• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERHADAP NARAPIDANA. I. PENDAHULUAN. Pelanggaran atau kejahatan merupakan suatu gangguan terh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERHADAP NARAPIDANA. I. PENDAHULUAN. Pelanggaran atau kejahatan merupakan suatu gangguan terh"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

1 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PETUGAS

LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERHADAP NARAPIDANA .

I. PENDAHULUAN.

Pelanggaran atau kejahatan merupakan suatu gangguan terhadap ketertiban umum, ketentraman atau kedamaian bagi kehidupan manusia dalam masyarakat. Sudah tentu pelanggaran atau kejahatan itu bertentangan dengan aturan hukum / undang-undang yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, baik itu dilakukan karena kesengajaan maupun karena kelalaian / kealpaan sebagai manusia biasa. Hal ini dapat merupakan salah satu penghalang dan penghambat cita-cita dan tujuan bangsa serta negara Indonesia untuk menuju masyarakat adil, makmur, sentosa, damai dan sejahtera. Pelanggaran atau kejahatan adalah suatu gejala sosial yang harus diberantas dan dibasmi demi ketertiban umum dan ketentraman manusia dalam hidup bermasyarakat. Meskipun disadari bahwa memberantas dan membasmi kejahatan adalah merupakan suatu pekerjaan yang sangat berat dan sulit, yang tidak mungkin dihapuskan secara keseluruhan, namun hanya diharapkan dapat mengurangi baik secara kuantitas maupun kualitas terjadinya pelanggaran maupun kejahatan. Kejahatan adalah merupakan suatu perbuatan yang sangat anti sosial, yang mendapat tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan / hukuman atau tindakan1. Dari sudut kriminologi, kejahatan itu adalah tiap-tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakkannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut2.

R.Soesilo menyatakan bahwa kejahatan dapat ditinjau secara yuridis yaitu suatu perbuatan / tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, yang dinyatakan secara formal, yang dalam hal ini terkait dengan hukum pidana. Sedangkan secara sosiologis, kejahatan itu merupakan perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan

1

.W.A. Bonger, 1982 : Pengantar Tentang Kriminologi, Pembangunan Ghalia-Indonesia, hal.25

2 Roeslan Saleh, 1983 : Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, hal. 17.

(7)

2 sipenderita, juga sangat merugikan masyarakat yakni berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Oleh karena itu kejahatan dapat mengakibatkan timbulnya suatu kerugian yang berdampak luas, baik kerugian materiil maupun psikologis masyarakat. Dimana kejahatan secara sosiologis erat kaitannya dengan norma-norma atau kaedah-kaedah kebudayaan dari masyarakat itu sendiri, yang satu sama lain tidak sama, yang disebabkan oleh tingkat atau status sosial dari masyarakat itu sendiri3. Wirjono Prodjodikoro merumuskan pengertian kejahatan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari perbuatan yang melanggar hukum4. Sedangkan M.A.Elliot mengatakan bahwa kejahatan itu adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara, mati denda dan lain-lain5. Para pelaku kejahatan sudah tentu akan diproses dan dijatuhi pidana sesuai dengan kejahatannya, yang dapat berupa perampasan kemerdekaannya untuk sementara waktu dan menjalani pidananya pada lembaga pemasyarakatan. Nama Lembaga Pemasyarakatan yang semula bernama penjara pada massa lalu, berubah namanya dimulai sejak adanya Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.: J.H.G.8/506/1964, tertanggal 17 Juni 1964, yang dicetuskan untuk pertama kali oleh Dr. Sahardjo pada saat menerima gelar Dokter Honoris Causa dalam Ilmu Hukum di Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963. Dimana tujuan pidana penjara yaitu disamping menimbulkan rasa derita dari terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, juga membina dan membimbing terpidana agar bertobat, mendidik ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna atau dengan lain perkataan bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bukan saja semata-mata membina narapidana, melainkan juga untuk mendidik, menyadarkan / menginsyafkan narapidana dari perbuatan-perbuatan jahat, memberikan ketrampilan bagi terpidana, agar mereka setelah selesai menjalani pidana, mempunyai / memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk

3

.B. Bosu, 1982 : Sendi-Sendi Kriminologi, Usaha Nasional, hal. 19-20

4

. Wirjono Prodjodikoro, 1979 : Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Eresco, Jakarta, hal. 28 (Selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro 1)

(8)

3 menyesuaikan diri diluar lembaga, agar menjadi warga Negara yang baik dan taat pada aturan-aturan hukum atau undang-undang yang berlaku6.

Pemasyarakatan itu adalah suatu proses kehidupan negatif antara narapidana dengan masyarakat yang mengalami pembinaan dan perubahan agar menjurus dan menjelma menjadi kesembuhan kehidupan yang positif antara narapidana dengan masyarakat. Dalam masalah pemasyarakatan salah satu yang memegang peranan penting adalah petugas lembaga pemasyarakatan itu sendiri, yang harus dapat sebagai pendorong / motor yang mengurus dan mengatur masalah pembinaan narapidana. Dengan tujuan agar proses itu dapat berjalan dan berhasil dengan baik serta bermanfaat bagi semua orang, meskipun pembinaan pemasyarakatan berlangsung secara evolusi atau berlangsung secara tahap demi tahap, guna menghindarkan kegagalan dan akibat lain yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu petugas lembaga pemasyarakatan sehubungan dengan pembimbingan dan pembinaan, harus dibekali oleh kemampuan atau ketrampilan dan pengetahuan tentang strategi / tehknik atau cara-cara pengawasan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan7.

