• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. seperti bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula. membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. seperti bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula. membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan"

Copied!
248
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi manusia, tanah merupakan hal terpenting bagi hidup dan kehidupannya. Di atas tanah, manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia. Dalam skala kecil, hasil yang diperoleh biasanya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam skala besar, ditunjang oleh pengolahan dengan keahlian khusus dan pemanfaatan teknologi, dapat menciptakan peluang bisnis yang menggiurkan. Pendek kata, segala aktivitas manusia apa pun bentuknya, tidak akan lepas dari kebutuhan akan tanah. Bukanlah hal yang mengherankan apabila setiap orang pasti mempunyai keinginan untuk dapat memiliki tanah lengkap dengan perlindungan hukumnya. Perlindungan itu diwujudkan

(2)

dengan pemberian berbagai macam hak atas tanah oleh negara sebagai petugas pengatur. Untuk dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban, perlu dibentuk perundang-undangan yang jelas dan tegas.

Fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki tiga aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik dan hukum, dan aspek sosial.1 Keempat aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah.2

Pemerintah, sesuai dengan fungsinya mempunyai tanggung jawab dalam pengadaan dan pelaksanaan pembangunan demi penyediaan infrastruktur guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Namun apakah pengadaan dan pelaksanaan pembangunan ini mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah saja? Kalau tanggung jawab ini hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja tentu pengadaan pembangunan

1 Y. Wartaya Winangun SJ, Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta :

Kanisius, 2004), Cet. 1, hlm. 21

2 H. Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Perspektif Otonomi

(3)

infrastruktur tidak akan bisa diwujudkan, karena pemerintah sendiri banyak keterbatasan, baik keterbatasan lahan, dana dan sebagainya. Berdasarkan keterbatasan pemerintah, sudah saatnya melibatkan masyarakat dalam peran serta pengadaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur, baik sebagai penanam modal maupun sebagai pelaksana langsung.

Masyarakat merupakan subjek dan objek dari pembangunan, maka keberadaan masyarakat harus bisa berperan aktif dalam pembangunan termasuk pengadaan infrastruktur. Peran aktif dari masyarakat ini termasuk kesediaannya untuk memberikan tanahnya demi sarana pembangunan kepentingan umum. Pemberian tanah ini bukan semata-mata merupakan hibah masyarakat kepada pemerintah, tanpa pemberian ganti rugi. Dalam memanfaatkan tanah yang dimiliki masyarakat pemerintah harus memberikan ganti rugi yang layak dan tidak merugikan masyarakat.

Berdasarkan ketentuan yang ada bahwa negara kita adalah negara hukum, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak tidak boleh lepas dari pengesahan hukum

(4)

yang otentik agar sesuai dengan tujuan dan sejalan dengan hukum yang berlaku.

Tanah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan pembangunan dan sosial, baik sebagai tempat tinggal, tempat kegiatan perkantoran, kegiatan usaha, seperti perdagangan, pertanian, peternakan maupun sebagai tempat pendidikan, peribadatan dan lain-lain. Fungsi tanah untuk kegiatan-kegiatan tersebut selain dapat diperoleh dengan cara jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, hibah dan warisan, dapat juga dengan cara wakaf.

Hukum tanah nasional mengakui dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda yang berkaitan dengan tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik kepada negara berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan, mengadakan pengelolaan, serta menyelenggarakan dan mengadakan pengawasan. Bahkan, negara mengakomodasi tradisi dan ajaran agama dengan melegalisasi status pertanahan yang oleh pemilik sebelumnya telah dipisahkan dan diserahkan

(5)

untuk keperluan ibadah dan kesejahteraan umum atau selama ini lebih dikenal dengan tanah wakaf.

Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam sudah lama mengenal lembaga wakaf. Tujuan pokok yang menjadi common basic idea wakaf sebagai salah satu lembaga keagamaan Islam adalah sebagai sarana pendukung pengembangan kehidupan keagamaan. Sejak Islam datang ke Indonesia, peraturan perwakafan diatur menurut hukum Islam. Tata cara mewakafkan cukup dengan “ikrar” dari “wakif” bahwa dia mewakafkan miliknya, seperti tanah, sawah, rumah, dan lain-lain untuk kepentingan agama dan masyarakat dengan tidak ada “kabul” penerimaan dari pihak yang diberi wakaf.

Dalam hal ini, pengaturan wakaf dijabarkan agar sesuai dengan pengertian wakaf itu sendiri yang merupakan sumber daya ekonomi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, tidak hanya sebatas untuk kegiatan-kegiatan keagamaan atau pengembangan ekonomi yang bersifat makro, seperti : pertanian, perikanan, peternakan, industri, pertambangan dan lainnya.

(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa :

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam”.3

Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pasti ibadah tersebut bertujuan untuk menghadap dan menyerahkan diri kepada Allah SWT dan mengkonsentrasikan niat karena Dia semata dalam setiap keadaan serta untuk terciptanya kemaslahatan diri manusia. Dengan demikian, dalam Islam ada ibadah yang berimplikasi personal dan ada juga yang berimplikasi sosial. Ibadah yang tergolong berimplikasi personal adalah ibadah yang apabila dilakukan mendapatkan pahala untuk dirinya sendiri, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah yang berimplikasi sosial adalah ibadah yang apabila dilakukan, selain untuk kemaslahatan personal terhadap individu yang melaksanakannya, ia juga berimplikasi bagi kemaslahatan

3 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

(7)

masyarakat yang menerima dan membutuhkannya serta pesan sosialnya akan lebih terasa. Sebagai contoh, wakaf adalah ibadah yang berimplikasi sosial.

