• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIDIABETIK TUNGGAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIDIABETIK TUNGGAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA

PENGGUNAAN ANTIDIABETIK TUNGGAL

PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN

DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008

SKRIPSI

Oleh:

NOVITA AYU MURNININGDYAH

K 100 050 166

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam dasawarsa terakhir, biaya pelayanan kesehatan dirasakan semakin meningkat sebagai akibat dari berbagai faktor, yaitu perubahan pola penyakit dan pola pengobatan, peningkatan penggunaan teknologi canggih, peningkatan permintaan masyarakat dan perubahan ekonomi global. Masalah biaya kesehatan (rumah sakit, dokter, obat, dan lain-lain) sejak beberapa tahun terakhir telah banyak menarik perhatian, tidak saja di kalangan dunia kesehatan tetapi juga di luar kalangan dunia kesehatan. Sementara itu sesuai dengan kebijakan pemerintah, tenaga kesehatan diharapkan dapat lebih mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dalam menjawab berbagai tantangan tersebut diperlukan pemikiran–pemikiran khusus dalam meningkatkan efisiensi atau penggunaan dana secara lebih rasional (Mustafidah, 2006). Biaya pelayanan kesehatan khususnya biaya obat telah meningkat tajam dalam beberapa dekade terakhir dan kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena populasi pasien usia lanjut yang terus meningkat dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang lebih mahal, dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain sumber daya yang dapat digunakan terbatas, sehingga harus dicari cara agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Perkembangan farmakoepidemiologi saat ini tidak hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal khasiat (efficacy) dan keamanan

(3)

(safety) saja, tetapi juga menganalisis dari segi ekonominya. Studi khusus yang mempelajari hal tersebut dikenal dengan nama farmakoekonomi (Trisna, 2007). Analisis cost-effectiveness sebagai salah satu metode dalam studi farmakoekonomi merupakan suatu penelitian untuk menemukan cara dalam meningkatkan efisiensi dan memobilisasi sumber dana dan dapat dipergunakan untuk membantu mengembangkan pemikiran-pemikiran khusus tanpa mengabaikan aspek-aspek sosial dari sektor kesehatan itu sendiri (Sulastomo, 2003).

Penderita diabetes melitus ditemukan diseluruh dunia dalam jumlah yang berbeda–beda di setiap negara. Di beberapa negara, misalnya Scandinavia, suku Indian Pumma dan Filipina bagian selatan dijumpai penderita diabetes melitus cukup banyak atau angka kekerapan penderita diabetes melitus di negara – negara tersebut cukup tinggi, antara 18% - 35% dari jumlah penduduk (Santoso, 2008). Di Indonesia jumlah penderita diabetes melitus minimal 2,5 juta pada tahun 1994, tahun 2000 menjadi empat juta dan pada tahun 2010 diperkirakan minimal terdapat lima juta penderita (Andayani dan Setiawan, 2007). Kasus diabetes melitus di Rumah Sakit Umum Pandan Arang sangat banyak, yaitu lebih dari 3000 kasus per tahun, baik rawat inap dan rawat jalan. Berdasarkan data dari rekam medik, saat ini diabetes melitus menduduki peringkat ke-7 dari 10 penyakit terbesar baik rawat inap maupun rawat jalan RSU Pandan Arang (Anonim, 2007).

Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan kenaikan kadar gula darah terus–menerus yang bersifat menahun karena abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan dapat menyebabkan

(4)

komplikasi akut dan kronik. Selain itu disebabkan karena kekurangan hormon insulin, baik secara relatif maupun absolut di dalam tubuh (Santoso, 2008).

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan intervensi obat-obatan seumur hidup terutama untuk mengelola penyakit dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Meskipun usaha untuk mengontrol hiperglikemia merupakan hal yang penting, tetapi tujuan utama manajemen pasien diabetes melitus adalah mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi dan memperbaiki harapan hidup serta kualitas hidup pasien (Dipiro et al., 2000).

