• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 P a g e. Penyebaran agama..., Styvegi Arvio D, FIB UI, 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 P a g e. Penyebaran agama..., Styvegi Arvio D, FIB UI, 2013"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

Penyebaran agama ..., Styvegi Arvio D, FIB UI, 2013

(2)
(3)

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA OLEH SUNAN KALIJAGA MELALUI MEDIA WAYANG KULIT

Styvegi Arvio Dandhel

Sastra Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia Email: styvegi@gmail.com

Abstrak

Penulis menulis jurnal ini bertujuan untuk mengetahui profil Sunan Kalijaga sebagai Walisongo di Pulau Jawa, bagaimana sejarah wayang kulit di Pulau Jawa dan bagaimana penyebaran agama Islam di Pulau Jawa oleh Sunan Kalijaga melaui media wayang kulit. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik deskriptif interpretatif. Berdasarkan hasil analisis data, terlihat bagaimana Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dengan menggunakan media wayang kulit. Kesimpulan memperlihatkan bagaimana Sunan Kalijaga mampu memanfaatkan wayang sebagai media dakwah yang dapat menyebarkan agama Islam yang bercampur dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang masih ada hingga saat ini.

The Spread of Islam in Java by Sunan Kalijaga Through Wayang

Abstract

The authors wrote this journal aims to determine the profile of Sunan Kalijaga as Walisongo in Java, how the history of wayang in Java and how the spread of Islam in Java by of Sunan Kalijaga through wayang media. In analyzing of data, the writer used descriptive interpretive techniques. Based on the analysis of data, looked how of Sunan Kalijaga spread the religion of Islam in Java using a media wayang. The conclusion showed how Sunan Kalijaga was able to use wayang as a media propaganda to spread the religion of Islam that was mixed with the culture of the people of Java that still exsisted today.

Keywords: Sunan Kalijaga, spread of Islam, wayang, Java.

PENDAHULUAN

Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Islam pada masa modern seperti saat sekarang ini muncul melalui fase yang panjang dan beragam karena negara Indoensia memiliki kebudayaan yang beragam sehingga dalam penyebaran agama Islam dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan adalah memanfaatkan budaya lokal. Budaya lokal adalah adat-istiadat yang diterima oleh masyarakat lokal dimana masing-masing pulau di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda dan memiliki keunikan tersendiri. Pulau Jawa memiliki kebudayaan yang beragam yang masih dapat dilihat hingga saat ini. Keberagaman kebudayaan di Pulau Jawa membuat para tokoh agama saat itu memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana dalam penyebaran Islam.

Para tokoh agama menyampaikan ajaran Islam di Pulau Jawa pada saat itu menggunakan budaya Jawa yang mudah diterima masyarakat sehingga dapat mempercepat dan mempermudah mereka dalam penyebaran agama Islam. Tokoh yang terkenal dengan metode dakwahnya menggunakan budaya Jawa pada saat itu adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mampu menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa tanpa menghadapi kendala yang berarti.

Sunan Kalijaga mampu menarik perhatian masyarakat Jawa dengan menyampaikan agama Islam dengan menggunakan wayang kulit. Seni dan budaya merupakan aspek penting dalam bersosialisasi, sehingga pendekatan yang dapat dilakukan dalam penyampaian informasi pada suatu

(4)

masyarakat akan efektif dengan memahami budaya mereka.1

Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam jurnal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dengan menggunakan media wayang kulit?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Mengetahui bagaimana Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa menggunakan media wayang kulit.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa melalui media wayang kulit. Untuk itu objek penelitian ini merupakan data-data yang dapat memjawab permasalahan penelitian ini.

Metode Penelitian

Dalam jurnal ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif untuk menganalisis fenomena dalam penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif serta interpretasi melalui beberapa buku referensi yang merupakan sumber referensi sejarah.

