• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di habitat ex-situ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di habitat ex-situ"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

EKTOPARASIT PENGGANGGU PADA ORANGUTAN

(Pongo pygmaeus) DI HABITAT EX-SITU

WINDA RAHAYU ANDINI B04104068

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

WINDA RAHAYU ANDINI. Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di Habitat Ex-situ. Dibimbing oleh Dr. drh UPIK KESUMAWATI HADI,

MS

Orangutan (Pongo pygmaeus) adalah spesies langka yang termasuk satwa asli Indonesia. Orangutan diklasifikasikan oleh CITES dalam Appendix 1. Untuk mencegah kepunahan orangutan, pemerintah mengembangkan habitat ex-situ. Namun usaha ini tidak lepas dari berbagai masalah penyakit atau gangguan ektoparasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis ektoparasit yang menginfestasi orangutan. Penelitian ini dilakukan di Taman Margasatwa Ragunan, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung, Taman Safari Indonesia dari bulan Juli 2007 sampai dengan September 2007. Metode koleksi ektoparasit yang digunakan yaitu light trap, sweep net

(3)

ABSTRACT

WINDA RAHAYU ANDINI. Disturbing Ectoparasite Orangutan (Pongo pygmaeus) at Ex-situ Habitat.Under the advisory of Dr. drhUPIK KESUMAWATI HADI, MS

Orangutan (Pongo pygmaeus) is endangered species originally from Indonesia. CITES classified orangutan in Appendix 1. To prevent the extinction of orangutan, the goverment develop ex-situ habitat. Unfortunatly, this effort has several problems such as disease problems or ectoparasite. This research was aimed to identify ectoparasite infesting orangutan at ex-situ habitat. This research was done in Taman Margasatwa Ragunan, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung and Taman Safari Indonesia from July 2007 untill September 2007. The ectoparasite collection methods used light trap, sweep net and manual (anastetic). The result of the research showed that ectoparasite which annoying orangutan in the four location were temporary ectoparasites such as seven spesies mosquitos, Culicidae (Culex hutchinsoni, Culex quinquefasciatus, Culex fuscocephalus, Aedes albopictus, Armigeres foliatus, Armigeres

subalbatus dan Tripteroides sp), one spesies sandfly, Ceratopogonidae (Culicoides sp),

one spesies Chironomidae (Chironomus sp), one spesies blowfly, Calliphoridae

(4)

EKTOPARASIT PENGGANGGU PADA ORANGUTAN

(Pongo pygmaeus) DI HABITAT EX-SITU

WINDA RAHAYU ANDINI B04104068

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di habitat ex-situ

Nama : Winda Rahayu Andini NRP : B04104068

Disetujui :

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Pembimbing

Diketahui,

Wakil Dekan FKH-IPB

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 November 1985 dari ayah Rudi Rasmedi dan ibunda Wedar Drajat Pudji Sri Wahyuti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Teladan Nugraha 1 pada tahun 1992 dan SDN Pengadilan 1 pada tahun 1998 serta SLTPN 4 kota Bogor pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan pada SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa kedokteran hewan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan, skripsi dengan judul Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di Habitat Ex-situ dapat diselesaikan.

Penelitian ini diselenggarakan atas inisiatif dan kecintaaan sekelompok mahasiswa terhadap keberadaan satwa liar. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berharga mengenai ektoparasit yang berada di sekitar hewan dan pengendalian dari penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan jasa-jasa dari seluruh pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1 Ibunda tersayang, WDP Sri Wahyuti dan adik tersayang, Wulan Dwi Ayuning Putri atas segala dukungan, nasihat dan kasih sayang

2 Ibu Dr.drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing atas segala bantuan, arahan, dukungan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3 Bapak Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS selaku pembimbing akademik. 4 Staf Laboratorium Entomologi yang telah membantu selama masa penelitian. 5 Seluruh pihak dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang

Bandung, Taman Margasatwa Ragunan dan Taman Safari Indonesia yang telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

6 Teman-teman team penelitian ektoparasit (Jaya, Combo dan Dimut).

7 Teman-teman dari Himpunan Minat Profesi Satwa Liar atas pengalaman dan pelajaran yang diberikan hingga saat ini, SALAM LESTARI!!!.

8 Ochie a.k.a Raden Enen Rosi Manggung, Putra a.k.a Dermawan Saputra atas motivasi dan persahabatannya. LOVE U FRIEND!!!

(8)

10 Seluruh teman-teman angkatan 41 (Asteroidea), A’ 39, dan A’ 40, A’ 42 dan 43 atas pelajaran dan kehangatan persaudaraannya selama ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi civitas akademik maupun seluruh pembaca lainnya.

Bogor, September 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI………... ix

DAFTAR TABEL………... x

DAFTAR GAMBAR……….. xi

1 PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Tujuan Penelitian……… 2

2 TINJAUAN PUSTAKA………. 3

2.1 Habitat ex-situ... 3

2.2 Orangutan………... 4

2.3 Ektoparasit Pengganggu………. 10

3 BAHAN DAN METODE... 22

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 22

3.2 Hewan yang Diteliti... 22

3.3 Metodologi... 22

3.4 Pengolahan Spesimen... 24

3.5 Identifikasi Spesimen... 25

3.6 Analisis Data... 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

4.1 Taman Margasatwa Ragunan (TMR)... 26

4.2 Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC)... 29

4.3 Kebun Binatang Bandung (KBB)... 31

4.4 Taman Safari Indonesia (TSI)... 33

4.5 Jenis Ektoparasit yang Ditemukan dan Dampaknya Pada Kesehatan... 36

5 KESIMPULAN DAN SARAN... 41

(10)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di TMR... 26

2 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di PPSC... 30

3 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di KBB... 32

4 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di TSI... 34

(11)

EKTOPARASIT PENGGANGGU PADA ORANGUTAN

(Pongo pygmaeus) DI HABITAT EX-SITU

WINDA RAHAYU ANDINI B04104068

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

WINDA RAHAYU ANDINI. Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di Habitat Ex-situ. Dibimbing oleh Dr. drh UPIK KESUMAWATI HADI,

MS

Orangutan (Pongo pygmaeus) adalah spesies langka yang termasuk satwa asli Indonesia. Orangutan diklasifikasikan oleh CITES dalam Appendix 1. Untuk mencegah kepunahan orangutan, pemerintah mengembangkan habitat ex-situ. Namun usaha ini tidak lepas dari berbagai masalah penyakit atau gangguan ektoparasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis ektoparasit yang menginfestasi orangutan. Penelitian ini dilakukan di Taman Margasatwa Ragunan, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung, Taman Safari Indonesia dari bulan Juli 2007 sampai dengan September 2007. Metode koleksi ektoparasit yang digunakan yaitu light trap, sweep net

(13)

ABSTRACT

WINDA RAHAYU ANDINI. Disturbing Ectoparasite Orangutan (Pongo pygmaeus) at Ex-situ Habitat.Under the advisory of Dr. drhUPIK KESUMAWATI HADI, MS

Orangutan (Pongo pygmaeus) is endangered species originally from Indonesia. CITES classified orangutan in Appendix 1. To prevent the extinction of orangutan, the goverment develop ex-situ habitat. Unfortunatly, this effort has several problems such as disease problems or ectoparasite. This research was aimed to identify ectoparasite infesting orangutan at ex-situ habitat. This research was done in Taman Margasatwa Ragunan, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung and Taman Safari Indonesia from July 2007 untill September 2007. The ectoparasite collection methods used light trap, sweep net and manual (anastetic). The result of the research showed that ectoparasite which annoying orangutan in the four location were temporary ectoparasites such as seven spesies mosquitos, Culicidae (Culex hutchinsoni, Culex quinquefasciatus, Culex fuscocephalus, Aedes albopictus, Armigeres foliatus, Armigeres

subalbatus dan Tripteroides sp), one spesies sandfly, Ceratopogonidae (Culicoides sp),

one spesies Chironomidae (Chironomus sp), one spesies blowfly, Calliphoridae

(14)

EKTOPARASIT PENGGANGGU PADA ORANGUTAN

(Pongo pygmaeus) DI HABITAT EX-SITU

WINDA RAHAYU ANDINI B04104068

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di habitat ex-situ

Nama : Winda Rahayu Andini NRP : B04104068

Disetujui :

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Pembimbing

Diketahui,

Wakil Dekan FKH-IPB

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 November 1985 dari ayah Rudi Rasmedi dan ibunda Wedar Drajat Pudji Sri Wahyuti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Teladan Nugraha 1 pada tahun 1992 dan SDN Pengadilan 1 pada tahun 1998 serta SLTPN 4 kota Bogor pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan pada SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa kedokteran hewan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(17)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan, skripsi dengan judul Ektoparasit Pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di Habitat Ex-situ dapat diselesaikan.

