• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ke mana mereka pergi. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ke mana mereka pergi. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial,"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat dari mana mereka berasal, dan akan ke mana mereka pergi. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, dan politik.

Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia (mewujudkan kesejahteraan rakyat), maka pembangunan merupakan sebuah keniscayaan. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah memerlukan tanah sebagai tempat kegiatan proyek yang akan dibangun. Pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan tanah yang diperlukan untuk pembangunan, antara lain dari tanah negara yang tidak dikuasai oleh rakyat atauoun dengan menyediakan bank tanah bagi kepentingan pembangunan. Namun fakta menunjukkan, pemerintah tidak mampu memenuhi penyediaan tanah untuk memenuhi semua kebutuhan pembangunan sehingga banyak proyek pembangunan yang dilakukan harus mengambil tanah rakyat.

Seiring dengan tuntutan perkembangan, keperluan tanah untuk pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh swasta, semakin meningkat pesat. Kondisi ini diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cepat dan juga meningkatnya kebutuhan penduduk, yang tidak mampu diimbangi dengan suplai tanah karena tanah yang tersedia tidak berubah. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang sangat serius terhadap pola hubungan

(2)

antara tanah dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang berobjek tanah. Dan dalam pelaksanaannya dewasa ini, disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan diantaranya adalah penyediaan tanah untuk pembangunan itu sendiri, karena tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara terbatas atau dapat dikatakan hampir tidak ada lagi. Menurut Soedharyo Soimin, “satu – satunya jalan yang dapat ditempuh yaitu dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai oleh hukum adat, maupun hak-hak lainnya yang melekat diatasnya”.1

Dalam rangka melaksanakan pembangunan adalah suatu keniscayaan diperlukan tanah sebagai wadahnya. Tanpa tanah, pembangunan hanya akan menjadi rencana. Tanpa pembangunan, nilai pembangunan tersebut tidak akan maksimal. Namun, yang terjadi dan menjadi masalah saat ini adalah luas tanah yang belum dihaki semakin sedikit. Oleh karenanya khusus untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960, Pasal 18 menyebutkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota disebutkan urusan wajib Pemerintah Daerah Provinsi dan

1 Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 75.

(3)

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota salah satunya adalah pertanahan. Sedangkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak ada kejelasan mengenai kewenangan dari Pemerintah Daerah dalam hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Meskipun dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 hanya menyebutkan salah satu urusan wajib Pemerintah Daerah adalah urusan pertanahan namun tidak secara jelas mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah.

Sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), suatu daerah di samping daerah pertanian dan perkebunan juga diperuntukkan bagi kawasan industry. Dalam kaitan itu, untuk mengantisipasi percepatan pembangunan diberbagai sector, pemerintah harus melakukan reformasi regulasi terkait penggunaan tanah untuk kepentingan umum dan kepentingan industry estate yang berkembang sangat pesat dan diikuti permasalahan – permasalahan sosial di bidang pertanahan.

Negara berkewajiban untuk terus memperbaiki peraturan perundang – undangan pengadaan tanah terkait tuntutan kebutuhan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum, dan pada saat yang sama menghormati hak – hak asasi pemilik tanah. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau yang menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda – benda yang berkaitan dengan pencabutan hak atas bangunan. Asumsi dari konsep dasar yang melandasi Hukum Tanah Nasional tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kedudukan Pasal 33 Ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945. Ketentuan ini secara terang mengatakan, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

(4)

dan dipergunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar – besarnya. Dengan demikian, kewenangan negara ini semata – mata bersifat public. Oleh karena itu, kepemilikan oleh negara berbeda dengan hubungan hukum yang bersifat pemilikan antara negara dan tanah berdasarkan konsep domein-verklaring dalam Hukum Administratif yang pernah berlaku sebelum Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) berlaku.