Sistematika Penyajian

Jurnal ini terdiri dari empat bab, yakni bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini penulis akan memaparkan latar belakang yang terdapat konteks

1 Reskino, Adat Istiadat dan Religi (2000) Cet I h.12

penelitian, perumusan masalah yang merupakan fokus kajian penelitian yang akan diungkap dalam penelitian ini. Selanjutnya terdapat tujuan penelitian yang menjadi sasaran penelitian yang harus dicapai sesuai dengan rumusan masalah. Lalu terdapat metodologi penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II dalam penelitian ini membahas perspektif teoritis atau kerangka teori dan kajian pustaka, kerangka teori menyajikan tentang defini dari wayang kulit dan biografi singkat Sunan Kalijaga. Sementara kajian pustaka menyajikan tentang studi-studi terdahulu dalam konteks fenomena dan masalah yang sama atau serupa yang menjadi sumber pengembangan penelitian ini.

Pada bab ketiga, penulis akan membahas analisis dari rumusan masalah yaitu bagaimana Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa menggunakan media wayang kulit.

Kemudian pada bab empat adalah bab kesimpulan. Pada bab ini penulis akan memaparkan kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya.

BAB II KERANGKA TEORI Biografi Singkat Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya.

Versi China menyebut bahwa waktu kecil Raden Sahid juga bernama Syekh Melaya karena ia putra Tumenggung Melayukusuma di Jepara. Melayukusuma berasal dari Negeri Atas Angin di seberang, anak seorang ulama. Setelah tiba di Jawa, Melayukusuma diangkat menjadi Adipati Tuban oleh Prabu Brawijaya dengan nama Tumenggung Wilatikta (Widji Saksono 1995: 30). Di sini diduga

(5)

bahwa Melayukusuma bukan anak Arya Teja II, melainkan menantunya. Jadi Retno Dumilah-lah yang putra Adipati Tuban keturunan Arya Adikara atau Ranggalawe.2

Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. 3 Beliau ulama yang sakti dan cerdas, nama kecilnya Raden Sahid, merupakan putra dari Tumenggung Wilwatikta, Adipati Tuban yang sudah menganut agama Islam, namanya berubah menjadi Raden Sahur atau yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Wilatikta, beliau menikah dengan Dewi Nawangrum, dan hasil pernikahannya lahirlah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an. Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarah, yang merupakan adik dari Sunan Gunung Jati, dan hasil dari perkawinan tersebut Sunan Kalijaga dan Dewi Sarah dikaruniai tiga orang anak, satu orang putra dan dua orang putri, yang diberi nama:

1. Raden Said (Sunan Muria); 2. Dewi Ruqiyah;

3. Dewi Shofiyah 4.

Kisah masa muda Sunan Kalijaga sungguh sangat krusial. Dia adalah seorang buronan dan perampok. Terdapat dua versi mengenai cerita masa muda beliau. Versi pertama mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan pencuri dan perampok harta milik kerajaan dan orang-orang kaya yang pelit, hasil dari rampokannya itu ia bagikan kepada rakyat jelata yang miskin dan terlantar. Versi kedua

2 www.sejarah.kompasiana.com

3 Saadilla, Rian. 2010. Biografi Sunan Kalijaga. h. 3

4 Agus Wahyudi, Makrifat Fatwa. 2003. Cet Ke-VII h. 18

mengatakan bahwa Raden Sahid merupakan seorang perampok dan pembunuh yang jahat. Jalan hidupnya banyak terangkum dalam naskah-naskah kuno jawa.

Menurut sejarah, Raden Sahid diusir oleh keluarganya dari kerajaan karena ketahuan merampok. Setelah itu, dia berkeliaran dan berkelana tanpa tujuan yang jelas hingga kemudian menetap di hutan Jatiwangi sebagai seorang yang berandal dan suka merampok. Dalam babad Demak disebutkan bahwa Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang. Karena kagum melihat kesaktian Sunan Bonang, Raden Sahid berguru kepadanya dengan syarat beliau harus bertobat.