Wakaf sebagai bentuk ibadah yang bersifat sosial dilakukan dengan cara memisahkan sebagian harta milik dengan melembagakan selamanya atau sementara untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya sesuai dengan syariat Islam yang pahalanya terus mengalir kepada yang mewakafkan (wakif) meskipun ia telah meninggal dunia.4

Wakaf yang berarti menahan adalah menahan harta yang diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan penggunaannya untuk hal-hal yang diperbolehkan syara’ dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan harta wakaf itu, secara hukum wakif telah kehilangan hak kepemilikannya sehingga ia tidak lagi memiliki wewenang atau hak menggunakannya untuk kepentingan pribadi dan hak memindahtangankan atau mengalihkan kepemilikannya kepada

4 Anwar Ibrahim, Wakaf dalam Syariat Islam, (Jakarta : Departemen

(8)

pihak lain, seperti menjual, menghibahkan termasuk mewariskan kepada ahli waris.5

Allah telah mensyariatkan wakaf ini, menganjurkannnya dan menjadikannya sebagai salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya. Nabi Muhammad SAW memperkenalkannya, menyerukannya dan menganjurkannya sebagai sebuah kebajikan yang diberikan kepada orang fakir dan kasih sayang bagi orang-orang yang membutuhkan.6

Hukum wakaf sama dengan amal jariah sesuai dengan jenis amalnya, maka berwakaf bukan hanya sekedar bersedekah tetapi lebih besar manfaat dan pahalanya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Sabda Rasulullah SAW :

5 Ali M. Daud, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI

Press, 1988), hlm. 94

6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Mujahidin

(9)

ىَّلص ِالله َلوُس َر َّنأ َة َري َرُه ىِبأ ْنع

َلاَق ملسو هيلع الله

اَذِإ

ٍةَقَدَص ٍءاَيْشَأ ٍةَثَلاَث ْنِم َّلاِإ ُهُلَمَع ُهنَع َعَطَقْنا ُناَسْنلإا َتاَم

ُهَلوُعْدَي ٍحِلاَص ٍدَل َو وأ ِهِب ُعَفَتْنُي ٍمْلِع وأ ٍةَي ِراَج

7

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan orang tuanya”.

Ulama menafsirkan “shadaqah jariyah” dengan wakaf. Pendapat ini sangat logis, karena wakaf merupakan amal properti yang terus menerus mengalir pahalanya selama-lamanya, sekalipun ia telah meninggal dunia.8

Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW. Menurut sebagian pendapat ulama, wakaf pertama kali dilaksanakan adalah wakaf tanah dari umar bin Khattab berdasarkan kepada hadis :

َرَبْيَخِب ُرَمُع َباَصأ لاَق امهنع الله ىضر َرَمُع ِنبا ِنَع

اًض ْرَأ ُتْبَصَأ َلاَقَف ملسو هيلع الله ىلص َّىِبَّنلا ىَتَأَف اًض ْرَأ

ِهِب ىِن ُرُمْأَت َفْيَكَف ُهْنِم َسَفْنَأ ُّطَق ًلااَم ْب ِصُأ مَل

ْنإ َلاَق

7 Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim, Kitab

al-Washiyyah, Bab Ma Yalhaqu al Insan min ats-Tsawab Ba’da Wafatihi, jilid

III, (Beirut : Dar al Fikr, 1986), hlm. 1255

8 An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Jilid XI, (Beirut : Dar al Fikr,

(10)

َلْصَأ َتْسَّبَح َتْئِش

َلا ُهّنَأ ُرَمُع َقَّدَصَتَف اَهِب َتْقَّدَصَت َو اَه

ىَب ْرُقْلا َو ِءا َرَقُفْلا ىِف ُث َروُي َلا َو ُبَهوُي َلا َو اَهُلْصَأ ُعاَبُي

ِلْيِبَّسلا ِنْبا َو ِفْيَّضلا َو ِالله ِلْيِبَس ىِف َو ِباَق ِّرلاو

َحاَنُج َلا َو

اِب اَهْنِم َلُكْأَي ْنَأ اَهَيِل َو ْنَم ىَلَع

اًقيِدَص َمِعْطُي وَأ ِفو ُرْعَمْل

ِهيِف ٍلِّوَمَتُم َرْيَغ

9

“Ibnu Umar ra berkata : Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu dia datang kepada Nabi SAW, dia berkata : Aku mendapatkan sebidang tanah dan belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apa yang engkau perintahkan kepadaku? Nabi menjawab : “Jika kau berkehendak, wakafkanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”. Maka Umar mensedekahkan hasilnya dan tanahnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Umar mensedekahkannya untuk orang-orang fakir, kerabat, budak, sabilillah, tamu dan ibnu sabil. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusi tanah itu ketika memakan sebagian darinya dengan cara yang patut tanpa menjadikannya hak kepemilikan.”

Hadis ini dianggap sebagai dasar syari’at wakaf pertama kali dalam Islam dan wakaf pertama dalam sejarah Islam. Hadis ini dipraktekkan oleh para ahli ilmu dan sahabat dan tidak

9 Diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Shahih Bukhari, Kitab Asy

Syuruth, Bab asy-Syuruth fi al-Waqf, Jilid II (Beirut : Dar as-Sa’ab, tt), h. 132;

dan Muslim di dalam Shahih Muslim, Kitab al-Washiyyah, Bab al-Waqf, jilid III ....

(11)

didapati seorangpun dari orang-orang terdahulu yang menentang hal ini.10

Kata wakaf berasal dari bahasa Arab

-

ُفِقَي

-

َفَق َو

اًفْق َو

yang berarti berhenti atau menahan.11 Dan menurut Rachmadi Usman, wakaf adalah “berhenti atau menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapat keridhaan Allah SWT.12

Sedangkan pengertian wakaf menurut para ulama mazhab adalah sebagai berikut :

1. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wakaf adalah “menahan harta dari otoritas kepemilikan orang yang mewakafkan, dan menyedekahkan kemanfaatan barang wakaf tersebut untuk tujuan kebaikan”. Berdasarkan hal tersebut

10 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ..., hlm. 464

11 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia

Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. Ke-14, hlm. 1576

12 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta :

(12)

wakaf tidak memberikan konsekuensi hilangnya barang yang diwakafkan dari kepemilikan orang yang mewakafkan.13

2. Jumhur Ulama yaitu dua orang murid Abu Hanifah, Syafi’iyah dan Hanabilah serta beberapa pendapat yang paling shahih. Mereka mengungkapkan bahwa wakaf adalah “menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan penghasilan barang tersebut untuk tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Atas dasar pemikiran ini, harta tersebut lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah SWT, orang yang mewakafkan terhalang untuk mengelolanya, dan penghasilan dari barang tersebut harus disedekahkan sesuai dengan tujuan pewakafan tersebut.14