Namun meskipun demikian, masih ada anggapan bahwa dengan dipenjarakannya terpidana dalan lembaga pemasyarakatan, bukannya menjadi baik, akan tetapi semakin jahat, karena berasumsi bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan sekolah kejahatan. Hal ini mungkin terjadinya interaksi dan tukar pengalaman diantara sesama terpidana / narapidana atau karena berkumpulnya pelanggar hukum dengan berbagai karakteristik serta waktu pidana yang dijalankan sangat memungkinkan mereka saling tukar pengalaman tentang / mengenai cara-cara melakukan kejahatan yang lebih canggih8. Asumsi ini memang mendasar dan tidak dapat dipungkiri, oleh karena kenyataannya banyak diantara bekas narapidana yang telah bebas menjalani pidana dan keluar dari lembaga pemasyarakatan, kembali mengulang melakukan perbuatan pidana / kejahatan yang lebih berat dengan berbagai macam alasan, seolah-olah mereka tidak merasa jera melakukan perbuatan pidana / kejahatan, sehingga mereka disebut residivis. Demikian juga dalam berbagai pemberitaan akhir-akhir ini melalui baik media cetak / tulis maupun

6.P.A.F. Lamintang, 1984 : Hukum Penitensier Indonesia,Cet. I, Armico, Bandung, hal. 167-168 7

.Andi Hamzah dan Sti Rahayu, 1983 : Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademi Presindo, Jakarta, hal. 116

8.Petrus Irwan Penjahitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995 : Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistim Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 44

(9)

4 media elektronik, bahwa masih sering terjadi narapidana dapat dengan bebas berada (berkeliaran / jalan-jalan) diluar tembok lembaga pemasyarakatan, tanpa prosedur dan tujuan yang jelas, malah ada yang diantar (seolah-olah dikawal) oleh petugas lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Bahkan tidak jarang narapidana dapat melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan, tanpa diketahui oleh petugas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan , padahal penjagaan petugas di Lembaga Pemasyarakatan demikian ketat dan berlapis-lapis. Sudah tentu hal ini, disamping dapat menimbulkan kepanikan, keresahan, kecemasan atau keonaran dan kejahatan baru, terutama narapidana yang melarikan diri, sehingga ketentraman dan kedamaian / ketenangan masyarakat menjadi terganggu, juga akan menimbulkan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan dikalangan masyarakat luas, seperti mengapa terpidana atau narapidana dapat dengan bebas berada diluar tembok Lembaga Pemasyarakatan atau mengapa terpidana atau narapidana dapat bisa melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan dimana mereka dibimbing, dididik dan dibina untuk nantinya menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna ?.

II. RUMUSAN MASALAH :

1.Apakah yang menjadi tugas dan kewajiban petugas Lembaga Pemasyarakatan?, 2.Siapakah yang bertanggung jawab terhadap narapidana yang berada diluar

lembaga tanpa prosedur dan tujuan yang jelas atau yang melarikan diri ?

3.Dapatkah seorang petugas Lembaga Pemasyarakatan dimintakan pertanggung jawabannya menurut hukum pidana (KUHP) ?

III. TUJUAN / MANFAAT PENELITIAN

Berhubungan dengan penelitian ini tentang Pertanggungjaban Pidana Petugas Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Narapidana, diharapkan natinya dapat bermanfaat secara teoritis dan secara praktis, dimana tujuan atau manfaat adalah :

3.1. Tujuan / manfaat secara Teoritis.

Hasil dari penelitian ini dapat diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan tentang Pertanggungjawaban Pidana Petugas Lembaga Pemasyarakat Terhadap Narapidana, terutama bagi mereka yang memerlukan sebagai bahan refrensi pengetahuan tentang hal ini

(10)

5 3.2. Tujuan / manfaat secara Praktis.

Hasil dari penelitian dapat diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi mereka-mereka yang akan melakukan atau terlibat didunia praktek tentang Pertanggungjawaban Pidana Petugas Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Narapidana

IV. LANDASAN TEORITIS

Pertanggung jawaban pidana merupakan suatu kalimat yang berhubungan dengan perbuatan ( disengaja atau karena kelalaian ) dan kesalahan seseorang didalam melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar hukum. Secara umum pertanggungan jawaban itu merupakan suatu kemampuan seseorang untuk memikul akibat atas sesuatu yang berada dalam penguasaan / kekuasaannya dan tentang apa yang telah diperbuat, sehingga boleh dibenarkan, dipersalahkan atau dituntut9. Hukum pidana tidak memberikan pengertian tentang hal ini, sehingga harus dicarikan dalam doktrin atau

Memorie van Toelichting ( MvT ). Simons mengatakan bawa : “ kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psichis sedemikian rupa, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya “. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa : “ seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yaitu apabila : 1). Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan 2). Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadarannya tersebut. Sedangkan van Hamel mengatakan bahwa : “ kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psichis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 ( tiga ) kemampuan, yaitu : a). mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, b). mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan dan c). mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu10 Leo Polak mengatakan bahwa pidana adalah : “ pidana termasuk juga tindakan bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh

9

.W.J.S. Poerwadarminta, 2007 : Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Edisi III, Cetakan ke-4, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1205

(11)

6 orang yang dikenai “11. Sedangkan Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana adalah : “ reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu “12. Bila dicermati pengertian pidana itu, maka pidana itu mengandung unsur : 1). Pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan, 2). Diberikan dengan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan / oleh orang yang berwenang dan, 3). Dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang13.

Lembaga secara umum adalah sebuah tempat atau institusi untuk mengadakan atau menyelenggarakan suatu kegiatan dalam bidang tertentu, sedangkan pemasyarakatan dalam arti umum adalah : “ memasyarakatkan kembali terpidana, sehingga nantinya menjadi warga yang baik dan berguna, yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu resosialisasi “14. Pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakat ( selanjutnya disingkat UU No. 12/1995 ) adalah “ suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana “. Sedangkan didalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 12/1995 disebutkan bahwa : “ sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan tentang arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat, agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga data diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Pasal 7 ayat (1) UU No.: 12/1995 menyatakan bahwa “ pembinaan dan pembimbingan warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Mentri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan “. Sedangkan petugas pemasyarakatan

11.I Made Widnyana, 2010, ibid, hal. 17

12.Roeslan Saleh, 1978 : Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hal. 5 13

.Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984 : Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 2-4

14.Romli Atmasasmita, 1983 : Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung, hal.

