PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)
SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN
TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR
SKRIPSI
Oleh:
LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR 061201036
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Usul : Pengelolaan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Secara Ex-Situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar
Nama : Lolly Esterida Banjarnahor
NIM : 061201036
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing
Pindi Patana S.Hut M.Sc Rahmawaty S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRACT
LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Study Of Management Of Orangutan (Pongo abelii) In Ex-Situ Conservation Region, Medan Zoo and Pematang
Siantar Animal Park. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and RAHMAWATY.
Research conducted from May 2010 until June 2010. Research object consist of 3 male orangutans. Observation method in research for knowing management of orangutan use a observation method and focal animal sampling method, which was recorded every five minute as an unit sample. To know the public perception, the purposive sampling was conducted. Data analysis using descriptive analysis.Data observed analyzed of descriptive.
The results of research indicated that the shape management of orangutans at Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park are refers to the management of animal parks was incurred by the Association of Zoos All Indonesia (PKBSI). The level of the welfare of orangutans at Medan zoo and Pematang Siantar Animal Park is low, the social needs does not satisfied in the framework of sustainability species.Orangutans Conservation Strategy in the Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park conducted with used of animals without considered the sustainability of species. The Results of interviews with visitors at the Medan Zoo visitors as much as 87.5% agreed orangutans were kept in cages, whereas in Siantar Animal Park as much as 92.5% agreed orangutans are kept in cages.
ABSTRAK
LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Pengelolaan Orangutan (Pongo abelii) Secara Ex-situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY
Penelitian dilakukan selama bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010. Objek penelitian terdiri dari 3 ekor orangutan jantan. Metode pengamatan pada penelitian untuk mengetahui pengelolaan orangutan menggunakan metode observasi dan metode focal animal sampling, yaitu mencatat setiap lima menit sebagai satu unit sampel. Untuk mengetahui persepsi masyarakant menggunakan metode wawancara secara purposive sampling. Analisis data menggunakan analisis deskriptif.
Data yang telah diamati dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tidak merujuk kepada pengelolaan taman satwa yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI). Tingkat kesejahteraan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tergolong rendah, kebutuhan sosial tidak terpenuhi dalam rangka kelestarian jenis. Strategi konservasi orangutan di kebun binatang Medan dan taman hewan Pematang Siantar dilakukan dengan pemanfaatan satwa tanpa memperhatikan kesinambungan satwa. Hasil wawancara dengan pengunjung di Kebun Binatang Medan sebanyak 87,5% pengunjung menyetujui orangutan dipelihara di kandang, sedangkan di Taman Hewan Pematang Siantar sebanyak 92,5% menyetujui orangutan dipelihara di kandang.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Lolly Esterida Banjarnahor yang lahir di Onan Ganjang
tanggal 25 November 1988 dari ayah yang bernama Todo Banjarnahor dan ibu
bernama Lamria Siahaan. Penulis merupakan putrid ketujuh dari delapan
bersaudara.
Riwayat pendidikan penulis, lulus Sekolah Dasar Inpres 173461 Onan
Ganjang tahun 2000, selanjutnya penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Onan Ganjang
tahun 2003, jenjang SMA penulis selesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1
Onan Ganjang, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di
Universitas Sumatera Utara dan memilih Program Studi Manajemen Hutan
Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.
Penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan di Departemen Kehutanan
yaitu Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS), UKM KMK UP Pertanian, Paduan
Suara Consolatio Universitas Sumatera Utara. Penulis melaksanakan Praktek
Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Gunung Leuser,
Tangkahan pada bulan Juni 2008 dan di Pulau Sembilan, kemudian melaksanakan
kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,
KPH Banyuwangi Utara pada bulan Juni sampai Juli 2010.
Penulis melakukan penelitian dari bulan April 2010 sampai Juni 2010
dengan judul “Pengelolaan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Secara Ex-situ, di
Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar”, di bawah
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
hikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini
berjudul ”Studi Pengelolaan Orangutan (Pongo abelii) di Kawasan Konservasi
Ex-Situ, Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar”.
Pada kesempatan ini penulis menghanturkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Todo Banjarnahor dan Ibunda Lamria Siahaan yang
telah membesarkan, membimbing, memberikan masukan moril dan materil
kepada penulis, beserta seluruh keluarga yang penulis sayangi
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Pindi Patana, S.Hut dan
Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D, selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar dan pegawai di kampus
kehutanan usu, beserta rekan-rekan mahasiswa yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Sumatran
Orangutan Society-Orangutan Information Center (SOS-OIC) dan Orangutan
Republik Education Initiative (OUREI) atas dukungannya sekaligus sponsorship
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa, hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, penulis menerima masukan dan koreksi untuk perbaikan selanjutnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2010
DAFTAR ISI
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Orangutan... 4
Anatomi Orangutan... .. 5
Klasifikasi Orangutan... 6
Distribusi Orangutan ... 6
Perilaku... 8
Ancaman Kelestarian Orangutan... 10
Konservasi... 11
Konservasi In-Situ... 12
Konservasi Ex-Situ... 13
METODE PENELITIAN Aktivitas Harian Orangutan...………....………...….. 27
Pengelolaan Orangutan... ... 44
Persepsi Pengunjung………... 54
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan…….……….. 59
Saran…….……… 60
DAFTAR PUSTAKA... 61
DAFTAR TABEL
No
Hal.