13 Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu Juz 8, (Beirut

: Dar Al Fikr, 1985), Cet ke-2, hlm. 153

(13)

3. Malikiyah berpendapat bahwa wakaf adalah “si pemilik harta menjadikan hasil dari harta yang dia miliki – meskipun kepemilikan itu dengan cara menyewa – atau menjadikan penghasilan dari harta tersebut, misalnya dirham, kepada orang yang berhak dengan suatu sighat untuk suatu tempo yang dipertimbangkan oleh orang yang mewakafkan”. Artinya, si pemilik harta menahan hartanya itu dari semua bentuk pengelolaan kepemilikan, menyedekahkan hasil dari harta tersebut untuk tujuan kebaikan, sementara harta tersebut masih utuh menjadi milik orang mewakafkan, untuk satu tempo tertentu.15

4. Dan mazhab Imamiyah mengatakan bahwa “dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan menjadi milik mauquf alaih meskipun ia tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual ataupun menghibahkannya”.16

15 Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy ..., hlm. 155-156

16 Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi,

(14)

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa adanya perbedaan di antara pengertian wakaf. Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini yaitu perbedaan kecenderungan dalam hal penguasaan terhadap benda yang diwakafkan. Dari definisi yang disebutkan Rachmadi Usman jelas bahwa para ulama mazhab memandang kepemilikan benda wakaf terlepas dari tangan wakif. Artinya, antara benda wakaf dan manfaatnya harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak lagi menjadi hak milik wakif.

Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang menyatakan bahwa “wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.17

(15)

Sedangkan dalam ungkapan para ulama terlihat bahwa benda wakaf tetap menjadi hak milik wakif dan hanya manfaatnya saja yang diambil untuk kepentingan kemaslahatan umum. Oleh karena itu pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan benda itu tetap menjadi milik si wakif.

Para ulama mazhab juga sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang-barang yang tidak bergerak, misalnya tanah, rumah dan kebun. Mereka juga sepakat kecuali Imam Hanafi tentang sah wakaf dengan barang-barang bergerak, seperti binatang dan sumber pangan. Manakala pemanfaatannya bisa diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Selanjutnya

(16)

ulama mazhab juga sepakat pula tentang keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di masyarakat.18

Wakaf dapat dibedakan atas wakaf ahli (wakaf khusus) dan wakaf zuhri dan kadang kala disebut juga wakaf khairi (wakaf umum).19 Wakaf ahli adalah wakaf yang tujuan peruntukannya ditujukan kepada orang-orang tertentu saja atau di lingkungan keluarganya. Sedangkan wakaf khairi adalah wakaf yang tujuan peruntukannya sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum (orang banyak).20

Wakaf khairi ditujukan untuk kepentingan umum dengan tidak terbatas aspek penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteran masyarakat umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk keagamaan, sosial, pendidikan, kesehatan keamanan dan lain-lain yang dapat berbentuk pembangunan masjid, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sarana sosial lainnya.

18 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat

Press, 2005), hlm. 71

19 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah ..., hlm. 378

20 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia ... hlm.

(17)

Di Indonesia, ajaran wakaf sudah diterima oleh hukum adat bangsa ini sebelum Indonesia merdeka. Praktek mewakafkan tanah milik untuk sarana publik seperti tempat ibadah, madrasah dan kuburan telah dilaksanakan sejak dahulu.

Ahli sejarah menyatakan praktek wakaf di Indonesia sudah ada sejak kerajaan Islam berkuasa, dan yang menjadi kekuatan politik Islam pada akhir abad ke 12 M oleh Walisongo dengan cara mendirikan pesantren dan masjid di lingkungan kesultanan sebagai pusat penyebaran Islam dan sebagai institusi pertama bagi perkembangan wakaf di Nusantara.21

Wakaf tanah merupakan salah satu ibadah sosial di dalam Islam yang sangat erat hubungannya dengan keagrariaan, yakni yang menyangkut masalah bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, masalah wakaf selain terikat dengan aturan-aturan hukum Islam juga terikat dengan aturan-aturan hukum perundang-undangan di Indonesia. Begitu pentingnya wakaf maka di dalam Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan “seluruh

21 Kemenag RI, Dinamika Perwakafan di Indonesia dan Berbagai

(18)

bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional dan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”,22 yang akan mendatangkan manfaat dan maslahat bagi kepentingan masyarakat umum, maka masalah tanah wakaf dan perwakafan tanah diakui keberadaannya secara khusus dan dilindungi oleh negara.

Pemanfaatan wakaf tidak dapat dilepaskan dari bentuk harta yang diwakafkan. Menurut catatan sejarah, pemanfaatan wakaf pada masa Rasulullah masih sangat sederhana, karena karakteristik harta yang diwakafkan pada saat itu hampir seluruhnya berupa harta tetap seperti tanah dan bangunan.

Menurut Hasan Langgulung, abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah, selain menjadi zaman kejayaan Islam, juga dipandang sebagai zaman keemasan wakaf. Pada saat itu wakaf meliputi tanah dan bangunan , tidak hanya dimanfaatkan untuk masjid, tetapi juga

22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar

(19)

dimanfaatkan untuk sekolah, pertanian dan pasar. Selain itu wakaf ini juga merupakan penghasil dana, seperti pusat perbelanjaan yang menghasilkan uang sewa.23

Menurut catatan sejarah wakaf dalam Islam, harta wakaf dimanfaatkan untuk beberapa hal sebagai berikut :

a. Rumah Ibadah b. Pendidikan

c. Layanan Kesehatan

d. Kesejahteraan masyarakat, seperti koperasi, pasar dan sebagainya.24

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:

a. Sarana dan kegiatan ibadah,

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, dan bea siswa,

23Hasan Langgulung, Azaz-Azaz Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Al

Husna Zikra, 2000), h. 178

24John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic

(20)

d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan

e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.25

Kemudian pada Pasal 23 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf ayat (1) disebutkan “penetapan peruntukan wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.26

Sebelumnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menyebutkan pada Pasal 11 ayat (1) pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf, dan ayat (2) penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni : a.

25 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 22 26 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 23

(21)

Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan wakif; b. Karena kepentingan umum27.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa PP Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 11 ayat (2) menjelaskan peruntukkan wakaf adalah untuk kepentingan umum.

Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum menyebutkan pada Pasal 1 butir 3 bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat, di mana kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.28

Rincian kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Pasal 5 yaitu : jalan umum, jalan tol, saluran air mimum/saluran pembuangan air dan sanitasi; waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan

27 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Milik Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)

28 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan

(22)

lainnya; rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; pelabuhan, bandar udara, stasiun dan terminal; peribadatan; pendidikan atau sekolah umum; pasar umum, pemakaman umum, sarana olahraga, stasiun radio dan televisi; kantor pemerintah dan fasilitas TNI/POLRI, dan sebagainya. Jadi dalam Perpres ini kegiatan pembangunan merupakan kepentingan umum dan salah satunya adalah pembangunan kantor pemerintah29.

Sebagaimana tersurat dalam Pasal 22 butir (e) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 di atas tentang peruntukkan tanah wakaf, bahwa harta benda wakaf dapat diperuntukkan bagi kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan30. Namun, apakah kesejahteraan umum di sini maksudnya sama dengan kepentingan umum dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan pembangunan kantor pemerintah salah satunya? Dan apakah kepentingan umum dalam peraturan tersebut sama dengan kepentingan umum yang dimaksud dalam wakaf khairi.

29 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah untuk Kepentingan Umum Pasal 5

30 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 22

(23)

Hal-hal yang disebutkan dalam rincian kepentingan umum telah disebutkan dalam Pasal 22 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, namun pembangunan kantor pemerintah bukan salah satunya. Kepentingan umum memang identik dengan pembangunan. Sedangkan kesejahteraan umum menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Pasal 2 ayat (1) adalah dengan suatu tatanan kehidupan dan penghidupan sosial materil dan spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin. Dengan kata lain wakaf untuk kemajuan kesejahteraan umum merupakan usaha dalam memenuhi kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial masyarakat agar dapat hidup lebih baik31.

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan pada Pasal 17 ayat (1) huruf c bahwa “hak atas tanah yang dapat diwakafkan adalah hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik”. Namun pada ayat (2) disebutkan “apabila wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

31 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan

(24)

huruf c dimaksudkan sebagai wakaf untuk selamanya, maka diperlukan pelepasan hak dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik”32.

PP Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 17 ayat (2) ini menjelaskan bahwa apabila wakaf tersebut tidak dengan jangka waktu tertentu atau selamanya maka hak atas bangunan yang dikelola atau dipakai oleh seseorang atau suatu instansi maka harus dilepaskan. Ini termasuk bangunan kantor pemerintah.

UU Nomor 2 Tahun 2012 juga menjelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.33 Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan Pemerintah dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah.

Dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan

32 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 17 ayat (1) dan

ayat (2)

33 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi

(25)

Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa pihak yang berhak menerima ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk pengadaan tanah pembangunan salah satunya adalah nadzir untuk tanah wakaf34. Dan pada Pasal 20 ayat (1) dijelaskan bahwa nadzir untuk tanah wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c merupakan pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Ayat (2) menyebutkan pelaksanaan ganti kerugian terhadap tanah wakaf dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang wakaf.35

Dari peraturan tersebut di atas jelas bahwa pengadaan bangunan pemerintah yang berasal dari tanah wakaf harus melakukan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dapat disimpulkan bahwa menurut peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia, tanah wakaf tidak bisa diperuntukkan untuk pembangunan kantor pemerintah kecuali dengan ganti rugi.

34 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pasal 17 ayat (2) huruf c

35 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)

(26)

Menurut data dari Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia, terdapat 313.989 lokasi tanah wakaf dengan luas 47.181,21 Ha. Tanah wakaf tersebut paling banyak diperuntukkan untuk masjid 140.653 lokasi (44,98 %), mushalla 89.457 lokasi (28,61 %), sekolah 32.643 lokasi (10,44 %), makam 14.477 lokasi (4,63 %), pesantren 9.414 lokasi (3,01 %) dan sosial lainnya 26.065 lokasi (8,34 %). Peruntukan sosial lainnya tersebut terdiri dari Panti Asuhan, Rumah Sakit, Perkantoran dan sebagainya.36

Sebagai contoh dapat dilihat dari jumlah lokasi tanah wakaf di Kabupaten Agam37 yaitu : 842 lokasi dengan luas 1.299.719 m2 dan 49 lokasi dengan luas 116.283 m3 atau 9 % dari jumlah keseluruhan taanah wakaf di Kabupaten Agam, merupakan tanah wakaf yang di atasnya didirikan bangunan pemerintah, diantaranya sebagai berikut :

36 Sistem Informasi Wakaf, Penggunaan Tanah Wakaf, diunduh dari http://siwak.kemenag.go.id pada tanggal 27 Agustus 2017

37 Data Wakaf Tahun 2017 Kantor Kementerian Agama Kabupaten

(27)

1. SD Inpres 3/77 Kapau dengan AIW Nomor W.2/03/03/1987 tanggal 29 Juni 1987 dan Sertifikat Tanah Wakaf Nomor 03.04.03.17.1.00002 tanggal 02 Juni 1993.

2. MIN Koto Tangah Lamo Selatan dengan AIW Nomor W.3/03/06/1997 tanggal 26 November 1997 dan Sertifikat Tanah Wakaf nomor 03.04.03.07.1.00004 tanggal 28 Januari 2000.

3. MTsN Bukareh dengan AIW nomor W.3/03/14/1990 tanggal 20 September 1990 dan Sertifikat Tanah Wakaf nomor 03.04.03.08.1.00001 tanggal 15 Oktober 1991.

Contoh di atas menunjukkan bahwa memang banyak tanah wakaf yang dibangun di atasnya bangunan atau kantor milik pemerintah. Dan diketahui bahwa penggunaan tanah wakaf ini tidak disertai dengan adanya ganti rugi kepada nadzir wakaf atau tidak ada penggantian tanah yang lain.

Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana dengan status tanah wakaf yang di atasnya telah dibangun gedung pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, status

(28)

hukum atau jenis hak yang melekat terhadap tanah wakaf bisa berupa hak milik khusus badan keagamaan, bisa juga menjadi hak pakai untuk keperluan peribadatan. Tanah wakaf yang diberikan dengan status hak milik khusus badan keagamaan mempunyai sifat yang sama dengan hak milik.38

Selanjutnya Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 45 ayat (3) menyatakan bahwa hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada :

1. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;

2. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional; 3. Badan keagamaan dan sosial.39

Pasal 49 lebih melanjutkan bahwa hak pakai atas tanah milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang dan atas kesepakatan antar

38 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar

Pokok-pokok Agraria Pasal 49

39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

(29)

pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Nasional.40

Berdasarkan hal tersebut maka perlu pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan tanah wakaf atau dalam hal ini pemerintah sebagai pengguna tanah wakaf perlu memahami peraturan perundang-undangan mengenai bangunan yang berada di atas tanah wakaf dan undang-undang agraria atau pertanahan mengenai status tanah wakaf yang digunakannya.

Dengan uraian di atas penulis tertarik menguraikan persoalan tersebut dalam bentuk tesis dengan judul “Pembangunan Gedung Pemerintah Di Atas Tanah Wakaf

Dalam Konteks Perundang-Undangan Di Indonesia”. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

40 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak pakai Atas Tanah Pasal 49 ayat (1) dan

(30)

1. Bagaimana kronologis peraturan-peraturan tentang tanah wakaf di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan dan status tanah wakaf yang di atasnya telah dibangun gedung pemerintah?

3. Apakah upaya dan solusi yang dapat ditawarkan untuk mengkompromikan polemik pembangunan gedung-gedung pemerintah di atas tanah wakaf?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan kronologis peraturan-peraturan tentang tanah wakaf di Indonesia

2. Untuk menjelaskan kedudukan dan status tanah wakaf yang di atasnya telah dibangun gedung pemerintah

3. Untuk menjelaskan upaya solusi yang dapat ditawarkan untuk mengkompromikan polemik pembangunan gedung pemerintah di atas tanah wakaf.

D. Kegunaan Penelitian

(31)

1. Secara teoritis adalah untuk dijadikan informasi yang berharga bagi pengkaji hukum khususnya dan masyarakat umumnya. Di samping itu penelitian ini juga cukup signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama pengkaji hukum yang khusus bergerak dibidang wakaf.

2. Secara praktis untuk memenuhi syarat memperoleh gelar strata II dalam bidang Hukum Islam. Dan dijadikan sebagai salah satu konseptual pengembangan perangkat sistem hukum khususnya tentang wakaf.

3. Secara praktis juga untuk memenuhi salah satu syarat untuk menjadi Magister Hukum pada Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

E. Kerangka Teori

Wakaf merupakan salah satu amal ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena pahalanya tidak akan putus selama harta wakaf tersebut memberi manfaat. Karena itu wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya, kekal zatnya, baik mencakup harta benda bergerak maupun harta benda tidak bergerak yang memungkinkan untuk dimanfaatkan secara

(32)

langsung atau diambil hasilnya berulang-ulang.Misalnya saja wakaf tanah.

Wakaf atau perwakafan merupakan salah satu bentuk ibadah berupa penyerahan harta yang menjadi hak milik seseorang menurut cara-cara yang telah ditentukan oleh aturan agama maupun ketentuan lainnya. Ada tiga sumber hukum yang harus dikaji untuk memahami tentang perwakafan, yaitu : Pertama, ajaran Islam yang bersumber dari al Qur`an dan Hadis serta ijtihad para ulama. Kedua, peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dan ketiga, wakaf yang tumbuh dalam masyarakat.41

Secara umum tidak terdapat ayat al Qur`an yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Untuk itu wakaf diselaraskan dengan infaq fi sabilillah dan dasar tersebut yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Ada beberapa ayat yang

(33)

dapat diselaraskan tentang pemberian sedekah, infaq, dan hibah. Di antara ayat-ayat tersebut adalah :

1. QS. Ali Imran [3]: 92





▪





☺





















“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

2. QS. Al Baqarah [2]: 267

















☺











☺☺















☺



☺







☺



”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan

(34)

sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. 3. QS. Al Baqarah [2]: 261















☺























☺











“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”.

4. QS. Al Hajj [22]: 77

















(35)









“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.

Pengaturan tentang peruntukan tanah wakaf tidak diatur dalam Al Qur`an. Di dalam Islam mewakafkan harta benda bersifat kekal artinya untuk selamanya, tidak dapat ditarik kembali dengan jangka waktu tidak terbatas.

Sedangkan hadis yang menerangkan wakaf di antaranya adalah :

اَذِإ َلاَق ملسو هيلع الله ىَّلص ِالله َلوُس َر َّنأ َة َري َرُه ىِبأ ْنع

ٍةَقَدَص ٍءاَيْشَأ ٍةَثَلاَث ْنِم َّلاِإ ُهُلَمَع ُهنَع َعَطَقْنا ُناَسْنلإا َتاَم

ُهَلوُعْدَي ٍحِلاَص ٍدَل َو وأ ِهِب ُعَفَتْنُي ٍمْلِع وأ ٍةَي ِراَج

42

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan orang tuanya”.

Dalam hadis di atas, ulama menafsirkan wakaf sebagai shadaqah jariyah. Dan hadis yang secara spesifik menjelaskan

(36)

tentang wakaf adalah hadis “Shahih Bukhari dan Muslim”, yaitu hadis tentang dialog antara Nabi Muhammad SAW dengan Umar ra yang pernah memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah apa yang engkau perintahkan padaku terkait tanah tersebut?” Rasulullah bersabda : ”Apabila kamu menghendaki, kamu boleh mewakafkan barang pokoknya, dan kamu menyedekahkan tanah tersebut”. Maka Umar menyedekahkan tanah itu dengan tanpa menjual, menghibahkan dan mewariskan barang pokoknya.43

Dalam perkembangan Hukum Nasional di Indonesia, dimana hukum Islam telah banyak memberikan pengaruh yang positif dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal ini dikarenakan hukum Nasional Indonesia banyak sekali yang konsep dasarnya ditransformasi dari hukum Islam. Setelah ditansformasi dari hukum Islam ke dalam hukum nasional dan ditransformasikannya hukum nasional ke peraturan perundang-undangan, termasuk mengenai wakaf.