Sunan Kalijaga memperdalam Islam Sunan Bonang dan ulama agama lainnya. Setelah Raden Sahid menjadi penyiar agama Islam, ia diangkat oleh Dewan Wali Sanga sebagai salah satu anggotanya yang menjadikan namanya akrab di telinga Islam Jawa. Dan dia menjadi satu-satunya Wali yang bisa diterima oleh berbagai pihak, baik oleh mutihan atau abangan, santri dan kaum awam. Menurut Babad Tanah Jawi, nama Sunan Kalijaga berawal ketika Raden Syahid bertapa ditepi sungai sesuai perintah sunan bonang. Raden Sahid bersemedi di tepi sungai sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Sahid tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum sunan bonang datang, lalu ia tertidur untuk waktu yang lama. Karena lamanya ia tidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Sahid, dan ia mulai dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.5

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap dan perlahan-lahan mulai mempengaruhi mereka dengan ajaran Islam.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,

5

(6)

wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Sejarah wayang Kulit

Pengertian “wayang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : “Boneka tiruan dan sebagainya yang terbuat dari patahan atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukkan drama tradisional biasanya dimainkan oleh seorang dalang” 6.

Sedangkan kata “kulit” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai : “segala sesuatu yg tampak di luar, belum isi yang sebenarnya.” 7

Secara historis kata “wayang” diduga berasal dari kata “wewayangan”, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran wayang kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang mamainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabrata. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, diantaranya oleh Sunan Kalijaga. Pembagian wayang juga dilakukan oleh para Wali, pertama wayang golek di Jawa Barat, wayang wong di Jawa Tengah, dan wayang kulit di Jawa Timur . Dimana ketiga wayang tersebut saling berkaitan satu sama lainnya yaitu, “ Mana yang kulit (wayang kulit), mana yang isi (wayang wong) dan mana yang harus dicari (wayang golek).

Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni

6 Depratemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2010 7

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php

suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, dan hiburan.

Ada dua pendapat mengenai asal usul wayang kulit. Pertama, bahwa wayang kulit lahir dan berasal di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Alasan ini cukup kuat karena seni wayang kulit masih sangat erat dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong hanya ada dalam pewayangan Indonesia. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (kuna). Pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama agama Hindu ke Indonesia.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987. Sejarah wayang dalam bentuk yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu Jawa.8 Wayang mengalami perkembangannya melalui beberapa zaman. Di zaman prasejarah, sebelum orang-orang Hindu datang, alam pikiran nenek moyang kita yang masih sangat sederhana mempercayai bahwa roh orang yang sudah mati masih tinggal di daerah sekelilingnya. Roh itu dianggap sebagai pelindung dan dapat didatangkan. Dan kedatangannya diharapkan dapat memberikan berkah kepada yang masih hidup. Harapan- harapan itulah yang mendorong orang menghasilkan pembuatan bayangan arwah nenek moyang mereka yang telah mati, kemudian mereka mengadakan pertunjukan bayangan untuk melihat roh nenek moyang. Pada zaman ini, wayang berfungsi sebagai magis, mitos dan religius. Isi ceritanya tentang

8 Mertosedono, Amir. 1993. Sejarah Wayang, Asal Usul, dan Cirinya.

(7)

nenek moyang, kepahlawanan dan petualangannya. Diceritakan oleh orang sakti dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno Murni.

Zaman kedua pada zaman Mataram I (400M - 929M), dimana wayang tidak hanya berfungsi magis, mitos dan religius, tetapi sudah berkembang sebagai alat pendidikan dan komunikasi. Isi cerita diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata versi Indonesia yang bercampur mitos kuno tradisional. Bahasa yang digunakan adalah Kawi. Zaman selanjutnya adalah Zaman Jawa Timur (929M - 1478M), pada zaman ini pertunjukkan wayang kulit sudah mencapai bentuk yang menarik. Bahasa yang digunakan adalah percampuran Bahasa Sangsekerta dan Jawa kuno.