1. Hewan Hasil Tangkaran di THPS... 19
2. Aktivitas Harian Orangutan... 26
3. Orangutan di THPS dan KBM... .... 27
4. Kategori Orangutan menurut berdasarkan Umur/ Jenis Kelamin Menurut Galdikas... 28
5. Perbedaan Perilaku Kopral dan Tungir di Kandang... 30
6. Evaluasi satwa bebas dari Kelaparan dan Kehausan... 36
7. Tabel Bebas dari Ketidaknyamanan Suhu dan Fisik... 37
8. Penyediaan Fasilitas Bagi Kesehatan Satwa... 38
9. Tabel bebas dari penyakit dan luka menurut PKBSI (2004) ... 39
10.Tabel Evaluasi Satwa Bebas untuk Bertingkah Laku Normal Standar PKBSI... 41
11. Standard Pengelolaan satwa dari Ketakutan dan Stress... 43
12.Perbedaan Pola Makan Orangutan di KBM dan THPS... 45
13.Jenis Pakan Orangutan di KBM... 47
14.Jenis Pakan Orangutan di THPS... 48
15.Kondisi Kandang Orangutan di KBM dan THPS... 49
16.Perawatan kandang di KBM dan THPS menurut SMZP... 50
17.Jenis Penyakit, Penyebab Penyakit dan Tindakan Medis di KBM... 52
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Orangutan Fokal di KBM dan THPS... 27
2. Perbandingan Aktivitas Harian Orangutan Menurut Tempat... 28
3. Aktivitas Harian Orangutan di Kawasan In-situ, Bukit Lawang... 31
4. Perbandingan Pengunjung yang Menyukai Orangutan... 55
5. Perbandingan Pengunjung yang Mengetahui Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Primata yang Dilindungi... 56
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Lokasi Penelitian... 64
2. Data Administrasi Tempat Penelitian………... 65
3. Foto Orangutan di Kebun Binatang Medan ... 66
4. Orangutan Taman Hewan Pematang Siantar……… 67
5. Ekspresi Tungir Terhadap Pengunjung... ..……… 67
6. Tindakan Sosio-seksual kopral...……… 67
7. Hasil Wawancara Kepada Pengunjung... 68
8. Hasil observasi dan wawancara standar PKBSI ... 71
9. Tabulasi Data Aktivitas Harian Orangutan ... 77
10.Kuisioner Wawancara... 79
11.Surat Izin Melakukan Penelitian... 81
ABSTRACT
LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Study Of Management Of Orangutan (Pongo abelii) In Ex-Situ Conservation Region, Medan Zoo and Pematang
Siantar Animal Park. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and RAHMAWATY.
Research conducted from May 2010 until June 2010. Research object consist of 3 male orangutans. Observation method in research for knowing management of orangutan use a observation method and focal animal sampling method, which was recorded every five minute as an unit sample. To know the public perception, the purposive sampling was conducted. Data analysis using descriptive analysis.Data observed analyzed of descriptive.
The results of research indicated that the shape management of orangutans at Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park are refers to the management of animal parks was incurred by the Association of Zoos All Indonesia (PKBSI). The level of the welfare of orangutans at Medan zoo and Pematang Siantar Animal Park is low, the social needs does not satisfied in the framework of sustainability species.Orangutans Conservation Strategy in the Medan Zoo and Pematang Siantar Animal Park conducted with used of animals without considered the sustainability of species. The Results of interviews with visitors at the Medan Zoo visitors as much as 87.5% agreed orangutans were kept in cages, whereas in Siantar Animal Park as much as 92.5% agreed orangutans are kept in cages.
ABSTRAK
LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR. Pengelolaan Orangutan (Pongo abelii) Secara Ex-situ, di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY
Penelitian dilakukan selama bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010. Objek penelitian terdiri dari 3 ekor orangutan jantan. Metode pengamatan pada penelitian untuk mengetahui pengelolaan orangutan menggunakan metode observasi dan metode focal animal sampling, yaitu mencatat setiap lima menit sebagai satu unit sampel. Untuk mengetahui persepsi masyarakant menggunakan metode wawancara secara purposive sampling. Analisis data menggunakan analisis deskriptif.
Data yang telah diamati dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tidak merujuk kepada pengelolaan taman satwa yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI). Tingkat kesejahteraan orangutan di kebun binatang medan dan taman hewan pematang siantar tergolong rendah, kebutuhan sosial tidak terpenuhi dalam rangka kelestarian jenis. Strategi konservasi orangutan di kebun binatang Medan dan taman hewan Pematang Siantar dilakukan dengan pemanfaatan satwa tanpa memperhatikan kesinambungan satwa. Hasil wawancara dengan pengunjung di Kebun Binatang Medan sebanyak 87,5% pengunjung menyetujui orangutan dipelihara di kandang, sedangkan di Taman Hewan Pematang Siantar sebanyak 92,5% menyetujui orangutan dipelihara di kandang.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Orangutan sumatera dan orangutan kalimantan adalah dua jenis satwa
primata yang menjadi bagian penting dari kekayaan keanekaragaman hayati kita,
dan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga
kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan
dianggap sebagai suatu ‘flagship species’ yang menjadi suatu simbol untuk
meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak
dalam aksi konservasi. Kelestarian orangutan di habitatnya juga menjamin
kelestarian hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya. Dari sisi ilmu
pengetahuan, orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu
cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar
Afrika (Caldecott dan Miles, 2005).
Orangutan Sumatera (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau
Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak
dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu
penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan.
Kondisi ini menyebabkan orangutan berada di ambang kepunahan, serta menjadi
langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi
keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional
orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (endangered
Resources) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix
I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan
orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu
perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan. Tindakan pelestarian
orangutan yaitu konservasi (Meijaard et al., 2001).
Konservasi dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ. In-situ adalah upaya
konservasi di dalam habitat alaminya. Sedangkan ex-situ adalah upaya konservasi
di luar habitat alaminya. Konservasi ex-situ diharapkan dapat menjadi jalan dalam
upaya penyelamatan orangutan. Dalam hal ini, mengembangkan konservasi
ex-situ sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi in-ex-situ orangutan. Konservasi
ex-situ orangutan dapat dilakukan dengan cara rehabilitasi, reintroduksi,
penangkaran dan pemeliharaan di kandang. Mengacu pada konsep konservasi
ex-situ sebagai bagian dari konservasi in-ex-situ, maka perlu diketahui perbedaan
dampak dari kedua tindakan konservasi tersebut, seperti perubahan perilaku dan
tingkat keberhasilan penyelamatan orangutan.