43 Diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Shahih Bukhari, Kitab Asy

Syuruth, ...; dan Muslim di dalam Shahih Muslim, Kitab al-Washiyyah, Bab al-Waqf, jilid III ....

(37)

Berdasarkan substansi hukum, wakaf dibagi 2, yaitu wakaf dalam pandangan ulama mazhab dan wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Dalam penulisan tesis ini, akan lebih dipaparkan peruntukan tanah wakaf dalam hukum Islam dan peruntukan tanah wakaf dalam konteks perundang-undangan di Indonesia. Kemudian dijelaskan tentang peruntukan tanah wakaf dalam pembangunan gedung pemerintah dalam konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu usaha untuk menganalisis serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten.44 Metodologis artinya suatu penelitian dilakukan dengan mengikuti metode atau tata cara tertentu, sistematis artinya suatu penelitian harus mengikuti langkah-langkah maupun tahap-tahap tertentu, dan konsisten berarti penelitian dilakukan dengan taat asas.

44Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI

(38)

Pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tak lain adalah “pemahaman” apabila kita sudah paham tentu kita mengetahuinya yang disebut sebagai pengetahuan, di mana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti45. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah penelitian hukum untuk mengidentifikasi hukum dan efektifitas hukum dilaksanakan di masyarakat

45Fahmi Muhammad Ahmadi, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta :

(39)

dengan prosedur dalam memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan.

Penggunaan dari pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini adalah pengumpulan data dan informasi melalui studi lapangan di wilayah Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini, kemudian dilakukan pengujian induktif pada fakta mutkhir yang terdapat di dalam masyarakat.

Secara operasional penelitian yuridis normatif dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mengobservasi pelaksanaan praktik wakaf di Kecamatan Tilatang Kamang.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu :

(40)

a. Studi Lapangan

Penulis menggunakan teknik observasi, dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan atas beberapa persoalan yang terjadi dalam masyarakat yang dapat memberikan informasi sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Kepustakaan

Yaitu meneliti undang-undang dan buku-buku yang berkaitan dan memberikan informasi sesuai dengan penelitian penulis dijadikan rujukan, dan kasus yang diambil di Kabupaten Agam.

3. Sumber Data

Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dapat diperoleh dari bahan yang tersedia, yakni data sekunder karena jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif, diantaranya:

a. Data Primer : observasi terhadap pelaksanaan Peraturan Perundangan-undangan tentang Wakaf dan Pertanahan yang berlaku di Indonesia di wilayah Kabupaten Agam

(41)

b. Bahan Hukum Sekunder : Peraturan Perundang-undang tentang Wakaf dan Pertanahan di Indonesia, Kitab-kitab Fiqh yang berkenaan dengan hukum perwakafan, artikel, situs internet dan ensiklopedia.

c. Bahan Non Hukum : kamus, majalah, jurnal atau makalah yang berkaitan dengan perwakafan.

4. Analisis Data

Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara snalisis kualitatif,46 yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspek yuridis normatif melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungkan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari analisis tersebut dapat diketahui dan diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.47

46Fahmi Muhammad Ahmadi, Metode Penelitian ..., hlm. 54 47 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI

(42)

G. Sistematika Pembahasan

Untuk dapat lebih mudah memahami materi tesis yang berjudul “PEMBANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH DI ATAS TANAH WAKAF DALAM KONTEKS PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA” ini, penulis menyusun sistematika pembahasan materi dalam beberapa bab. Masing-masing bab akan diuraikan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari 9 sub-bab, yaitu (a) Latar Belakang Masalah, (b) Identifikasi Masalah, (c) Batasan Masalah, (d) Rumusan Masalah, (e) Tujuan Penelitian, (f) Kegunaan Penelitian, (g) Kerangka Teori, (h) Metode Penelitian, dan (i) Sistematika Pembahasan.

BAB II : Wakaf dalam Hukum Islam

Bab ini terdiri dari 7 sub-bab, yaitu (a) Pengertian Wakaf, (b) Dasar Hukum Wakaf, (c)

(43)

Rukun dan Syarat Wakaf, (d) Bentuk-bentuk Wakaf, (e) Sejarah dan Perkembangan Wakaf, (f) Peruntukan Tanah Wakaf, dan (g) Istibdal (Perubahan Peruntukan) Harta Benda Wakaf BAB III : Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia

Bab ini terdiri dari 3 sub-bab, yaitu (a) Sejarah Perkembangan Regulasi Wakaf di Indonesia, (b) Pelaksanaan Wakaf di Indonesia Sebelum Disahkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan (c) Wakaf Tanah dalam Konteks Perundang-undangan di Indonesia.

BAB IV : Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembangunan Gedung Pemerintah di Atas Tanah Wakaf

Bab ini menguraikan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dan terdiri dari 3 sub-bab, yaitu (a) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam Peraturan Perundangan-undangan, (b)

(44)

Status Hukum Tanah Wakaf yang Di Atasnya Telah Gedung Pemerintah, dan (c) Upaya dan Solusi Penyelesaian Polemik Pembangunan Gedung Pemerintah di Atas Tanah Wakaf.

BAB V : Penutup

Merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran, sekaligus merupakan penutup dari seluruh rangkaian pembahasan.

(45)

BAB II

WAKAF DALAM HUKUM ISLAM

Harta benda ternyata mempunyai kedudukan yang sangat penting, tetapi sekaligus rawan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu sudah sewajarnya manusia nharus bersyukur kepada Allah SWT, karena al Qur`an dan Sunnah Rasulullah sangat memperhatikan segala hal yang berhubungan dengan harta kekayaan.

Islam membawa seperangkat hukum berkaitan dengan harta kekayaan, antara lain : syariat tentang kewarisan, zakat, infaq, shadaqah, hibah dan syariat tentang wakaf. Pemilikan harta dalam Islam itu harus disertai dengan tanggung jawab moral. Artinya, segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis bahwa sebagian harta tersebut menjadi hak bagi pihak lain, yaitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau tidak mampu dan untuk fasilitas sosial.48

48 Kementerian Agama Republik Indonesia, Fiqih Wakaf, (Jakarta :

(46)

Azas keseimbangan dalam kehidupan atau keselarasan dalam kehidupan merupakan azas hukum yang universal, dan azas itu diambil dari tujuan perwakafan, yakni untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah SWT sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia dengan Tuhannya dan pada gilirannya dapat menimbulkan keserasian diri dengan hati nurani untuk mewujudkan kententraman dan ketertiban dalam hidup.