Setelah zaman Jawa Timur barulah wayang memasuki Zaman Islam (1478M – 1945M), wayang pada masa ini telah berfungsi sebagai alat dakwah, penerangan, pendidikan, hiburan, sumber sastra dan budaya. Isi ceritanya diambil dari Babad, yaitu percampuran Ramayana dan Mahabarata versi Indonesia secara islami. Bentuk wayang juga telah mengalami perubahan. Pertunjukkan wayang dipimpin oleh kyai sebagai dalang. Masa terakhir dari wayang adalah Zaman Indonesia merdeka (1945M – sekarang), dimana wayang berfungsi sebagai hiburan, unsur budaya dan kesenian, pendidikan, simbolis, dan filosofi. Wayang juga dimainkan oleh pemuka adat, mahasiswa, pegawai, dan lain sebagainya 9.

Wayang kulit yang mengalami perkembangan melalui beberapa zaman ini mempunyai beberapa fungsi. Fungsi wayang kulit yang dirasakan; pertama fungsi religius, zaman dahulu wayang digunakan sebagai pemujaan namun saat sekarang wayang dimainkan dengan memasukkan nilai-nilai religius. Kedua, banyak nilai-nilai kebaikan yang dapat diambil dari cerita wayang yang dimainkan oleh dalang, termasuk Sunan Kalijaga yang menjadikan wayang sebagai media pendidikan. Ketiga, dalam pertunjukan wayang, masyarakat bisa diinformasikan tentang peristiwa apa yang penting untuk diketahui oleh para dalang. Misalnya dengan mementaskan lakon-lakon tertentu yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Lalu juga bisa dijadikan sarana kritik sosial.

9

Sri Mulyono, Wayang. 1976. Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. h. 296-304.

Masyarakat bisa mengkiritik kebijakan pemimpin mereka tanpa resiko kemarahan pemimpin melalui wayang. Dengan lakon-lakon tertentu pula atau fragmen wayang “goro-goro” dalang bisa bebas mengkritik kebijakan pemimpin. Dan fungsi keempat, wayang merupakan hiburan bagi masyarakat. Tidak ditujukan untuk maksud-maksud religi tertentu. Tapi hanya untuk menghibur masyarakat yang gemar akan seni pertunjukan ini. Seperti pada acara khitanan, resepsi pernikahan, acara besar desa, yang dipentaskan untuk menghibur khalayak ramai.

Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :

1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)

2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap. 3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab,

‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.

4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.

5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.

Kajian Pustaka

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Supriyanto (2009) dengan judul penelitian Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga. Dalam penelititannya, Supriyanto menyatakan salah satu walisongo yang mempunyai

(8)

peranan besar dalam penyebaran Islam di Indonesia yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mempunyai metode dakwah yang banyak dikaji yang dikenal dengan istilah sinkretisme atau pribumisasi. Metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan antara Islam dengan budaya Jawa dalm proses penyebaran agma Islam di Pulau Jawa.

Persamaan penelitian ini adalah membahas salah satu Walisongo yang berperan dalam penyebaran Islam yaitu Sunan Kalijaga. Supriyanto menulis bagaimana cara Sunan Kalijaga menyampaikan pesan-pesan moral Islam melalui berbagai aspek. Sunan Kalijaga mampu memanfatkan budaya lokal yang disukai oleh masyarakat Jawa sebagai media penyebaran agama Islam.