Pemeliharaan satwa di kandang seperti di kebun binatang (lembaga
konservasi) memiliki prosedur yang diterbitkan oleh Perhimpunan Kebun
Binatang Se-Indonesia (PKBSI). Namun, dalam konteks pelaksanaan di lapangan
banyak ditemukan kejanggalan dan ketidaksesuaian prosedur pemeliharaan satwa.
Hal ini sangat memprihatinkan, dimana banyak satwa yang sakit, lingkungan
tempat tinggal (kandang) yang tidak layak, kelaparan dan bahkan kematian. Hal
ini terjadi juga pada orangutan di kebun binatang. Pada Bulan Februari 2010,
Kebun Binatang Medan kehilangan satu orangutan betina. Orangutan betina
terjadi kematian. Kematian tersebut sangat memprihatinkan, berarti masih sangat
kurangnya penyediaan fasilitas kesehatan yang layak yang merupakan salah satu
pendukung terjaminnya kesejahteraan satwa. Bagaimana keberlanjutan spesies
apabila kesejahteraan satwa tidak terpenuhi. Keprihatinan tersebut yang
melatarbelakangi penulis mengangkat topik ini dan melakukan penelitian
bagaimana pengelolaan orangutan serta kesejahteraan orangutan di kebun
binatang. Penulis melakukan penelitian di Kebun Binatang Medan (KBM) dan
Taman Hewan Pematang Siantar (THPS).
Tujuan Penelitian
1. Mengamati aktivitas harian orangutan dan hubungannya pada tingkat
kesejahteraan orangutan di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan
Pematang Siantar.
2. Mengetahui bentuk pengelolaan orangutan dalam mengambil strategi
konservasi orangutan di Kebun Binatang Medan dan Taman Hewan
Pematang Siantar.
3. Mengetahui persepsi pengunjung terhadap keberadaan orangutan di Kebun
Binatang Medan dan Taman Hewan Pematang Siantar.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan deskripsi pengelolaan orangutan dan kelestariannya di Kebun
Binatang Simalingkar dan Taman Hewan Pematang Siantar.
2. Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai perilaku harian
orangutan dan tingkat kesejahteraannya yang berada di lembaga
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Orangutan
Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar
yang sama dengan saudara-saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan,
kera besar satu-satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di
pedalaman hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut anggapan beberapa
ahli taksonom, ada satu spesies dengan dua sub-spesies orangutan, satu pada tiap
pulau atau dua spesies, yaitu spesies Sumatera (Pongo abelii) dan spesies
Kalimantan (Pongo pygmaeus). Nama lokal berbeda-beda. Ironisnya nama
“Orangutan” jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami
orangutan. Di Sumatera, lazim digunakan julukan “Mawas”. Di Kalimantan,
berbagai nama digunakan, termasuk “Maias” atau “Kahiyu”
(Rijksen dan Meijaard, 1999 dalam Schaik, 2006).
Nama orangutan berasal dari bahasa Melayu, yaitu “orang” dan “hutan”,
yang dapat diartikan sebagai orang yang berasal dari hutan. Selain itu juga dalam
berbagai bahasa Orangutan dikenal juga dengan nama Mawas (Sumatera Utara)
dan Maweh (Aceh). Orangutan merupakan satu-satunya jenis kera besar yang
keberadaannya hanya ditemui di Asia Tenggara atau tepatnya di Indonesia dan
Malaysia. Sedangkan jenis kera besar lainnya, yaitu gorila (Pan gorilla), simpanse
(Pan troglodytes), dan bonobo (Pan paniscus) berada di benua Afrika
Anatomi Orangutan
Orangutan sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang
lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus),
warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna dan Edy, 2000),
dan jika dilihat dari mikroskop berambut membulat, mempunyai kolom pigmen
gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat
ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (Meijaard et al., 2001).
Pada bagian wajah orangutan sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki rambut
putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan
rambut orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang-jarang
(Galdikas, 1978).
Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang
berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa
warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh
orangutan jantan 2 kali lebih besar daripada betina (Supriatna dan Edy, 2000).
Berat badan betina orangutan sumatera (Pongo abelii) maupun orangutan
kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan
jantan orangutan sumatera (Pongo abelii) rata-rata 66 kg dan orangutan
kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 73 kg (Galdikas, 1978). Menurut
Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi
mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan
yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak-jarak jauh yang berfungsi untuk
merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki
(Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km serta terdengar
memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).
Klasifikasi Orangutan
Menurut Jones et al., (2004), primata diklasifikasikan berdasarkan tiga
tingkatan taksonomi yaitu :
1. Secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan
secara terang-terangan.
2. Secara ilmiah populasi yang tidak memiliki nama yang terdapat di daerah
tersebut dengan bukti terpercaya yang taksonominya dikenali secara terpisah
kemungkinan benar.
3. Secara ilmiah nama spesies dan subspesies yang dikenali belum pasti dan
memerlukan investigasi lebih lanjut.
Berdasarkan tingkatan tersebut, orangutan Sumatera diklasifikasikan menjadi:
Kelas : Mammalia
Bangsa : Primata
Anak bangsa : Anthropoidea
Famili : Hominoidea
Subfamili : Pongidae
Genus : Pongo
Jenis : Pongo abelii.
Distribusi Orangutan Menurut Sebaran Geografis dan Variasi Kepadatan Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan
tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan
pegunungan. Di Borneo, orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di
atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat
mencapai hutan pegunungan pada 1.000 mdpl (Caldecott dan Lera, 2005).