(12)

7 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.: 12/1995 adalah “ merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan “ dan didalam Pasal 7 ayat (2) UU No.: 12/1995 dinyatakan bahwa : “ pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah diangkat dan diberhentikan oleh Mentri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku “. Petugas Lembaga Pemasyarakatan juga memiliki kualifikasi tertentu pendidikan teknis dibidang pemasyarakatan, memiliki tugas khusus dilingkungan Unit Pelaksanaan Teknis Pemasyarakatan dan memenuhi persyaratan lain bagi jabatan fungsional, sebagaimana terlihat didalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No.: 12/1995. Bahkan didalam melaksanakan tugasnya, petugas Lembaga Pemasyarakatan dilengkapi dengan senjata api meskipun penggunaannya diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sarana keamanan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU No.: 12/1995

Narapidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (7) UU No.: 12/1995 adalah : “ terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan “. Dimana narapidana memiliki hak-hak yang diatur dalam Pasal 14 UU No.: 12/1995, seperti hak melakukan ibadah sesuai dengan agama / kepercayaanya, mendapatkan perawatan, baik rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidkkan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, menerima kunjungan keluarga / penasehat hukum atau orang tertentu, mendapatkan pengurangan masa hukuman dsb.nya. Hak-hak ini diberikan berdasarkan rasa kemanusiaan oleh pembentuk undang-undang, agar benar-benar didalam pembinaan dan pembimbingan memperlakukan terpidana atau narapidana secara manusiawi sesuai dengan kodratnya. Disamping itu, dalam hal pembimbingan dan pembinaan bahwa terpidana bukan lagi dianggap sebagai objek, tetapi harus sebagai subjek untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Fungsi hukum pidana adalah : “ mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat, agar tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum “15. Moeljatno dalam bukunya I Made Widnyana mengatakan bahwa Hukum Pidana itu adalah :

15.Adami Chazawi, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(13)

8 “ Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan diserta dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut16.

Hazewinkel-Suringa memberikan suatu pengertian tentang hukum pidana yang agak lebih luas yang meliputi :

1. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya telah ditentukan ancaman sanksi terlebih dahulu telah ditetapkan oleh lembaga negara yang berwenang. 2. Aturan-aturang yang menentukan bagaimana atau dengan alat apa negara dapat

memberikan reaksi pada mereka yang melanggar aturan-aturan tersebut.

3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan tersebut pada waktu tertentu dan wilayah negara tertentu17.

Sedangkan D. Simons mengatakan bahwa hukum pidana itu adalah :

“ keseluruhan perintah dan larangan, yang pelanggarannya diancam dengan suatu nestapa berupa pidana oleh negara atau suatu masyarakat hukum publik lain, keseluruhan peraturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan keseluruhan ketentuan untuk mengenakan dan menjalankan pidana tersebut “18

V. METODE PENELITIAN 5.1. Jenis Penelitian

Didalam penelitian yang akan digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, oleh karena dilihat dari sudut karakter objeknya mengkhusus pada aturan-aturan hukum positif tertentu dan tidak terbatas pada norma-norma hukum, akan tetapi juga pada asas-asas hukum dan pedoman-pedoman yang

16.I Made Widnyana, 2010, op.cit, hal. 11 17

.Andi Zainal Abidin, 1987 : Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 1

18.Frans Maramis, 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,

(14)

9 berlaku19. Didalam penelitian hukum normatif untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi tentang apa yang seharusnya diperlukan sebagai sumber penelitian, yang menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder20.

5.2. Jenis Pendekatan

Didalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan, untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek tentang isu yang sedang diteliti atau sedang dicari jawabannya. Ada beberapa jenis pendekatan seperti : Pendekatan Undang-Undang ( Statuta Approach ), Pendekatan Kasus ( Case

Approach ), Pendekatan Historis / Sejarah ( Historical Approach ), Pendekatan Komperatif / Perbandingan ( Comperative Approach ). Jenis pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Pendekatan Undang-Undang ( Statuta Approach ) dan Pendekatan Kasus ( Case

Approach ), yang dilakukan dengan menelaah beberapa undang-undang dan kasus yang terjadi serta pedoman yang berhubungan dengan penelitian ini. Disamping itu, juga menggunakan Pendekatan Konseptual, yang merupakan suatu kerangka teoritis dan konseptual seperti kajian-kajian terhadap teori-teori, difinisi-difinisi tertentu yang akan digunakan sebagai landasan operasional dalam melaksanakan penelitian21.

5.3. Sumber Bahan Hukum

Sebagai suatu penelitian yang bersifat normatif, maka sumber-sumber bahan-bahan hukum yang digunakan adalah :

1.Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat atau bahan hukum yang bersifat autoritatif, seperti Undang-Undang Nomor

19.Jan Gijseis dan Mark Van Hocke, 2000 : Apa Teori Hukum Itu, terjemahan B. Arief Sidharta,

Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 199-210

20

.Peter Mahmud Marzuki, 2008 : Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 141

(15)

10 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemsayarakatan dan aturan lainnya yang memiliki relevansi dalam penelitian ini, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

2.Sumber bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan kelengkapan / kejelasan kepada bahan hukum primer, seperti bahan ytang relevan dengan objek penelitian ini, hasil penelitian, artikel / makalah atau pedoman-pedoman / petunjuk-petunjuk atau konsep-konsep pelaksanaan yang menunjang penelitian ini.

3.Sumber bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjak, meliputi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia atau ensiklopedia

5.4. Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dilakukan dengan cara menginventaris, mempelajari dan mendalami peraturan perundang-undangan dibidang lembaga pemasyarakatan dan KUHP serta aturan lainnya. Sedangkan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan mempergunakan sistem kartu yang akan mencatat satu objek / topik, seperti mencatat sumber, nama penulis, tahun terbitan, judul, penerbit, dimana diterbitkan dan halaman yang akan dikutip untuk memudahkan mengambil pada saat diperlukan.

5.5. Teknik Analisa Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum dikumpulkan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi interpretasi, sistimatisasi evaluasi dan argumentasi22.