Konflik pertanahan menjadi isu nasional karena jumlahnya yang tinggi dan banyaknya kendala dalam penyelesaiannya. Konflik pertanahan yang rumit dan tak kunjung mereda dewasa ini disebabkan oleh kelemahan regulasi dan adanya kesalahan penerapan hukum pertanahan regulasi dan adanya kesalahn penerapan hukum pertanahan sehingga dalam pelaksanaannya kepentingan pemegang hak atas tanah tidak terlindungi dengan pasti. Tidak adanya stabilitas potilik dan otoritas pemerintah yang sangat tinggi juga menyebabkan masalah agrarian terabaikan.2

Persoalan pembebasan tanah, pencabutan hak atau pengadaan tanah selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang yaitu “kepentingan pemerintah” dan “kepentingan masyarakat”. Dua pihak yang terlibat yaitu “Penguasa” dan “Rakyat” harus sama – sama saling memperhatikan dan menaati ketentuan yang berlaku. Bilamana hal tersebut tidak diindahkan akan timbul persoalan-persoalan seperti yang sering kita baca dalam publikasi berbagai media masa, dimana pihak penguasa dengan “keterpaksaannya” melakukan

Tak mengherankan jika gagasan reformasi hukum agraria semakin gencar dibicarakan oleh banyak pihak sebagai jalan penyaluran dari konflik agrarian yang mencuat ke permukaan dalam kurun waktu tiga dekade terakhir.

2 Suryanto, dkk., Studi Identifikasi dan Inventarisasi Masalah Pertanahan, BPN Bekerja Sama dengan Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, 2001, hal. 2.

(5)

tindakan yang dinilai bertentangan dengan hak asasi dan sebagainya, sedangkan rakyat mau tidak mau melakukan apa saja untuk menempatkan apa yang diyakininya sebagai hak yang harus dipertahankannya.

Bagi pihak pemerintah/penguasa penilaiannya dilakukan secara berbeda. Segala peraturan yang berkenaan dengan masalah tersebut sudah dianggap diketahui, walaupun mungkin masih banyak aparat pelaksanannya kurang memahami secara tepat atau mempunyai interprestasi yang berbeda terhadap suatu ketentuan yang mengatur masalah tersebut. Namun bukan mustahil pula ketentuan tersebut dirasakan cukup mengekang mereka sehingga sulit mengambil “kebijaksanaan” yang sebaik – baiknya dalam masalah tersebut. Akan tetapi bagi rakyat, perlakuan yang dikenakan pada tanahnya hanya akan dinilai merugikan atau tidak. Yang jelas mereka punya ukuran didalamnua terkait berbagai kepentingan dan mengenai “nilai” tanah tersebut, sehingga padanya ada nilai yang bersifat fakta dan ada pula yang bersifat ideal. Apa yang dipersoalkan dalam pembebasan tanah tidak mungkin berkisar lebih dari nilai fakta, dan makah dalam mereka masih dituntut untuk “berkorban” atau memberikan pengorbanan berupa kerelaan menurunkan permintaannya dari nilai fakta yang ada.

Dalam praktiknya dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.3

3 Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi

Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong I), hal.

129.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah.

(6)

Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.4

Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut dua sisi dimensi harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah.5 Tanah merupakan hal penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan dan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.6

Pembebasan lahan merupakan sebuah permasalahan global dan kompleks, karena itu sistem administrasi tanah harus mampu mengelola pembebasan lahan untuk pembangunan yang penting, pengembangan sektor swasta dan perubahan penggunaan lahan dalam merespon tuntutan sosial dan ekonomi. Ditinjau dari persepektif sempit, pembebasan tanah membentuk persimpangan proses yang efektif yang mengelola pasar tanah, mencatat hak penggunaan tanah dan