Kepadatan orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun
drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada
laporan yang menyatakan individu jantan soliter sumatera dapat ditemukan
sampai ketinggian 1.500 mdpl, sebagian besar populasi orangutan dijumpai jauh
di bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dan dataran rendah. Sayangnya,
tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan
dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan
orangutan juga paling sering terjadi disana (Singleton dan Schaik, 2001).
Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang
disukai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan
buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga,
dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih
dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan
orangutan (Grundman et al., 2009).
Kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai
dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran
banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang
memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per km2. Sementara itu, di Sumatera
terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per km2. Daerah
Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per km2, dan 3 lokasi
di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9 ± 1,4 individu per km2. Di hutan
perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah
dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo
rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per km2 dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5
individu per km2) (Singleton, 2000).
Perilaku Orangutan
Orangutan pada umumnya bersifat individu atau soliter dan pada saat
tertentu dapat hidup berdampingan dengan individu yang lain, seperti saat
reproduksi dan induk betina dengan anak yang belum mandiri. Orangutan bersifat
arboreal yaitu menghabiskan hidupnya di pepohonan dengan bergelantungan dari
dahan satu ke dahan lain dengan menggerakkan anggota tubuhnya dan orangutan
selalu membuat sarang untuk tidur menjelang malam (Supriatna dan Edy, 2000).
Berdasarkan Basalamah (2006), aktivitas harian dari orangutan
berdasarkan pencatatan data untuk aktivitas harian yang dijadikan sebagai Point
Sampel dilakukan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, yaitu :
1. Makan (feeding) : meliputi seluruh waktu yang digunakan untuk memilih,
memegang, mengambil dan sebelum memasukkan makanan ke mulut.
2. Istirahat (resting) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu orangutan
dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu tertentu baik di
dalam maupun di luar sarang seperti merebahkan diri, duduk, berdiri maupun
3. Bergerak pindah (moving) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu
target dalam melakukan gerak berpindah dari satu cabang pohon ke cabang
lainnya ataupun dari satu tempat ke tempat lain.
4. Sosial (social) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target dalam
melakukan kontak dengan individu lain. Beberapa kategori yang dimasukkan
ke dalam aktivitas sosial antara lain : pengusiran (agonistik), bermain
(playing), mengutui (grooming) dan reproduksi.
5. Bersarang (nesting) : meliputi seluruh waktu yang digunakan individu target
dalam membuat sarang, yaitu mematahkan daun/dahan, membawa dan
menyusun daun/dahan sampai menjadi bentuk sarang.
Suatu wilayah dapat digunakan oleh beberapa orangutan dengan
bermacam-macam pola jelajah. Hal ini diinterpretasikan oleh beberapa pengamat
dalam terminologi tiga kelas sosial yang dihubungkan dalam perilaku jelajah :
penetap, pendatang, dan pengembara. Data dari orangutan yang ada di kawasan
Ketambe, yang merupakan salah satu habitat asli orangutan, jumlah persentase
orangutan sebagai penetap adalah diatas 60% dari populasi, 30% adalah
pendatang dan 10% adalah pengembara. Perilaku jelajah mungkin dapat
dijelaskan dalam terminologi yang sangat luas dari daerah jelajah, salah satunya
adalah yang digunakan terus-menerus daripada yang lainnya, tergantung pada
perbedaan sosial dan faktor ekologi/lingkungan. Perbedaan antara populasi
orangutan dalam perilaku jelajah mungkin dikendalikan oleh sumber daya alam
(Caldecott dan Miles, 2005).
Jumlah individu satwa liar yang dapat hidup di suatu tempat ditentukan
ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu
tepat dan sebagai tempat peristirahatan yang aman (Meijaard et al., 2001).
Produktivitas tumbuhan yang menghasilkan buah yang bersifat musiman juga
berpengaruh terhadap perilaku makan serta perilaku jelajah dari orangutan.
Ancaman Kelestarian Orangutan
Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap
lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan
di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang
akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, kebakaran
hutan serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan
otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada tahun 1998
juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi
di Indonesia (Dephut, 2009).
Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang
dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi
orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun
2001, sebagian tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada
pemerintah daerah. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar
yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan
pengelolaan hutan semakin sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan
seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi
Status Konservasi
Orangutan (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera
yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang
oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan
populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini
menyebabkan orangutan berada diambang kepunahan, serta menjadi langka dan
akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah
satwa yang termasuk dalam kategori genting (Endangered Species) IUCN
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan
tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES
(Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan orangutan
yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, perlu adanya
tindakan untuk pelestarian orangutan. Tindakan pelestarian orangutan yaitu
konservasi (Meijaard et al., 2001).
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Dalam undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan ekosistemnya, yang dimaksud dengan konservasi
sumberdaya hayati adalah : pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
Secara umum, konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan
sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Secara khusus, konservasi
orangutan adalah segala bentuk pengelolaan orangutan yang dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan populasi dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas hidup orangutan dan nilainya (UU No.5 Tahun 1990).
Konservasi In-Situ
Konservasi in-situ merupakan kegiatan pelestarian orangutan di habitat
aslinya. Strategi bertujuan agar semua pemangku kepentingan bekerjasama
memantau pengelolaan konservasi orangutan dan habitatnya. Pemantapan
kawasan, pengembangan koridor, realokasi Kawasan Budidaya Non Kehutanan
(KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa aktivitas yang bisa
dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya. Perlindungan habitat
menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi in-situ orangutan. Salah satu
penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan tata ruang yang kurang
baik (Dephut, 2009).
Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan hutan yang ada saat
ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk penggunaan lain. Ini
akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan yang populasinya
sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam punah
(orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada tingkat
tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku
seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan. Habitat orangutan
djumpai di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga
di kawasan budidaya non kehutanan (Dephut, 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan liar dijumpai di luar
kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh
HPH/ (Hutan Tanaman Industri) HTI dan hutan lindung. Orangutan akan bisa
bertahan hidup di areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu
banyak yang dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat
orangutan juga banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan
(KBNK) dimana kawasan ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan
lain, seperti perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha
juga harus dilibatkan dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga
dampak akibat pembangunan baik di sektor kehutanan maupun di luar kehutanan
terhadap orangutan dapat diminimalisir (Meijaard et., 2001)..
Konservasi Ex-Situ
Jumlah orangutan yang berada di kebun binatang atau taman margasatwa
dan taman safari di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 203 individu (Laporan
Seksi Lembaga Konservasi, 2007). Standar operasional minimum untuk kebun
binatang (Zoo Minimum Operating Standards) di Indonesia telah ada dan menjadi
keharusan bagi anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia)
untuk ditaati. Tetapi proses monitoring dan evaluasi terhadap kebun binatang
belum berjalan baik menyebabkan banyak anak orangutan yang dilahirkan disana
tidak mencapai usia dewasa. Kebun binatang dan taman safari di Indonesia
meningkatkan program pendidikan dan penyadartahuan masyarakat dan tidak
berorientasi bisnis semata. Selain itu, praktik pemeliharaan (husbandry) di seluruh
kebun binatang yang ada di Indonesia perlu ditingkatkan dan dievaluasi secara
teratur oleh PKBSI dengan melibatkan para ahli untuk menjamin kualitas
pelaporan dan transparansi (Dephut, 2009).
Laporan dari International Studbook of Orangutan in World Zoos (2002)
mencatat 379 orangutan borneo, 298 orangutan sumatera, 174 orangutan hybrid
dan 18 orangutan yang tidak diketahui atau tidak jelas asal-usulnya dipelihara di
berbagai kebun binatang seluruh dunia. Perlu dicatat bahwa jumlah itu hanya
berasal dari kebun binatang yang memenuhi permintaan data dari pemegang
studbook yang ditunjuk, sehingga ada sejumlah orangutan lainnya tidak tercatat
dan diketahui pasti jumlahnya. Selain membuat kebijakan yang mengatur
pengelolaan populasi orangutan di kebun binatang dan taman safari, pemerintah
juga sebaiknya mengembangkan sistem pendataan nasional yang diperlukan untuk
memantau keberadaan populasi orangutan di berbagai kebun binatang dan taman
safari di Indonesia.
Strategi Mengembangkan Konservasi Ex-Situ Sebagai Bagian Dari Dukungan Konservasi In-Situ Orangutan
Konservasi Ex-Situ yang dilakukan di kebun binatang, taman safari selain
bermanfaat bagi pelestarian orangutan juga harus bisa menjadi sarana pendidikan
dan peningkatan kepedulian masyarakat akan perlindungan orangutan di
Indonesia. Kebun binatang dan lembaga konservasi lainnya harus dikelola dengan
baik dan profesional sehingga dapat berperan maksimal untuk pendidikan
monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan orangutan di kebun binatang,
khususnya menyangkut pemeliharaan dan kesehatan satwa (Dephut, 2009).
Menurut Dephut (2009), apabila terjadi penyelundupan orangutan dari
Indonesia ke negara lain, menurut peraturan CITES, orangutan tersebut harus
dikembalikan ke Indonesia sebagai negara asalnya dan biaya repatriasi
(pengembalian orangutan) menjadi tanggungan negara Indonesia. Ini terasa agak
memberatkan negara pemilik orangutan yang diselundupkan, karena harus juga
menanggung biaya untuk rehabilitasi hingga pelepasliaran. Oleh karena itu perlu
ada kerjasama internasional untuk pengembalian orangutan ke negara asalnya,
termasuk kerjasama dalam hal penegakan hukum untuk perdagangan ilegal satwa
liar, termasuk orangutan, misalnya melalui mekanisme ASEAN WEN (Wildlife
Enforcement Network). Sementara itu, pengembalian orangutan ke habitatnya
harus memenuhi persyaratan yang disusun oleh IUCN. Pengembalian orangutan
ke habitat asli memerlukan kehati-hatian sehingga tidak terjadi pencemaran
genetik, kesehatan dan perilaku. Proses pelepasliaran juga memerlukan
pengelolaan habitat dan bahkan adanya restorasi habitat.
Menurut Dephut (2009), rehabilitasi berarti menyiapkan/mendidik
individu (dalam hal ini orangutan) untuk bisa hidup mandiri di lingkungan
sosialnya yang “normal” (diantara sesama jenisnya dan di habitat alaminya). Salah
satu masalah yang dihadapi kegiatan rehabilitasi orangutan adalah kesulitan
mencari lokasi/area untuk pelepasliaran bagi orangutan yang sudah direhabilitasi.
Disamping itu, pusat rehabilitasi juga menjumpai berbagai kesulitan lain, seperti :
1. Kesulitan untuk memperoleh izin menggunakan kawasan hutan yang
2. Kesulitan memperoleh jaminan keselamatan/keamanan orangutan yang
dilepasliarkan serta.
3. Kesulitan mendapatkan fasilitas (areal/kawasan) yang berfungsi sebagai
kawasan khusus untuk mendukung kehidupan orangutan.
Kebun binatang atau taman satwa dan akuaria merupakan tempat
melakukan perawatan, pemeliharaan dan perkembangbiakan berbagai jenis satwa
liar darat, udara maupun perairan dalam rangka mendukung upaya konservasi
ex-situ dan sebagai sarana pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta sarana rekreasi dan pariwisata yang sehat (PKBSI, 2004).