Perbedaan penelitian terletak pada objek yang diteliti oleh Supriyanto yaitu metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, sedangkan penelitian ini membahas mengenai digunakannnya wayang dalam berdakwah oleh Sunan Kalijaga, dan bagaimana Sunan Kalijaga dapat menggunakan wayang tersebut dalam penyebaran agama Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Supriyanto, disimpulkan dengan; pertama, Islam adalah ajaran yang kerap kali berdialog dengan realitas. Karena itu, kebenaran Islam tidak terletak pada penolakannya terhadap realitas, dengan bahasa purifikasi, melainkan terletak pada dialektikanya dengan realitas. Kedua, Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh dari Walisongo yang kerap mendialogkan Islam dengan realitas. Dia tidak menghancurkan tradisi atau budaya. Sebaliknya, dia mengubah isi dan muatan yang ada di dalamnya dengan nilai-nilai Islam. Ketiga, tradisi wayang, yang sampai kini masih tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat Jawa khususnya, sebenarnya merupakan tradisi Hindu-Budha sebelum kehadiran Islam. Akan tetapi, dengan kelihaiannya, Sunan Kalijaga memberi isi baru bagi tradisi itu, yakni nilai-nilai Islam.10

BAB III PEMBAHASAN

10

Supriyanto, Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga

(Purmokerto: Ejurnal Komunika, Januari-Juni 2009) Vol.III No.1, h.10-19.

Penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa oleh Sunan Kalijaga Melalui Media Wayang Kulit Sejarah masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama. Sebagian berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-7 M, yang datang langsung dari Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13 dan ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-9 M atau 11 M. Perbedaan pendapat tersebut dari pendekatan historis semuanya benar. Hal tersebut didasarkan bukti-bukti sejarah serta penelitian para sejarawan yang menggunakan pendekatan dan metodenya masing-masing.

Berdasarkan beberapa buku dan keterangan sumber referensi sejarah, Islam mulai berkembang di Nusantara sekitar abad ke-13 M. Hal tersebut tidak lepas dari peran tokoh dan serta ulama yang hidup pada saat itu, dan di antara tokoh yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di Pulau Jawa adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga yang begitu dekat di kalangan masyarakat muslim kultural Jawa sangat dihormati. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwahnya yang unik serta sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa sehingga dengan mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.11

Sunan Kalijaga menempuh jalan memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat di tanah Jawa antara lain sebagai berikut:

a. Ajaran agama itu diperkenalkan kepada masyarakat dengan cara memasukkan sedikit demi sedikit agar masyarakat tidak kaget atau menolak.

b. Mengawinkan ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha. Di samping kedua cara tersebut masih banyak lagi cara yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam. Seperti, cerita pewayangan yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga melalui tokoh Yudistira terdapat pusaka yang ampuh yaitu jimat kalimasada. Kalimasada dalam dunia Islam yaitu kalimat syahadat yang menuntun

11

Salam, Solichin. 1982. Sekitar Walisongo. Kudus

(9)

pada tingkat kesucian. Oleh karena itu Yudistira sering dilambangkan memiliki darah putih yang berarti suci dan sabar. Dalam perjalanannya Yudistira mempunyai empat saudara yaitu Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa yang merupakan gambaran dari Salat, Zakat, Puasa dan Haji yang selanjutnya Pandhawa tersebut merupakan rukun Islam. Oleh karena kelihaian Sunan Kalijaga dalam mengolah tokoh-tokoh Pandawa yang tidak dapat dipisahkan tersebut menjadi simbol rukun Islam sehingga Islam mudah diterima dalam masyarakat Jawa.

Agama Islam memang sudah menyebar di Indonesia khususnya di Pulau Sumatera, dimana terdapat kerajaan Islam yang besar yaitu Kerajaan Samudra Pasai. Tidak jauh berbeda dengan Pulau Jawa, telah terdapat kerajaan-kerajaan Islam. Peran Sunan Kalijaga adalah menyiarkan agama Islam dan menanamkan nilai-nilai ke-Islaman kepada masyarakat yang pada saat itu telah terbiasa dengan ajaran agama dan budaya Hindu dan Budha. Sunan Kalijaga adalah seorang Dalang Wayang Purwa. Ia terkenal sebagai dalang wayang kulit yang sangat menarik. Bila Sunan Kalijaga mentas di suatu Desa, penonton berbondong-bondong memadati halaman. Pentas wayang Sunan Kalijaga adalah dalam rangka mendakwahkan Islam. Ia tidak pernah menarik bayaran materi. Sebagai bayarannya, ia mengajak kepada seluruh hadirin untuk bersyahadat mengucapkan sumpah pengakuaan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sunan Kalijaga mengajak kepada seluruh masyarakat untuk mengurangi perbuatan Syirik dan setia kepada ajaran islam. Lewat sarana itulah Sunan Kalijaga berhasil meratai Islam di seluruh bumi Jawa. Dalam media dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam penciptaan, seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, termasuk juga kesenian wayang kulit. Bahkan, terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandang sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkat gamelannya.

Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubah Sunan Kalijaga menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan

mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.

Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pergelaran-pergelaran wayang dengan upah baginya sebagai dalang berupa jimat kalimasada atau ucapan kalimat Syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang biasanya untuk meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan, asal yang memanggil itu mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam. Ia mengatakan bahwa setelah berislam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat selanjutnya Sunan Kalijaga mulai mengajak melaksanakan ibadah-ibadah dan memberikan pengetahuan Islam melalui wayang. Menurutnya bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan hilang. Masyarakat kita bangsa Indonesia, khususnya Jawa, masih gemar sekali hal wayang itu, mulai dari dahulu hingga sekarang baik di desa maupun di kota. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga memperhatikan hal tersebut untuk keperluan memasukkan dakwah Islamiyah. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran islam. Lakon yang di mainkan tidak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah karangan, dengan wayang Sunan Kalijaga menyajikan kata-kata mutiara yang bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan, pngetahuan, hiburan, tetapi juga menyediakan pantasi untuk nyanyian, lukisan estetis dan menyajikan imajinasi puitis untuk petua-petua religius yang mampu mempesona dan menggetarkan jiwa manusia yang mendengarkannya. Wayang cermin bagi kehidupan manusia, perwatakan manusia yang berbeda-beda digambarkan dengan wayang.

Wayang kulit itu sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijaga dalam kesempatan dakwahnya di berbagai daerah, dan ternyata wayang ini merupakan media yang efektif serta dapat mendekatkan dan menarik simpati rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang (memainkan wayang) begitu memikat, sehingga terkenallah berbagai nama samaran baginya di berbagai daearah. Jika beliau mendalang di daerah Pajajaran dikenal dengan nama Ki Dalang Sidabrangti, bila beliau mendalang di Tegal dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok, dan bila beliau mendalang

(10)

didaerah Purbalingga terkenal dengan nama Ki Dalang Kumendung.

Pembuatan wayang dari kulit kerbau dimulai oleh Sunan Kalijaga pada zaman Raden Patah, yang bertahta di Demak. Sebelumnya, lukisan wayang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief candi panataran di daerah Blitar. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan Syara.

Para Wali, terutama Sunan Kalijaga, kemudian menyiasatinya dengan mengubah dari lukisan yang menghadap menjadi miring dan lebih mirip karikatur. Dengan mengubah bentuk dan lukisan, wayang berbeda dengan bentuk manusia sesungguhnya, akan tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud wayang melanggar hukum fiqih Islam.

Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng dan bagong sebagai tokoh panakawan yang lucu. Kadangkala, ia menggunakan tokoh Bancak dan Doyok. Salah satu lakon wayang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga adalah “Jimat Kalimasada” yang diambil dari perkataan “Kalimat Syahadat”, dengan lakon ini Sunan Kalijaga mengajak orang-orang Jawa di pedesaan maupun di ibukota Kaprajan untuk mengucapkan Kalimah Syahadah sebagai cara memeluk agama Islam. Selain itu ada juga lakon wayang Dewaruci yang berasal dari kalimat Dewa Ruh Suci atau Ruh Qudus 12. Beliau juga menambakan tembang Lagu Jawa pada pertunjukan wayang kulitnya, seperti Lir Ilir akab ditelinga masyarakat jawa sampai saat ini. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga merupakan pencipta wayang kulit sebagai media hiburan, dakwah, pendidikan, dan filsafat hidup.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Sebelum masuknya agama Islam di Pulau Jawa, sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa menganut agama Hindu dan Budha, oleh sebab itu masyarakat Jawa memiliki beragam tradisi dan kebiasaan tradisional yang telah mendarah daging