22.Anonim, 2003 : Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, Program

(16)

11 VI. PEMBAHASAN DAN HASIL.

6.1. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu tempat untuk melakukan atau melaksanakan pembinaan dan bimbingan serta mendidik para narapidana atau berdasarkan vonis pengadilan terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan ditempatkan di lembaga tersebut. Sistim pemasyarakatan itu merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan dan bimbingan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang dilaksanakan terprogram dan terpadu serta berkelanjutan. Dengan maksud dan tujuan agar narapidana / terpidana menyadari kesalahannya dan untuk diperbaiki tingkal lakunya serta tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum atau undang-undang yang berlaku. Sehingga nantinya dapat diharapkan diterima kembali dan dapat berperan aktif serta memiliki rasa tanggung jawab dalam segala aktifitas kehidupannya didalam pergaulan masyarakat.. Hal ini juga ditegaskan didalam Pasal 1 ayat (1) UU No.12/1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistim, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistim pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) U.U.No. 12/1995 menyatakan bahwa : sistim pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Didalam Pasal 2 UU No. 12/1995 dinyatakan bahwa sistim pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana,sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sedangkan dalam Pasal 3 U.U.No. 12/1995 disebutkan bahwa sistim pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai

(17)

12 anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Didalam Pasal 7 (1) U.U.No. 12/1995 menyatakan bahwa pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan diselenggarakan oleh Mentri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan dan Pasal 7 ( 2) menyatakan bahwa ketentuan mengenai pembinaan warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Didalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No.: 12/1995 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ petugas pemasyarakatan “ adalah pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Sedangkan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU No.: 12/1995 dinyatakan bahwa “ pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan meliptui program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan kemandirian. Dimana kegiatan pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak, agar warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab trerhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan ketrampilan, agar warga binaan pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan pembinaan dan pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan ini, para petugas atau pegawai atau yang berwenang didalam lembaga pemasyarakatan agar mewujudkan ketentuan Pasal 9 UU No.: 12/1995 untuk mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan atau perorangan yang memiliki tujuan sama / selaras dengan sistem pemasyarakatan. Dalam hal ini, petugas atau pegawai atau yang berwenang dilembaga pemasyarakatan memiliki tugas dan kewajiban untuk melakukan kerjasama dengan instansi terkait, seperti Departemen Agama, Pendidikan, Pertanian, Sosial, Kesehatan Tenaga Kerja, Perindustrian, para Psikolog, Dokter atau Pengusaha dsb. Kerjasama ini dilakukan dalam meningkatkan kemampuan warga binaan pemasyarakatan dibidang bakat dan ketrampilan, kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kesadaran hukum, meningkatkan ilmu dan pengetahuan dsb.nya

(18)

13 Didalam hal mengawasi, membawa, mengangkut / mengantar terpidana untuk tujuan suatu proses pemeriksaan lanjutan atau mengawal orang-orang tahanan / narapidana, merupakan suatu tugas yang dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan. Terutama tugas ini dilakukan oleh petugas bagian keamanan atau penjaga keamanan berdasarkan ketentuan perundang-undang yang berlaku, yang dilengkapi dengan senjata api serta dilengkapi dengan sarana dan prasarana lain sesuai dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti pakaian dinas dan atribut kedinasan lainnya (Pasal 48 dan Pasal 49 U.U.No. 12/1995). Dalam melaksanakan tugas ini dapat meminta bantuan pihak kepolisian, dimana para petugas itu juga harus dibekali cara dan pengetahuan serta strategi yang baik, dengan maksud dan tujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, oleh karena sedikit saja petugas itu lengah atau lalai, maka kesempatan itu akan dipergunakan oleh narapidana / terpidana melakukan suatu perbuatan untuk melarikan diri misalnya23.\

Didalam Pasal 8 U.U.No.: 12/1995 mengatur tentang :

1. Petugas pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (1) merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.

2. Pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat dan diberhentikan oleh Mentri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan Pasal 8 (1) U.U. tersebut diatas dikatakan bahwa pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistim pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice

system). Dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistim, kelembagaan, cara pembinaan dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang yang tidak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakkan hukum. Sedangkan penjelasan Pasal 8 (2) U.U. tersebut diatas, yang dimaksud dengan pejabat fungsional adalah petugas pemasyarakatan

23.M. Kariadi, 1976 : Pembawaan, Pengangkutan, Pengawalan Orang-Orang Tangkapan, Tahanan dan Narapidana, Politia, Bogor, hal. 1

(19)

14 yang diangkat dan diberhentikan oleh Mentri yang memenuhi persyaratan , antara lain :

1).mempunyai latar belakang pendidikan teknis dibidang pemasyarakatan,

2).melakukan tugas yang bersifat khusus dilingkungan unit teknis pemasyarakatan,

3).memenuhi syarat lain bagi jabatan fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Didalam menyelenggarakan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Mentri berwenang dalam hal mengadakan kerjasama dengan instansi terkait (Departemen Agama, Departemen Pendidikan atau Kebudayaan, Departemen Kesehatan, Dep. Sosial, Departemen Tenaga Kerja dsb) atau badan-badan kemasyarakatan lainnya ( Yayasan, Koperasi atau Lembaga Sosial Masyarakat/LSM) atau perorangan ( Dokter, Psikolog dan Pengusaha ), yang kegiatannya seiring dalam menyelenggarakan sistim pemasyarakatan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 9 (1) U.U.No.: 12/1995. Dengan demikian pemasyarakatan dapat disamakan dengan resosialisasi atau rehabilitasi, dengan prinsip untuk memulihkan kesatuan hubungan hidup manusia seutuhnya dan secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat. Dimana sistim pemasyarakatan memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat dengan mengadakan pembinaan dan bimbingan terhadap narapidana dan mengembalikan kesatuan hidup dari narapidana24.

Didalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor : DP.3.3/18/14/1974, tertanggal 31 Desember 1974 ( Selanjutnya disebut SK Dirjen Bina Warga No.: DP.3.3/18/14/1974 ) tentang Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan, terlihat dalam Bab II Pasal 6 huruf (a), disebutkan bahwa petugas pemasyarakatan bertugas antara lain menjaga supaya jangan terjadi pelarian bagi narapidana. Pasal 18 huruf (c) S.K.Dirjen tersebut diatas antara lain menyatakan petugas jaga menjaga agar jangan ada penghuni Lembaga Pemasyarakatan keluar dari lembaga pemasyarakatan dengan tidak syah. Didalam melaksanakan tugas jaga dibagi beberapa pos penjagaan sebagaimana diatur dalam pasal 19 huruf (a) S.K.Dirjen tersebut diatas, yang bertugas antara lain menjaga agar tidak ada penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang melarikan diri lewat tembok keliling pemasyarakatan secara tidak syah. Pasal 20 huruf (c) angka 6

(20)

15 petugas jaga berwenang mencegah adanya pembicaraan yang membahayakan keamanan dan tata tertib dalam lembaga.