4 Ibid, hal. 131. 5 Ibid.

6 Fauzi Noer, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Fauzi Noer I), hal. 7.

(7)

mengimplementasikan perencanaan penggunaan lahan. Pembebasan tanah merupakan isu lintas sektor yang kompleks-suatu masalah yang didekati di setiap negara, tentu saja dalam setiap yurisdiksi lokal, sesuai dengan proses yang diambil dari berbagai fungsi administrasi pertanahan, dan sering dari persepektif sejarah. Negara – negara berkembang kurang mengekspresikan dengan jelas teori yang mendukung kekuasaan negara untuk memperoleh tanah. Titik awal di negara berkembang ini, terletak pada bingkai kerangka konstitusional yang jelas dan komprehensif dan hukum yang membentuk dasar untuk mengambil tanah. Idealnya dalam pengambilan tanah harus menggabungkan standar hak asasi manusia untuk pemukiman kembali, tingkat kompensasi yang memadai dan yang mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat.7

Pembebasan tanah tidak hanya dilakukan untuk sektor publik tetapi juga sektor swasta. Asal manajemen perubahan spasial dan pelaksanaan struktur fisik memastikan penggunaan tanah tersebut untuk tujuan yang tepat. Sektor publik biasanya hanya memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan seluruh kegiatan yang diperlukan sedangkan sektor swasta mungkin perlu inisiatif tambahan dan daya dukung resiko. Investasi sektor swasta membutuhkan kapasitas dan prosedur untuk mencapai hasil yang diinginkan, termasuk margin keuntungan yang harus ditetapkan melalui Undang – Undang. Sebuah strategi kunci bagi sektor publik adalah menyediakan infrastruktur lokal dan pelayanan publik yang relevan, khususnya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Selain itu, mendorong individu dan perusahaan swasta untuk menempatkan dirinya di daerah

7 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 249.

(8)

yang sesuai dengan rencana penggunaan lahan yang mencerminkan kebutuhan dari masyarakat yang lebih luas dan berkembang.8

Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan Negara maupun swasta dalam praktik, pelaksanaan peraturan tersebut belum berjalan sesuai dengan isi dari ketentuan tersebut. Sehingga, pada satu pihak timbul kesan seakan – akan hak dan kepentingan rakyat pemilik tanah, tidak mendapat perlindungan hukum. Sedangkan dari pemerintah atau pihak yang memerlukan tanah juga mengalami kesulitan dalam memperoleh tanah untuk membangun proyeknya, secara fakta pelaksanaan pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari peraturan dan paradigma hukum,dan pelaksanaaan praktik peraturan tersebut di lapangan oleh para penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.9

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang demikian, sehingga penulis mengangkat beberapa permasalahan dalam karya ilmiah ini. Antara lain akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

1. Bagaimana pengaturan hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

2. Bagaimana kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengadaan tanah yang dilakukan di jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi?

3. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi?

8 Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 250.

9 Kalo, Syaffruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta, 2004, hal. 5.

(9)

C. Tujuan Penulisan

a. Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum tertentu.

b. Memperdalam pengetahuan tentang suatu gejala hukum, terutama tentang pengadaan tanah.

c. Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa hukum tertentu. d. Memperoleh dan menganalisis data tentang hubungan gejala hukum

dalam penelitian dengan gejala lainnya.10

e. Menggunakan teori yang relevan dengan permasalahan dan mengoperasionalisasikan konsep.

f. Menganalisis kesesuaian peraturan dalam pengadaan tanah Jalan Tol Kota Medan-Tebing Tinggi.

g. Menganalisis perlinduangan hukum terhadap masyarakat yang terkena pengadaan tanah.

h. Menuliskan hasil penelitian secara sistematis dan logis, sesuai dengan format dan etika ilmu pengetahuan.Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum tertentu.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Secara Teoritis a. Bagi Penulis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan. Memberikan pengalaman kepada penulis untuk

(10)

menerapkan dan memperluas wawasan teori hukum dan penerapannya di masyarakat.

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana pengetahuan mengenai pengadaan tanah bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang Proses Pengadaan tanah dan analisa kasus pengadaan tanah yang ada di Indonesia.