Dalam program pencegahan diabetes di Amerika, strategi terapi diabetes melitus yang efektif adalah modifikasi gaya hidup dan antidiabetik oral. Perubahan gaya hidup menjadi pilihan pertama dalam pencegahan DM tipe 2. Walaupun antidiabetik oral dapat mencegah DM, namun efeknya tidak sebesar perubahan gaya hidup. Oleh karena itu, obat-obatan ditempatkan sebagai tambahan terhadap perubahan gaya hidup (Elvina, 2002). Kombinasi terapi tidak dapat digunakan pada terapi awal DM tipe 2 (Armstrong, 1996). Berdasarkan penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan terapi awal secara monoterapi (De Fronzo, 1999), walaupun berdasarkan penelitian tahun 1999 menyebutkan bahwa sekitar 50% pasien yang awalnya menerima ADO tunggal, setelah 3 tahun membutuhkan kombinasi ADO yang dapat meningkatkan efektivitas pengobatan (Simpson et al, 2002).

Diabetes merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan biaya yang besar untuk mengatasinya. Data 2007 di Amerika Serikat sekitar 17,5 juta orang mengidap

(5)

diabetes melitus. Setiap tahun, biaya perawatan per kapita penderita diabetes tidak kurang dari 13.243 dollar. Perkiraan terbaru oleh American Diabetes Association tahun 2007 total biaya tahunan DM sebesar US$ 174 milyar, terdiri dari US$ 116 milyar untuk pembelanjaan medik dan US$ 58 milyar merupakan biaya atas hilangnya produktivitas. Pembelanjaan medik sebesar US$ 116 milyar meliputi biaya medik langsung sebesar US$ 27 milyar, biaya untuk mengatasi komplikasi sebesar US$ 58 milyar dan US$ 31 milyar untuk biaya umum lainnya (ADA, 2008). Hasil penelitian di RS Dr Sardjito Yogyakarta, biaya total untuk mengelola penyakit diabetes melitus tipe 2 berkisar antara Rp. 208.500 sampai Rp. 754.500 per bulan (Andayani, 2005). Berdasarkan nilai ACER dan ICER monoterapi dengan sulfonilurea paling cost-effective pada pasien dengan riwayat menderita diabetes melitus 1-5 tahun (Mustafidah, 2006).

Sebagai salah satu rumah sakit milik pemerintah, RSU Pandan Arang mempunyai dana terbatas dari pemerintah dimana dana tersebut belum bisa mencukupi semua kebutuhan rumah sakit yang diperlukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia secara efisien. Oleh karena itu, penelitian tentang cost-effectiveness ini dirasa dapat memberi masukan kepada farmasis untuk menyeimbangkan biaya dan outcome pasien yang menguntungkan baik bagi pasien maupun health care system, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan memobilisasi sumber dana yang telah disediakan oleh pemerintah secara efektif. Besarnya keefektifan dalam penelitian cost-effectiveness dapat dilihat dari besarnya

(6)

cost-effectiveness ratio yang dapat dihitung berdasarkan biaya terapi langsung (Direct Medical Cost) dibandingkan dengan outcome.

B. Rumusan Masalah

Antidiabetik tunggal manakah yang paling cost-effective pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antidiabetik tunggal yang paling cost-effective di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali.

D. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Anonim, 1999).

a. Etiologi

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.

(7)

Manifestasi klinis dari diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta rusak. Pada diabetes melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999).

b. Klasifikasi diabetes melitus

Klasifikasi diabetes melitus yang diperkenalkan oleh National Diabetes Data Group of The National Institutes of Health, berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Menurut Price dan Wilson (1995) empat klasifikasi klinis diabetes melitus, yaitu:

1) Tipe 1 (tergantung insulin)

Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena kerusakan autoimun produksi insulin pada sel beta pankreas, sehingga kekurangan insulin menurun sangat cepat sampai akhirnya tidak ada insulin lagi yang disekresi. Karena itu substitusi insulin tidak dapat dielakkan (disebut diabetes yang tergantung insulin).