6.2. Sebagaimana kita lihat atau dengar dan diketahui bersama dikalangan masyarakat luas, beberapa tahun belakangan ini atau akhir-akhir ini baik pemberitaan itu melalui media massa cetak maupun elektronik, banyak narapidana pada suatu lembaga pemasyarakatan yang diketahui / diketemukan / dilihat berkeliaran / berada diluar tembok lembaga tanpa izin resmi dan untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak jelas. Bahkan banyak ada narapidana yang dapat melarikan diri dari lembaga, tanpa diketahui oleh petugas jaga / petugas lainnya yang ada di Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Sehingga hal ini banyak mengundang dan menimbulkan teriakkan atau cemohan dari masyarakat luas, terhadap mekanisme / sistim kerja dalam lembaga tersebut, yang disinyalir / diduga adanya permainan antara pihak-pihak (perorangan atau yang berwenang) diluar lembaga dan petugas lembaga dengan narapidana itu sendiri, seperti pemberian hadiah atau adanya hubungan istimewa antara petugas dengan narapidana.

Bila kita lihat S.K.Dirjen tersebut diatas, Kepala / Pimpinan atau Direktur Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab secara langsung terhadap keamanan dan tata tertib dalam lembaga tersebut (Pasal 1 a). Tetapi bila terjadi pelimpahan wewenang dan tugas, maka yang bertanggung jawab penuh terhadap lembaga pemasyarakatan adalah mereka yang memiliki pangkat tertinggi sesuai dengan isi Pasal 5 S.K.Dirjen tersebut diatas. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 46 dan pasal 47 U.U.No.: 12/1995 yang menyatakan bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya, bahkan Kepala lembaga pemasyarakatan berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban dilingkungan lembaga pemasyarakatan tersebut. Dalam hubungan dengan tanggung jawab, petugas pintu gerbang / portir yang berwenang membuka dan menutup pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan , juga dapat dimintakan pertanggung jawabannya bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, oleh karena hanya petugas itu yang memiliki kewenangan membuka dan menutup pintu gerbang lembaga, hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 18 huruf (a) S.K.Dirjen tersebut diatas.

(21)

16 Didalam S.K.Dirjen tersebut diatas dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban, Kepala LKembaga Pemasyarakatan dibantu oleh Kepala Keamanan dan Ketertiban (Pasal 1 huruf b), sedangkan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh regu-regu penjagaan (Pasal 1 huruf c), dimana regu penjagaan dipimpin oleh seorang komandan jaga (Pasal 2 huruf a), yang semuanya dapat dimintai pertanggung jawabannya terhadap narapidana yang keluar dari lembaga pemasyarakat untuk tujuan yang tidak jelas dan tanpa melalui prosedur yang syah, apalagi bagi narapidana yang dapat melarikan diri. Dengan demikian, pegawai / petugas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan juga merupakan pegawai negeri sipil. Dimana pegawai negeri yang ada di lembaga pemasyarakatan, memiliki bidang tugas dan kewajiban yang lebih berat dan penuh resiko, karena bertugas dan berkewajiban menjaga, mengawasi, membina dan membimbing berbagai macam sifat dan watak manusia (orang-orang / narapidana) yang melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang jera, sadar, insyaf, baik dan tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan serta berguna diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

6.3. Meskipun para petugas termasuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan, telah dididik, dibina, diberi ketrampilan dan pengetahuan teknis dibidang pemasyarakatan, bahkan diberikan atau dibekali senjata api dan sarana keamanan lainnya, namun kenyataannya banyak para narapidana dapat berada / berkeliaran dan melarikan diri dari lembaga pemasyarakatan. Sudah tentu hal ini mengundang teriakkan dan cemohan yang negatif terhadap mekanisme kerja suatu Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga masyarakat luas dari berbagai golongan, meminta dan mengharapkan pertanggung jawaban dan penjatuhan sanksi terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan, tidak saja terbatas pada segi substansi dan administrasi dari ketentuan perundang-undangan tentang sanksi dan disiplin pegawai negeri sipil yang berlaku. Hendaknya juga diproses berdasarkan ketentuan hukum lain, yang memiliki sanksi lebih tajam dan keras, terutama yang memiliki sanksi pidana badan, yang dapat menghilangkan kemerdekaan bergerak untuk sementara waktu bagi petugas-petugas, termasuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang terbukti terlibat dalam masalah

Terkait dengan hal tersebut diatas, perbuatan para petugas termasuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan, ternyata terlihat dan dapat dihubungkan dengan hukum pidana

(22)

17 (KUHP) yang berlaku secara nasional, sebagai dasar untuk menuntut dan menjatuhkan pidana bagi para petugas lembaga pemasyarakatan itu. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 223 KUHP yang menyatakan bahwa :

“ Barangsiapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum atau karena keputusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan “25