2. Manfaat Secara Praktis a. Bagi Mahasiswa

Menambah wawasan mahasiswa dalam Hukum Pengadaan Tanah dan menambah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan. Skripsi ini juga diharapkan dapat memudahkan mahasiswa untuk belajar menulis karya tulis ilmiah sebagai landasan untuk lebih mahir dalam menulis skripsi secara sistematis dan dikaitkan dengan teori-teori hukum yang ada. b. Bagi Praktisi

Dengan adanya skripsi ini, diharapkan dapat membantu memudahkan para praktisi hukum dalam menganalisis dan menyelesaikan masalah pengadaan tanah di Indonesia yang berkaitan dengan skripsi ini.

c. Bagi Masyarakat

Memudahkan masyarakat dalam memahami bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang terhadap masyarakat yang terkena proses pengadaan tanah, khususnya masyarakat yang terkena pengadaan tanah di jalan tol Kota Medan-Tebing Tinggi untuk lebih

(11)

mudah memahami kronologi kasus dan penyelesaian atas sengketa tanah mereka secara hukum.

E. Metode Penelitian

Metode merupakan cara untuk mengungkapkan kebenaran yang objektif. Kebenaran tersebut merupakan tujuan, sementara metode itu adalah cara. Penggunaan metode dimaksudkan agar kebenaran yang diungkapkan benar – benar berdasarkan bukti ilmiah yang kuat. Oleh karena itu, metode dapat diartikan pula sebagai prosedur atau rangkaian cara yang secara sistematis dalam menggali kebenaran ilmiah.11

1. Jenis Metode Penelitian

Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib, baik mengenai prosedurnya maupun dalam proses berfikir tentang materinya.

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan Metode Penelitian Hukum Empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat penerapan hukum di lapangan dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Di karenakan dalam penelitian ini meneliti penerapan hukum dalam pengadaan tanah di lapangan, khususnya pengadaan tanah jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi, maka metode penelitian skripsi ini adalah metode penelitian hukum empiris atau dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Penelitian ini diambil dari fakta – fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah. Dalam hal ini, penulis mengadakan penelitian dan menguji data empiris di

(12)

lapangan (Jalan Tol Kota Medan – Tebing Tinggi) dan Badan Pertanahan Kabupaten Deli Serdang.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (Studi Kepustakaan) yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

b. Field Research (Studi Lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan. Perolehan data ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan pihak masyarakat yang terkena pengadaan tanah jalan tol Kota Medan-Tebing Tinggi dan pihak Badan Pertanahan Nasional Deli Serdang selaku instansi pemerintah terkait. 3. Sumber Data

1. Data Primer12

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan dengan cara melalui wawancara langsung dengan pegawai bidang pengadaan tanah Badan Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan wawancara dengan masyarakat jalan Tol Kota Medan-Tebing Tinggi yang terkena pengadaan tanah.

2. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis terhadap segi-segi hukum pengadaan tanah. Selain itu tidak menutup kemungkinan diperoleh

12 Ibid., hlm.52

(13)

melalui bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku, literature, tulisan-tulisan ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut berupa:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti: i. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

ii. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

iii. UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas tanah dan benda yang ada diatasnya.

iv. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

v. Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan.

vi. Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentag Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

vii. Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentag Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

viii. Peraturan Presiden RI Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

(14)

ix. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak mengikat dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil Penelitian, karya dari kalangan hukum, pendapat-pendapat ahli yang ada di dalam buku, jurnal, dan internet.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup : i. Bahan – bahan yang member petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

ii. Bahan – bahan primer, sekunder dan tertier diluar bidang hukum seperti kamus, ensiklopedia, majalah, Koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

4. Analisis Data

Analisis data dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data yang secara jelas serta diuraikan ke dalam bentuk kalimat sehingga dapat diperoleh gambaran jelas yang berhubungan dengan skripsi ini. Data dalam skripsi ini merupakan hasil wawancara kepada pihak pegawai bagian pengadaan tanah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang dan masyarakat jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi.