2) Tipe 2 (tak tergantung insulin)

Diabetes melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan diabetes melitus tipe 1. Penderita diabetes melitus tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Diabetes melitus tipe 2 sering terjadi pada usia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita diabetes melitus tipe

(8)

2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1, pada diabetes melitus tipe 2 terutama berada pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan sering dikaitkan pada penderita diabetes melitus tipe 2.

3) Diabetes kehamilan

Diabetes kehamilan adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau mulai diketahui selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon disertai pengaruh metaboliknya terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan merupakan keadaan diabetogenik. 4) Diabetes spesifik

Contoh dari diabetes spesifik adalah DM karena defekasi genetik fungsi sel beta, defekasi genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, diabetes melitus karena obat, diabetes melitus karena infeksi, diabetes melitus imunologi dan sindrom genetik

(9)

c. Gejala dan diagnosis diabetes melitus

Kriteria untuk diagnosis diabetes melitus antara lain gula darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL), konsentrasi gula darah acak ≥ 11,1 mmol/L (≥ 200 mg/dL), dan gula darah 2 jam ≥ 11,1 mmol/L (≥ 200 mg/dL) dengan beban 75 gram tes toleransi gula secara oral. Gejala diabetes melitus antara lain : polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan koma diabetik (Kasper et al., 2005).

d. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

1) Komplikasi akut diabetes melitus a) Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah dibawah nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta keadaan penderita bisa menjadi koma. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.

(10)

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes diabetes melitus tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Dari survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian pada penderita diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.

b) Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan pandangan mata kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

Ketoasidosis diabetik dapat diartikan sebagai suatu keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan sifatnya mendadak. Glukosa darah yang tinggi tidak dapat memenuhi kebutuhan energi tubuh. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh

(11)

rusak, tak sadarkan diri dan mengalami koma. Komplikasi Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) adalah adanya dehidrasi yang berat, hipertensi dan menimbulkan syok. Komplikasi ini diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak, sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam, sedangkan kemolakto asidosis diartikan sebagai suatu keadaan tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi karbohidrat. Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat (hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma.

2) Komplikasi kronis diabetes mellitus a) Komplikasi makrovaskuler

Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita diabetes melitus adalah mengalami trombosit otak (pembekuan darah di sebagian otak), mengalami PJK (penyakit jantung koroner), gagal jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler sangat penting dilakukan, untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi stress.

b) Komplikasi mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan

(12)

pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan terjadi penyumbatan pada pembuluh darah kecil, contoh dari komplikasi mikrovaskuler adalah nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.

(Anonim, 2006a) e. Penatalaksanaan

Menurut PERKENI terdapat dua macam penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu :

1) Terapi tanpa obat a) Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.

Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel beta terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan

(13)

dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi karbohidrat bentuk kompleks (bukan disakarida atau monoakarida) dan dalam dosis terbagi dapat meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di jaringan perifer dan memperbaiki kepekaan sel beta di pankreas.

b) Olahraga.

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhymical, Interval, Progressive, Endurance Training) dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi penderita. Beberapa olahraga yang disarankan antara lain jalan, lari, bersepeda dan berenang. Dengan latihan ringan teratur setiap hari, dapat memperbaiki metabolisme glukosa, asam lemak, ketone bodies, dan merangsang sintesis glikogen.

2) Terapi obat

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat dapat dilakukan dengan antidiabetik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya.

(14)

Dalam penatalaksanaan terapi penyakit diabetes melitus tipe 2 terdapat suatu alur agar terapi yang diberikan dapat optimal.