Kondisi Umum Kebun Binatang
KBM dan THPS merupakan salah satu lembaga konservasi yang berada di
Sumatera Utara, yang bergerak dibidang pemanfaatan fauna dengan menjaga
keberlangsungan spesies yang berada di kebun binatang. THPS terletak di
tengah-tengah Kota Pematang Siantar. THPS merupakan kebun binatang tertua di
Sumatera Utara, termasuk di Indonesia.
THPS juga termasuk dalam kebun binatang yang memenuhi standar
PKBSI (Persatuan kebun Binatang Seluruh Indonesia). THPS sampai sekarang
menjunjung tinggi nilai konservasi dan menjadi ikon penting dalam pariwisata di
Sumatera Utara, khususnya di Kota Madya Siantar. KBM awalnya terletak di
Kampung Baru, Medan, namun setelah pengelolaannya di bawah Perusahaan
Daerah (PD), pembangunan Kota Medan pindah lokasi ke Medan Tuntungan,
Medan. KBM mempunyai luas areal baru mencapai 30 hektar yang dihuni 78
Sejarah Pendirian KMB dan THPS
KBM awalnya terletak di tengah kota Medan yang mempunyai areal 3,5
hektar dan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1968 oleh Gubernur Kepala
Daerah Sumatera (Bapak Marah Halim Harahap), KBM berstatus Yayasan
dibawah pemerintah daerah yang dibentuk pada tahun 1961 dengan SK (Surat
Keputusan) Walikotamadya Medan nomor: 812 tanggal 2 September 1961 dengan
Akte Notaris Rusli nomor: 86 tanggal 9 September 1961 yang kemudian
diperbaharui lagi dengan Akte Notaris Rusli nomor: 117 tanggal 28 Juni 1967.
KBM yang kini pengelolaannya dibawah unit Perusahaan Daerah (PD)
Pembangunan Kota Medan mengalami perubahan signifikan, sejak 23 Maret 2005
pindah ke Lokasi di Jl. Bunga Rampai IV, Simalingkar B, Medan Tuntungan,
Medan. Luas areal baru mencapai 30 hektar yang dihuni 78 spesies dengan jumlah
± 182 ekor satwa (PKBSI, 2007).
THPS berdiri tahun 1936 atau resmi dibuka untuk umum tanggal 27
November 1936, dengan luas lahan 4,5 hektar. Didirikan oleh Dr. Coonrad
(berkebangsaan Belanda), yang sekaligus menjadi pimpinan pertama dan
merupakan taman hewan ke empat tertua di Indonesia setelah Surabaya, Bukit
Tinggi dan Bandung. Pada bulan Juni 1956 berdiri Museum Zoological yang
didirikan oleh Prof. Dr. F. J. Nainggolan dan diresmikan oleh Ibu Rahmi Hatta
(Istri Wakil Presiden RI, Drs. M. Hatta). Pada Tanggal 1 September 1996, THPS
yang sebelumnya dikelola oleh PEMDA (Pemerintah Daerah) Pematang Siantar,
diambil alih pengelolaannya oleh Bapak DR. H. Rahmat Shah, dengan kontrak
masyarakat, seperti kondisi hewan yang sedikit dan tidak terawat juga sudah
sangat memprihatinkan keadaannya (PKBSI, 2007).
Izin yang dimiliki
Menurut PKBSI (2007) THPS sebagai lembaga konservasi harus memiliki
izin-izin seperti Surat Perjanjian dan SK (Surat Keputusan) Menteri agar dapat
berjalan dengan baik. Berikut merupakan izin yang dimiliki THPS:
1. Surat Perjanjian Kerjasama, Nomor : 556-2101/WK-Tahun 1996, Nomor:
05/YR/VI/1996 tentang penggunausahaan THPS, antara Drs. H. Abu Hanifah,
Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Pematang Siantar dengan DR. H.
Rahmat Shah, Presiden Direktur PT. UNITWIN INDONESIA MEDAN.
2. Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor: SK.84/Menhut-II/2007, pemberian
izin sebagai Lembaga Konservasi dalam bentuk Taman satwa kepada
PT. UNITWIN INDONESIA di kotamadya Pematang Siantar, Provinsi
Sumatera Utara.
3. Terdaftar sebagai anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang
Se-Indonesia).
4. Terdaftar sebagai anggota SEAZA (South-East Asian Zoos Association)
Menurut PKBSI (2007) kegiatan konservasi yang dilakukan membuahkan
hasil, dapat dilihat dari beberapa hewan yang ditangkarkan. Hewan-hewan
tersebut berasal dari tempat yang berbeda-beda, dan dapat disesuaikan dengan
habitat asli dengan taman hewan.Walaupun dalam proses penyesuaian habitat,
pihak taman hewan banyak menghadapi rintangan. THPS sejak dulu lebih fokus
samapai saat ini berjumlah 12 ekor. Hewan yang sudah berhasil ditangkarkan
dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1. Nama Hewan Hasil Tangkaran di Taman Hewan Pematang Siantar
No. Nama Jenis Nama Latin Jumlah
1. Harimau Panthera tigris 12 ekor
2. Singa Afrika Panthera leo 8 ekor
3. Rusa Cervus timorendis 18 ekor
4. Kijang Mas Muntiacus munyjak 3 ekor
5. Sitatungga Tragelhapus spekei 4 ekor
6. Binturung Actictis binturong 3 ekor
7. Babi rusa Babyrousa babyrussa 3 ekor
8. Musang Cynogale sp 6 ekor
9. 10. 11. 12.