(15)

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Konsepsi Mengenai Tanah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

“Atas dasar hak menguasai adanya dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain serta badan – badan hukum”

Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah tanah dalam Pasal diatas ialah permukaan bumi.13

Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah negara – negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas “perlekatan”. Makna asas perlekatan, yakni bahwa bangunan – bangunan dan benda – benda/ tanaman yang terdapat diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas

Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu, hak – hak yang timbul diatas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk didalamnya bangunan atau benda – benda yang terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas – asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.

13 Permukaan bumi memberikan suatu interpretasi autentik tentang apa yang diartikan oleh pembuat UUPA dengan istilah “tanah”, lihat Sudargo Gautama, Tafsiran Undang – Undang Pokok

– Pokok Agraria (1960) dan Peraturan – Peraturan Pelaksanaannya (1996), Cetekan Kesepuluh,

(16)

tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak lain (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Pasal 500 dan 571).14

Dalam prakteknya, tanah merupakan salah satu komponen hak asasi manusia, maka setiap orang harus diberi hak dan akses untuk memperoleh, memanfaatkan, dan mempertahankan bidang tanah yang sudah atau yang akan dipunyainya. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti bagi eksistensi seseorang, kebebasan dan harkat dirinya sebagai manusia, sehingga pemenuhannya harus selalu diupayakan, setiap kebijakan dan tindakan pemerintah yang bermaksud untuk mengurangi dan meniadakan hak atas tanah dan hak – hak lain yang ada di atasnya milik warga masyarakat, akan mempengaruhi terhadap keberadaan dan keutuhan HAM.15

Di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengerti yang telah dibatasi dalam UUPA, yakni tanah hanya merupakan permukaan bumi saja. Dengan demikian, jelas tanah dalam pengertian yuridis

Diatas sebidang tanah, manusia juga dapat membangun jalan, jembatan, dan kepentingan umum lainnya. Mengingat sangat terbatasnya kemampuan lahan menyediakan tata ruang, kebutuhan akan lahan ini dapat menimbulkan pembenturan kepentingan berbagai pihak, baik dalam hal kepemilikan maupun peruntukkannya. Masalah pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah sering menimbulkan persoalan yang kontroversial, dimana kebutuhan tanah, baik untuk pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun swasta terus meningkat, sedangkan persediaan tanah menjadi komoditas ekonomi yang tinggi sehingga nilai tukar tanah cenderung naik sesuai dengan permintaan pasar.

14 Boedi Harsono, 1996., hal. 17.

15 Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta, 2004, hal. 9.

(17)

adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1)). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi yang memiliki batas dan dimensi. Dengan kata lain, tanah yang diberikan dan dipunyai oleh orang – orang dengan hak – hak yang diberikan oleh UUPA digunakan dan dimanfaatkan. Jadi, tanah yang diberikan dengan hak – haknya tersebut penggunaannya hanya terbatas pada permukaan bumi saja.

Oleh karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak – hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk menggunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang angkasa.16

Dalam hal penyediaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan, akan dialami kesulitan dalam mengejar lajunya pertumbuhan harga tanah tersebut. Disamping itu, pada umumnya diperlukan proyek untuk pembangunan yang sudah dimilik hanya masing – masing oleh masyarakat yang melakukan penguasan tanah tanpa hak, dengan berbagai macam alas hak secara yuridis. Namun demikian, banyak pula warga masyarakat yang melakukan penguasaan tanah secara tanpa hak, baik untuk mendirikan pemukiman maupun untuk menggarap tanah tersebut sebagai tanah pertanian. Mereka ini melakukan tindakan melawan hukum, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak yang dibiarkan melakukannya secara bebas. Misalnya, di Sumatera Utara adalah penggarap – penggarap diatas tanah perkebunan. Persoalannya baru timbul bilamana pihak penguasa ingin memerlukan tanah untuk suatu keperluan pembangunan ekonomi, di areal yang

Maka yang mempunyai hak – hak atas tanah tersebut adalah tanahnya sendiri.