Target tercapai GDS/GDPP tidak capai target Setelah 1 bulan

Target tercapai Target tidak tercapai Setelah 3 bulan

Target tercapai Target tercapai setelah 3-6 bln

Gambar 1. Algoritme Penatalaksanaan Penyakit Diabetes melitus tipe 2 (Dipiro et al, 2005) Target HbA1c 6,5 – 7,0% (Penurunan 0,5 – 1,0%) GDS <110 – 130 mg/dl GDPP <140 – 180 mg/dl Awal Intervensi

Dicek A1 tiap 3-6 bulan

Edukasi/nutrisi/Olah raga

Monoterapi/kombinasi awal Sulfonilurea dan/atau

metformin

Pilihan monoterapi lain Pioglitazon/rosiglitazon Nateglinide

Repaglinide Akarbose/insulin Insulin analog

Terapi dilanjutkan dan dicek A1c tiap 3-6 bulan Kombinasi sulfonilurea Kombinasi lain: Metformin/sulfonilurea dengan pioglitazone/rosiglitazone atau akarbose/miglitol Metformin dengan Nateglinide atau repaginide; insulin/insulin analog (monoterapi/kombinasi)

Terapi dilanjutkan dan Dicek A1c tiap 3-6 bln

Intermediate-acting Insulin atau 1x perhari glargine; Sebelum pemberian intermediate regular insulin atau lispro/aspart mix; tambah 3 kombinasi antidiabetik oral; atau ganti untuk memisah dosis insulin/insulin analog terapi; berkunjung ke endokrinologis

(15)

Sejak ditemukannya insulin pada tahun 1921 oleh Banting dan Best, angka kematian DM dapat ditekan secara mencolok. Meskipun waktu paruh insulin sekitar 7-10 menit, tetapi pemberiannya secara subkutan, intramuskuler, dan intravena mempunyai tujuan klinik yang berlainan. Obat antidiabetik oral dapat dibagi dalam lima kelompok besar, yaitu golongan sulfonilurea, golongan biguanida, α glucosidase inhibitor, insulin sensitizing agent, dan meglitinida (Anonim, 2006a).

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes melitus.

Tabel 1. Target Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Anonim, 2006b)

Parameter Kadar ideal yang diharapkan

Kadar glukosa darah puasa 80-120 md/dl

Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl

Kadar glukosa darah saat tidur 100-140 mg/dl

Kadar insulin 110-150 mg/dl

Kadar HbA1c < 7 %

Kadar kolesterol HDL > 45 mg/dl (pria)

> 55 mg/dl (wanita)

Kadar trigliserida < 200 mg/dl

(16)

f. Obat – Obat Diabetes melitus 1) Antidiabetik oral

Untuk menangani pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 insulin adalah terapi utama.Indikasi antidiabetik oral adalah terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 atau non-insulin-dependent diabetes melitus (NIDDM) ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap diatas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya.

Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit diabetes melitus serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Anonim, 2005).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antidiabetik oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :

(17)

Tabel 2. Penggolongan Obat Antidiabetik Oral (Anonim, 2005)

Golongan Contoh senyawa Mekanisme kerja

Sulfonilurea Klorpropamid Tolbutamid Glimepirid Gliclazid Glibenclamid Glipizid Glikuidon

Kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat berproduksi atau masih berfungsi dengan baik.

Biguanida Metformin Meningkatkan sensitivitas

insulin, sehingga menghambat

glukoneogenesis dan

meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.

α Inhibitor Glucosidase Akarbose Menghambat alpha-glucosidase sehingga memperlambat dan menghambat absorbsi glukosa ke dalam darah.

Insulin sensitizing agent Thiazolidinediones Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor gamma) di otot, jaringan lemak dan hati untuk menurunkan resistensi insulin.

Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas.

2) Insulin

Untuk pasien yang tidak bisa mengontrol diabetes dengan diet atau pengobatan oral, kombinasi insulin dan obat-obatan lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien dengan DM tipe 2 yang memburuk, maka

(18)

penggantian insulin total menjadi suatu kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa. (Mutchler, 1991).