Kalimat “ barangsiapa “ dalam rumusan pasal ini berarti setiap orang atau siapa saja yang berada ditempat dimana orang itu ditahan (terpidana / narapidana), termasuk para petugas lembaga dan Kepala Lembaga Pemasyarakat. Sedangkan kalimat “ dengan sengaja “ mencerminkan perbuatan itu sudah memiliki / mempunyai niat, maksud dan tujuan tertentu atau mengetahui dan menghendaki perbuatan itu terjadi. Dengan demikian rumusan Pasal 223 KUHP tersebut, nampak adanya dua (2) bentuk kejahatan yaitu melepaskan orang yang sedang ditahan dan membantu orang yang sedang melepaskan diri dari penahanan. Padahal penahanan orang itu karena adanya perintah penguasa / kekuasaan umum ( Polisi atau Jaksa Penuntut Umum), atau karena keputusan atau ketetapan hakim yang berarti vonis pengadilan. Kedua perbuatan tersebut juga dibedakan berdasarkan insiatif, jika perbuatan itu datangnya orang yang sedang ditahan, maka disitu ada perbuatan melepaskan diri dan orang lain hanya memberikan bantuan untuk lari / berada diluar lembaga tanpa izin resmi / syah. Apabila perbuatan datangnya dari orang lain, maka perbuatan orang lain itu merupakan perbuatan melepaskan orang (orang yang ditahan). Dimana melepaskan diri itu baru terlaksana, setelah orang yang ditahan itu terlepas dari pengawasan atau berada diluar gedung / bangunan, yang dalam hal ini adalah lembaga pemasyarakatan. Orang yang ditahan disini adalah orang yang telah dijatuhi pidana atas suatu perbuatan pidana oleh suatu kekuasaan umum atau adanya ketetapkan / keputusan (Pengadilan). Demikian pula perbuatan dalam melepaskan / menolong orang yang ditahan, merupakan suatu perbuatan yang disengaja, itu berarti lepasnya orang yang ditahan itu sehingga berada diluar Lembaga Pemasyarakatan, memang diketahui dan dikehendaki oleh orang yang melepaskan atau membantu

25.Moeljatno, 2008 : KUHP – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 27, Bumi Aksara,

(23)

18 melepaskan tahanan itu, hal ini sesuai dengan pengertian kesengajaan dalam hukum pidana26.

Kata dengan sengaja dalam rumusan pasal ini mencakupi / meliputi unsur-unsur lainnya yang mengikutinya. Meloloskan / melepaskan seorang tahanan yang resmi bukan atas perintah penguasa yang syah / berwenang tanpa atau tanpa didasari ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaannya adalah sudah sudah jelas, bahwa tindakan tersebut adalah suatu tindakan yang bersifat melawan hukum. Meloloskan / melepaskan berarti orang yang ditahan itu tidak lagi berada ditempat yang ditentukan baginya ( orang yang ditahan ) dan tidak lagi berada dibawah pengawasan berwenang27.

Dengan melihat kalimat melepaskan atau memberikan pertolongan dalam rumusan pasal tersebut diatas, menurut hemat peneliti juga dapat diartikan sebagai orang yang memiliki maksud / niat atau tujuan tertentu dan turut membantu atau memberikan kesempatan dan dilakukan dengan kesengajaan atau karena kelalian, agar terpidana atau narapidana dapat melarikan diri dari dalam Lembaga Pemasyarakatan. Terpidana atau narapidana yang melarikan diri itu sudah tergolong perbuatan melanggar hukum, karena terpidana atau narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan akibat melakukan suatu kejahatan, sehingga divonis pengadilan untuk beberapa tahun agar dibina dan dibimbing di Lembaga Pemasyarakatan sebagai akibat perbuatannya. Kalimat turut membantu dan dilakukan dengan sengaja sangat erat hubungannya dengan ketentuan Pasal 56 KUHP, yang menyatakan bahwa : “ Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. mereka yang sengaja memberikan batuan pada waktu kejahatan dilakukan 2. mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan “28

Sedangkan jika kita lihat rumusan Pasal 426 KUHP, yang menyatakan :

1. Seorang pejabat yang ditugasi menjaga orang yang dirampas kemerdekaannya atas perintah penguasa umum atau atas putusan atau ketetapan pengadilan, dengan sengaja membiarkan orang itu melarikan diri atau dengan sengaja melepaskannya atau memberi pertolongan

26.H.A.K. Moch. Anwar, 1981 : Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP buku II ), Alumni,

Bandung, hal. 36

27

.S.R. Sianturi, 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Cet. Pertama, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, hal. 103-104

28.Soenarto Soerodibroto, 2016 : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 55

(24)

19 pada waktu dilepas atau melepaskan diri, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Jika larinya, dilepasnya atau melepaskan dirinya orang itu terjadi karena kealpaannya, maka diancam dengan kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah29.

Kalimat “ seorang pejabat “ disini mulai dari pengangkatan sampai dengan penempatan seorang pejabat sudah tentu memiliki kualifkasi atau syarat-syarat tertentu berdasarkan undang-undang yang berlaku ( Undang-Undang Kepegawaian, baik bersifat khusus maupun umum ). Hal ini juga mencerminkan bahwa seorang pejabat adalah merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditempatkan dan ditugaskan di Lembaga Pemasyarakatan. Unsur kesengajaan subjek hanya terbatas kepada tindakannya, apakah seseorang itu dirampas kemerdekaannya oleh penguasa umum atau atas putusan / ketetapan pengadilan tidak harus diketahuinya. Tindakan yang dilarang dalam pasal ini adalah :

a. Membiarkan orang ( yang dirampas kemerdekaannya ) itu melarikan diri. b. Melepaskan orang itu

c. Memberi bantuan ketika orang itu dilepaskan orang lain

d. Memberi bantuan ketika orang itu ( berusaha ) melepaskan diri30.

Apabila dicermati rumusan kalimat “ sengaja membiarkan orang itu melarikan diri atau dengan sengaja melepaskan atau memberikan pertolongan pada waktu dilepas atau melepaskan diri dari “ pasal tersebut diatas, menurut hemat peneliti, sudah dapat dikatakan bahwa seorang pejabat itu kemungkinan sudah memiliki niat, maksud atau tujuan dan turut serta dalam timbulnya suatu kejahatan, yaitu membiarkan / melepaskan atau memberikan bantuan kepada orang yang dirampas kemerdekaannya untuk melarikan diri ( apakah sebagai yang menyuruh, yang menganjurkan, yang membantu dsbnya.) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Dimana Pasal 55 KUHP menyatakan :

(1).Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

1.mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan

2.mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman,

29.Moeljatno, 2008, op.cit, hal. 151 30.S.R. Sianturi, 1983, op.cit, hal. 186-187

(25)

