-pejuang tersebut diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad Dahlan (Firdausie, 2007:7-8).

Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta menandai gerakan feminis di Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Penggagas kongres tersebut adalah Nyi Hadjar Dewantoro, RA Soekonto, dan Soejatin. Kongres perempuan ini merupakan wadah bagi para perempuan membangun kesadaran tentang persamaan hak mereka dengan kaum lelaki. Tidak bisa dipungkiri, pengaruh gerakan feminis barat menjadi latar belakang adanya kongres ini.

Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis. Namun kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde Baru berkuasa. Pemerintahan Orba diidentikkan dengan peraturan yang otoriter, yang tersentralisasi dari militer dan tidak dikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses pembuatan keputusan. Rezim ORBA mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang berlandas pada ‘ibuisme’, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan tidak adanya partisipasi perempuan dalam politik. Politik gender ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti GBHN, UU Perkawinan No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.

Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba merevitalisasi dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-organisasi ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah menyebarluaskan ideologi gender ala ORBA. Di bawah rezim otoriter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestikasi perempuan,

(3)

3

pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini nampak pada program KB yang dipaksakan, karena biayanya yang tinggi sehingga memberatkan perempuan kalangan bawah di pedesaan.

Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Di bidang pemerintahan, secara kualitatif, peran perempuan semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin baik.3

Gerakan perempuan-perempuan Indonesia ke ranah publik, tidak hanya di bidang pemerintahan. Di bidang sastra, muncul fenomena pemberontakan perempuan. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan di dalam karya sastranya adalah apa yang ingin diungkapkan sastrawan kepada pembacanya. Selanjutnya, sastrawan dalam menyampaikan idenya tidak bisa dipisahkan dari latar belakangnya dan lingkungannya. Sastra menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda. (Humm, dalam Jackson, Stevi dan Jacki Jones: 2009:332).

Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi.

Perempuan dalam karya satra Indonesia, sering muncul sebagai simbol kehalusan dan sesuatu yang bergerak lamban. Sebagaimana digambarkan oleh Herliany yang dikutip oleh Sobur (2001:37), perempuan begitu dekat dengan idiom-idiom seperti keterpurukan, ketertindasan bahkan pada ‘konsep’ yang

3

Bafagih, Hikmah.Sejarah Gerakan Perempuan. (on line)

http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html diunduh pada 2 Desember 2011 pukul 13.15 WIB

(4)

4

diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah objek dengan subjeknya adalah kaum laki-laki. Namun, dalam dekade terakhirterjadi banyak perubahan dalam dunia sastra di Indonesia. Yaitu lahirnya para penulis perempuan dengan karya-karya yang menawarkan hal-hal baru, laris dipasaran dan emansipatoris. Sederetan nama penulis perempuan seperti Ayu Utami, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari, mengembangkan taktik penulisan tersendiri untuk menciptakan sosok pribadi yang mereka inginkan. Para penulis ini mengangkat isu-isu gender, dominasi, dan kekuasaan. Mereka berusaha mendobrak tatanan dalam struktur tulisan novel yang ada selama ini seperti cara penuturannya menggunakan bahasa yang lebih lugas dan bebas.

Munculnya novelis-novelis perempuan dalam sastra Indonesia modern antara lain menunjukkan kerinduan dan semangat perempuan untuk menggarap dan mengkritisi realitas dari sudut pandang mereka. Ada muatan filosofi yang ingin diungkapkan lewat karya imajinatif mereka.4

Di tengah gencarnya gerakan feminis yang dilakukan oleh para penulis perempuan, tampil Yonathan Rahardjo menyajikan sebuah kumpulan cerita pendek mengenai perempuan, berjudul ’13 Perempuan’. Kisah mengenai perempuan yang diangkat oleh Yonathan Rahardjo seperti mengulang dekade Pramudya Ananta Toer. Pramudya sendiri dalam karyanya banyak membingka i para perempuan menjadi perkasa akibat ketertindasan dan menjadikannya sebuah potret abadi agar terus dapat dimaknai para penerusnya. Para perempuan perkasa itu muncul sebagai Nyi Ontosoroh dalam Bumi Manusia, Midah dalam Midah Si

Manis Bergigi Emas, atau si produk feodal Ken Dedes dan produk masyarakat

Ken Umang dalam Arok Dedes. Pramudya hampir selalu menempatkan tokoh perempuan dengan kebebasan berpikirnya dan bukan hanya sekadar pemanis atau sosok yang membuat cerita tampak lebih bergairah saja. Meskipun tokoh-tokoh

4

Engky,Prass. Perempuan dan Kebebasan memaknai hidup:mengais hikmah filosofis di balik novel Genesis (on line) http://ratihkumala.com/blog/perempuan-dan-kebebasan-memaknai-hidup-mengais-hikmah-filosofis-di-balik-novel-genesis-110.php?nomobile diunduh pada 20 November 2011 pukul 16.10 WIB

(5)

5

perempuan dalam buku-buku karya Pramudya jarang ada yang menang atau rata-rata kalah, tetapi menampilkan proses perlawanan yang luar biasa. Bahkan sejumlah buku Pramudya yang maskulin, misalnya Perburuan (yang tiga tokohnya adalah laki-laki), justru pada akhir cerita sengaja meruntuhkan maskulinitas. Ini bukti keberpihakan dan kuatnya sisi feminin Pramudya dengan kerap menggunakan perempuan sebagai sudut pandang untuk menyampaikan pesannya.