Tabel 3. Jenis-Jenis Insulin dan Sediaannya (Anonim, 2000)

Jenis Insulin Mula Kerja (jam) Puncak Efek (jam) Lama Kerja (jam) Nama Sediaan Kekuatan Kerja Singkat 0,5 0,5 1-3 2-4 8 6-8 Actrapid HM Actrapid HM Penfill 40 Ul/ml 100 Ul/ml Kerja Sedang 1-2 6-12 18-24 Kerja sedang mula kerja singkat 0,5 2,5 4-12 7-15 24 24 Insulatard HM Insulatard HM Penfill Monotard HM 40 Ul/ml 100 Ul/ml 40 Ul/ml dan 100 Ul/ml Kerja lama 4-6 14-20 24-36 Protamin Zinc Sulfat

Sediaan campuran 0,5 0,5 0,5 1,5-8 1-8 1-8 14-16 14-15 14-15 Humulin 20/80 Humulin 30/70 Humulin 40/60 Mixtard 30/70 Penfill 40 Ul/ml 100 Ul/ml 40 Ul/ml 100 Ul/ml

(19)

2. Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang. Tujuan dari farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu juga dapat membandingkan pengobatan (treatment yang berbeda untuk kondisi yang berbeda) (Septiyani, 2007).

Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu menetapkan masalah, identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Data farmakoekonomi dapat merupakan alat yang sangat berguna dalam membantu membuat beberapa keputusan klinik, seperti pengelolaan formularium yang efektif, pengobatan pasien secara individual, kebijakan pengobatan dan alokasi dana (Vogenberg, 2001).

Metode evaluasi farmakoekonomi terdiri dari lima macam yaitu Cost-Analysis (CA), Cost-Minimization Cost-Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Cost-Analysis (CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefits Analysis (CUA) (Dipiro et al., 2005).

(20)

a. Cost Analysis (CA)

Cost-Analysis, yaitu tipe analisis yang sederhana yang mengevaluasi intervensi-intervensi biaya. Cost-Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya dalam pelaksanaan atau pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan, pengobatan atau evaluasi efikasi (Tjandrawinata, 2000). Menurut Trisnantoro (2005) adanya tiga syarat mutlak yang harus dilakukan, sebelum analisis biaya dilakukan, yaitu : struktur organisasi rumah sakit yang baik, sistem akuntansi yang tepat, adanya informasi statistik yang cukup baik.

Menurut Trisnantoro (2005) penerapan analisi biaya (cost analysis) di rumah sakit selalu mengacu pada penggolongan biaya juga menggolongkan biaya menjadi 8 macam, yaitu:

1) Biaya Langsung (direct cost) merupakan biaya yang melibatkan proses petukaran uang untuk penggunaan sumber. Kaitannya dengan pertukaran uang, misalnya pasien diberi obat, maka pasien tersebut harus membayarnya dengan sejumlah uang tertentu. Contoh biaya langsung adalah biaya obat, biaya operasional (upah untuk dokter dan perawat, sewa ruangan, pemakaian alat, dan lainnya), dan biaya lain-lain (seperti : bonus, subsidi, sumbangan).

2) Biaya tidak langsung (indirect cost) merupakan biaya yang tidak melibatkan proses pertukaran uang untuk penggunaan sumber

(21)

karena berdasarkan komitmen. Contohnya adalah biaya untuk hilangnya produktivitas (tidak masuk kerja, upah), waktu (biaya perjalanan, menunggu), dan lain-lain (seperti biaya untuk penyimpanan, pemasaran, dan distribusi).

3) Biaya tak teraba (intangible cost) merupakan biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang tak teraba, sehingga sukar diukur. Biaya ini bersifat psikologis, sukar dijadikan nilai mata uang. Contohnya adalah biaya untuk rasa nyeri atau penderitaan, cacat, kehilangan kebebasan, dan efek samping.

4) Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan volume keluarnya (output). Jadi biaya ini tidak berubah meskipun ada peningkatan atau penurunan output, kecuali untuk gaji berkala. Contohnya adalah gaji PNS (pegawai Negeri Sipil), sewa ruangan, dan ongkos peralatan.

5) Biaya tidak tetap (variable cost) merupakan biaya yang dipengaruhi oleh perubahan volume keluaran (output). Jadi, biaya ini akan berubah apabila terjadi peningkatan atau penurunan output. Contohnya adalah komisi penjualan dan harga obat.

6) Biaya rata-rata (average cost) merupakan biaya konsumsi sumber per unit output. Jadi hasil pembagian dari biaya total

(22)

dengan volume atau kuantitas output. Biaya rata-rata adalah total biaya dibagi jumlah kuantitas output.