12

Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa h. 73

dimasyarakat. Untuk itu, dengan dakwah Sunan Kalijaga melalui wayang kulit, ia mengubah beberapa tradisi yang berlaku di masyarakat agar terciptanya perilaku masyarakat yang Islami, diantaranya adalah:

1. Bab Samadi

Sebagai salah satu puji mengheningkan cipta, hal itu dimaksudkan untuk mencari Sasmita (berita batin), yaitu hal-hal yang sudah lewat dan yang akan datang. Ritual tersebut dirubah menjadi ajakan untuk Shalat Wajib.

2. Bab Sesaji dan Ketutug (membakar kemenyan)

Hal itu dimaksudkan untuk menyajikan bukti pada lelembut (makhluk-makhluk halus seperti jin, peri, prayangan, setan, dhemit) agar membantu maksud keinginan seseorang. Kebiasaan ini diubah oleh Sunan Kalijaga menjadi tata cara dan manfaat dari pemberian (Shodaqoh) pada fakir miskin, para tetangga, dan saling membantu. 3. Bab Keramaian (tradisi upacara)

Pemeluk agama lama jika mengadakan perhelatan pernikahan, hal itu disertai dengan penyembahan dewa. Sunan Kalijaga melarang hal tersebut dengan menganjurkan acara perhelatan dengan syukuran bersama kerabat dan tetangga, tanpa adanya ritual penyembahan.

Dalam dunia pewayangan dalang merupakan unsur penting pada sebuah pementasan, terlepas dari apapun tema yang akan dipentaskan. Berkaitan dengan kegiatan dakwah Islamiah, seorang dalang pun dikategorikan sebagai juru dakwah. Hal ini memungkinkan karena dalam setiap pementasan sebuah pagelaran wayang seorang dalang sangat mungkin untuk menyampaikan pesan-pesan agamis dalam setiap lakonnya yang dipentaskan. Dahulu pada saat awal-awalnya perkembangan Islam di Nusantara, para penyebar Islam khususnya Walisongo yaitu Sunan Kalijaga, telah menggunakan media wayang untuk mendukung kegiatan dakwahnya, dan ternyata berhasil. Faktor-faktor yang memungkinkan keberhasilan seorang dalang menjadi juru dakwah diantaranya adalah:

(11)

a. Karakter dalang yang faham betul isi cerita setiap lakon pewayangan, yang umumnya mengusung tema kehidupan sosial. Apapun temanya, baik tentang kerajaan, mahabarata, atau tema lainnya, hendaknya dalang dapat memasukkan unsur unsur Islami yaitu nilai dan moral tanpa harus merubah inti dan isi cerita secara keseluruhan atau sebagainya. b. Wayang merupakan kesenian tradisional

yang masih banyak digemari, dan biasanya dalang sangat dikagumi oleh penontonnya. Situasi ini dapat digunakan oleh seorang dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bernilai Islami pada setiap adegan. Seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga, dengan citra yang baik yang dimiliki oleh Sunan Kalijaga, yang dikenal sebagai orang yang dermawan dan rendah hati, dapat mengambil simpati dari penonton pertujukkan wayang.

c. Tema wayang dapat mengikuti zaman, sehingga dalang tidak akan ditinggalkan oleh penggemarnya, sehingga ia tetap terus dapat menyampaikan isi cerita perwayangan, dan dapat dingat oleh pendengarnya. Sunan Kalijaga menciptakan tokoh yang dapat menarik perhatian berbagai kalangan, dan dikenal sampai saat ini.