Pranata wakaf merupakan sebuah pranata yang berasal dari hukum Islam. oleh karena itu, apabila berbicara tentang masalah perwakafan tidak mungkin melepaskan pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut hukum Islam. akan tetapi, dalam Islam tidak ada konsep yang tunggal tentang wakaf, karena apabila mendalami tentang wakaf, akan dihadapkan pada pendapat yang beragam.49

A. Pengertian Wakaf

49 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan

Tanah Wakaf di Negara Kita, (Bandung : PT Aditya Bakti, 1994), Cet ke-4,

(47)

Kata wakaf adalah bentuk mashdar dari kata

-

َفَق َو

ُفِقَي

-اًفْق َو

. Kata

َفَق َو

sebagai fi’il laazim, bentuk mashdarnya

فوُق ُو

berarti berhenti dari berjalan. Sedangkan kata

َفَق َو

sebagai fi’il muta’addi, bentuk mashdarnya

فْق َو

berarti menghentikan sesuatu. Menurut Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, secara etimologi wakaf adalah al habs (menahan). Dan dia menjabarkan dengan “menahan suatu barang dan memberikan manfaatnya”.50

Wakaf mempunyai 25 arti lebih, namun yang lazim dipakai adalah wakaf dengan arti menahan dan mencegah.51 Dan dari berbagai pengertian wakaf dapat dikatakan bahwa bahwa al waqf dan al habs sama mengandung makna menahan atau mencegah. Dikatakan menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf.

50 Muhammad bin Shalih al Utsaimin, asy Syarhu al Mumti’u ala Zad

al Mustaqni’, (Riyadl : Daar Ibnil Jauzi, 2005), hlm. 5

51 Louis Ma’lul, al Munjid, (Beirut : al Kathufikiyah, 1995), hlm.

(48)

Dari penjelasan secara etimologi di atas, maka dapat dipahami wakaf secara terminologi. Muhammad Jawal al Mughniyah mengatakan bahwa wakaf menurut istilah syara’ adalah “sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku untuk umum”52.

Sayid Sabiq berpendapat bahwa wakaf adalah “menahan asal harta dan menjalankan hasilnya yaitu menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah”.53 Ahmad Azhar Basyir mengemukakan bahwa wakaf berarti “menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah”.54 Dan Al Kabisi mendefinisikan wakaf dengan “menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disaluran kepada jalan yang dibolehkan”.55

52 Muhammad Jawal al Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terj Mazkur

AB, (Jakarta : Lentera, 1977), hlm. 645

53 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz III, (Beirut : Daar al Fikr, tt), hlm.

378

54 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan

Syirkah, (Bandung : Al Maarif, 1977), hlm. 5

55 Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, Hukum Wakaf, Terj Ahrul

(49)

Untuk lebih memperkaya dan memperjelas tentang makna dan substansi dari wakaf berikut ini lebih dijelaskan definisi wakaf yang diberikan para ulama mazhab, yaitu :

1. Abu Hanifah

Abu Hanifah mengatakan bahwa wakaf adalah :

ةعفنملاب قدصتلاو ,فقاولا كلم مكح ىلع نيعلا سبح

ريخلا ةحج ىلع

“menahan harta dari otoritas kepemilikan orang yang mewakafkan, dan menyedekahkan manfaat barang wakaf tersebut untuk kebaikan”.56

Dengan kata lain wakaf adalah :

ِءاَقَب َعَم ِهِب َعِفَتْنملا ُهَلاَم ِف ُّرَصَّتلا َقَلْطُم ٍكِلاَم ُسْيِبْحَت

ْنِم ٍعوَنِل ِهِتَبَق َر ىِف ِه ِرْيَغ َو ِهِفُرَصَت ِعْطَقِب ِهِنْيَع

ِعا َوْنَا

ُف َرْصُي اًسْيِبْحَت ِف ُّرَصَتلا

الله ىلإ اًب ُّرَقَت ٍّرِب ىلإ ُهُعْي ِر

“menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu,

(50)

sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah”.57

Berdasarkan pengertian tersebut, wakaf tidak memberikan konsekuensi hilangnya barang yang diwakafkan dari kepemilikan orang yang mewakafkan. Pemisahan dari kepemilikannya di sini disyaratkan adalah karena orang tersebut hanya bisa ikhlas, memurnikan niat kepada Allah dengan cara ini. Di sini pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”.

2. Jumhur Ulama

Jumhur ulama di sini adalah dua orang mu rid Abu Hanifah – pendapat keduanya dijadikan fatwa di kalangan mazhab Hanafiyah, mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali. Mereka mengatakan bahwa wakaf adalah :

57 Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al

Ghazali, Al Wazis fi Fiqhil Imam Syafi’i, (Beirut : Lebanon Daar al Arqam, tt), hlm. 321-323

(51)

عطقب ،هنيع ءاقب عم ,هب عافتنلاا نكمي لام سبح

فرصم ىلع ،هريغو فقاولا نم هتبقر يف فرصتلا

دوجوم حابم

ريخو رب ةهج ىلع هعير فرصب وا

58

ىلعت الله ىلإ اًبرقت –

“menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang dibolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang tersebut untuk tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah”.

Dengan pengertian ini jelas bahwa harta yang telah diwakafkan lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah, orang yang mewakafkan terhalang untuk mengelolanya, penghasilan dari barang tersebut harus disedekahkan sesuai dengan tujuan perwakafan tersebut. Dengan kata lain, harta tersebut tidak lagi menjadi milik orang yang mewakafkan, tidak pula berpindah menjadi milik orang lain. Harta tersebut dihukumi menjadi milik Allah semata, semuanya menjadi milik Allah.