Penelitian ini diselenggarakan atas inisiatif dan kecintaaan sekelompok mahasiswa terhadap keberadaan satwa liar. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berharga mengenai ektoparasit yang berada di sekitar hewan dan pengendalian dari penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan jasa-jasa dari seluruh pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1 Ibunda tersayang, WDP Sri Wahyuti dan adik tersayang, Wulan Dwi Ayuning Putri atas segala dukungan, nasihat dan kasih sayang

2 Ibu Dr.drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing atas segala bantuan, arahan, dukungan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3 Bapak Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS selaku pembimbing akademik. 4 Staf Laboratorium Entomologi yang telah membantu selama masa penelitian. 5 Seluruh pihak dari Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang

Bandung, Taman Margasatwa Ragunan dan Taman Safari Indonesia yang telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

6 Teman-teman team penelitian ektoparasit (Jaya, Combo dan Dimut).

7 Teman-teman dari Himpunan Minat Profesi Satwa Liar atas pengalaman dan pelajaran yang diberikan hingga saat ini, SALAM LESTARI!!!.

8 Ochie a.k.a Raden Enen Rosi Manggung, Putra a.k.a Dermawan Saputra atas motivasi dan persahabatannya. LOVE U FRIEND!!!

(18)

10 Seluruh teman-teman angkatan 41 (Asteroidea), A’ 39, dan A’ 40, A’ 42 dan 43 atas pelajaran dan kehangatan persaudaraannya selama ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi civitas akademik maupun seluruh pembaca lainnya.

Bogor, September 2008

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI………... ix

DAFTAR TABEL………... x

DAFTAR GAMBAR……….. xi

1 PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Tujuan Penelitian……… 2

2 TINJAUAN PUSTAKA………. 3

2.1 Habitat ex-situ... 3

2.2 Orangutan………... 4

2.3 Ektoparasit Pengganggu………. 10

3 BAHAN DAN METODE... 22

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 22

3.2 Hewan yang Diteliti... 22

3.3 Metodologi... 22

3.4 Pengolahan Spesimen... 24

3.5 Identifikasi Spesimen... 25

3.6 Analisis Data... 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

4.1 Taman Margasatwa Ragunan (TMR)... 26

4.2 Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC)... 29

4.3 Kebun Binatang Bandung (KBB)... 31

4.4 Taman Safari Indonesia (TSI)... 33

4.5 Jenis Ektoparasit yang Ditemukan dan Dampaknya Pada Kesehatan... 36

5 KESIMPULAN DAN SARAN... 41

(20)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di TMR... 26

2 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di PPSC... 30

3 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di KBB... 32

4 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di TSI... 34

(21)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1 Jenis-jenis orangutan... 7 2 Distribusi Orangutan………. 10 3 Anastesi orangutan dengan metode Tulub... 24 4 Jenis-jenis Ektoparsit Pengganggu Orangutan yang di Temukan pada

(22)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Orangutan merupakan primata liar yang berhabitat di Kalimantan dan Sumatra, Indonesia. Orangutan memiliki empat subspesies, di antaranya adalah Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurumbii, Pongo pygmaeus morio dan Pongo abelii. Sebagian besar orangutan hidup di hutan dan berkelompok. Daerah penyebaran orangutan adalah Serawak Kalimantan Barat, antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito Barat laut Kalimantan, Sumatra Utara, Aceh, Sumatra Barat dan Riau. Populasi orangutan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Orangutan diklasifikasikan oleh CITES dalam Appendix I, yaitu daftar yang memuat seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial (Dephut 2008).

Berkurangnya populasi orangutan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia dan bencana alam yang terjadi di bumi, akan tetapi sebagian besar berkurangnya populasi orangutan akibat dari perbuatan manusia, seperti penebangan hutan besar-besaran atau

ilegal loging, perburuan liar pada orangutan dan eksploitasi besar-besaran, sisanya akibat bencana alam yang terjadi seperti kebakaran hutan (Shapiro 2008).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan populasi orangutan, di antaranya adalah dengan mendirikan habitat in-situ dan ex-situ. Upaya membangun habitat ex-situ diantaranya adalah dengan cara membangun pusat penyelamatan satwa, kebun binatang, balai karantina dan pusat penangkaran, serta upaya membangun habitat

in-situ, yaitu dengan membuat cagar alam dan suaka margastwa.

Ektoparasit adalah berbagai jenis hewan parasit yang memerlukan habitat pada permukaan tubuh inang untuk kelangsungan hidupnya. Ektoparasit memiliki peranan penting dalam dunia kedokteran karena dapat mengganggu dan berperan sebagai inang perantara dari endoparasit, yaitu Protozoa dan cacing. Berbagai ektoparasit dikenal sebagai vektor zoonosis yang dapat berakibat fatal bagi manusia.

(23)

beriklim tropis dan memiliki kelembaban yang cukup tinggi, sehingga dapat menunjang perkembangbiakan ektoparsit. Infestasi oleh ektoparasit dapat mempengaruhi keadaan fisiologis orangutan, misalnya penurunan bobot tubuh, penurunan tingkat reproduksi, berkurangnya aktivitas orangutan, stress, luka serta iritasi dan menjadi lebih agresif.

Masalah ektoparsit di habitat ex-situ masih belum diteliti orang, padahal informasi jenis-jenis ektoparasit dan arti penting ektoparasit sangat diperlukan.

1.2 Tujuan penelitian

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Habitat ex-situ

Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal satwa yang bukan alam aslinya atau habitat aslinya akan tetapi dibuat senyaman mungkin agar satwa merasa seperti di habitat aslinya di alam. Habitat ex-situ dibuat dengan tujuan untuk melindungi satwa yang hampir punah di alam, breeding, pendidikan. Habitat ex-situ yang dibuat oleh pemerintah adalah kebun binatang, pusat penyelamatan satwa dan penangkaran satwa. Adapun beberapa habitat ex-situ yang dibuat untuk melindungi satwa, yaitu:

2.1.1 Taman Margasatwa Ragunan

Taman Margasatwa Ragunan (TMR) terletak 20 km dari pusat kota jakarta yang bertempat di pasar minggu, Jakarta Selatan sejak 1966. Taman Margasatwa Ragunan dihuni oleh lebih dari 260 jenis satwa, termasuk satwa yang langka dan terancam punah dari Indonesia maupun dari sebagian dunia. Jumlah keseluruhannya adalah 3122 ekor satwa, termasuk burung-burung. TMR sendiri ikut berperan dalam program pelestarian satwa dan sukses dalam program penangkaran satwa liar seperti Harimau Putih, Harimau Sumatera, ular dan beberapa jenis burung (kasuari, kakatua dan burung lainnya) (Anonimus 2008b).

2.1.2 Pusat Penyelamatan Cikananga

(25)

2.1.3 Kebun Binatang Bandung

Kebun Binatang Bandung (KBB) oleh pemerintah daerah Bandung ditetapkan sebagai salah satu obyek wisata, dan hingga saat ini ikut berperan dalam proses edukasi terhadap masyarakat mengenai satwa liar. KBB berlokasi di Taman Sari Jalan Kebun Binatang No.6 Bandung. Selain itu KBB sendiri berperan dalam proses pengelolaan serta penyelamatan satwa liar.

2.1.4 Taman Safari Indonesia

Taman Safari ditetapkan sebagai obyek wisata nasional oleh Soesilo Soedarman, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada masa itu. Lebih jauh, taman ini juga telah diresmikan menjadi Pusat Penangkaran Satwa Langka di Indonesia oleh Hasyrul Harahap, Menteri Kehutanan pada masa itu, pada tanggal 16 Maret 1990. Taman Safari Indonesia I berlokasi di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Taman Safari ini dibangun pada tahun 1980 pada sebuah perkebunan teh yang sudah tidak produktif. Taman ini menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Taman ini terletak pada ketinggian 900-1800 m di atas permukaan laut, serta mempunyai suhu rata-rata 16 - 24 C. Sebagai Pusat penangkaran satwa langka, Taman Safari berperan dalam menangkarkan satwa endemik seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), Orangutan (Pongo pygmaeus) dan satwa lainnya (Wikipedia 2008f).

2.2 Orangutan (Pongo pygmaeus) 2.2.1 Ciri Morfologi Orangutan

Nama orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Menurut Meijaard dan Rijksen (1999) nama orangutan bersal dari bahasa Melayu, yang dapat diartikan sebagai ’orang hutan’. Orangutan adalah satu anggota suku Pongidae yang mencakup tiga kera besar, yaitu bonobo Afrika, simpanse dan gorila. Berdasarkan persamaan genetis dan biokimia, Pongonidae ini berkembang dari leluhur yang sama selama periode waktu kurang dari sepuluh juta tahun.

(26)

berukuran 1-1,4 m untuk jantan, yaitu kira-kira 2/3 kali ukuran seekor gorila. Tubuh orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi. Orangutan jantan memiliki pelipis yang gemuk. Mereka mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. Telapak tangan mereka mempunyai empat jari-jari panjang ditambah satu ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia (Wikipedia 2008a).

Orangutan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, yaitu di pulau Kalimantan dan Sumatra di wilayah bagian negara Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan. Orangutan juga tinggal di dataran rendah, rawa-rawa, sampai hutan perbukitan pada ketinggian 1500 meter diatas permukaan laut, umumnya mereka hidup pada hutan primer. Namun saat ini kerusakan habitat aslinya, mereka dapat ditemukan di pinggiran ladang, perkebunan atau dekat perkampungan (Supriatna dan Wahono 2000).

Orangutan merupakan hewan omnivora, yaitu pemakan segala, pakan orangutan sangat bervariasi. Buah merupakan sumber pakan utama, yaitu 60%, sedangkan sisanya berupa bunga, daun muda, kulit kayu dan berbagai jenis serangga (Supriatna dan Wahyono 2000).

2.2.2 Klasifikasi Orangutan

(27)

Kingdom : Animalia

Subspesies : Pongo pygmaeus pygmaeus

Pongo abelii (Supriatna dan Wahyono 2000)

Pongo pygmaeus wurumbii (Supriatna dan Wahyono 2000)

Pongo Pygmaeus morio (Wikipedia 2008a)

Menurut taksonomi sekarang, ada dua jenis orangutan yang hidup, yaitu Orangutan Sumatra dan Orangutan Kalimantan (Meirjaard dan Rijksen 1999). Orangutan Sumatra (Pongo abelii) memiliki nama lain Mawas, memiliki warna rambut coklat kekuningan jika dibandingkan dengan Orangutan Kalimantan. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) memiliki tiga subspesies dan memiliki habitat yang berbeda, yaitu

Pongo pygmaeus pygmaeus di daerah Serawak dan Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus wurumbii di daerah sungai Kapuas dan sungai Barito, Barat Laut, dan Pongo pygmaeus morio di daerah Timur Kalimantan (Wikipedia 2008a). Sekarang hanya ada empat subspesies orangutan yang hanya ditemukan di Kalimantan dan Sumatra (Schaller 1961).

2.2.3Jenis Orangutan

2.2.3.1 Orangutan Sumatra (Pongo abelii)

(28)

manusia, berat tubuh betina di alam adalah 30-50 kg dan dapat mencapai 70 kg. Pada jantan mempunyai kantong suara yang berfungsi mengeluarkan seruan yang panjang.

Penyebaran Mawas itu terbatas, mereka hanya dapat dijumpai di Sumatra bagian utara sampai ke Aceh. Dari hasil survei terbaru, Mawas diperkiraan ada di Sumatra Barat dan Riau bagian utara dan sampai ke daerah hutan di Aceh Utara. Selain itu juga Mawas dapat ditemukan di salah satu populasi orangutan yang terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru, Sumatera Utara. Populasi orangutan di DAS Batang Toru sebanyak 380 ekor dengan kepadatan populasi sekitar 0,47 sampai 0,82 ekor per kilometer persegi.

Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) kini diperkirakan 7.500 ekor. Sekitar tahun 1990 diperkirakan terdapat 200.000 ekor orangutan. Populasi mereka terdapat di 13 daerah terpisah secara geografis. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup mereka semakin terancam punah (Wikipedia 2008a). Semenjak tahun 1931, orangutan sudah dilindungi oleh undang-undang, berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 233 dan kemudian terbit SK Menteri Kehutanan10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 serta Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. IUCN memasukkan status orangutan sebagai Endangered Spesies

atau ke dalam keadaan langka (Supriatna dan Wahyono 2000).

Gambar 1 Jenis-jenis orangutan. (1) Orangutan Sumatra, (2) Orangutan Kalimantan

(29)

2.2.3.2 Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus)

Orangutan Kalimantan memiliki tiga subspesies, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus,

Pongo pygmaeus wurumbii dan Pongo pygmaeus morio. Orangutan kalimantan (Gambar 1.2) memiliki warna rambut yang coklat tua sampai kehitaman, jantan dewasa memiliki ukuran tubuh dua kali lebih besar dari ukuran tubuh betina, yaitu 125-150 mm, jantan dewasa di alam memiliki berat tubuh 50-90 kg dan 150 kg bila dipelihara oleh manusia, berat tubuh betina di alam adalah 30-50 kg dan dapat mencapai 70 kg. Pada jantan mempunyai kantong suara yang berfungsi mengeluarkan seruan yang panjang.

Daerah penyebaran Orangutan Kalimantan adalah Serawak, Kalimantan Barat, di daerah sungai Kapuas dan sungai Barito, Barat Laut, daerah Timur Kalimantan dan daerah Barat Daya Kalimantan. Orangutan Kalimantan merupakan satwa langka yang sudah masuk ke dalam status konservasi, dan untuk mempertahankan keberadaannya di alam, kera besar ini telah dilindungi sejak tahun 1931 melalui undang-undang berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 233 dan kemudian terbit SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1990. IUCN memasukkan status konservasi orangutan masuk ke dalam Endangered Spesies atau ke dalam keadaan langka (Supriatna dan Wahono 2000).

2.2.4 Habitat Orangutan

(30)

Di alam, orangutan hidup dalam kelompok-kelompok sosial, yang dipimpin oleh satu jantan dominan dan betina dominan. Mereka hidup di atas pohon agar dapat melindungi diri dari serangan-serangan predator atau pemburu-pemburu liar. Di habitat ex-situ

perilaku orangutan pun tak berbeda jauh dari habitat aslinya atau di alam.

2.2.5 Penyebaran Orangutan

Orangutan pada saat ini hanya ada di Sumatra, Kalimantan, Sabah dan Serawak dan lebih dari 90% habitatnya berada di wilayah Republik Indonesia (Gambar 2). Orangutan hidup di dataran rendah dengan kepadatan tertinggi pada ketinggian antara 200-400 meter di atas permukaan laut. Namun pada daerah Sumatra, orangutan ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1500 meter. Di Kalimantan, batas ketinggian komunitas orangutan berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut (Meirjaard dan Rijksen 1999).

Di dataran rendah orangutan tidak tersebar merata. Berdasarkan tinjauan pustaka yang tersedia dan dari survei orangutan dari berbagai lokasi di Sumatra dan Kalimantan, orangutan diketahui lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa. Kepadatan tertinggi terdapat di petak-petak hutan (aluvial) kecil di lembah-lembah sungai dan hutan-hutan gambut (pasang surut) di dekat rawa-rawa atau di antara sungai-sungai. Kecil sekali kemungkinan seseorang dapat menjumpai orangutan pada jarak yang lebih jauh dari 10-15 km dari anak sungai atau rawa yang perairannya terbuka (Meirjaard dan Rijksen 1999).

(31)

Gambar 2. Distribusi Orangutan (Shapiro 2008)

(Shapiro 2008). Orangutan dikatakan sebagai satwa liar yang hidup di habitat in-situ

dan ex-situ, pada habitat ex-situ pengelolaan orangutan meliputi program perlindungan, pelestarian, dan pendidikan (Anonim 2006).

2.3 Ektoparasit Pengganggu

Parasit pada hewan terbagi dua golongan yaitu ektoparasit dan endoparasit. Golongan parasit yang hidup di dalam tubuh seperti cacing, disebut endoparasit, sedangkan yang hidup di tubuh bagian luar seperti di kulit dan rambut disebut ektoparasit (Hadi dan Soviana 2000). Ektoparasit itu sendiri berperan sebagai inang perantara dari endoparasit, yaitu Protozoa dan cacing yang menginfeksi tubuh inang. Arthropoda yang dapat berperan sebagai ektoprasit adalah kelas Insecta dan Arachnida.

(32)

orangutan dengan gejala klinis, terdapat kerontokan, kulit berkerak, inflamasi, pruritus, emasiasi dan kematian.

2.3.1 Bebagai Jenis Lalat

2.3.1.2 Lalat Rumah (Musca domestica)

Lalat rumah, Musca domestica, termasuk ke dalam famili Muscidae dan ordo Diptera (subordo Cyclorappha). Musca domestica merupakan lalat rumah yang penyebarannya di seluruh dunia dan merupakan serangga yang keberadaannya sangat dekat dengan manusia maupun hewan.

Ciri morfologi dari lalat rumah adalah memiliki ukuran tubuh 5,8-6,5 mm untuk jantan dan 6,5-7,5 mm untuk betina, berwarna kelabu, toraks mempunyai empat garis hitam logitudinal di dorsal, mulutnya tumpul dengan bagian ujung (labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons yang berfungsi untuk menyerap makanan. Antenanya pendek dengan arista yang berambut (plumose) baik pada ventral maupun dorsal, sayapnya jernih dengan vena sayap M1+2 sangat khas yang membentuk lengkungan sudut yang tajam dan sel R5 agak tertutup di distal (Hadi dan Soviana 2000). Abdomen pada betina memiliki pola yang khas, yaitu motif abu-abu dan hitam yang bergatian di bagian dorsal midline dan kekuningan pada bagian pinggirannya (Moon 2002).

Pola makan dari Musca adalah dengan menghisap makanan. Lalat rumah memiliki kebiasaan makan dan tempat perindukannya pada daerah yang kotor maka Musca

berperan dalam penyebaran berbagai macam penyakit secara mekanis. Lalat rumah dapat ditemukan dalam jumlah besar di daerah peternakan, perunggasan, industri hewan yang sederhana secara tidak langsung dapat memberikan dampak bagi kesehatan hewan dan manusia (Moon 2002). Lalat ini merupakan vektor demam tifoid, disentri, patek, antraks dan beberapa bentuk konjungtivitis (Borror et al. 1996).

2.3.1.3 Lalat Kandang (Stomoxys calcitrans)

(33)

Lalat kandang memiliki ciri morfologi sebagai berikut, yaitu memiliki empat garis hitam longitudinal pada thoraks dan bercak-bercak hitam pada abdomen. Probosisnya panjang dan mencuat ke depan kepala dan palpus maksilanya pendek, untuk menusuk dan menghisap darah. Arista berambut hanya pada sisi dorsalnya, sayapnya jernih dengan vena sayap M1+2 melengkung halus dan sel R5 terbuka di distal (Hadi dan Soviana 2000).

Lalat kandang merupakan vektor dari Trypanosoma evansi dan cacing lambung pada kuda, Habronema majus (Levine 1978). Menurut Cheng (1986), gigitan dari Stomoxys

dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kehilangan darah yang signifikan serta menyebabkan kehilangan berat badan. Lalat ini dapat berperan sebagai agen miasis pada kulit dan intestinal.

2.3.1.4 Lalat Tabanus (Tabanus sp)

Lalat kuda, Tabanus sp, termasuk ke dalam famili Tabanidae, ordo Diptera (subordo Brachycera). Lalat kuda merupakan ektoparasit pada sapi di Amerika.

Ciri morfologi dari lalat kuda adalah memiliki ukuran tubuh yang besar di banding dengan lalat lainnya, menurut Hadi dan Soviana (2000) lalat kuda memiliki ukuran tubuh 6-25 mm, bentuk tubuh yang besar dan kokoh, kepalanya berbentuk setengah lingkaran, serta memiliki mata yang dominan. Lalat jantan dan betina dapat dibedakan dari matanya. Lalat jantan mempunyai mata yang holoptik artinya mata kiri dan kanan saling berimpitan, sedangkan yang betina dikoptik artinya mata kiri dan kanan terpisah oleh suatu celah. Antenanya pendek terdiri atas tiga ruas, dengan berbagai modifikasi pada ruas terakhirnya. Bagian mulut terdiri atas probosis yang pendek dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek, serta labrum dan hipofarings sebagai penusuk dan penghisap. Lalat kuda mengalami metamorfosis sempurna, stadium larvanya berlangsung selama enam minggu sampai satu tahun tergantung jenis dan kondisi cuaca, stadium pupa berlangsung selama 1-3 minggu (Hadi dan Soviana 2000).

(34)

antraks, anaplasmosis, penyakit sura oleh Tripanosoma evansi, Tripanosoma theileri dan

Tripanosoma equinum (Levine 1978). Menurut Cheng (1986) lalat ini dapat menularkan tularemia oleh Francisella tularensis.

2.3.1.5 Lalat Hijau (Chrysomya megacephala)

Lalat hijau, Chrysomya megacephala, termasuk ke dalam famili Calliphoridae, ordo Diptera (subordo Cyclorrapha). Ciri morfologi dari lalat hijau adalah ukuran tubuh yang kurang lebih 1,5 kali dari lalat rumah, umunya berwarna hijau metalik dengan banyak bulu-bulu pendek yang menutupi tubuh yang diselingi bulu kasar. Struktur mulutnya termasuk tipe mulut penjilat seperti lalat rumah. Lalat ini mengalami metamorfosis sempurna. Lalat ini dapat menyebabkan miasis fakultatif karena dalam perkembangan pra dewasanya lalat ini tidak membutuhkan jaringan hewan yang masih hidup. Lalat ini dapat menimbulkan masalah dalam kesehatan masyarakat seperti halnya lalat rumah (Hadi dan Soviana 2000).

Menurut Borror et al. (1996) kebanyakan lalat hijau adalah pemakan zat organik membusuk dan berkembangbiak pada bangkai, bersifat kosmopolit, lalat ini meletakan telurnya pada bangkai kemudian larva ini memakan jaringan yang telah membusuk. Lalat ini dapat menjadi agen miasis di permukaan kulit, selain itu lalat ini juga dapat menyebabkan disentri apabila populasi lalat ini sangat banyak. Lalat ini merupakan

forensic entomology yang digunakan untuk identifikasi atau estimasi kematian dari mayat pada medicocriminal investigation (Chen et al. 2004).

2.3.1.6 Lalat Buah (Drosophila melanogaster)

(35)

Drosophila melanogaster merupakan lalat yang biasa digunakan sebagai hewan laboratorium sebagai penelitian genetik. Beberapa spesies dari Drosophila berpotensi sebagai transmiter dari agen patogen apabila Drosophila berkembangbiak pada feses hewan (Hall dan Gerhardt 2002).

2.3.2 Berbagai Jenis Nyamuk 2.3.2.1 Aedes

Aedes, termasuk ke dalam famili Culicidae (subfamili Culicinae), ordo Diptera (subordo Nematocera). Terdapat 125 spesies Aedes di dunia dan dua spesies nyamuk yang terkenal dari genus ini, yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk ini berwarna belang hitam dan putih dan tersebar di daerah tropis. Aedes dapat dibedakan dari jenis nyamuk lainnya, yaitu dengan melihat ujung abdomen yang meruncing dan mempunyai sersi yang menonjol. Bagian lateral dadanya terdapat rambut post-spiracular

dan tidak mempunyai rambut spiracular. Corak putih pada toraks bagian dorsal atau punggung Aedes aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shape) dan pada

Aedes albopictus berbentuk lurus di tengah-tengah punggung (median stripe) (Hadi 2006).

Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak dalam tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang bekas lain yang dapat menampung air hujan di daerah urban dan suburban. Aedes albopictus juga demikian tetapi biasanya lebih banyak terdapat di bagian luar rumah. Nyamuk ini mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Larva nyamuk ini memiliki siphon yang bulat dan pendek, hal ini untuk dapat dibedakan dengan jenis nyamuk lainnya (Hadi 2006).

Nyamuk jantan tidak menghisap darah hanya menghisap cairan tumbuhan dan nyamuk betina menggit dan menghisap darah manusia. Aktivitas dari nyamuk ini adalah pagi, siang dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini sangat pendek, yaitu sekitar 50-100 meter kecuali jika nyamuk ini terbawa oleh angin. Apabila sudah menghisap darah, nyamuk ini akan istirahat di tempat-tempat yang gelap dan sejuk, sampai penerapan darah untuk perkembangan telur selesai. Nyamuk ini merupakan vektor dari penyakit

(36)

2.3.2.2 Culex

Culex merupakan salah satu spesies dari famili Culicidae (subfamili Culicinae) dan ordo Diptera (subordo Nematocera). Di dunia terdapat 82 spesies nyamuk ini. Morfologi dari nyamuk ini adalah betinanya memiliki maksilari palpi yang lebih pendek daripada separuh panjang probosisnya, warna tubuhnya lebih kekuningan, terdapat sisik pada sekitar sayapnya. Culex dewasa memiliki ukuran tubuh 4-10 mm. Larva memiliki siphon yang panjang dan langsing serta memiliki lebih dari satu hair tuft, berkembang pada genangan air di sekitar pemukiman. Culex mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur-larva-pupa-dewasa. Nyamuk dewasa jantan biasanya berumur sampai 6-7 hari dan nyamuk betinanya dapat bertahan sampai dua minggu di alam (Hadi dan Soviana 2000). Menurut Sigit dan Hadi (2006) nyamuk ini memiliki aktivitas menggigit pada malam hari dan puncaknya pada pukul 22.00 sampai 02.00.

C. quinquefasciatus merupakan nyamuk rumah atau nyamuk tong hujan, jenis ini merupakan satu kelompok yang terdiri dari subjenis yang mempunyai perbedaan kebutuhan ekologik dan karakteristik. Anggota kelompok ini terdapat di seluruh dunia dan bersifat kosmopolit serta tinggal dekat pemukiman (Levine 1978). Nyamuk ini memiliki probosis yang gelap unbanded dan bersifat antrhophilic dan mengganggu manusia (Baisas 1974).

C. fuscocephalus berukuran kecil, biasa dikenal dengan nyamuk hitam, berkembangbiak di genangan air yang bersih, selokan dan sawah, kebanyakan bersifat

zoophilic (Baisas 1974).

Culex merupakan satu nyamuk yang menjadi masalah yang serius bagi kesehatan, yaitu gigitannya yang dapat mengganggu dan merupakan vektor dari penyakit filariasis dan encephalitis (Patterson et al. 1975).

2.3.2.3 Anopheles

Anopheles merupakan famili dari Culicidae (subfamili Anophelinae) dan ordo Diptera (subordo Nematocera), yang anggotanya terdiri atas 41 genus dengan 3500 spesies. Tetapi tidak seluruhnya menjadi vektor malaria (Anonimus 2004).

(37)

membulat, tidak mempunyai lobus. Kaki-kakinya panjang dan langsing, serta abdomennya tidak bersisik. Hanya betina yang menghisap darah. Larvanya tidak mempunyai siphon, pada bagian kiri dan kanan segmen abdomen dan kadang pada thoraks terdapat palmate hair dan pada bagian dorsalnya terdapat keping tergal (Hadi dan Soviana 2000).

Menurut Borror et al. (1996) Anopheles merupakan nyamuk yang dapat terbang jauh, sekitar satu mil dari tempat mereka muncul. Seekor nyamuk Anopheles pada posisi istirahat mempunyai tubuh dan probosis dalam satu garis lurus dan pada satu sudut dimana serangga sedang beristirahat. Menurut Sumantri dan Iskandar (2005) Anopheles

berhabitat di tempat yang paling banyak dikunjungi nyamuk malaria untuk berkembangbiak adalah tempat dengan air jernih yang tidak mengalir. Nyamuk betina umumnya bersifat zoophilic dan juga bersifat eksofilik, aktif menggigit mulai senja hingga menjelang tengah malam.

2.3.2.4 Mansonia

Mansonia merupakan famili dari Culicidae (subfamili Culicinae) dan ordo Diptera (subordo Nematocera) dan penyebarannya luas. Nyamuk ini merupakan vektor penyakit kaki gajah di beberapa wilayah Indonesia (Hadi 2006).

Nyamuk yang betina memiliki ukuran yang sedang dengan pola warna burik kecoklatan, probosis yang burik sampai pucat di sepertiga dan seperempat basal dan warna dominan hitam pada daerah apikalnya, skutum dengan sisik sempit yang keemasan tapi dengan garis di bagian tengahnya, terdapat pola stripe lateral yang luas bidang ke arah belakang, sayap yang pola burik dengan warna hitam dan pucat pada sisik di semua vena sayap (Russell 1996).

2.3.2.5 Culicoides

(38)

yang kosmopolit, kecuali Pentagonia dan Selandia Baru. Famili ini beranggotakan sekitar 78 genus dengan lebih dari 3900 spesies dan terdapat empat genus yang menyerang manusia serta hewan berdarah panas lainnya. Keempat genus tersebut di antaranya adalah

Culicoides, Forcifomya, Austroconops dan Leptoconops (Hadi dan Soviana 2000). Mullen (2002) menyatakan penyebaran dari Ceratopogonidae di seluruh dunia terdapat 78 genus dan lebih dari 4000 spesies. Di antara keempat genus tersebut yang paling mendapat perhatian utama dari para ahli adalah Culicoides. Di Indonesia tercatat sebanyak 100 spesies Culicoides tersebar di 19 daerah propinsi di Indonesia (Hadi dan Soviana 2000).

Culicoides dewasa mempunyai ukuran tubuh yang sangat kecil, panjang tubuhnya sekitar 1-2,5 mm, bagian mulutnya beradaptasi untuk mengigit dan menusuk jaringan sehingga berkembang menjadi spesies penghisap darah. Probosis betina relatif pendek.

Culicoides memiliki pola khusus pada vena sayap yang dapat dibedakan dengan serangga yang lainnya. Terdapat area gelap dan area terang pada vena sayapnya, karena pada area gelap tidak ada pigmentasi tapi pola hitam ini terdapat di permukaan sayap (Mullen 2002).

Culicoides betina menggigit dan menyerang manusia dan mamalia lainnya pada waktu senja dan malam hari sedangkan jantan hanya menghisap cairan dari tumbuhan. Pada siang hari agas berkerumun di dekat kolam dan rawa-rawa, serta tanah yang lembab tempat berkembangbiak yang disukainya (Hadi dan Soviana 2000).

Peranan Culicoides di dalam dunia kesehatan adalah sebagai penghisap darah yang sangat mengganggu dan juga sebagai vektor penular berbagai macam penyakit terutama pada hewan, seperti leucocytozoonosis pada unggas, blue tongue pada domba, filariasis dan masonellosis pada manusia, onchocercosis pada kuda dan sapi dan encephalitis pada manusia dan kuda (Hadi dan Soviana 2000).

2.3.2.6 Chironomus

(39)

dari Chironomus adalah blood worm karena bentuk larva Chironomus seperti cacing berwarna merah.

Morfologi dari Chironomus dewasa memiliki ukuran tubuh 1-10 mm, dengan kaki yang ramping, terdapat sisik (scales) pada vena sayap dan pada jantan terdapat antena plumosa. Chironomus seringkali keliru dengan nyamuk, karena probosis yang tidak terlalu panjang dan tidak dapat digunakan untuk menghisap darah. Chironomus dewasa, mempunyai waktu hidup yang singkat, hidup hanya beberapa hari sampai beberapa minggu (Hall dan Gerhardt 2002).

Menurut Borror et al. (1996) penampilannya seperti nyamuk, kecil, lembut tetapi mereka tidak mempunyai sisik-sisik pada sayap-sayap dan tidak mempunyai satu probosis yang panjang karena mereka tidak menggigit. Tungkai-tungkai depan mereka biasanya terpanjang dan metanotumnya mempunyai satu jendolan atau lekuk, jantan biasanya mempunyai sungut plumosa. Ektoparasit ini beraktifitas pada sore hari dan terdapat dalam kelompok besar yang kemudian akan mengeluarkan dengungan yang dapat didengar dari jarak jauh.

Chironomus merupakan agas pengganggu yang dapat menyerang manusia dengan cara menggit selain itu juga larva Chironomus sangat menguntungkan karena merupakan sumber pakan untuk satwa yang berada di air (Anonim 2003).

2.3.2.7 Armigeres

Armigeres merupakan dari Culicidae (subfamili Culicinae) dan ordo Diptera (subordo Nematocera), terdapat 58 spesies dengan dua subgenus, yaitu Armigeres 40 spesies dan Leicesteria 18 spesies.

Nyamuk ini memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan nyamuk lainnya. Yang khas dari nyamuk ini berwarna hitam, bagian perutnya terdapat bercak-bercak putih, mempunyai proosis yang panjang dan melengkung ke bawah. Gigitannya sangat menyakitkan, bisa menggigit tubuh yang tertutup oleh baju. Menjelang magrib nyamuk ini aktif sekali dan masuk rumah (Hadi 2006)

(40)

2.3.2.8 Tripteroides

Tripteroides merupakan dari famili Culicidae (subfamili Culicinae) dan ordo Diptera (subordo Nematocera). Nyamuk ini memiliki tiga lobus pada bagian tepi skutelum posteriornya, rambut-rambut terbagi dalam tiga kelompok, tidak ada sisik rambut pada bagian spiracle, pada bagian calypter atas terdapat jumbai. (Stojanovich dan Scott 1965).

Menurut Baisas (1974) nyamuk ini memiliki kepala yang lebar, scales bagian posteriornya gelap, palpus yang pendek, gelap, scutal integument yang pucat kekuningan, kaki berwarna gelap tetapi bagian femora pucat dan bersifat zoophilic. Habitat pradewasa nyamuk ini adalah pada lubang-lubang di kayu, bambu, batok kelapa, daun yang jatuh dan lembab serta rumah siput yang berair. Tripteroides dapat di jumpai di daerah pemukiman dan area hutan, nyamuk ini mempunyai aktivitas setiap waktu (Anonimus 2008a).

2.3.3 Berbagai Jenis Kutu

2.3.3.1 Pediculus humanus humanus, Pediculus humanus capitis

Kutu badan atau kutu orang, Pediculus humanus humanus, termasuk ke dalam famili Pediculidae dan ordo Pthiraptera (subordo Anoplura). Kutu kepala, Pediculus humanus capitis, termasuk dalam famili Pediculidae dan ordo Pthiraptera (subordo Anoplura).

Morfologi dari kutu ini adalah berukuran sekitar 1-2 mm, bentuk kepala yang ovoid sedikit meruncing, abdomennya terdiri dari sembilan ruas, daerah kepalanya memliki sepasang mata sederhana di sebelah lateral, sepasang antena yang pendek dan probosis yang dapat memanjang. Tiap ruas toraks mempunyai sepasang kaki kuat, terdiri dari lima ruas dan mempunyai satu kuku untuk berpegangan erat pada rambut atau bulu. Ruas abdomen terakhir pada yang betina mempunyai lubang kelamin di tengah dan dua tonjolan genital di bagian lateralnya (Hadi dan Soviana 2000).

(41)

quintana (demam parit). Kutu ini dapat ditemukan pada semua umur, dari orang tua sampai anak-anak yang tidak memperdulikan kebersihan (Levine 1978).

2.3.3.2 Pthirus pubis

Kutu kelamin, Pthirus pubis, termasuk ke dalam famili Pthiridae dan ordo Pthiraptera (subordo Anoplura). Nama lain dari kutu ini adalah kutu kelamin atau kutu kepiting.

Kutu ini memiliki ukuran yang kecil sekitar 0,8-1,2 mm, bentuknya seperti kura-kura, kepalanya agak segi empat, abdomennya pendek dengan batas ruas tidak jelas serta mempunyai kuku yang besar dan kokoh (Hadi dan Soviana 2000). Weems (2007) menyatakan Pthirus pubis memiliki kaki depan yang lembut, panjang dan cakar yang ramping. Kaki belakang sangat kuat, pendek dan kokoh, mempunyai bentuk tibia seperti ibu jari. Abdomen pendek dan luas, tubuhnya bersegmen padat, yaitu 1-5 segmen. Stigmanya terdiri dari 3-5 buah yang terlihat nyata di lateralprocesus (Weems 2007).

Kutu ini menghisap darah dan menginfeksi rambut di daerah pubis serta daerah perineal. Pthirus pubis bisa pindah sampai ke bagian ketiak, janggut dan kumis. Kutu ini biasanya tinggal di manusia dewasa dan tak ditemukan pada anak-anak di masa pubertas. Infestasi kutu ini terjadi karena kontak saat koitus (Levine 1978).

2.3.2 Tungau, Sarcoptes scabiei

Sarcoptes scabiei termasuk ke dalam famili Sarcoptidae dan ordo Acariformes (subordo Astigmata). Tungau ini berukuran kecil, bulat berukuran 330-600 mikron panjang dan lebarnya 250-400 mikron untuk betina, sedangkan jantan berukuran lebih kecil, yaitu 200-240 mikron untuk panjang dan lebarnya 150-200 mikron, memiliki kaki yang pendek, pasangan kaki yang ketiga dan yang keempat tidak melebihi batas tubuh. Beberapa pasang kaki dilengkapi dengan alat peghisap. Pada bidang dorsal terdapat lipatan-lipatan halus dan cekungan-cekungan memanjang secara transversal (Hadi dan Soviana 2000).

(42)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan tempat penelitian

Waktu penelitian dimulai pada bulan Juli 2007 hingga Januari 2008. Penelitian dilakukan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC), Kebun Binatang Bandung, Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan Laboratorium Entomologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB. Pengambilan spesimen dilakukan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC), Kebun Binatang Bandung (KBB), Taman Marga Satwa Ragunan (TMR), dan Taman Safari Indonesia (TSI) dan proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB.

3.2 Hewan yang diteliti

Hewan yang diteliti adalah Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) yang jumlahnya masing-masing dua ekor di PPSC, dua ekor di KBB, dua ekor TSI dan dua ekor di TMR.

3.3 Metodologi

3.3.1 Pengamatan kondisi umum pada habitat ex-situ

Pengamatan kondisi umum pada habitat ex-situ dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan animal keeper di setiap habitat

ex-situ.

3.3.2 Koleksi spesimen ektoparasit

Penelitian ini dilakukan dengan mengoleksi spesimen ektoparasit yang diperoleh. Dalam pengoleksian spesimen digunakan beberapa alat, yaitu :

3.3.2.1 Sweep net (tangguk serangga)

(43)

menangkap serangga yang terbuat dari kelambu atau kasa plastik dan bagian tongkat pemegang yang terbuat dari kayu atau aluminium yang kuat dan mempunyai panjang sekitar 30 cm sampai dengan 90 cm. Penggunaan sweep net itu tendiri dari dua cara yaitu, mengayunkan tangguk ke arah serangga yang di cari dan mengayunkan atau menyapukan tangguk ke depan dan belakang (Hadi dan Soviana 2000).

3.3.2.2 Perangkap cahaya (light trap)

Light trap biasa digunakan pada serangga yang nocturnal atau aktif di malam hari, seperti agas dan nyamuk. Alat ini juga selain berguna untuk mengamati vektor dapat berguna pula sebagai telaah serangga terbang dan penyebarannya secara eksperimen (Hadi dan Soviana 2000). Light trap yang digunakan dalam penelitian adalah bentuk new jersey light trap. Perangkap ini dilengkapi dengan kipas penyedot ke arah bawah sehingga apabila serangga mendekat pada sumber cahaya yang terdapat pada light trap

maka akan tersedot dan tertahan pada alat penampung yang ada di bawahnya. Alat ini dipasang dengan cara di gantungkan pada ketinggian kira-kira 1,5 meter dari permukaan tanah di sekitar kandang orangutan, pemasangan dimulai dari pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00.

3.3.2.2 Cara manual dengan anastesi

(44)

Gambar 3 Anastesi orangutan dengan metode Tulup

3.4 Pengolahan sampel spesimen

Sampel spesimen diolah dengan cara pinning dan menggunakan alkohol 70%. Pembuatan spesimen dengan metode pinning atau penusukan spesimen dengan jarum, dilakukan untuk spesimen lalat, nyamuk, dan serangga lainnya yang didapat dari sweep net dan light trap. Serangga yang diperoleh dari light trap dimasukkan pada alat pendingin yang berfungsi untuk mematikan serangga yang diperoleh, kemudian serangga-serangga itu dipinning. Serangga yang di peroleh dari sweep net dimatikan dengan cara memasukkannya ke dalam killing jar, setelah serangga teranastesi kemudian serangga tersebut dipinning. Killing jar merupakan tabung pembunuh serangga yang terdiri dari gips, serbuk gergaji, cyanida dan botol selai bekas.

(45)

Pengawetan spesimen dengan menggunakan alkohol 70%, digunakan untuk pengawetan serangga yang kecil ukuran tubuhnya dan tidak dapat dipinning, seperti kutu, caplak, pinjal, Culicoides dan Drosophila. Spesimen tersebut dimsukkan ke dalam botol plastik bertutup yang telah diberi alkohol 70%, kemudian botol diberi label serta diberi keterangan yang jelas dan detail dengan menggunakan pensil HB.

3.5 Identifikasi spesimen

Proses identifikasi spesimen dilakukan dengan melihat kunci identifikasi. Untuk identifikasi nyamuk, menurut O’Cornor dan Soepanto (1999), Kunci Identifikasi Culex

Jentik dan Dewasa, Departemen Kesehatan (1989), Kunci Identifikasi Aedes Jentik dan Dewasa, Departemen Kesehatan (2000) dan Baisas (1974). Selain itu dengan membandingkan gambar yang diperoleh dari internet dan spesimen yang terdapat di laboratorium Entomologi.

3.6 Analisis data

(46)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada empat habitat ex-situ orangutan, yaitu Taman Marga Satwa Ragunan, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung dan Taman Safari Indonesia ditemukan jenis ektoparasit pengganggu, yaitu

Culex hutchinsoni, Culex quinquefasciatus, Culex fuscocephalus, Aedes albopictus, Armigeres foliatus, Armigeres subalbatus, Tripteroides sp, Culicoides sp, Musca domestica, Musca sp, Chrysomya megacephala, Drosophila melanogaster dan

Chironomus sp. Sebaran dari masing-masing dari ektoparasit tersebut disajikan pada Tabel 1-5.

4.1 Taman Marga Satwa Ragunan (TMR)

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan di TMR, yaitu Culex quinquefasciatus, Aedes albopictus, Chironomus sp, Drosophila melanogaster, Chrysomya megacephala,

dan Musca domestica.

Tabel 1 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di TMR

(47)

Gambar 4 Jenis-jenis Ektoparsit Pengganggu Orangutan yang di Temukan pada Habitat

Ex-situ TMR, PPSC, KBB, TSI. (A) Armigeres subalbatus, (B) Aedes albopictus

(Anonimus 2008f), (C) Culicoides sp (Bowles dan Swaby 2006), (D) Musca sp, (E) Chrysomya megacephala, (F) Drosophila melanogaster, (G) Chironomus sp

(Anonimus 2008c), (H) Culex fuscocephalus (Anonimus 2008e), (I) Culex hutchinsoni, (J) Culex quinquefasciatus (Anonimus 2008d), (K) Tripteroides sp,

(L) Musca domestica.

A B C

D E F

G H I

(48)

Manajemen perkandangan di Taman Marga Satwa Ragunan, terawat dengan baik. Kandang tidur dibersihkan setiap hari ketika orangutan sedang berada di kandang peraga. Orangutan yang berada di TMR terawat dengan baik sehingga tidak ditemukan keropeng-keropeng pada kulit yang biasanya disebabkan oleh tungau. Animal keeper bekerjasama dengan dokter hewan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan setiap hari. Di TMR tidak kasus orangutan terinfestasi ektoparasit.

Daerah sekitar kandang orangutan merupakan kebun yang ditumbuhi banyak pepohonan yang rindang serta letak dari Ragunan yang berada di tengah kota sehingga dapat ditemukan nyamuk dan lalat yang biasa tinggal di daerah pemukiman penduduk. Pakan yang diberikan adalah buah-buahan dan sayuran, oleh karena dapat ditemukan lalat buah di sekitar kandang. Kandang peraga terdapat kayu yang dirancang mirip dengan habitat di alam. Kandang dikelilingi dengan pepohonan yang cukup rindang sehingga dapat dijumpai nyamuk yang berhabitat di kayu yang lapuk. Pengambilan spesimen dilakukan dengan pemasangan light trap, sweep net dan anastesi

Culex quinquefasciatus (Gambar 4.J)diperoleh di TMR dengan derajat infestasi yang tinggi karena nyamuk ini bersifat yang kosmopolit dan tinggal di dekat pemukiman penduduk (Levine 1978). Nyamuk ini diperoleh dengan light trap karena C. quinquefasciatus merupakan nyamuk yang bersifat nokturnal dan beraktifitas sekitar pukul 22.00 sampai dengan 02.00 (Sigit dan Hadi 2006).

Aedes albopictus (Gambar 4.B) ditemukan dengan derajat infestasi sedang dan diperoleh dengan light trap. Nyamuk ini merupakan nyamuk yang biasa beraktifitas pada pagi, siang dan sore hari (Sigit dan Hadi 2006), ada kemungkinan nyamuk ini masih beredar pada kisaran pukul 17.00 sampai dengan 18.00 sehingga nyamuk ini tertangkap dengan light trap karena perangkap ini dipasang dari pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00. Menurut Hadi dan Soviana (2000) Aedes albopictus merupakan nyamuk kebun yang dapat dijumpai di daerah dengan pepohonan yang rindang oleh karena itu nyamuk.

Chironomus sp (Gambar 4.G) ditemukan disekitar kandang orangutan dengan derajat infestasi sedang. Kandang orangutan terdapat kayu yang sudah lapuk. Chironomus sp

(49)

Drosophila melanogaster (Gambar 4.F) diperoleh dengan derajat infestasi sedang. Menurut Hall dan Gerhardt (2002) lalat ini dapat ditemukan karena pakan dari orangutan adalah buah-buahan dan sayuran. Lalat ini diperoleh dengan sweep net di sekitar kandang orangutan.

Chrysomya megacephala (Gambar 4.E) diperoleh karena TMR dekat dengan pemukiman penduduk dan kandang orangutan yang berdekatan dengan kandang satwa lainnya. Menurut Boror et al. (1996) lalat ini merupakan lalat yang hidup kosmopolit dan dapat ditemukan di dekat pemukiman penduduk selain itu lalat ini juga dapat ditemukan di tempat yang terdapat zat organik yang membusuk dan bangkai, lalat ini diperoleh dengan sweep net.

Musca domestica (Gambar 4.L) diperoleh di TMR karena lalat ini hidup kosmopolit yang bisa hidup dimana saja serta dekat dengan pemukiman penduduk (Moon 2002). Lalat ini diperoleh dengan sweep net. Pada metode anastesi tidak ditemukan keropeng kulit yang bisa disebabkan oleh tungau dan tidak ditemukan kutu, hal ini karena orangutan mempunyai kebiasaan menggrooming tubuhnya (Maple 1980).

4.2 Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC)

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan di PPSC, yaitu Culex quinquefasciatus, Aedes albopictus, Tripteroides sp, Chironomus sp, Drosophila melanogaster, Chrysomya

megacephala, Musca domestica dan Culicoides sp.

(50)

Tabel 2 Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di PPSC 2. Culex quinquefasciatus Diptera/ Culicidae +++ -

3. Chironomus sp Diptera/ Chironomidae + +

4. Musca domestica Diptera/ Muscidae - +++ 5. Chrysomya megacephala Diptera/ Calliphoridae - +

6. Drosophila melanogaster Diptera/ Drosophilidae - ++ 7. Culicoides sp Diptera/

Culex quinquefasciatus (Gambar 4.J) diperoleh di PPSC dengan derajat infestasi tinggi karena nyamuk ini bersifat kosmopolit dan tinggal di dekat pemukiman penduduk (Levine 1978). Nyamuk ini di dapat dengan light trap karena C. quinquefasciatus

merupakan nyamuk yang nokturnal aktivitasnya sekitar pukul 22.00 sampai dengan 02.00 (Sigit dan Hadi 2006).

Aedes albopictus (Gambar 4.B) diperoleh dengan derajat infestasi ringan dan ditemukan dengan light trap. Nyamuk ini merupakan biasa beraktifitas pada pagi, siang dan sore hari (Sigit dan Hadi 2006), ada kemungkinan nyamuk ini masih beredar pada kisaran waktu pukul 17.00 sampai dengan 18.00 sehingga nyamuk ini tertangkap pada perangkap light trap karena perangkap ini dipasang dari pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00. Menurut Hadi dan Soviana (2000) Aedes albopictus merupakan nyamuk kebun yang dapat dijumpai di daerah pepohonan yang rindang.

(51)

Drosophila melanogaster (Gambar 4.F) diperoleh dengan derajat infestasi sedang. Menurut Hall dan Gerhardt (2002) lalat ini dapat ditemukan karena pakan dari orangutan adalah buah-buahan dan sayuran. Lalat ini diperoleh dengan sweep net di sekitar kandang orangutan.

Musca domestica (Gambar 4.L)diperoleh karena lalat ini hidup kosmopolit yang bisa hidup dimana saja serta dekat dengan pemukiman penduduk (Moon 2002). Lalat ini diperoleh dengan sweep net.

Chrysomya megacephala (Gambar 4.E) diperoleh dengan derajat infestasi ringan. Menurut Boror et al. (1996) Chrysomya megacephala merupakan lalat yang hidup kosmopolit dekat pemukiman penduduk dan dapat ditemukan di tempat yang terdapat zat organik yang membusuk dan bangkai, lalat ini diperoleh dengan sweep net.

Tripteroides sp (Gambar 4.K)ditemukan dengan derajat infestasi ringan. Nyamuk dewasanya dapat ditemukan di daerah pemukiman penduduk dan di daerah hutan. Pradewasanya berkembang di genangan air, kayu yang lapuk, bambu, batok kelapa, daun dan ujung daun yang sudah lapuk dan rumah siput. Nyamuk ini beraktifitas setiap waktu (anonimus 2008).

Culicoides sp (Gambar 4.C) diperoleh dengan derajat infestasi sedang. Di sekitar kandang orangutan terdapat kolam karena kolam merupakan tempat berkerumunnya

Culicoides sp. Culicoides sp diperoleh dengan sweep net (Hadi dan Soviana 2000).

4.3 Kebun Binatang Bandung (KBB)

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan di KBB, yaitu Culex quinquefasciatus, Armigeres foliatus, Musca sp, Drosophila melanogaster, Chrysomya megacephala,

Culicoides sp, Chironomus sp dan Musca domestica.

(52)

mirip dengan habitat aslinya dan terdapat kolam pada kandang peraga sehingga dapat ditemukan nyamuk yang berkembangbiak didaerah tersebut. Pengambilan spesimen dilakukan, yaitu pemasangan light trap, sweep net dan anastesi.

Tabel 3. Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di KBB

No. Jenis Ordo/Famili 4. Drosophila melanogaster Diptera/ Drosophilidae - ++ - 5. Culicoides sp Diptera/

Culex quinquefasciatus (Gambar 4.J) diperoleh dengan derajat infestasi yang tinggi karena nyamuk ini bersifat yang kosmopolit dan tinggal di dekat pemukiman penduduk (Levine 1978). Nyamuk ini diperoleh dengan light trap karena C. quinquefasciatus

merupakan nyamuk yang bersifat nokturnal aktivitasnya sekitar pukul 22.00 sampai dengan 02.00 (Sigit dan Hadi 2006).

Drosophila melanogaster (Gambar 4.F) diperoleh dengan derajat infestasi sedang. Menurut Hall dan Gerhardt (2002) lalat ini dapat ditemukan karena pakan dari orangutan adalah buah-buahan dan sayuran. Lalat ini diperoleh dengan sweep net di sekitar kandang orangutan.

(53)

Musca domestica (Gambar 4.L) diperoleh dengan derajat infestasi ringan. Menurut Moon (2002) Musca merupakan lalat yang bersifat kosmopolit dan tinggal dekat pemukiman penduduk. Lalat ini diperoleh dengan sweep net. Selain itu ditemukan juga spesies lain, yaitu Musca sp (Gambar 4.D) yang memiliki ukuran lebih kecil dari Musca domestica, lalat ini tidak bisa diidentifikasi karena spesimennya sudah rusak.

Culicoides sp (Gambar 4.C) diperoleh dengan derajat infestasi sedang. Di kandang peraga terdapat kolam. Kolam merupakan salah satu habitat pradewasa dari agas ini (Hadi dan Soviana 2000). Culicoides sp diperoleh dengan sweep net.

Armigeres foliatus ditemukan di KBB dalam dengan derajat infestasi ringan. Habitat pradewasa nyamuk ini adalah bambu, kayu-kau yang lapuk dan berlubang, pohon palem, dedaunan yang jatuh dan batok kelapa. Nyamuk ini bersifat zoophilic dan aktif setiap hari. Nyamuk ini dapat di jumpai di daerah hutan atau daerah yang rindang (Harbach 2008), karena bersifat zoophilic sehingga dapat ditemukan nyamuk ini disekitar kandang. Pada manual anastesi tidak ditemukan keropeng kulit. Selain itu orangután memiliki kebiasaan menggrooming tubuhnya (Maple 1980).

4.4 Taman Safari Indonesia (TSI)

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan di TSI, yaitu Culex hutchinsoni, Culex quinquefasciatus, Culex fuscocephalus, Aedes albopictus, Armigeres subalbatus,

Armigeres foliatus, Chironomus sp dan Drosophila melanogaster.

Manajemen perkandangan di TSI, termasuk terawat dengan baik. Kandang dibersihkan setiap hari. Orangutan yang berada di TSI terawat dengan baik sehingga tidak ditemukan keropeng-keropeng pada kulit. Pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap hari oleh dokter hewan TSI. Lokasi TSI jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak ditemukan lalat yang biasa dijumpai di pemukiman penduduk. Kandang orangutan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang sehingga dapat ditemukan nyamuk yang berhabitat ditempat tersebut. Kandang peraga terdapat kayu, ban, tali dan air terjun buatan. Pakan yang diberikan adalah buah dan sayuran maka dapat dijumpai lalat buah disekitar kandang. Pengambilan spesimen dilakukan yaitu pemasangan light trap dan

(54)

Tabel 4. Jenis-jenis ektoparsit yang ditemukan pada habitat ex-situ di TSI 3. Culex quinquefasciatus Diptera/ Culicidae + - 4. Culex fuscocephalus Diptera/ Culicidae + - 5. Armigeres subalbatus Diptera/ Culicidae ++ - 6. Armigeres foliatus Diptera/ Culicidae + - 7. Chironomus sp Diptera/

Chironomidae

++ -

9. Drosophila melanogaster Diptera/Drosophilidae - ++ Ket : LT : light trap SN : sweep net

Spesies Culex yang ditemukan di TSI adalah C. hutchinsoni (Gambar 4.I), C. quinquefasciatus (Gambar 4.J), C. fuscocephalus (Gambar 4.H). C. quinquefasciatus

ditemukan dengan derajat infestasi ringan karena nyamuk ini bersifat yang kosmopolit (Hadi dan Soviana 2000). C. fuscocephalus ditemukan dengan derajat infestasi ringan. Habitat dari nyamuk ini adalah genangan air, selokan dan air di sawah, serta di pemukiman penduduk, bersifat zoophilic (Baisas 1974). Nyamuk ini diperoleh dengan

light trap karena Culex merupakan nyamuk yang bersifat nokturnal aktivitasnya sekitar pukul 22.00 sampai 02.00 (Sigit dan Hadi 2006).

Aedes albopictus (Gambar 4.B) ditemukan dengan derajat infestasi sedang. Nyamuk ini merupakan nyamuk yang biasa beraktifitas pada pagi, siang dan sore hari (Sigit dan Hadi 2006), ada kemungkinan nyamuk ini masih beredar pada kisaran pukul 17.00 sampai dengan 18.00 sehingga nyamuk ini tertangkap oleh light trap karena dipasang dari pukul 18.00 sampai pada pukul 06.00. Menurut Hadi dan Soviana (2000) Aedes albopictus merupakan nyamuk kebun yang dapat dijumpai di daerah dengan pepohonan yang rindang.

Jenis Armigeres yang ditemukan adalah Armigeres subalbatus (Gambar 4.A) dan

Armigeres foliatus. Armigeres foliatus ditemukan dengan derajat infestasi ringan.

(55)

tidak terdapat strip hitam dan putih sedangkan Armigeres subalbatus bagian perutnya terdapat strip hitam dan putih. Habitat pradewasa nyamuk ini adalah bambu, kayu-kau yang lapuk dan berlubang, dedaunan yang jatuh dan batok kelapa, nyamuk ini bersifat

zoophilic, nyamuk ini aktif setiap hari dan dapat di jumpai di daerah hutan atau daerah yang rindang (Harbach 2008), karena bersifat zoophilic sehingga dapat dijumpai disekitar kandang.

Chironomus sp (Gambar 4.G) ditemukan dengan derajat infestasi ringan. Kandang peraga terdapat kayu lapuk air terjun buatan. Nyamuk ini ditemukan dengan light trap, karena agas ini terdapat dalam jumlah yang banyak ketika sore hari (Borror et al. 1996).

Gambar

Gambar 2. Distribusi Orangutan (Shapiro 2008)
Gambar 3    Anastesi orangutan dengan metode Tulup
Tabel 1-5.
Gambar 4 Jenis-jenis Ektoparsit Pengganggu Orangutan yang di Temukan pada Habitat Ex-situ TMR, PPSC, KBB, TSI
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian adalah data spasial orangutan kalimantan di SM Sungai Lamandau yang digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat digunakan sebagai data

makan orangutan kandang sos-111, selama interval waktu antara jam pemberian pakan lebih banyak aktivitas pergerakan karena sumber pakan sudah tidak ada.. Sehingga

Dari variasi jenis makanan yang sangat tinggi ini dapat dikatakan Tabel 5 Bagian tumbuhan yang dikonsumsi orangutan Pusat Primata Schmutzer.. Jenis Tumbuhan

Selain itu, mengingat hutan tepi Sungai Menamang merupakan salah satu habitat penting bagi orangutan pada lanskap yang telah terdegradasi (Meijaard et al., 2010),

Berdasarkan analisa vegetasi dari temuan pakan yang ada di semua plot di jalur transek kedua blok, jumlah pakan orangutan lebih dari 60% dibandingkan dengan jenis

Berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh anak orangutan di PPS dan TSI diperoleh rata-rata persentase perilaku yang paling banyak dilakukan anak orangutan secara

seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro (2004) yang menyatakan bahwa perilaku harian orangutan meliputi 46% perilaku makan, 30% perilaku istirahat, 12%

Hasil dan Pembahasan Hasil pemeriksaan sampel feses Orang- utan Sumatera Pongo abelii dan Orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus dengan menggunakan metode floatasi, modified