20 penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan

(2).Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya31

Pengertian yang terdapat dalam Pasal 426 KUHP adalah bahwa seorang pejabat yang sebenarnya harus menjaga orang yang ditahan / dirampas kemerdekaannya atas suatu perintah keputusan penguasa umum atau ketetapan / keputusan pengadilan, ternyata sengaja membiarkan / melepaskan / membantu orang yang ditahan itu untuk berada diluar pengawasannya atau melarikan diri / berada diluar tempat(Lembaga Pemasyarakatan), yang dalam ayat 1 ancaman pidananya lebih berat daripada Pasal 223 KUHP. Sedangkan dalam ayat 2 Pasal 426 KUHP ancaman pidananya jauh lebih ringan, oleh karena perbuatan itu dilakukan disebabkan kelapaan / kelalaian atau kerana kelengahan para pejabat itu didalam menjaga orang yang dirampas kemerdekaannya / ditahan. Berbicara masalah pejabat dalam hubungannya dengan Pasal 426 KUHP ini adalah pejabat dalam status sama dengan pegawai negeri sipil, yang diangkat, diberhentikan atau ditempatkan oleh yang berwenang untuk itu sesuai dengan kebutuhan dan keahlian / kemampuan pejabat pegawai negeri sipil tersebut. Bahkan pejabat pegawai negeri sipil yang ditugaskan atau ditempatkan di lembaga pemasyarakatan itu, telah melalui pembinaan dan pendidikan ketrampilan / kemampuan khusus, karena memiliki tanggung jawab yang lebih berat dan besar daripada pejabat pegawai negeri sipil lainnya yang ditempatkan pada dinas / instansi diluar Lembaga Pemasyarakatan.. Dengan demikian pejabat pegawai negeri sipil itu sebenarnya memiliki wewenang dan tugas / kewajiban menjaga orang yang ditahan (narapidana). Melihat para orang yang ditahan (narapidana) itu berada diluar lembaga tanpa prosedur syah / resmi, apalagi sampai dapat melarikan diri dari pengawasan dan penjagaan, maka dapat diasumsikan bahwa pejabat pegawai negeri sipil itu memang mengetahui dan menghendaki serta memiliki tujuan-tujuan tertentu terhadap orang-orang (narapidana) yang ditahan berada atau melarikan diri dari lembaga pemasyarakatan. Demikian juga sebenarnya pejabat pegawai negeri sipil itu mengetahui bahwa perbuatan melepaskan / membiarkan / menolong atau membantu adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum / undang-undang yang berlaku (baik yang berlaku

(26)

21 khusus maupun umum), hal ini tercermin dalam rumusan pasal bahwa perbuatan itu dilakukan dengan sengaja dalam Pasal 426 ayat 1 KUHP32.

Ternyata tindak pidana / perbuatan pidana dalam kedua pasal itu memiliki unsur-unsur yang hampir sama, hanya perbedaannya terlihat / terletak dari status orang yang membiarkan / melepaskan / membantu atau menolong saja. Dimana dalam rumusan Pasal 223 KUHP dapat dilakukan oleh siapa saja atau oleh setiap orang, sedang dalam Pasal 426 KUHP dilakukan oleh seorang pejabat pegawai negeri sipil yang justru ditugaskan oleh suatu ketentuan perundang-undangan untuk menjaga dan mengawasi orang yang ditahan (narapidana) itu, maka sudah selayak dan sepantasnya pidana yang akan diterima ancamannya lebih berat yaitu empat tahun pidana penjara daripada Pasal 223 KUHP33.

VII. Penutup.

7.1. Kesimpulan.

Berdasarkan pemaparan atau uraian singkat tersebut diatas,maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Adapun yang menjadi tugas dan kewajiban petugas Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 9 UU No.: 12/1995 serta Pasal 6 huruf (a), Pasal 18 huruf (c), Pasal 19 huruf (a) dan Pasal 20 huruf (c) angka 6 SK Dirjen Bina Warga No.: DP.3.3/18/14/1974

2. Yang bertanggung jawab bila ada narapidana yang berada diluar Lembaga Pemasyarakatan tanpa izin resmi / syah, apalagi sampai dapat melarikan diri, sesuai dengan Pasal 1 huruf (a,b,c), Pasal 2 huruf (a), Pasal 5, Pasal 6 huruf (a), Pasal 18 huruf (a), Pasal 19 huruf (a), Pasal 21 huruf (a dan d) S.K.Dirjen Bina Tuna Warga DP.3.3.18/14/1974, serta Pasal 46 dan Pasal 47 U.U.No.: 12/1995.

3. Terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan perbuatan tidak sesuai dengan tugas dan kewajibannya, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak, yang menyebabkan orang tahanan / narapidana berada diluar

32

.H.A.K. Moch. Anwar, 1981, ibid, hal. 68-69

33.Wirjono Prodjodikoro, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Jakarta, hal.

(27)

22 Lembaga Pemasyarakatan tanpa prosedur resmi / syah dan tujuan yang jelas, apalagi sampai dapat melarikan diri, maka dapat dimintakan pertanggung jawaban pidananya sesuai dengan ketentuan Pasal 55 KUHP, Pasal 56 KUHP dan 426 KUHP

7.2. Saran.

1. Adakan suatu lembaga pengawas dari pihak terkait dalam pembinaan, pembimbingan dan pendidikan terhadap narapidana, secara terpadu, terprogram, berkelanjutan atau berkesinambungan.

2. Tingkatkan sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta menambah jumlah petugas lembaga pemasyarakatan, yang terkait dengan pelaksanaan pembinaan, pengawasan, pembimbingan dan pendidikan bagi petugas pemasyarakatan

3. Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, terhadap pertanggung jawaban para petugas lembaga pemasyarakatan, terutama didalam pengenaan atau penjatuhan sanksi akibat perbuatan, hendaknya jangan hanya mengacu pada undang-undang yang hanya memiliki sanksi substansi dan administrasi saja, tetapi mengacu pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang memiliki sanksi lebih tajam dan keras, baik pidana badan maupun pidana denda. Juga mengadakan kerjasama antar instansi penegak lainnya, terutama dalam pengawasan dan pengawalan narapidana untuk suatu tujuan tertentu keluar dari lembaga pemasyarakatan.

(28)

Daftar Bacaan.