(52)

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut.59

3. Malikiyah

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa wakaf adalah :

عربتيو ،يكيلمت فرصت يأ نع نيعلا سحبي كلاملا

ءاقب عم ،اًمزلا اًعربت ،ةيريخ ةهجل اهعيرب

ىلع نيعلا

(53)

هيف طرتشي لاف ،نامزلا نم ةنيعم ةدم ،فقاولا كلم

60

ديبأتلا

“si pemilik harta menahan hartanya itud ari semua bentuk pengelolaan kepemilikan, menyedekahkan hasil dari harta tersebut untuk tujuan kebaikan, sementara harta tersebut masih utuh menjadi milik orang mewakafkan untuk satu tempo tertentu. Dan tidak disyaratkan untuk selamanya”.

Wakaf menurut Malikiyah tidak memutus (menghilangkan) hak kepemilikan barang yang diwakafkan, namun hanya memutus hak pengelolaannya. Maksudnya adalah meskipun barang tersebut milik orang yang berwakaf, namun setelah diwakafkan dia tidak bisa mengelolanya sebagaimana dia memiliki barang tersebut.

Adanya berbagai perumusan tentang pengertian wakaf yang diungkapkan oleh berbagai ulama dan pakar keislaman, menunjukkan betapa besarnya keragaman tentang wakaf yang perlu dikaji dengan lebih mendalam. Dan dari bebrapa pengertian di atas dapat ditarik sebuah definisi tentang wakaf, yaitu wakaf

(54)

adalah “melepaskan sebagian dari harta milik untuk keperluan atau kepentingan umum dan peribadatan”.

B. Dasar Hukum Wakaf

Wakaf menurut mayoritas ulama adalah sunnah yang dianjurkan, namun tidak demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Al Qur`an dan Sunnah.

Ayat Al Qur`an yang berjumlah 6236 ayat ini berbicara tentang aqidah, syariah, akhlak dan sejarah. Adapun mengenai wakaf secara khusus tidak ditemukan di dalam Al Qur`an. Dengan kata lain, wakaf tidak secara eksplisit disebutkan dalam al Qur`an, tetapi keberadaannya didasarkan kepada ayat-ayat tertentu.

Ayat-ayat Al Qur`an yang dapat dijadikan dasar hukum wakaf antara lain :

1. Surat Ali Imran (3) ayat 92





▪





☺





(55)

















“kamu tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”61

Ayat ini turun ketika seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar yang bernama Abu Thalhah uang mempunyai kekayaan satu-satunya yang sangat dibanggakannya, yaitu sebuah kebun di Bairukha. Nabi SAW sering singgah di kebun tersebut untuk meminum airnya yang sejuk. Abu Thalhah menyampaikan keinginannya untuk mensedekahkan kebunnya tersebut untuk kepentingan Islam, dan dia memberikan kuasa kepada Nabi SAW untuk menyerahkan sedekah tersebut kepada yang patut menerimanya. Dengan gembira Nabi menerima sedekahnya tersebut dan menghargai niat dan iman Abu Thalhah.62

61 Ahmad Hatta, MA, Tafsir Qur`an Perkata, (Jakarta : Maghfirah

Pustaka, 2009), Cet. Ke-2, hlm. 62

62 Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 2, (Jakarta : Gema Insani, 2015), hlm.

(56)

Hal di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai kebajikan yang sempurna adalah dengan cara menafkahkan sebagian harta yang dicintai. Menafkahkan atau mewakafkan harta yang dimiliki maksudnya bukan keseluruhannya melainkan sebagian saja dan dinafkahkan dari harta yang dicintai bukan harta yang dicintai. Ayat ini berkaitan juga dengan Al Baqarah ayat 267.

2. Surat Al Baqarah (2) ayat 267

















☺











☺☺















☺



☺



(57)





☺



“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu keluarkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata (enggan) terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”63

Ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar, yang merupakan para pemilik kebun kurma. Saat itu, tiap orang mengeluarkan sedekah hasil perkebunannya disesuaikan dengan sedikit banyaknya kebun yang mereka miliki. Ada seseorang yang mengeluarkan sedekahnya dengan satu atau dua tandan kurma, dan menggantungnya di masjid. Saat itu, Ahlu ash-Shuffah (orang-orang yang tinggal di masjid) tidak mempunyai makanan, dan apabila salah seorang dari mereka sedang lapar, maka dia akan mendatangi tandan kurma tersebut, lalu memukulnya dengan tongkat hingga kurma yang masih muda berjatuhan, lalu mereka memakannya. Namun, ada beberapa orang yang tidak suka dengan perintah

(58)

bersedekah, apabila mengeluarkan sedekahnya, dia mengeluarkan setandan kurma yang jelek dan tidak berkualitas, serta setandan kurma yang tidak utuh, kemudian menggantungnya di masjid. Atas hal tersebut, Allah menurunkan ayat ini.64

Ayat ini menjelaskan bahwa hal yang diwakafkan adalah sebagian dari hasil usaha, dan yang diwakafkan itu adalah sesuatu yang baik. Kalau seseorang mewakafkan hartanya yang tidak disukainya berarti belum ada keseriusannya berwakaf dan ini sangat berbeda dengan mewakafkan harta yang sangat dicintai.

3. Surat Al Baqarah (2) ayat 261















☺























64 Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 1, (Jakarta : Gema Insani, 2015), hlm.

(59)

☺











“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”.65

Ayat di atas merupakan motivasi Allah bagi hambaNya untuk berinfak atau berwakaf di jalanNya dengan membuat perumpamaan seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Angka ini adalah angka yang menakjubkan. Allah mengatakan bahwa ia melipatgandakan ganjaran bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Bagi hambaNya yang berwakaf secara ikhlas, Allah dapat saja memberikan tambahan rezki bagi wakif sehingga memungkinkan akan berwakaf terus menerus atas kucuran rezki yang diberikan Allah kepadanya dan kehidupannya akan lebih bahagia.66

4. Surat Al Hajj (22) ayat 77

65 Ahmad Hatta, MA, Tafsir Qur`an Perkata,... hlm. 44

66 Suhrawardi K. Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta :

Referensi

Dokumen terkait

pengadaan tanah untuk pembangunan jalan Tol Cisumdawu ditinjau Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan mengetahui

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi. Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Keempat peraturan tcrsebut sudah dicabut atau diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana juga yang telah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan pasal 121 Peraturan Presiden

Istilah pengadaan tanah terdapat dalam Peraturan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Pengertian pengadaaan tanah menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanh Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum adalah setiap kegiatan

Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pengadaan hak atas tanah adalah kegiatan