16 Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tentang Pokok – Pokok Agraria (C.1) Jakarta, Sekretariat Negara

(18)

ditempati secara liar oleh masyarakat. Maka para penghuni liar tersebut bisa juga menuntut hak sebagaimana selayaknya seorang pemegang hak atas tanah, walaupun sebenarnya ia tidak berhak karena persoalan tanah bukan hanya sekedar persoalan hukum, akan tetapi merupakan suatu persoalan multidimensi, dan satu diantaranya “dimensi kemanusiaan” maka untuk menyelesaikan persoalan ini, aspek manusia perlu untuk diperhatikan dan diperhitungkan.

2. Pengertian Pengadaan Hak Atas Tanah

Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pengadaan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.17

17Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan, Bab 1, Pasal 1 angka 3.

Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, penggunaannya tidak semata – mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.

(19)

Hal tersebut berarti pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.

Pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda – benda yang berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah”.

Disatu sisi, pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa, harus melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan pembangunan. Pohak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber penghidupan.18

Apabila kedua pihak ini tidak memerhatikan dan menaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya

18 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan I, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 32.

(20)

sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun juga tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan secara sukarela.

Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak. Selain itu, ditegaskan juga bahwa suatu hak itu hapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya.

Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan tanah membutuhkan pertan serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Namun, masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksan dari siapa pun.

Tidak dapat dipungkiri memang bahwa pengadaan tanah sangat rentan terhadap munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah pengadaan tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari sisi kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu – satunya jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat mamupun hak – hak yang melekat di atasnya.19

(21)

Namun demikiaan, tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanaham khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.20

Maria Sumardjono pun menganjurkan perlu adanya peraturan perundang – undangan tentang pengambil alihan tanah dan pemukiman kembali yang didasari pada pokok – pokok pikiran demokrasi, HAM, pemberian ganti rugi yang layak dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, sarana untuk menampung keluhan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari proses pengadaan tanah, dan tidak sekadar mengganti Keppres. Pelaksanaan di lapangan perlu dibuat pedoman oleh provinsi, kabupaten/kota. Pihak swasta dapat menggunakan peraturan yang lebih memberikan keadilan bagi mereka yang tergusur.21

Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah “menyangkut hak – hak atas tanah yang status dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa unsur yang paling pokok dalam pengadaan hak atas tanah adalah ganti rugi yang diberikan sebagai pengganti atas hak yang telah dicabut atau dibebaskan”.22

20 Fauzi Noer, Tanah dan Pembangunan, Cetakan II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal 7. 21 Maria S.W. Sumardjono, 2001, op.cit., , hal. 92.

22 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 23.

Eks pemegang hak atas tanah boleh jadi di telantarkan demi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebaliknya, hak – hak mereka harus dipenuhi serta memberikan perlindungan hukum secara proporsional kepada

(22)

mereka. Sehingga, pada prinsipnya, acuan dalam pengadaan tanah sebagaimana tersirat dalam Pasal 18 UUPA adalah sebagai berikut:23

3. Konsepsi Kepentingan Umum

a) Kepentingan Umum; b) Hak atas tanah dapat dicabut; c) Dengan memberikan ganti kerugian yang layak; serta d) Diatur dengan suatu undang – undang.

Di dalam mengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/ tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum. Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besamya ganti rugi terdapat kata sepakat di antara para anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing- masing anggota.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini diatur bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lebih lanjut, dalam Pasal 10 diatur mengenai jenis pembangunan yang dapat dikategorikan sebagai Kepentingan Umum, yaitu:24

a. Pertahanan dan keamanan nasional;

b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;

23

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, Cetakan II, CV Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

24

Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (C.1) Jakarta, Sekretariat Negara, Bab 4, Pasal 10.

(23)

c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. Fasilitas keselamatan umum;

k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. Cagar alam dan cagar budaya;

n. Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;

p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.

Menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 menjelaskan Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan

(24)

oleh pemerintah dan digunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.25 Karena kegiatan tersebut mempunyai sifat kepentingan umum, maka juga menyangkut kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara untuk pembangunan.26

Kepentingan bangsa dan negara, setidaknya memberikan penjelasan dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, tercantum dalam Penjelasan Umum butir 2 menyebutkan bahwa Negara/pemerintah bukanlah subjek yang dapat mempunyai hak milik, demikian pula tidak dapat sebagai subjek jual – beli dengan pihak lain untuk kepentingannya sendiri. Dalam arti bahwa Negara tidak dapat berkedudukan sebagaimana individu. Menurut Prof. Dr. M. Yamin, bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan dalam tingkatan – tingkatan tertinggi diberi kekuasaan sebagai badan penguasa untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa dalam arti bukan memiliki. Dengan demikian, Negara hanya diberi hak untuk mengiasai dan mengatur dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.27

G. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPASTIAN HUKUM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH : STUDI KASUS PELAKSANAAN PEMBEBASAN TANAH JALAN TOL KOTA MEDAN – TEBING

TINGGI”, judul skripsi ini telah melalui tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum USU pada tanggal 09 Oktober 2015.

26

Ibid, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

27 Abdurrahman, Opcit, hlm. 12

27 Muhammad Yamin, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 5.

(25)

Kalaupun terdapat judul yang hampir sama dengan judul ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Dan skripsi ini juga merupakan hasil karya penelitian sendiri sehingga secara substansi dapat dipertanggung jawabkan.

Pengambilan/pengutipan karya orang lain dilakukan dengan menyebutkan sumbernya seperti yang tercantum dalam Daftar Kepustakaan.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan satu sama lainnya untuk dapat memudahkan dalam penyelesaian sehingga merupakan satu kesatuan yang sistematis. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini memuat latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH

Dalam Bab ini akan diuraikan membahas dan menguraikan defenisi pengadaan tanah, memuat hal mengenai landasan hukum tata cara pelaksanaan pengadaan tanah dalam pembangunan kepentingan umum berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012.

BAB III : KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PELAKSAAN PENGADAAN TANAH JALAN TOL KOTA MEDAN – TEBING TINGGI

Dalam bab ini akan dibahas mengenai gambaran umum daerah penelitan, sejarah perkebunan PTPN II, dan

(26)

kepastian hukum dalam pelaksanaan pengadaan tanah jalan tol Kota Medan – Tebing Tinggi

BAB IV : PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH JALAN TOL KOTA MEDAN – TEBING TINGGI

Dalam bab ini akan dibahas mengenai proses pelaksanaan, data yuridis proses pelaksanaan, data yuridis lahan, bangunan, dan tanaman yang belum dibayarkan, kendala – kendala, serta upaya pemerintah dan masyarakat dalam penyelesaian sengketa

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hal yang dibahas dan diuraikan dalam bab – bab sebelumnya sebagai hasil analisis penulisan dan permasalahan dalam skripsi.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai estimasi parameter yang telah diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi parameter baik secara serentak dan parsial untuk mengetahui variabel prediktor

Mengawasi pemeriksaan limbah pabrik baik dari hasil kegiatan produksi. pabrik maupun kegiatan-kegiatan lain dan

Guru bertanggung jawab dalam membangun karakter anak murid di dalam kelas terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan

Anggaran ini sifatnya statis dari periode bulan yang satu ke periode bulan yang lain, dan dalam anggaran yang dibuat tidak dilaku­ kan pemisahan antara unsur biaya tetap dan

Pokja Bidang Konstruksi 3 ULP Kabupaten Klaten akan melaksanakan [Pelelangan Umum/Pemilihan Langsung] dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara

Accordingly, a multi- institutional initiative called 'Map the Neighbourhood in Uttarakhand' (MANU) was conceptualised with the main objective of collecting

Three paper withdrew for various reasons after the review process, two were rejected, three were accepted for the ISPRS archives and 21 papers have been accepted for inclusion

[r]