7) Marginal cost merupakan perubahan total biaya hasil dari bertambah atau berkurangnya unit dari output.

8) Opportunity cost merupakan besarnya biaya sumber pada saat nilai tertinggi dari penggunaan alternatif.

(Trisnantoro, 2005) b. Cost-Minimization Analysis (CMA)

Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari analisis cost-minimization yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat menjadi tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama (Orion, 1997).

Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika generik dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah onset dan durasinya. Maka

(23)

pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).

c. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

Analisis cost-effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, dimana pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis cost-effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau pengambil keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).

Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness berdasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Analisis cost effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).

Dalam studi farmakoekonomi untuk menginterpretasikan dan melaporkan hasil dapat diwujudkan kedalam bentuk rasio efektivitas,

(24)

yaitu average effectiveness ratio (ACER) dan incremental cost-effectiveness ratio (ICER). Apabila suatu intervensi memiliki average cost-effectiveness ratio (ACER) paling rendah per unit efektivitas, maka intervensi tersebut paling effective, sedangkan incremental cost-effectiveness ratio (ICER) merupakan tambahan biaya untuk menghasilkan satu unit peningkatan outcome relatif terhadap alternatif intervensinya (Spilker, 1996).

d. Cost-Utility Analysis (CUA)

Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utility beban lama hidup, menghitung biaya per utility, mengukur ratio untuk membandingkan diantara beberapa program. Analisis cost-utility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).

Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs, sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini

(25)

dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

e. Cost-Benefits Analysis (CBA)

Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Tipe analisis ini sangat cocok untuk alokasi bahan-bahan jika keuntungan ditinjau dari perspektif masyarakat. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah (Orion, 1997).

Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif dan sulit dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam nilai uang (Vogenberg, 2001).

Pertanyaan yang harus dijawab dalam cost-benefit analysis adalah alternatif mana yang harus dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat memberikan manfaat atau benefit yang paling besar (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).

Gambar

Gambar 1. Algoritme Penatalaksanaan Penyakit Diabetes melitus tipe 2 (Dipiro et al,  2005) Target HbA1c ≤6,5 – 7,0% (Penurunan 0,5 – 1,0%) GDS &lt;110 – 130 mg/dl GDPP &lt;140 – 180 mg/dl  Awal Intervensi
Tabel 1. Target Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Anonim, 2006 b )
Tabel 2. Penggolongan Obat Antidiabetik Oral (Anonim, 2005)
Tabel 3. Jenis-Jenis Insulin dan Sediaannya (Anonim, 2000)  Jenis  Insulin  Mula  Kerja  (jam)  Puncak Efek (jam)  Lama  Kerja (jam)  Nama  Sediaan  Kekuatan  Kerja   Singkat  0,5 0,5  1-3 2-4  8  6-8  Actrapid HM  Actrapid HM Penfill   40 Ul/ml  100 Ul/ml

Referensi

Dokumen terkait

[r]

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “ Pengembangan Trainer Resistor Dalam Rangkaian Arus Searah Pada Mata Pelajaran Teknik Listrik Menggunakan

Baru pada tahun 1927 (lihat gambar 1.3) secara keseluruhan bodi kendaraan terbuat dari logam, dimana bodi kendaraan yang terdiri dari berbagai komponen telah dibuat dari lembaran

Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori in-situ lazimnya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh,

Bumi yang kaya ini jika dikelola dengan baik akan membuat setiap rakyat Indonesia bisa memperoleh kemakmuran yang luar biasa sehingga bisa jadi suatu saat rakyat Indonesia sudah

Bibit yang sudah siap tanam dicabut dipersemaian beserta akarnya jika bibit berasal dari persemaian plastik atau tray 25-30 hari setelah semai bibit langsung ditanam pada lubang

[r]

Jenis pertemuan yang pernah diikuti dari hasil survey ini adalah yang paling tertinggi melalui pengajian dengan nilai persentase 74% yang berjumlah 2741, kedua adalah melalui Arisan