Jika tokoh-tokoh perempuan dalam buku-buku karya Pramudya menampilkan proses perlawanan yang luar biasa – meskipun jarang ada yang menang – tidak demikian dengan tokoh perempuan dalam buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen itu menyiratkan berbagai kehalusan perasaan seorang perempuan namun sifat kepahlawanan lelaki memang masih kuat pada beberapa tulisan di dalamnya. Hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian, karena sebenarnya 13 Perempuan bukanlah karya pertama Yonathan Rahardjo. Sejak tahun 1983, puisi, cerpen, esai, opini dan tulisan jurnalistiknya telah diterbitkan di berbagai buku dan media massa. Sampai kini, ia telah menerbitkan tiga buku. Pada tahun 2008, terbit novelnya yang berjudul Lanang—berkisah tentang dunia kedokteran khususnya kesehatan hewan—berhasil menang dalam Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta. Pada Mei 2011, terbit Taman Api berkisah tentang kehidupan waria dan homoseksual. Pada Juli di tahun yang sama, terbit 13 Perempuan yang menyuguhkan cerita 13 perempuan dengan masalah dan perjuangannya. Apakah dengan menciptakan suatu karya yang menyiratkan perjuangan seorang perempuan, lantas Yonathan Rahardjo bisa dikatakan sebagai male feminist atau pro feminist?

Istilah male feminist di Indonesia masih tergolong baru. Menurut Kris Budiman (2008), laki-laki feminis menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (baik secara fisik maupun psikologis), menentang pencitraan negatif perempuan baik di dalam media maupun budaya. Batasan laki-laki feminis ini adalah orang yang berjenis kelamin laki-laki namun meyakini nilai-nilai feminisme pada umumnya. Pada titik ini, definisi feminis akhirnya tidak merujuk

(6)

6

pada jenis kelamin, akan tetapi lebih kepada pengikatan terhadap nilai-nilai feminisme.

Dengan mengacu pada pengertian tersebut, apakah Yonathan Rahardjo, penulis kumpulan cerpen 13 Perempuan itu bisa digolongkan sebagai seorang feminist (male feminist). Dengan kata lain, apakah penokohan perempuan yang disajikan oleh Yonathan Rahardjo dalam kumpulan cerita pendek 13 Perempuan itu merepresentasikan perjuangan kaum feminis? Persoalan ini yang ingin dikaji oleh peneliti dengan bertolak dari sudut pandang ilmu komunikasi, yaitu pemahaman tentang teks sastra sebagai proses penyampaian ide dan gagasan sastrawan kepada pembaca melalui media berupa karya sastra.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana representasi feminis dalam buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo?

1.3. Tujuan Penelitian

Menggambarkan representasi feminis dalam buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo

1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah referensi kepustakaan tentang analisis wacana terhadap karya sastra.

b. Manfaat Praktis

- Menambah wawasan peneliti mengenai kajian media, khususnya repesentasi feminis yang terdapat dalam buku kumpulan cerita pendek 13 Perempuan.

- Memberikan tambahan pengetahuan pembaca pada umumnya dan mahasiswa FISKOM terhadap pesan yang disampaikan dalam buku ini, agar para pembaca bersikap kritis terhadap isi media, mengingat isi media selalu digantungi oleh kepentingan pihak yang dominan.

(7)

7

1.5. Konsep-konsep yang Digunakan a. Representasi

Penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah menjadi lebih buruk. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk, dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah representasi itu ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas, atau objek tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2005: 113).

b. Feminis

Secara etimologis feminis berasal dari bahasa Prancis, yaitu femme (woman) berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender. (Ratna, 2004:184)

c. Cerita Pendek (Cerpen)

Menurut Sumardjo (1999:19) mengemukakan bahwa cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur

(8)

8

fisiknya dalam obyek terkecil. Sehingga arti pendek bukan terletak pada pendek atau panjang halamannya tetapi pada lingkup

masalahnya. Karena bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan

oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita.

Referensi

Dokumen terkait

7) khusus Pengurus Barang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Kesehatan setiap penyaluran barang persediaan maupun barang inventaris ke Puskesmas Pembantu,

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Survey ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum masyarakat Dusun Rendeng Wetan Timbulharjo Sewon Bantul, tentang bagaimana kondisi riil masyarakat terhadap keberadaan

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Dalam uji coba produk bahan ajar Akidah Akhlak (bahan ajar komik) ini, yang menjadi subjek uji coba adalah siswa-siswa kelas V MIN Model Palangka Raya yang

Menetapkan : KEPUTUSAN REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER TENTANG PANITIA KEGIATAN UPACARA WISUDA KE 122 INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER PROGRAM DOKTOR,

Berdasarkan komposisi patotipe Xoo pada pertanaman MH 2014/2015, rekomendasi perbaikan teknologi pengendalian penyakit HDB pada periode tanam awal dan pertengahan yaitu menanam

1. Daya/kapasitas mesin injeksi kurang. Desain barang plastic injection yang tidak tepat. Ada kesalahan pada desain dan profil dies. Pemilihan material yang tidak tepat. Setting