Beruang Madu Merak Landak Raya Cangak abu
Helarctos malayanus Paro muticus Hystrix brachyuran Ardea purpurea
5 ekor 13 ekor 3 ekor 3 ekor
13. Kalong Besar Pteropus edulis 5 ekor
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kebun Binatang Medan (KBM), Medan dan
Taman Hewan Pematang Siantar (THPS), Siantar (Lampiran 1). Pengumpulan
data dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain :
1. Binokuler
2. Kamera digital
3. Jam tangan digital
4. Alat tulis
5. Counter
6. Senter
7. Kalkulator
8. Stop watch
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Kuisioner wawancara
2. Tally Sheet
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah :
1. Data Primer
Data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan dari lapangan atau
lokasi penelitian yang dicatat dalam tabulasi data. Data primer mengacu pada
Parameter Pengelolaan Kebun Binatang (Dikutip Dari: Standard Of Modern Zoo
Practice) dan Pedoman Umum Pengelolaan Taman Satwa dan Akuaria yang
dikeluarkan PKBSI (2004), meliputi:
a. Kesejahteraan hewan di lingkungan kebun binatang
- Penyediaan makanan dan air
- Penyediaan lingkungan yang sesuai
- Penyediaan kesehatan hewan
- Penyediaan peluang mengekspresikan perilaku paling normal
- Penyediaan perlindungan dari ketakutan dan distress
b. Transportasi dan pergerakan hidup hewan
c. Konservasi, pendidikan dan penelitian
d. Keselamatan publik di kebun binatang
e. Dokumen persediaan
f. Pegawai dan training
g. Fasilitas publik
h. Lisensi kebun binatang
Pada penelitian ini, data primer juga meliputi:
a. Pola aktivitas pada saat ramai dan sepi pengunjung
2. Data sekunder
Data yang diperoleh dari literatur, seperti buku, penelitian ilmiah, jurnal
ilmiah, artikel dan sumber pustaka lainnya
Manajemen dan Konservasi Orangutan di Kebun Binatang
Metode yang digunakan dalam mengetahui manajemen dan strategi
konservasi orangutan di kebun binatang adalah dengan melakukan observasi dan
wawancara tentang pengaruh keberadaan orangutan di kebun binatang
a. Observasi
Metode observasi yang dilakukan adalah observasi langsung, yaitu
observasi yang dilakukan terhadap objek di tempat kejadian atau tempat
berlangsungnya peristiwa sehingga observer berada bersama objek yang diteliti.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengetahui tanggapan pengunjung terhadap
keberadaan orangutan di kebun binatang. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara dengan metode purposive sampling. Menurut Singarimbun dan Sofian
(1989), purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang bersifat
tidak acak dan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Dalam hal ini, pertimbangan-pertimbangan yang diambil, seperti:
a. Umur pengunjung (pria/ wanita) ≥15 sampai dengan ≤50
b. Interviewee adalah pengunjung yang mewakili pengunjung yang datang ke
kebun binatang.
c. Pengunjung yang datang ke kandang orangutan
Dari survei awal yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa rata-rata
pengunjung pada hari sepi pengunjung adalah 100 orang dan rata-rata pengunjung
pada hari ramai pengunjung adalah 300 orang, maka jumlah sampel yang akan
diambil adalah 10 % dari jumlah populasi pengunjung. Jumlah sampel yang akan
diambil adalah 10 orang pengunjung pada saat sepi pengunjung dan 30 orang
pengunjung pada saat ramai pengunjung.
Aktivitas Harian Orangutan
Pengumpulan data aktivitas harian orangutan rehabilitan dilakukan dengan
menggunakan metode focal animal instantaneous atau yang disebut juga dengan
focal time sampling (Altmann, 1974 ; Paterson, 1992). Pengumpulan data dalam
penelitian ini difokuskan pada satu individu orangutan sebagai obyek atau sasaran
dalam setiap pengamatan. Namun, setelah dilakukan survei awal pada kedua
lokasi penelitian, diketahui bahwa jumlah orangutan di KBM, yaitu: satu
orangutan (jantan), sedangkan di THPS, dua orangutan (jantan). Jadi, semua
orangutan diambil untuk dijadikan objek penelitian (fokal).
Pencatatan data aktivitas hariannya dilakukan setiap 5 menit sebagai
“point sample”. Metode ini cocok dengan orangutan yang semi soliter dan
memiliki karakter pergerakan yang lambat. Pengamatan aktivitas orangutan
rehabilitan dilakukan satu hari penuh, mulai saat orangutan tersebut bangun dipagi
hari (sekitar pukul 05.30-07.00 WIB) sampai dengan tidur dan tidak melakukan
aktivitas dimalam hari (sekitar pukul 18.00-19.00 WIB).
Data aktivitas harian dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan
Orangutan” dari Morrogh-Bernard et al. (2002). Aktivitas utama yang termasuk
dalam standar ini terdiri dari 5 tipe aktivitas yaitu :
1. Pergerakan (moving) : merupakan semua aktivitas perpindahan lokasi yang
dilakukan oleh orangutan, termasuk pula perpindahan lokasi yang
dilakukan bersama individu orangutan lain. Tetapi aktivitas ini tidak
termasuk saat orangutan melakukan pergerakan ketika aktivitas makan
berlangsung.
2. Istirahat (resting) : kondisi ini merupakan kondisi saat orangutan sama
sekali tidak melakukan aktivitas apapun sebagai aktivitas utamanya.
3. Makan (feeding): merupakan segala aktivitas makan dimana orangutan
secara aktif makan, memproses dan mempersiapkan makanan, pergerakan
saat makan, minum dan penggunaan alat untuk makan.
4. Sosial (social) : adalah aktivitas yang melibatkan interaksi orangutan
sasaran dengan orangutan lain, baik salah satu orangutan sasaran lain
maupun orangutan bukan sasaran yang menjadi pelaku dan penerima
selama kontak berlangsung (Altmann, 1974 ; Rijksen, 1978). Hal ini
dilakukan untuk melihat tingkat sosial dan kecenderungan pada aktivitas
sosial orangutan-orangutan tersebut.