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1982 : Suatu Tinjauan Ringkas Sistim Pemidanaan di

Indonesia, Akademi Presindo-Jakarta

Adami Chazawi, 2002 : Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Andi Zainal Abidin, 1987 : Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Penerbit Alumni, Bandung

B. Bosu, 1982 : Sendi-Sendi Kriminologi, Usaha National-Surabaya

Bambang Waluyo, 1991 : Penelitian Hukum dan Pratik, Sinar Grafindo, Cet. I, Jakarta

Frans Maramis, 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

H.A.K. Moch. Anwar, 1981 : Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II), Alumni-Bandung.

Hari Saherodji, 1980 :Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara Baru-Jakarta

I Made Widnyana, 2010 : Asas-Asas Hukum Pidana, PT Fikahati Aneska, Jakarta Jan Gijseis dan Mark Van Hocke, 2000 : Apa Teori Hukum Itu, terjemahan B. Arief

Sidharta, Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan, Bandung M.Kariadi, 1976 : Pembawaan,Pengangkutan,Pengawalan Orang-Orang

Tangkapan,Tahanan dan Narapidana, Politia-Bogor

Moeljatno, 2008 : KUHP- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet.27, Bumi Aksara, Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984 : Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung

P.A.F. Lamintang, 1984 : Hukum Penitensier Indonesia, Cet. I, Armico-Bandung Petrus Irwan Panjahitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995 : Lembaga

Pemsyarakatan Dalam Perspektif Sistim Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan-Jakarta

(29)

Peter Mahmud Marzuki, 2008 : Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Roeslan Saleh, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Aksara Baru-Jakarta

---, 1978 : Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta

Romli Atmasasmita, 1983 : Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung

Soenarto Soerodibroto, 2016 : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi

Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Soedarto, 1982 : Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni-Bandung

Soedjono Dirdjosiswono, 1984 : Sejarah dan Azas-Azas Penologi, Armico-Bandung S.R. Siaturi, 1983 : Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Cet. Pertama,

Alumni AHM – PTHM, Jakarta

Wirjono Prodjodikoro, 1979 : Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia, Eresco-Jakarta-Bandung

---, 1986 : Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Erseco-Bandung.

W.A. Bonger, 1982 : Pengantar Tentang Kriminologi, Pembangunan Ghalia-Indonesia

W.J.S. Purwadarminto, 2007 : Kamus Umum Bahasa Indonesia, Depatemen Pendidikan Nasional, Edisi III, Cetakan ke-4, Balai Pustaka, Jakarta Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Surat Keputusan Dirjen Bina Tuna Warga No.: DP.3.3/18/14/1974 tentang Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan.

Anonim. 2003 : Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

(30)

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERHADAP NARAPIDANA

Oleh

ANAK AGUNG NGURAH WIRASILA, SH.MH

PENELITIAN INI MERUPAKAN PENELITIAN MANDIRI DENGAN BEAYA MANDARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

(31)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya panjatkan atas asung wara nugraha kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, dapatlah saya selesaikan laporan penelitian ini yang berjudul “ PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKAT TERHADAP NARAPIDANA “ . Dengan selesainya laporan penelitian ini adalah berkat segala daya dan usaha yang peneliti miliki, meskipun hasil yang disajikan dirasakan masih jauh dari harapan dan kesempurnaan bagi semua pembaca, apalagi diukur dan dikaji dari kadar keilmiahannya, oleh karena keterbatasan dan kekurangan kemampuan saya sebagai seorang peneliti. Namun setidak-tidaknya saya dapat memberikan suatu informasi kepada semua pembaca atau yang memerlukan pengetahuan tentang “ Pertanggungjawaban Pidana Petugas Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Narapidana “.

Bagi saya, penelitian ini sangat dirasakan manfaatnya dalam pengembangan ilmu ( hukum ) itu sendiri dan merupakan pelaksanaan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sebagai akhir kata, saya peneliti melalui laporan penelitian ini, mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengadakan penelitian

2. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.MH, selaku Ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan petunjuk dan arahan dalam penelitian ini

3. Kepada semua dosen, terutama Bagian Hukum Pidana Universitas Udayana dan semua pihak yang telah membantu serta memberikan masukan dalam laporan penelitian ini

Dengan selesainya penyusuan laporan penelitian ini, dengan segala kerendahan hati dan kekurangan-kekurangan yang saya miliki, sangat mengharapkan bagi semua pihak terutama yang bergerak dibidang ilmu hukum, untuk dapat memberikan kritik dan saran dalam penyempurnaan karya tulis lebih lanjut

(32)

Daftar Isi

Judul dan Cover Penelitian... Kata Pengantar... Halaman Pengesyahan Usulan Penelitian Mandiri...

I. Pendahuluan... 1

II. Rumusan Masalah... 4

III. Tujuan Penelitian... 4

IV. Landasan Teoritis... 5

V. Metode Penelitian... 8

VI. Hasil dan Pembahasan... 11

VII. Penutup... 21 7.1. Kesimpulan... 21 7.2. Saran... 22 Daftar Pustaka .

(33)

Referensi

Dokumen terkait

Kedudukan dan fungsi Pancasila jika dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara

peserta belajar belajar kapan saja, dimana saja dengan menggunakan berbagai konten (bahan belajar) yang dirancang khusus untuk belajar mandiri baik

Sehubungan dengan pengadaan Jasa Konsultansi paket Pengawasan Pengaspalan Jalan Ruas Potoro - Amasara (Tahun Jamak) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kab. Konawe Selatan,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fitoremediasi Kromium dengan tanaman Vetiveria zizanioides pada sirkulasi sistem vertikal memiliki tingkat

Rather, the fatwa which was aimed at strengthening the previous fatwa issued in 1980 was supported by the decision of the Organization of Islamic Conference on the deviating

Hasil belajar siswa Kelas V SDN Sunia II Kecamatan Banjaran pada kompetensi dasar tentang Mengartikan QS Al Lahab dan Al Kafirun dapat mengalami peningkatan yang cukup

Untuk setiap pekerjaan, gambar kerja, spesifikasi, dan perhitungan struktur harus diserahkan kepada yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan. Perhitungan harus berdasarkan

Pengaruh Efikasi Diri dan Pengetahuan Kewirausahaan Terhadap Minat Berwirausaha pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis USU..