BAB IV KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Beliau ulama yang sakti dan cerdas, nama kecilnya Raden Sahid, merupakan putra dari Tumenggung Wilwatikta. Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarah, yang merupakan adik dari Sunan Gunung Jati. Masa muda beliau sangat berat, namun ia berhasil diangkat sebagai Wali di tanah Jawa ini. 2. Wayang Kulit merupakan kebudayaan asli

Indonesia yang mengalami perubahan melalui beberapa zaman sehingga menjadi bentuk seperti sekarang ini. Dan wayang kulit memiliki fungsi yang berbeda dari beberapa zaman tersebut sehingga Sunan Kalijaga

memanfaatkan wayang kulit tersebut sebagai alat penyampaian agama Islam.

3. Sunan Kalijaga mampu menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang terdapat pada wayang kulit sehingga ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Keberhasilan Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam dapat dirasakan sampai saat ini oleh masyarakat Jawa dengan masih dimainkannya tokoh-tokoh wayang kulit ciptaan Sunan Kalijaga. Dan metode penyampaian ajaran islam seperti sunan kalijaga dijadikan sebagai contoh bagi generasi sekarang.

DAFTAR ISI

Banyuwangi, 2012. Asal-Usul Sunan Kalijaga Versi Jawa, Arab dan China. Data diunduh pada 23 September 2012 pukul 07.10.

Mertosedono, Amir. 1993. Sejarah Wayang, Asal Usul, dan Cirinya. Semarang : Dahara Prize. Mulyono, Sri. 1976. Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta : Gunung Agung. Mulyono, Sri. Simbolisme dan Mistisisme Dalam Wayang Jakarta : Gunung Agung. 1983.

Prwirayuda, R. Panji. 1989. Babad Majapahit dan Para Wali, Jilid III. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Riyadi, Slamet.1981. Babad Demak. Jakarta : Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia.

Reskino. 2003. Adat Istiadat dan Religi. Jakarta: UIN

Saadilla, Rian. 2010. Biografi Sunan Kalijaga. Jakarta: STIE Ahmad Dahlan.

Salam, Solichin. 1982. Sekitar Walisongo. Kudus : Menara Kudus.

(12)

Soekrisno. “Wayang Golek di Tanah Jawa” Skripsi S-1 Jurusan Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarifhidayatullah Jakarta. 2004 Sutrisno, Budiono H. 2010 . Sejarah Walisongo : Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta : GRHA PUSTAKA.

Supriyanto. “Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga” dalam Ejurnal Komunika Vol.3 No.1 (Januari-Juni 2009). h.10-19.

Wahyudi, Agus. 2007. Makrifat Fatwa. Jakarta. Widji Saksono, 2003. Mengislamkan Tanah Jawa. Jakarta.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

ditandatangani oleh anggota Pokja ULP yang hadir dan 2 (dua) orang saksi. 27.18 Apabila peserta tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pembukaan Dokumen Penawaran, Berita

Perbedaan Penelitian tentang Hubungan Nafsu Makan Dengan Sisa Makanan Pada Pasien Diabetes Mellitus (DM) Di RSUD Sunan Kalijaga Kabupaten Demak dengan penelitian

Perbedaan penelitian yang akan diteliti terletak pada variabel bebas yaitu tingkat pendidikan umur, paritas dan pekerjaan sedangkan pada penelitian terdahulu variabel

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dipaparkan tersebut terletak pada objek yang diteliti dan mengenai relasi gender, antara lain relasi

Objek penelitian dalam penelitian ini yang sekaligus menjadi populasi adalah siswa kelas XI IPS SMA Negeri 16 Makassar tahun ajaran 2017/2018 yang berjumlah 103

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah terletak pada variabel yang akan diteliti, waktu, dan tempat penelitian, sedangkan persamaanya adalah

Nomor : 00243/2013 tanggal 9 Juli 2013 seluas 929 M² (Sisa) Terletak di Kelurahan Tangkerang Timur, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru oleh Tergugat, jelas-jelas telah

Sedangkan sisanya sebesar 40,1% 100% – 59,9% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil