• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Secara Ex-Situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengelolaan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Secara Ex-Situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)

SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN

TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR

SKRIPSI

Oleh:

LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR 061201036

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Usul : Pengelolaan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Secara Ex-Situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar

Nama : Lolly Esterida Banjarnahor

NIM : 061201036

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh,

Komisi Pembimbing

Pindi Patana S.Hut M.Sc Rahmawaty S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Anggota

Mengetahui,

(3)

ABSTRACT

LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Study Of Management Of Orangutan (Pongo abelii) In Ex-Situ Conservation Region, Medan Zoo and Pematang

Siantar Animal Park. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and RAHMAWATY.

Research conducted from May 2010 until June 2010. Research object consist of 3 male orangutans. Observation method in research for knowing management of orangutan use a observation method and focal animal sampling method, which was recorded every five minute as an unit sample. To know the public perception, the purposive sampling was conducted. Data analysis using descriptive analysis.Data observed analyzed of descriptive.

The results of research indicated that the shape management of orangutans at Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park are refers to the management of animal parks was incurred by the Association of Zoos All Indonesia (PKBSI). The level of the welfare of orangutans at Medan zoo and Pematang Siantar Animal Park is low, the social needs does not satisfied in the framework of sustainability species.Orangutans Conservation Strategy in the Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park conducted with used of animals without considered the sustainability of species. The Results of interviews with visitors at the Medan Zoo visitors as much as 87.5% agreed orangutans were kept in cages, whereas in Siantar Animal Park as much as 92.5% agreed orangutans are kept in cages.

(4)

ABSTRAK

LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Pengelolaan Orangutan (Pongo abelii) Secara Ex-situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY

Penelitian dilakukan selama bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010. Objek penelitian terdiri dari 3 ekor orangutan jantan. Metode pengamatan pada penelitian untuk mengetahui pengelolaan orangutan menggunakan metode observasi dan metode focal animal sampling, yaitu mencatat setiap lima menit sebagai satu unit sampel. Untuk mengetahui persepsi masyarakant menggunakan metode wawancara secara purposive sampling. Analisis data menggunakan analisis deskriptif.

Data yang telah diamati dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tidak merujuk kepada pengelolaan taman satwa yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI). Tingkat kesejahteraan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tergolong rendah, kebutuhan sosial tidak terpenuhi dalam rangka kelestarian jenis. Strategi konservasi orangutan di kebun binatang Medan dan taman hewan Pematang Siantar dilakukan dengan pemanfaatan satwa tanpa memperhatikan kesinambungan satwa. Hasil wawancara dengan pengunjung di Kebun Binatang Medan sebanyak 87,5% pengunjung menyetujui orangutan dipelihara di kandang, sedangkan di Taman Hewan Pematang Siantar sebanyak 92,5% menyetujui orangutan dipelihara di kandang.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Lolly Esterida Banjarnahor yang lahir di Onan Ganjang

tanggal 25 November 1988 dari ayah yang bernama Todo Banjarnahor dan ibu

bernama Lamria Siahaan. Penulis merupakan putrid ketujuh dari delapan

bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis, lulus Sekolah Dasar Inpres 173461 Onan

Ganjang tahun 2000, selanjutnya penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Onan Ganjang

tahun 2003, jenjang SMA penulis selesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1

Onan Ganjang, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di

Universitas Sumatera Utara dan memilih Program Studi Manajemen Hutan

Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan di Departemen Kehutanan

yaitu Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS), UKM KMK UP Pertanian, Paduan

Suara Consolatio Universitas Sumatera Utara. Penulis melaksanakan Praktek

Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Gunung Leuser,

Tangkahan pada bulan Juni 2008 dan di Pulau Sembilan, kemudian melaksanakan

kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,

KPH Banyuwangi Utara pada bulan Juni sampai Juli 2010.

Penulis melakukan penelitian dari bulan April 2010 sampai Juni 2010

dengan judul “Pengelolaan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Secara Ex-situ, di

Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar”, di bawah

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala

hikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini

berjudul ”Studi Pengelolaan Orangutan (Pongo abelii) di Kawasan Konservasi

Ex-Situ, Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar”.

Pada kesempatan ini penulis menghanturkan terimakasih yang

sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Todo Banjarnahor dan Ibunda Lamria Siahaan yang

telah membesarkan, membimbing, memberikan masukan moril dan materil

kepada penulis, beserta seluruh keluarga yang penulis sayangi

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Pindi Patana, S.Hut dan

Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D, selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Penulis juga

mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar dan pegawai di kampus

kehutanan usu, beserta rekan-rekan mahasiswa yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Sumatran

Orangutan Society-Orangutan Information Center (SOS-OIC) dan Orangutan

Republik Education Initiative (OUREI) atas dukungannya sekaligus sponsorship

penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa, hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu, penulis menerima masukan dan koreksi untuk perbaikan selanjutnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2010

(7)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Orangutan... 4

Anatomi Orangutan... .. 5

Klasifikasi Orangutan... 6

Distribusi Orangutan ... 6

Perilaku... 8

Ancaman Kelestarian Orangutan... 10

Konservasi... 11

Konservasi In-Situ... 12

Konservasi Ex-Situ... 13

METODE PENELITIAN Aktivitas Harian Orangutan...………....………...….. 27

Pengelolaan Orangutan... ... 44

Persepsi Pengunjung………... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan…….……….. 59

Saran…….……… 60

DAFTAR PUSTAKA... 61

(8)

DAFTAR TABEL

No

Hal.

1. Hewan Hasil Tangkaran di THPS... 19

2. Aktivitas Harian Orangutan... 26

3. Orangutan di THPS dan KBM... .... 27

4. Kategori Orangutan menurut berdasarkan Umur/ Jenis Kelamin Menurut Galdikas... 28

5. Perbedaan Perilaku Kopral dan Tungir di Kandang... 30

6. Evaluasi satwa bebas dari Kelaparan dan Kehausan... 36

7. Tabel Bebas dari Ketidaknyamanan Suhu dan Fisik... 37

8. Penyediaan Fasilitas Bagi Kesehatan Satwa... 38

9. Tabel bebas dari penyakit dan luka menurut PKBSI (2004) ... 39

10.Tabel Evaluasi Satwa Bebas untuk Bertingkah Laku Normal Standar PKBSI... 41

11. Standard Pengelolaan satwa dari Ketakutan dan Stress... 43

12.Perbedaan Pola Makan Orangutan di KBM dan THPS... 45

13.Jenis Pakan Orangutan di KBM... 47

14.Jenis Pakan Orangutan di THPS... 48

15.Kondisi Kandang Orangutan di KBM dan THPS... 49

16.Perawatan kandang di KBM dan THPS menurut SMZP... 50

17.Jenis Penyakit, Penyebab Penyakit dan Tindakan Medis di KBM... 52

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Orangutan Fokal di KBM dan THPS... 27

2. Perbandingan Aktivitas Harian Orangutan Menurut Tempat... 28

3. Aktivitas Harian Orangutan di Kawasan In-situ, Bukit Lawang... 31

4. Perbandingan Pengunjung yang Menyukai Orangutan... 55

5. Perbandingan Pengunjung yang Mengetahui Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Primata yang Dilindungi... 56

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Lokasi Penelitian... 64

2. Data Administrasi Tempat Penelitian………... 65

3. Foto Orangutan di Kebun Binatang Medan ... 66

4. Orangutan Taman Hewan Pematang Siantar……… 67

5. Ekspresi Tungir Terhadap Pengunjung... ..……… 67

6. Tindakan Sosio-seksual kopral...……… 67

7. Hasil Wawancara Kepada Pengunjung... 68

8. Hasil observasi dan wawancara standar PKBSI ... 71

9. Tabulasi Data Aktivitas Harian Orangutan ... 77

10.Kuisioner Wawancara... 79

11.Surat Izin Melakukan Penelitian... 81

(11)

ABSTRACT

LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Study Of Management Of Orangutan (Pongo abelii) In Ex-Situ Conservation Region, Medan Zoo and Pematang

Siantar Animal Park. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and RAHMAWATY.

Research conducted from May 2010 until June 2010. Research object consist of 3 male orangutans. Observation method in research for knowing management of orangutan use a observation method and focal animal sampling method, which was recorded every five minute as an unit sample. To know the public perception, the purposive sampling was conducted. Data analysis using descriptive analysis.Data observed analyzed of descriptive.

The results of research indicated that the shape management of orangutans at Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park are refers to the management of animal parks was incurred by the Association of Zoos All Indonesia (PKBSI). The level of the welfare of orangutans at Medan zoo and Pematang Siantar Animal Park is low, the social needs does not satisfied in the framework of sustainability species.Orangutans Conservation Strategy in the Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park conducted with used of animals without considered the sustainability of species. The Results of interviews with visitors at the Medan Zoo visitors as much as 87.5% agreed orangutans were kept in cages, whereas in Siantar Animal Park as much as 92.5% agreed orangutans are kept in cages.

(12)

ABSTRAK

LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Pengelolaan Orangutan (Pongo abelii) Secara Ex-situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY

Penelitian dilakukan selama bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010. Objek penelitian terdiri dari 3 ekor orangutan jantan. Metode pengamatan pada penelitian untuk mengetahui pengelolaan orangutan menggunakan metode observasi dan metode focal animal sampling, yaitu mencatat setiap lima menit sebagai satu unit sampel. Untuk mengetahui persepsi masyarakant menggunakan metode wawancara secara purposive sampling. Analisis data menggunakan analisis deskriptif.

Data yang telah diamati dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tidak merujuk kepada pengelolaan taman satwa yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI). Tingkat kesejahteraan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tergolong rendah, kebutuhan sosial tidak terpenuhi dalam rangka kelestarian jenis. Strategi konservasi orangutan di kebun binatang Medan dan taman hewan Pematang Siantar dilakukan dengan pemanfaatan satwa tanpa memperhatikan kesinambungan satwa. Hasil wawancara dengan pengunjung di Kebun Binatang Medan sebanyak 87,5% pengunjung menyetujui orangutan dipelihara di kandang, sedangkan di Taman Hewan Pematang Siantar sebanyak 92,5% menyetujui orangutan dipelihara di kandang.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan sumatera dan orangutan kalimantan adalah dua jenis satwa

primata yang menjadi bagian penting dari kekayaan keanekaragaman hayati kita,

dan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga

kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan

dianggap sebagai suatu ‘flagship species’ yang menjadi suatu simbol untuk

meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak

dalam aksi konservasi. Kelestarian orangutan di habitatnya juga menjamin

kelestarian hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya. Dari sisi ilmu

pengetahuan, orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu

cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar

Afrika (Caldecott dan Miles, 2005).

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau

Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak

dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu

penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan.

Kondisi ini menyebabkan orangutan berada di ambang kepunahan, serta menjadi

langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi

keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999

tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional

orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (endangered

(14)

Resources) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix

I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan

orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu

perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan. Tindakan pelestarian

orangutan yaitu konservasi (Meijaard et al., 2001).

Konservasi dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ. In-situ adalah upaya

konservasi di dalam habitat alaminya. Sedangkan ex-situ adalah upaya konservasi

di luar habitat alaminya. Konservasi ex-situ diharapkan dapat menjadi jalan dalam

upaya penyelamatan orangutan. Dalam hal ini, mengembangkan konservasi

ex-situ sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi in-ex-situ orangutan. Konservasi

ex-situ orangutan dapat dilakukan dengan cara rehabilitasi, reintroduksi,

penangkaran dan pemeliharaan di kandang. Mengacu pada konsep konservasi

ex-situ sebagai bagian dari konservasi in-ex-situ, maka perlu diketahui perbedaan

dampak dari kedua tindakan konservasi tersebut, seperti perubahan perilaku dan

tingkat keberhasilan penyelamatan orangutan.

Pemeliharaan satwa di kandang seperti di kebun binatang (lembaga

konservasi) memiliki prosedur yang diterbitkan oleh Perhimpunan Kebun

Binatang Se-Indonesia (PKBSI). Namun, dalam konteks pelaksanaan di lapangan

banyak ditemukan kejanggalan dan ketidaksesuaian prosedur pemeliharaan satwa.

Hal ini sangat memprihatinkan, dimana banyak satwa yang sakit, lingkungan

tempat tinggal (kandang) yang tidak layak, kelaparan dan bahkan kematian. Hal

ini terjadi juga pada orangutan di kebun binatang. Pada Bulan Februari 2010,

Kebun Binatang Medan kehilangan satu orangutan betina. Orangutan betina

(15)

terjadi kematian. Kematian tersebut sangat memprihatinkan, berarti masih sangat

kurangnya penyediaan fasilitas kesehatan yang layak yang merupakan salah satu

pendukung terjaminnya kesejahteraan satwa. Bagaimana keberlanjutan spesies

apabila kesejahteraan satwa tidak terpenuhi. Keprihatinan tersebut yang

melatarbelakangi penulis mengangkat topik ini dan melakukan penelitian

bagaimana pengelolaan orangutan serta kesejahteraan orangutan di kebun

binatang. Penulis melakukan penelitian di Kebun Binatang Medan (KBM) dan

Taman Hewan Pematang Siantar (THPS).

Tujuan Penelitian

1. Mengamati aktivitas harian orangutan dan hubungannya pada tingkat

kesejahteraan orangutan di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan

Pematang Siantar.

2. Mengetahui bentuk pengelolaan orangutan dalam mengambil strategi

konservasi orangutan di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan

Pematang Siantar.

3. Mengetahui persepsi pengunjung terhadap keberadaan orangutan di Kebun

Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan deskripsi pengelolaan orangutan dan kelestariannya di Kebun

Binatang Simalingkar dan Taman Hewan Pematang Siantar.

2. Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai perilaku harian

orangutan dan tingkat kesejahteraannya yang berada di lembaga

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Orangutan

Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar

yang sama dengan saudara-saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan,

kera besar satu-satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di

pedalaman hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut anggapan beberapa

ahli taksonom, ada satu spesies dengan dua sub-spesies orangutan, satu pada tiap

pulau atau dua spesies, yaitu spesies Sumatera (Pongo abelii) dan spesies

Kalimantan (Pongo pygmaeus). Nama lokal berbeda-beda. Ironisnya nama

“Orangutan” jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami

orangutan. Di Sumatera, lazim digunakan julukan “Mawas”. Di Kalimantan,

berbagai nama digunakan, termasuk “Maias” atau “Kahiyu”

(Rijksen dan Meijaard, 1999 dalam Schaik, 2006).

Nama orangutan berasal dari bahasa Melayu, yaitu “orang” dan “hutan”,

yang dapat diartikan sebagai orang yang berasal dari hutan. Selain itu juga dalam

berbagai bahasa Orangutan dikenal juga dengan nama Mawas (Sumatera Utara)

dan Maweh (Aceh). Orangutan merupakan satu-satunya jenis kera besar yang

keberadaannya hanya ditemui di Asia Tenggara atau tepatnya di Indonesia dan

Malaysia. Sedangkan jenis kera besar lainnya, yaitu gorila (Pan gorilla), simpanse

(Pan troglodytes), dan bonobo (Pan paniscus) berada di benua Afrika

(17)

Anatomi Orangutan

Orangutan sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang

lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus),

warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna dan Edy, 2000),

dan jika dilihat dari mikroskop berambut membulat, mempunyai kolom pigmen

gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat

ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (Meijaard et al., 2001).

Pada bagian wajah orangutan sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki rambut

putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan

rambut orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang-jarang

(Galdikas, 1978).

Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang

berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa

warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh

orangutan jantan 2 kali lebih besar daripada betina (Supriatna dan Edy, 2000).

Berat badan betina orangutan sumatera (Pongo abelii) maupun orangutan

kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan

jantan orangutan sumatera (Pongo abelii) rata-rata 66 kg dan orangutan

kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 73 kg (Galdikas, 1978). Menurut

Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi

mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan

yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak-jarak jauh yang berfungsi untuk

merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki

(18)

(Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km serta terdengar

memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).

Klasifikasi Orangutan

Menurut Jones et al., (2004), primata diklasifikasikan berdasarkan tiga

tingkatan taksonomi yaitu :

1. Secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

secara terang-terangan.

2. Secara ilmiah populasi yang tidak memiliki nama yang terdapat di daerah

tersebut dengan bukti terpercaya yang taksonominya dikenali secara terpisah

kemungkinan benar.

3. Secara ilmiah nama spesies dan subspesies yang dikenali belum pasti dan

memerlukan investigasi lebih lanjut.

Berdasarkan tingkatan tersebut, orangutan Sumatera diklasifikasikan menjadi:

Kelas : Mammalia

Bangsa : Primata

Anak bangsa : Anthropoidea

Famili : Hominoidea

Subfamili : Pongidae

Genus : Pongo

Jenis : Pongo abelii.

Distribusi Orangutan Menurut Sebaran Geografis dan Variasi Kepadatan Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan

(19)

tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan

pegunungan. Di Borneo, orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di

atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat

mencapai hutan pegunungan pada 1.000 mdpl (Caldecott dan Lera, 2005).

Kepadatan orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun

drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada

laporan yang menyatakan individu jantan soliter sumatera dapat ditemukan

sampai ketinggian 1.500 mdpl, sebagian besar populasi orangutan dijumpai jauh

di bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dan dataran rendah. Sayangnya,

tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan

dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan

orangutan juga paling sering terjadi disana (Singleton dan Schaik, 2001).

Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang

disukai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan

buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga,

dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih

dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan

orangutan (Grundman et al., 2009).

Kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai

dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran

banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang

memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per km2. Sementara itu, di Sumatera

terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per km2. Daerah

(20)

Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per km2, dan 3 lokasi

di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9 ± 1,4 individu per km2. Di hutan

perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah

dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo

rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per km2 dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5

individu per km2) (Singleton, 2000).

Perilaku Orangutan

Orangutan pada umumnya bersifat individu atau soliter dan pada saat

tertentu dapat hidup berdampingan dengan individu yang lain, seperti saat

reproduksi dan induk betina dengan anak yang belum mandiri. Orangutan bersifat

arboreal yaitu menghabiskan hidupnya di pepohonan dengan bergelantungan dari

dahan satu ke dahan lain dengan menggerakkan anggota tubuhnya dan orangutan

selalu membuat sarang untuk tidur menjelang malam (Supriatna dan Edy, 2000).

Berdasarkan Basalamah (2006), aktivitas harian dari orangutan

berdasarkan pencatatan data untuk aktivitas harian yang dijadikan sebagai Point

Sampel dilakukan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Makan (feeding) : meliputi seluruh waktu yang digunakan untuk memilih,

memegang, mengambil dan sebelum memasukkan makanan ke mulut.

2. Istirahat (resting) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu orangutan

dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu tertentu baik di

dalam maupun di luar sarang seperti merebahkan diri, duduk, berdiri maupun

(21)

3. Bergerak pindah (moving) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu

target dalam melakukan gerak berpindah dari satu cabang pohon ke cabang

lainnya ataupun dari satu tempat ke tempat lain.

4. Sosial (social) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam

melakukan kontak dengan individu lain. Beberapa kategori yang dimasukkan

ke dalam aktivitas sosial antara lain : pengusiran (agonistik), bermain

(playing), mengutui (grooming) dan reproduksi.

5. Bersarang (nesting) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target

dalam membuat sarang, yaitu mematahkan daun/dahan, membawa dan

menyusun daun/dahan sampai menjadi bentuk sarang.

Suatu wilayah dapat digunakan oleh beberapa orangutan dengan

bermacam-macam pola jelajah. Hal ini diinterpretasikan oleh beberapa pengamat

dalam terminologi tiga kelas sosial yang dihubungkan dalam perilaku jelajah :

penetap, pendatang, dan pengembara. Data dari orangutan yang ada di kawasan

Ketambe, yang merupakan salah satu habitat asli orangutan, jumlah persentase

orangutan sebagai penetap adalah diatas 60% dari populasi, 30% adalah

pendatang dan 10% adalah pengembara. Perilaku jelajah mungkin dapat

dijelaskan dalam terminologi yang sangat luas dari daerah jelajah, salah satunya

adalah yang digunakan terus-menerus daripada yang lainnya, tergantung pada

perbedaan sosial dan faktor ekologi/lingkungan. Perbedaan antara populasi

orangutan dalam perilaku jelajah mungkin dikendalikan oleh sumber daya alam

(Caldecott dan Miles, 2005).

Jumlah individu satwa liar yang dapat hidup di suatu tempat ditentukan

(22)

ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu

tepat dan sebagai tempat peristirahatan yang aman (Meijaard et al., 2001).

Produktivitas tumbuhan yang menghasilkan buah yang bersifat musiman juga

berpengaruh terhadap perilaku makan serta perilaku jelajah dari orangutan.

Ancaman Kelestarian Orangutan

Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap

lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan

di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang

akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, kebakaran

hutan serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan

otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada tahun 1998

juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi

di Indonesia (Dephut, 2009).

Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang

dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi

orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun

2001, sebagian tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada

pemerintah daerah. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar

yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan

pengelolaan hutan semakin sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan

seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi

(23)

Status Konservasi

Orangutan (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera

yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang

oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan

populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini

menyebabkan orangutan berada diambang kepunahan, serta menjadi langka dan

akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh

UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah

satwa yang termasuk dalam kategori genting (Endangered Species) IUCN

(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan

tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES

(Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan orangutan

yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, perlu adanya

tindakan untuk pelestarian orangutan. Tindakan pelestarian orangutan yaitu

konservasi (Meijaard et al., 2001).

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Dalam undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan ekosistemnya, yang dimaksud dengan konservasi

sumberdaya hayati adalah : pengelolaan sumber daya alam hayati yang

pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan

persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

(24)

Secara umum, konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan

sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk

menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Secara khusus, konservasi

orangutan adalah segala bentuk pengelolaan orangutan yang dilakukan secara

bijaksana untuk menjamin kesinambungan populasi dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas hidup orangutan dan nilainya (UU No.5 Tahun 1990).

Konservasi In-Situ

Konservasi in-situ merupakan kegiatan pelestarian orangutan di habitat

aslinya. Strategi bertujuan agar semua pemangku kepentingan bekerjasama

memantau pengelolaan konservasi orangutan dan habitatnya. Pemantapan

kawasan, pengembangan koridor, realokasi Kawasan Budidaya Non Kehutanan

(KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa aktivitas yang bisa

dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya. Perlindungan habitat

menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi in-situ orangutan. Salah satu

penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan tata ruang yang kurang

baik (Dephut, 2009).

Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan hutan yang ada saat

ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk penggunaan lain. Ini

akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan yang populasinya

sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam punah

(orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada tingkat

tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku

(25)

seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan. Habitat orangutan

djumpai di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga

di kawasan budidaya non kehutanan (Dephut, 2009).

Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan liar dijumpai di luar

kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh

HPH/ (Hutan Tanaman Industri) HTI dan hutan lindung. Orangutan akan bisa

bertahan hidup di areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu

banyak yang dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat

orangutan juga banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan

(KBNK) dimana kawasan ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan

lain, seperti perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha

juga harus dilibatkan dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga

dampak akibat pembangunan baik di sektor kehutanan maupun di luar kehutanan

terhadap orangutan dapat diminimalisir (Meijaard et., 2001)..

Konservasi Ex-Situ

Jumlah orangutan yang berada di kebun binatang atau taman margasatwa

dan taman safari di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 203 individu (Laporan

Seksi Lembaga Konservasi, 2007). Standar operasional minimum untuk kebun

binatang (Zoo Minimum Operating Standards) di Indonesia telah ada dan menjadi

keharusan bagi anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia)

untuk ditaati. Tetapi proses monitoring dan evaluasi terhadap kebun binatang

belum berjalan baik menyebabkan banyak anak orangutan yang dilahirkan disana

tidak mencapai usia dewasa. Kebun binatang dan taman safari di Indonesia

(26)

meningkatkan program pendidikan dan penyadartahuan masyarakat dan tidak

berorientasi bisnis semata. Selain itu, praktik pemeliharaan (husbandry) di seluruh

kebun binatang yang ada di Indonesia perlu ditingkatkan dan dievaluasi secara

teratur oleh PKBSI dengan melibatkan para ahli untuk menjamin kualitas

pelaporan dan transparansi (Dephut, 2009).

Laporan dari International Studbook of Orangutan in World Zoos (2002)

mencatat 379 orangutan borneo, 298 orangutan sumatera, 174 orangutan hybrid

dan 18 orangutan yang tidak diketahui atau tidak jelas asal-usulnya dipelihara di

berbagai kebun binatang seluruh dunia. Perlu dicatat bahwa jumlah itu hanya

berasal dari kebun binatang yang memenuhi permintaan data dari pemegang

studbook yang ditunjuk, sehingga ada sejumlah orangutan lainnya tidak tercatat

dan diketahui pasti jumlahnya. Selain membuat kebijakan yang mengatur

pengelolaan populasi orangutan di kebun binatang dan taman safari, pemerintah

juga sebaiknya mengembangkan sistem pendataan nasional yang diperlukan untuk

memantau keberadaan populasi orangutan di berbagai kebun binatang dan taman

safari di Indonesia.

Strategi Mengembangkan Konservasi Ex-Situ Sebagai Bagian Dari Dukungan Konservasi In-Situ Orangutan

Konservasi Ex-Situ yang dilakukan di kebun binatang, taman safari selain

bermanfaat bagi pelestarian orangutan juga harus bisa menjadi sarana pendidikan

dan peningkatan kepedulian masyarakat akan perlindungan orangutan di

Indonesia. Kebun binatang dan lembaga konservasi lainnya harus dikelola dengan

baik dan profesional sehingga dapat berperan maksimal untuk pendidikan

(27)

monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan orangutan di kebun binatang,

khususnya menyangkut pemeliharaan dan kesehatan satwa (Dephut, 2009).

Menurut Dephut (2009), apabila terjadi penyelundupan orangutan dari

Indonesia ke negara lain, menurut peraturan CITES, orangutan tersebut harus

dikembalikan ke Indonesia sebagai negara asalnya dan biaya repatriasi

(pengembalian orangutan) menjadi tanggungan negara Indonesia. Ini terasa agak

memberatkan negara pemilik orangutan yang diselundupkan, karena harus juga

menanggung biaya untuk rehabilitasi hingga pelepasliaran. Oleh karena itu perlu

ada kerjasama internasional untuk pengembalian orangutan ke negara asalnya,

termasuk kerjasama dalam hal penegakan hukum untuk perdagangan ilegal satwa

liar, termasuk orangutan, misalnya melalui mekanisme ASEAN WEN (Wildlife

Enforcement Network). Sementara itu, pengembalian orangutan ke habitatnya

harus memenuhi persyaratan yang disusun oleh IUCN. Pengembalian orangutan

ke habitat asli memerlukan kehati-hatian sehingga tidak terjadi pencemaran

genetik, kesehatan dan perilaku. Proses pelepasliaran juga memerlukan

pengelolaan habitat dan bahkan adanya restorasi habitat.

Menurut Dephut (2009), rehabilitasi berarti menyiapkan/mendidik

individu (dalam hal ini orangutan) untuk bisa hidup mandiri di lingkungan

sosialnya yang “normal” (diantara sesama jenisnya dan di habitat alaminya). Salah

satu masalah yang dihadapi kegiatan rehabilitasi orangutan adalah kesulitan

mencari lokasi/area untuk pelepasliaran bagi orangutan yang sudah direhabilitasi.

Disamping itu, pusat rehabilitasi juga menjumpai berbagai kesulitan lain, seperti :

1. Kesulitan untuk memperoleh izin menggunakan kawasan hutan yang

(28)

2. Kesulitan memperoleh jaminan keselamatan/keamanan orangutan yang

dilepasliarkan serta.

3. Kesulitan mendapatkan fasilitas (areal/kawasan) yang berfungsi sebagai

kawasan khusus untuk mendukung kehidupan orangutan.

Kebun binatang atau taman satwa dan akuaria merupakan tempat

melakukan perawatan, pemeliharaan dan perkembangbiakan berbagai jenis satwa

liar darat, udara maupun perairan dalam rangka mendukung upaya konservasi

ex-situ dan sebagai sarana pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, serta sarana rekreasi dan pariwisata yang sehat (PKBSI, 2004).

Kondisi Umum Kebun Binatang

KBM dan THPS merupakan salah satu lembaga konservasi yang berada di

Sumatera Utara, yang bergerak dibidang pemanfaatan fauna dengan menjaga

keberlangsungan spesies yang berada di kebun binatang. THPS terletak di

tengah-tengah Kota Pematang Siantar. THPS merupakan kebun binatang tertua di

Sumatera Utara, termasuk di Indonesia.

THPS juga termasuk dalam kebun binatang yang memenuhi standar

PKBSI (Persatuan kebun Binatang Seluruh Indonesia). THPS sampai sekarang

menjunjung tinggi nilai konservasi dan menjadi ikon penting dalam pariwisata di

Sumatera Utara, khususnya di Kota Madya Siantar. KBM awalnya terletak di

Kampung Baru, Medan, namun setelah pengelolaannya di bawah Perusahaan

Daerah (PD), pembangunan Kota Medan pindah lokasi ke Medan Tuntungan,

Medan. KBM mempunyai luas areal baru mencapai 30 hektar yang dihuni 78

(29)

Sejarah Pendirian KMB dan THPS

KBM awalnya terletak di tengah kota Medan yang mempunyai areal 3,5

hektar dan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1968 oleh Gubernur Kepala

Daerah Sumatera (Bapak Marah Halim Harahap), KBM berstatus Yayasan

dibawah pemerintah daerah yang dibentuk pada tahun 1961 dengan SK (Surat

Keputusan) Walikotamadya Medan nomor: 812 tanggal 2 September 1961 dengan

Akte Notaris Rusli nomor: 86 tanggal 9 September 1961 yang kemudian

diperbaharui lagi dengan Akte Notaris Rusli nomor: 117 tanggal 28 Juni 1967.

KBM yang kini pengelolaannya dibawah unit Perusahaan Daerah (PD)

Pembangunan Kota Medan mengalami perubahan signifikan, sejak 23 Maret 2005

pindah ke Lokasi di Jl. Bunga Rampai IV, Simalingkar B, Medan Tuntungan,

Medan. Luas areal baru mencapai 30 hektar yang dihuni 78 spesies dengan jumlah

± 182 ekor satwa (PKBSI, 2007).

THPS berdiri tahun 1936 atau resmi dibuka untuk umum tanggal 27

November 1936, dengan luas lahan 4,5 hektar. Didirikan oleh Dr. Coonrad

(berkebangsaan Belanda), yang sekaligus menjadi pimpinan pertama dan

merupakan taman hewan ke empat tertua di Indonesia setelah Surabaya, Bukit

Tinggi dan Bandung. Pada bulan Juni 1956 berdiri Museum Zoological yang

didirikan oleh Prof. Dr. F. J. Nainggolan dan diresmikan oleh Ibu Rahmi Hatta

(Istri Wakil Presiden RI, Drs. M. Hatta). Pada Tanggal 1 September 1996, THPS

yang sebelumnya dikelola oleh PEMDA (Pemerintah Daerah) Pematang Siantar,

diambil alih pengelolaannya oleh Bapak DR. H. Rahmat Shah, dengan kontrak

(30)

masyarakat, seperti kondisi hewan yang sedikit dan tidak terawat juga sudah

sangat memprihatinkan keadaannya (PKBSI, 2007).

Izin yang dimiliki

Menurut PKBSI (2007) THPS sebagai lembaga konservasi harus memiliki

izin-izin seperti Surat Perjanjian dan SK (Surat Keputusan) Menteri agar dapat

berjalan dengan baik. Berikut merupakan izin yang dimiliki THPS:

1. Surat Perjanjian Kerjasama, Nomor : 556-2101/WK-Tahun 1996, Nomor:

05/YR/VI/1996 tentang penggunausahaan THPS, antara Drs. H. Abu Hanifah,

Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Pematang Siantar dengan DR. H.

Rahmat Shah, Presiden Direktur PT. UNITWIN INDONESIA MEDAN.

2. Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor: SK.84/Menhut-II/2007, pemberian

izin sebagai Lembaga Konservasi dalam bentuk Taman satwa kepada

PT. UNITWIN INDONESIA di kotamadya Pematang Siantar, Provinsi

Sumatera Utara.

3. Terdaftar sebagai anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang

Se-Indonesia).

4. Terdaftar sebagai anggota SEAZA (South-East Asian Zoos Association)

Menurut PKBSI (2007) kegiatan konservasi yang dilakukan membuahkan

hasil, dapat dilihat dari beberapa hewan yang ditangkarkan. Hewan-hewan

tersebut berasal dari tempat yang berbeda-beda, dan dapat disesuaikan dengan

habitat asli dengan taman hewan.Walaupun dalam proses penyesuaian habitat,

pihak taman hewan banyak menghadapi rintangan. THPS sejak dulu lebih fokus

(31)

samapai saat ini berjumlah 12 ekor. Hewan yang sudah berhasil ditangkarkan

dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1. Nama Hewan Hasil Tangkaran di Taman Hewan Pematang Siantar

No. Nama Jenis Nama Latin Jumlah

1. Harimau Panthera tigris 12 ekor

2. Singa Afrika Panthera leo 8 ekor

3. Rusa Cervus timorendis 18 ekor

4. Kijang Mas Muntiacus munyjak 3 ekor

5. Sitatungga Tragelhapus spekei 4 ekor

6. Binturung Actictis binturong 3 ekor

7. Babi rusa Babyrousa babyrussa 3 ekor

8. Musang Cynogale sp 6 ekor

9. 10. 11. 12.

Beruang Madu Merak Landak Raya Cangak abu

Helarctos malayanus Paro muticus Hystrix brachyuran Ardea purpurea

5 ekor 13 ekor 3 ekor 3 ekor

13. Kalong Besar Pteropus edulis 5 ekor

(32)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kebun Binatang Medan (KBM), Medan dan

Taman Hewan Pematang Siantar (THPS), Siantar (Lampiran 1). Pengumpulan

data dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain :

1. Binokuler

2. Kamera digital

3. Jam tangan digital

4. Alat tulis

5. Counter

6. Senter

7. Kalkulator

8. Stop watch

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Kuisioner wawancara

2. Tally Sheet

(33)

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah :

1. Data Primer

Data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan dari lapangan atau

lokasi penelitian yang dicatat dalam tabulasi data. Data primer mengacu pada

Parameter Pengelolaan Kebun Binatang (Dikutip Dari: Standard Of Modern Zoo

Practice) dan Pedoman Umum Pengelolaan Taman Satwa dan Akuaria yang

dikeluarkan PKBSI (2004), meliputi:

a. Kesejahteraan hewan di lingkungan kebun binatang

- Penyediaan makanan dan air

- Penyediaan lingkungan yang sesuai

- Penyediaan kesehatan hewan

- Penyediaan peluang mengekspresikan perilaku paling normal

- Penyediaan perlindungan dari ketakutan dan distress

b. Transportasi dan pergerakan hidup hewan

c. Konservasi, pendidikan dan penelitian

d. Keselamatan publik di kebun binatang

e. Dokumen persediaan

f. Pegawai dan training

g. Fasilitas publik

h. Lisensi kebun binatang

Pada penelitian ini, data primer juga meliputi:

a. Pola aktivitas pada saat ramai dan sepi pengunjung

(34)

2. Data sekunder

Data yang diperoleh dari literatur, seperti buku, penelitian ilmiah, jurnal

ilmiah, artikel dan sumber pustaka lainnya

Manajemen dan Konservasi Orangutan di Kebun Binatang

Metode yang digunakan dalam mengetahui manajemen dan strategi

konservasi orangutan di kebun binatang adalah dengan melakukan observasi dan

wawancara tentang pengaruh keberadaan orangutan di kebun binatang

a. Observasi

Metode observasi yang dilakukan adalah observasi langsung, yaitu

observasi yang dilakukan terhadap objek di tempat kejadian atau tempat

berlangsungnya peristiwa sehingga observer berada bersama objek yang diteliti.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui tanggapan pengunjung terhadap

keberadaan orangutan di kebun binatang. Pengumpulan data dilakukan melalui

wawancara dengan metode purposive sampling. Menurut Singarimbun dan Sofian

(1989), purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang bersifat

tidak acak dan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Dalam hal ini, pertimbangan-pertimbangan yang diambil, seperti:

a. Umur pengunjung (pria/ wanita) ≥15 sampai dengan ≤50

b. Interviewee adalah pengunjung yang mewakili pengunjung yang datang ke

kebun binatang.

c. Pengunjung yang datang ke kandang orangutan

(35)

Dari survei awal yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa rata-rata

pengunjung pada hari sepi pengunjung adalah 100 orang dan rata-rata pengunjung

pada hari ramai pengunjung adalah 300 orang, maka jumlah sampel yang akan

diambil adalah 10 % dari jumlah populasi pengunjung. Jumlah sampel yang akan

diambil adalah 10 orang pengunjung pada saat sepi pengunjung dan 30 orang

pengunjung pada saat ramai pengunjung.

Aktivitas Harian Orangutan

Pengumpulan data aktivitas harian orangutan rehabilitan dilakukan dengan

menggunakan metode focal animal instantaneous atau yang disebut juga dengan

focal time sampling (Altmann, 1974 ; Paterson, 1992). Pengumpulan data dalam

penelitian ini difokuskan pada satu individu orangutan sebagai obyek atau sasaran

dalam setiap pengamatan. Namun, setelah dilakukan survei awal pada kedua

lokasi penelitian, diketahui bahwa jumlah orangutan di KBM, yaitu: satu

orangutan (jantan), sedangkan di THPS, dua orangutan (jantan). Jadi, semua

orangutan diambil untuk dijadikan objek penelitian (fokal).

Pencatatan data aktivitas hariannya dilakukan setiap 5 menit sebagai

“point sample”. Metode ini cocok dengan orangutan yang semi soliter dan

memiliki karakter pergerakan yang lambat. Pengamatan aktivitas orangutan

rehabilitan dilakukan satu hari penuh, mulai saat orangutan tersebut bangun dipagi

hari (sekitar pukul 05.30-07.00 WIB) sampai dengan tidur dan tidak melakukan

aktivitas dimalam hari (sekitar pukul 18.00-19.00 WIB).

Data aktivitas harian dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan

(36)

Orangutan” dari Morrogh-Bernard et al. (2002). Aktivitas utama yang termasuk

dalam standar ini terdiri dari 5 tipe aktivitas yaitu :

1. Pergerakan (moving) : merupakan semua aktivitas perpindahan lokasi yang

dilakukan oleh orangutan, termasuk pula perpindahan lokasi yang

dilakukan bersama individu orangutan lain. Tetapi aktivitas ini tidak

termasuk saat orangutan melakukan pergerakan ketika aktivitas makan

berlangsung.

2. Istirahat (resting) : kondisi ini merupakan kondisi saat orangutan sama

sekali tidak melakukan aktivitas apapun sebagai aktivitas utamanya.

3. Makan (feeding): merupakan segala aktivitas makan dimana orangutan

secara aktif makan, memproses dan mempersiapkan makanan, pergerakan

saat makan, minum dan penggunaan alat untuk makan.

4. Sosial (social) : adalah aktivitas yang melibatkan interaksi orangutan

sasaran dengan orangutan lain, baik salah satu orangutan sasaran lain

maupun orangutan bukan sasaran yang menjadi pelaku dan penerima

selama kontak berlangsung (Altmann, 1974 ; Rijksen, 1978). Hal ini

dilakukan untuk melihat tingkat sosial dan kecenderungan pada aktivitas

sosial orangutan-orangutan tersebut.

5. Pembuatan Sarang (nesting) : merupakan aktivitas yang tidak dapat

dikategorikan ke dalam aktivitas tersebut di atas dan dilakukan secara

individual oleh orangutan sasaran. Aktivitas yang dikategorikan dalam

aktivitas ini adalah pembuatan sarang.

Lama pengamatan pada orangutan sasaran dalam penelitian ini berkisar

(37)

tersebut saat diamati. Pengamatan ini dapat berlangsung secara berturut-turut

sampai 5 hari pengamatan.

Prosedur untuk mengikuti perilaku/aktivitas harian orangutan di kandang

(kebun binatang), meliputi:

1. Mencatat nama fokal, tanggal pengamatan dan cuaca pada tabulasi data.

2. Kegiatan di catat setiap 5 menit sekali dan aktivitas dicatat apabila

dilakukan selama lebih dari lima detik.

3. Kegiatan dan waktu pemberian makan dicatat pada tabulasi data.

4. Kegiatan, cara dan waktu pembersihan kandang.

5. Untuk kolom sosial mencatat semua perilaku yang terdapat pada daftar

Perilaku Budaya (terlampir).

6. Mencatat jenis, komposisi, dan kuantitas makanan yang diberikan kepada

orangutan.

7. Kegiatan istirahat orangutan meliputi tidur, rebah, duduk, bergantung dan

berdiri.

8. Kegiatan aksi sendiri meliputi main sendiri, defekasi dan urinasi.

Analisis Data 1. Observasi

Hasil dari pengumpulan data dari pengamatan disajikan dalam data dan

dianalisis dengan teknik analisis kualitatif.

2. Wawancara

Hasil dari pengumpulan data dari wawancara dianalisis dengan

(38)

3. Aktivitas harian

Data aktivitas harian diperoleh dari pengamatan yang dilakukan dan

dicatat dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Aktivitas Harian Orangutan Nama

Orangutan

Aktivitas Harian

M F R S

Fr % Fr % Fr % Fr %

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. AKTIVITAS HARIAN ORANGUTAN

Pengamatan aktivitas harian orangutan di THPS dan KBM dilakukan pada tiga

fokal orangutan. Karakteristik fisik dan umur ketiga fokal, disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Orangutan di Taman Hewan Pematang Siantar dan Kebun Binatang Medan No Nama

Medan Dipelihara oleh

manusia

Medan Ditangkap dari

hutan

Langkat Ditangkap dari

hutan

Dewasa umur

muda (DM)

Sumber: THPS (2010), KBM (2010) dan Galdikas (1978)

(Tungir) (Kopral) (Tamba)

Gambar 1. Orangutan fokal di KBM dan THPS

Berdasarkan pengamatan harian ketiga fokal orangutan tersebut diatas, diketahui

bahwa Tungir termasuk dalam kategori jantan anak (A), Kopral termasuk dalam

(40)

(DM) menurut Galdikas (1978), dengan karakteristik menurut tingatan umur

seperti dibawah ini:

Tabel 4. Kategori Orangutan menurut berdasarkan Umur/ Jenis Kelamin menurut Galdikas (1978)

Sifat Tingkah Laku Sifat Morfologi

Anak

(Tungir)

Jantan 4-7 5-20 Berpindah bersama, terlepas

dari badan induk,

kadang-kadang menggunakan sarang

bersama induknya dan masih

menyusui

Wajah masih lebih putih dari

hewan yang lebih tua, tetapi

lebih gelap dari pada bayi;

bercak-bercak putih juga

semakin kabur.

Remaja

(Kopral)

Jantan 7-12 20-30 Benar-benar bebas dari induk,

sekalipun kadang-kadang

pindah bersama dengan induk

atau dengan satuan lain;

sangat sosial; berusaha

melakukan kopulasi dengan

betina

Wajah tetap lebih putih dari

hewan yang benar-benar

dewasa, ukuran lebih kecil

daripada betina dewasa

Dewasa

Umur

Muda

(Tamba)

Jantan 15-35 ≥ 50 Menyuarakan “seruan panjang”, hidup soliter

kecuali bila berpasangan

dengan betina tanggap seksual

Ukuran besar sekali; bantalan

pipi, kantong leher, kerapkali

berjanggut, kadang-kadang

punggung gundul

Sumber: THPS (2010), KBM (2010) dan Galdikas (1978)

Selama penelitian dilapangan, orangutan di KBM diamati selama 52, 5

Jam (5 Hari Pengamatan). Hal ini disesuaikan dengan observasi dan wawancara

yang dilakukan oleh peneliti selama di lapangan. Hasil pengamatan aktivitas

(41)

Gambar 2. Perbandingan Aktivitas Harian Orangutan Menurut Tempat yang Berbeda

Gambar 2. Menunjukkan bahwa hampir setengah aktivitas harian Tamba selama

pengamatan adalah beristirahat, kegiatan meliputi seluruh waktu yang digunakan

individu orangutan dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu

tertentu, baik di dalam maupun di luar sarang, seperti merebahkan diri, duduk,

berdiri maupun menggantung. Tamba menghabiskan waktu siang hari pada saat

matahari terik dengan beristirahat di ruang privasi (Lampiran 3).

Tamba duduk dan rebah pada jangka waktu yang lama, yaitu rata-rata selama 211

menit (sekitar 3 jam, 50 menit) dari 10,5 jam pengamatan dalam sehari. Hal ini

dikarenakan oleh karena Tamba hidup sendiri dalam kandang, kegiatan yang

dilakukan selain bergerak dan makan, hanyalah tidur, rebah, duduk dan

bergantung.

Pengamatan aktivitas harian orangutan di KBM dilakukan pada satu fokal

orangutan, yaitu: orangutan jantan yang diberi nama Tamba. Hal ini dikarenakan

(42)

penjaga orangutan (keeper), awalnya orangutan di KBM ada dua ekor, namun,

pada bulan Februari 2010, orangutan betina mengalami abortus. Hal ini

mengakibatkan orangutan betina mengalami komplikasi pada rahim. Kejadian ini,

menurut Drh. Fuji, selaku dokter hewan di Kebun Binatang Medan, diakibatkan

oleh kurang bersihnya rahim orangutan pada saat mengalami abortus. Demi

keselamatan orangutan, pihak kebun binatang mengambil tindakan untuk

memindahkan orangutan ke pusat rehabilitasi orangutan di Sibolangit. Namun,

orangutan betina tersebut akhirnya mati pada saat ditangani di Sibolangit.

Pengamatan yang dilakukan di KBM pada satu ekor orangutan. Hal ini

mengakibatkan kegiatan sosial orangutan tidak dapat dilakukan. Hal yang serupa

juga terdapat pada kegiatan nesting (pembuatan sarang), hal ini dikarenakan

orangutan hidup di kandang, orangutan tidak membuat sarang. Sehingga, hanya

ada tiga garis besar yang diamati dari perilaku orangutan, yaitu resting (istirahat),

moving (bergerak) dan feeding (makan).

Dari Gambar 2 diperoleh persentase frekuensi setiap kegiatan Tungir dan Kopral.

Kegiatan harian Tungir didominasi oleh moving (bergerak), sedangkan kegiatan

harian Kopral didominasi oleh resting (beristirahat). Perbedaan tersebut

dikarenakan ruang gerak Kopral terbatas pada ruang privasi yang relatif sempit.

Tungir terlihat lebih lincah dan agresif dengan keadaan disekitarnya. Terdapat

beberapa perilaku yang membahayakan orangutan dan pengunjung dilakukan oleh

orangutan di kandang, hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(43)

1. Tungir 1. Tungir sering mengencingi (urinasi) pengunjung yang datang ke kandang orangutan.

2. Tungir sering meminta makanan kepada pengunjung

3. Tungir sering menjulurkan lidah kepada pengunjung dan meludahi pengujung.

2. Kopral 1. Kopral tidak memberikan makanan kepada Tungir pada waktu makan, Kopral memakan semua makanan yang diberikan keeper. 2. Kopral sering menyerang Tungir pada saat bermain

3. Kopral sering menyerang keeper pada saat memberi makan dan pada saat membersihkan kandang orangutan.

4. Kopral mau menerima rokok dari pengunjung 5. Kopral mempunyai kebiasaan melempar pengunjung

3. Tamba 1. Tamba menerima rokok dan menghisapnya dari pengunjung

2. Tamba sering menyerang dan melempar harimau di samping kandangnya.

Sumber: THPS (2010) dan KBM (2010)

Pengamatan Tungir dan Kopral dilakukan bersamaan, pada waktu dan

kandang yang sama. Di dalam kandang terdapat ruang privasi yang terpisah antara

Tungir dan Kopral. Kopral sengaja dikurung di ruang privasinya sepanjang hari,

sedangkan Tungir dikeluarkan dari ruang privasi sehingga dapat bermain bebas di

ruang bermain orangutan yang lebih luas. Kopral sengaja dikurung di dalam ruang

privasi karena Kopral sering melakukan hal-hal yang membahayakan bagi Tungir

apabila Tungir dan Kopral disatukan dalam ruang bermain.

Pergerakan Tungir yang lincah terlihat dari apabila ada pengunjung yang datang

ke kandang orangutan maka Tungir langsung mendekati pengunjung dan meminta

makanan (Lampiran 4). Apabila sudah mendapat makanan dan pengunjung pergi,

maka Tungir akan segera bergerak ke ruang privasinya ataupun ayunan. Pihak

taman hewan tidak ada yang menjaga kandang sepanjang hari. Hal ini

mengakibatkan banyak pengunjung yang sembarangan memberikan makanan

kepada orangutan. Seharusnya, ada spesifikasi makanan didepan kandang agar

pengunjung tidak memberi sembarang makanan pada orangutan dan petugas

(44)

Aktivitas harian orangutan pada kebun binatang hampir sama dengan

aktivitas harian orangutan di kawasan konservasi in-situ. Kegiatan didominasi

dengan istirahat. Dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Aktivitas Harian Orangutan di Kawasan Konservasi In-Situ, Bukit Lawang

Fokal minah menghabiskan waktu aktivitas hariannya untuk beristirahat (60,2%),

bergerak pindah (16,5%), makan (15,1%), interaksi sosial (5,6%) dan bersarang

(2,6%) (Lampiran 4). Waktu aktivitas harian fokal Minah sangat berbeda dengan

pernyataan Fox et al. (2004) dimana dijelaskan pada umumya orangutan lebih

banyak menghabiskan waktunya untuk makan (55%) dan istirahat (25%). Fokal

Jenggot menghabiskan waktu aktivitas hariannya untuk beristirahat (48,3%),

makan (40,7%), bergerak pindah (9,4%) dan bersarang (1,6%) (Lampiran 5).

Fokal Jenggot lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat

beristirahat dan makan (Zendrato, 2009).

Perbedaan aktivitas harian orangutan di dua kawasan ini terlihat dari kegiatan

bersarang orangutan, dimana kegiatan bersarang di kebun binatang tidak

(45)

hampir sama adalah istirahat, dimana Kopral di KBM menghabiskan 50,1 %

waktu beristirahat dan Jenggot di Bukit Lawang menghabiskan waktu 48,3%

untuk istirahat. Di alam sendiri orangutan menghabiskan waktu beristirahat lebih

banyak dikarenakan karena beberapa faktor seperti ketersediaan makanan

(Zendrato, 2009), apabila musim buah orangutan akan semakin mudah

mendapatkan makanan, sehingga waktu jelajah akan semakin sedikit. Sedangkan

di kebun binatang dikarenaka karena faktor umur, ketidakadaan fokal dan fasilitas

mengekspresikan perilaku paling normal.

Berdasarkan hasil yang terlihat pada Gambar 1, maka Tungir merupakan fokal

yang paling agresif dibandingkan fokal lainnya. Istirahat mendominasi kegiatan

harian Kopral. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Umur orangutan, semakin tua, orangutan pergerakannya lebih lamban dan

sangat soliter, seperti yang dinyatakan dalam Galdikas, yaitu orangutan

dewasa gerakannya sangat lamban dan hidup soliter kecuali berpasangan

dengan betina tanggap seksual.

2. Kondisi kandang, kandang yang dilengkapi dengan enrichment (tempat

seperti habitat, seperti ayunan, tiruan pohon) akan lebih menarik perhatian

orangutan untuk bermain.

3. Makanan, apabila ketersediaan makanan baik, orangutan tidak akan

meminta-minta makanan kepada pengunjung.

4. Pengunjung kandang orangutan, hal ini sangat berpengaruh juga terhadap

perilaku orangutan, dimana pada saat pengunjung datang orangutan (Tungir)

akan mendekat dan sering pamer akan kebolehannya berayun-ayun dan

(46)

5. Keberadaan fokal (orangutan) lain, apabila tidak ada orangutan di kandang,

maka dia tidak bisa kontak (berinteraksi).

Perilaku Sosial Orangutan

Selama melakukan pengamatan aktivitas harian orangutan di THPS, penulis

menemukan bahwa, perilaku sosial Tungir dan Kopral menyimpang. Pada

beberapa jam pengamatan Kopral melakukan kopulasi dengan Tungir

(Lampiran 6). Terkadang Kopral main sendiri (masturbasi), begitu juga dengan

Tungir. Perilaku sosio-seksual Kopral dan Tungir ini sering terjadi selama

pengamatan dilakukan. Kopral dan Tungir melakukan kontak satu sama lain

walaupun berbeda kandang. Hal-hal yang sering dilakukan adalah:

1. Kopral mengelus-elus kepala Tungir dan menarik tangan Tungir

2. Kopral memainkan kelamin di depan Tungir dan menarik Tungir.

3. Kopral dan Tungir saling berpelukan (ada ataupun tidak ada pengunjung).

4. Kopral sering memperliatkan kelaminnya kepada pengunjung dan juga

kepada keeper orangutan.

5. Kopral memainkan alat kelamin sendiri dengan botol yang diberikan

pengunjung (Lampiran 6).

Perilaku seks orangutan yang termasuk kedalam homoseks pada primata. Hal

seperti ini juga ditemui pada penelitian Kuncoro (2004), yang menemukan

perilaku sosio-seksual pada orangutan jantan. Kondisi-kondisi pada orangutan

rehabilitan atau saat dalam kandang memungkinkan orangutan melakukan

perilaku abnormal, seperti masturbasi dan homoseksual (Rijksen, 1978 ; Maple,

1980). Asumsi lain yang menyebabkan perilaku sosio-seksual ini disebabkan tidak

(47)

Aktivitas sosial pada orangutan di KBM hampir tidak pernah terjadi, hal ini

dikarenakan karena orangutan jantan (Tamba) hidup sendiri dalam kandang.

Kandang orangutan berada disamping kandang harimau. Pada beberapa menit

pengamatan orangutan sering terlihat seperi marah kepada harimau dengan

mengeluarkan suara panjang (long call). Kemudian Tamba melempar harimau

dengan batu ataupun benda-benda yang ada di dalam kandang. Tamba sering

melempar ban ke arah harimau walaupun berbeda kandang. Asumsi yang timbul

adalah orangutan jenuh di kandang dan mencari hal lain untuk mengisi

kejenuhannya.

TINGKAT KESEJAHTERAAN ORANGUTAN

Kesejahteraan orangutan dapat dilihat dari aspek-aspek seperti, penyediaan

makanan dan air; penyediaan lingkungan yang sesuai; penyediaan fasilitas untuk

kesehatan satwa; penyediaan peluang mengekspresikan perilaku paling normal;

penyediaan perlindungan dari ketakutan dan stress. Aspek-aspek yang ditinjau

dalam menilai kesejahteraan orangutan, yaitu:

a. Penyediaan Makanan dan Air

Makanan dan air merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk orangutan.

Orangutan memanfaatkan buah, bunga daun, kuncup dan kulit kayu serta cairan

dari berbagai species pohon, tanaman menjalar dan tanaman lain dan juga

berbagai tanaman merambat yang kecil, anggrek, akar alang-alang air, rayap ulat,

(48)

epifit, pakis dan palma kecil. Kebanyakan jenis makanan orangutan (74%) berasal

dari species pepohonan. (Galdikas, 1978).

Penyediaan makanan dan air harus mendapat perhatian dan penanganan yang

serius. Hal ini menyangkut kepada keberlangsungan hidup orangutan. Penyediaan

makanan di KBM dan THPS tidak mengacu pada standar pengelolaan orangutan

di kandang. Hal ini dituturkan oleh keeper orangutan di kedua tempat tersebut.

Pemberian makan sangat kondisional, tergantung cuaca dan kondisi badan

orangutan.

Merujuk pada Pedoman Evaluasi Taman Satwa dan Akuaria Indonesia yang

dikeluarkan PKBSI tahun 2004, hasil observasi dan wawancara perawatan makan,

ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Evaluasi satwa bebas dari Kelaparan dan Kehausan

No. Kriteria KBM THPS

1. Apakah kuantitas dan kualitas pakan yang disediakan untuk

satwa sudah memuaskan ?

2 3

2. Apakan variasi jenis pakan untuk satwa mendapatkan

perhatian ?

5 4

3. Apakan kebutuhan pakan untuk satwa betina bunting dan

yang sedang menyusui sudah sesuai ?

4 4

4. Apakah penetapan menu pakan melibatkan ahli nutrisi satwa

(termasuk dokter hewan dan biologi) ?

3 5

5. Apakah suplai pakan dan minuman yang disimpan,

dipersiapkan, dan diberikan kepada satwa dalam kondisi

sehat ?

4 5

6. Apakah pakan didistribusi ke seluruh areal kandang sehingga

satwa terdorong untuk bergerak mencarinya sendiri

1 1

(49)

terkontaminasi tanah dapat dikurangi ?

8. Apakah Kebersihan Tempat Pakan Satwa Dijaga ? 4 1

9. Apakah pakan yang diberikan diyakini dimakan oleh satwa ? 5 3

10. Bila pengunjung diperbolehklan untuk memberikan pakan

satwa, apakah dibatasi hanya dengan pakan yang telah

disediakan oleh menejemen ?

1 3

11. Apakah area penyimpanan pakan satwa terpisah dari area

penyiapan makanan manusia ?

5 4

12. Apakah kulkas digunakan ? bila ya, apakah peralatan

tersebut diservis dan diperiksa temperaturnya secara teratur ?

4 5

13. Apakah freeser digunakan ? biola ya, apakah peralatan

tersebut diservis dan diperiksa temperaturnya secara teratur ?

1 1

14. Apakah suplai air minum yang disimpan, dipersipakan, dan

diberikan kepada satwa dalam kondisi sehat ?

2 3

15. Apakah kuantitas air minum yang diberikan diyakini

mencukupi ?

2 2

16. Apakah air minum diletakkan pada tempat sedemikian rupa

sehingga resiko terkontaminasi tanah dapat dihindari ?

1 4

Sumber: THPS (2010), KBM (2010) dan PKBSI (2004)

Keterangan : 1 = buruk; 2 = kurang; 3 = cukup; 4 = baik; 5 = memuaskan.

Tabel 6 memperlihatkan perbedaan dalam pola makan orangutan di KBM dan

THPS. Standar yang dibuat oleh PKBSI merujuk juga pada SMZP yang ada pada

tabel 12. Terlihat perbedaan nyata pada setiap perlakuan yang menjadi ukuran

evaluasi kesejahteraan satwa.

Kandungan gizi dan kuantitas makanan kurang diperhatikan dalam penyediaan

makanan. Namun, jika dibandingkan dengan THPS asupan makanan penambah

tenaga dan vitamin lebih banyak di KBM, yaitu tambahan susu dan beberapa

(50)

penyediaan air. Di KBM, penyediaan air sangat tidak sehat. Bak air tidak pernah

dibersihkan dan air jarang diisi. Berbeda dengan di THPS, setiap hari bak air

dikuras dan diisi dengan air.

b. Penyediaan lingkungan yang sesuai

Lingkungan yang sesuai dengan habitat asli orangutan memang masih sangat sulit

diterapkan. Karena habitat orangutan asli adalah hutan hujan tropis, sangat

kompleks dari semua aspek lingkungan. Sesuai dengan sifat arboreal orangutan,

maka orangutan membutuhkan pohon pada lingkungan tempat tinggalnya.

Namun, pada kondisi kebun binatang tempat penelitian, belum ditemui adanya

pohon di dalam kandang.

Merujuk pada Pedoman Evaluasi Taman Satwa dan Akuaria Indonesia yang

dikeluarkan PKBSI tahun 2004, hasil observasi dan wawancara perawatan

kandang bebas dari ketidaknyamanan suhu dan fisik, ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Tabel Bebas dari Ketidaknyamanan Suhu dan Fisik

No Kriteria KBM THPS

1. Apakah akomodasi termasuk suhu, ventilasi, dan

penerangan sesuai bagi satwa ?

4 4

2. Apakah syarat yang diperlukan berkaitan dengan suhu,

ventilasi, dan penerangan guna memenuhi kebutuhan satwa

tersedia setiap saat ?

3 3

3. Apakah diberikan pertimbangan kebutuhan khusus kepada

satwa yang bunting dan satwa yang baru lahir ?

4 3

4. Untuk kenyamanan satwa, apakah peneduh untuk

perlindungan terhadap cuaca buruk dan terik matahari diluar

kandang diberikan ?

4 4

Gambar

Gambar 1. Orangutan fokal di KBM dan THPS
Tabel 4. Kategori Orangutan menurut berdasarkan Umur/ Jenis Kelamin menurut Galdikas (1978)
Gambar 2. Perbandingan Aktivitas Harian Orangutan Menurut Tempat yang Berbeda
Gambar 2. Aktivitas Harian Orangutan di Kawasan Konservasi In-Situ, Bukit Lawang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rapat kami membahas hal-hal apa saja yang dibutuhkan sekolah agar dapat mengajukan dana BOS untuk membantu mencukupi kebutuhan tersebut.. Kebutuhan- kebutuhan tersebut

(2) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi kesehatan dan sosial sebagai Instansi teknis pembina pada kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.. (3)

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran matematika pada materi Satuan Panjang adalah memperbaiki RPP dan pelaksanaan pembelajarn

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes

[r]