5. Pembuatan Sarang (nesting) : merupakan aktivitas yang tidak dapat
dikategorikan ke dalam aktivitas tersebut di atas dan dilakukan secara
individual oleh orangutan sasaran. Aktivitas yang dikategorikan dalam
aktivitas ini adalah pembuatan sarang.
Lama pengamatan pada orangutan sasaran dalam penelitian ini berkisar
tersebut saat diamati. Pengamatan ini dapat berlangsung secara berturut-turut
sampai 5 hari pengamatan.
Prosedur untuk mengikuti perilaku/aktivitas harian orangutan di kandang
(kebun binatang), meliputi:
1. Mencatat nama fokal, tanggal pengamatan dan cuaca pada tabulasi data.
2. Kegiatan di catat setiap 5 menit sekali dan aktivitas dicatat apabila
dilakukan selama lebih dari lima detik.
3. Kegiatan dan waktu pemberian makan dicatat pada tabulasi data.
4. Kegiatan, cara dan waktu pembersihan kandang.
5. Untuk kolom sosial mencatat semua perilaku yang terdapat pada daftar
Perilaku Budaya (terlampir).
6. Mencatat jenis, komposisi, dan kuantitas makanan yang diberikan kepada
orangutan.
7. Kegiatan istirahat orangutan meliputi tidur, rebah, duduk, bergantung dan
berdiri.
8. Kegiatan aksi sendiri meliputi main sendiri, defekasi dan urinasi.
Analisis Data 1. Observasi
Hasil dari pengumpulan data dari pengamatan disajikan dalam data dan
dianalisis dengan teknik analisis kualitatif.
2. Wawancara
Hasil dari pengumpulan data dari wawancara dianalisis dengan
3. Aktivitas harian
Data aktivitas harian diperoleh dari pengamatan yang dilakukan dan
dicatat dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Aktivitas Harian Orangutan Nama
Orangutan
Aktivitas Harian
M F R S
Fr % Fr % Fr % Fr %
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. AKTIVITAS HARIAN ORANGUTAN
Pengamatan aktivitas harian orangutan di THPS dan KBM dilakukan pada tiga
fokal orangutan. Karakteristik fisik dan umur ketiga fokal, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Orangutan di Taman Hewan Pematang Siantar dan Kebun Binatang Medan No Nama
Medan Dipelihara oleh
manusia
Medan Ditangkap dari
hutan
Langkat Ditangkap dari
hutan
Dewasa umur
muda (DM)
Sumber: THPS (2010), KBM (2010) dan Galdikas (1978)
(Tungir) (Kopral) (Tamba)
Gambar 1. Orangutan fokal di KBM dan THPS
Berdasarkan pengamatan harian ketiga fokal orangutan tersebut diatas, diketahui
bahwa Tungir termasuk dalam kategori jantan anak (A), Kopral termasuk dalam
(DM) menurut Galdikas (1978), dengan karakteristik menurut tingatan umur
seperti dibawah ini:
Tabel 4. Kategori Orangutan menurut berdasarkan Umur/ Jenis Kelamin menurut Galdikas (1978)
Sifat Tingkah Laku Sifat Morfologi
Anak
(Tungir)
Jantan 4-7 5-20 Berpindah bersama, terlepas
dari badan induk,
kadang-kadang menggunakan sarang
bersama induknya dan masih
menyusui
Wajah masih lebih putih dari
hewan yang lebih tua, tetapi
lebih gelap dari pada bayi;
bercak-bercak putih juga
semakin kabur.
Remaja
(Kopral)
Jantan 7-12 20-30 Benar-benar bebas dari induk,
sekalipun kadang-kadang
pindah bersama dengan induk
atau dengan satuan lain;
sangat sosial; berusaha
melakukan kopulasi dengan
betina
Wajah tetap lebih putih dari
hewan yang benar-benar
dewasa, ukuran lebih kecil
daripada betina dewasa
Dewasa
Umur
Muda
(Tamba)
Jantan 15-35 ≥ 50 Menyuarakan “seruan panjang”, hidup soliter
kecuali bila berpasangan
dengan betina tanggap seksual
Ukuran besar sekali; bantalan
pipi, kantong leher, kerapkali
berjanggut, kadang-kadang
punggung gundul
Sumber: THPS (2010), KBM (2010) dan Galdikas (1978)
Selama penelitian dilapangan, orangutan di KBM diamati selama 52, 5
Jam (5 Hari Pengamatan). Hal ini disesuaikan dengan observasi dan wawancara
yang dilakukan oleh peneliti selama di lapangan. Hasil pengamatan aktivitas
Gambar 2. Perbandingan Aktivitas Harian Orangutan Menurut Tempat yang Berbeda
Gambar 2. Menunjukkan bahwa hampir setengah aktivitas harian Tamba selama
pengamatan adalah beristirahat, kegiatan meliputi seluruh waktu yang digunakan
individu orangutan dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu
tertentu, baik di dalam maupun di luar sarang, seperti merebahkan diri, duduk,
berdiri maupun menggantung. Tamba menghabiskan waktu siang hari pada saat
matahari terik dengan beristirahat di ruang privasi (Lampiran 3).
Tamba duduk dan rebah pada jangka waktu yang lama, yaitu rata-rata selama 211
menit (sekitar 3 jam, 50 menit) dari 10,5 jam pengamatan dalam sehari. Hal ini
dikarenakan oleh karena Tamba hidup sendiri dalam kandang, kegiatan yang
dilakukan selain bergerak dan makan, hanyalah tidur, rebah, duduk dan
bergantung.
Pengamatan aktivitas harian orangutan di KBM dilakukan pada satu fokal
orangutan, yaitu: orangutan jantan yang diberi nama Tamba. Hal ini dikarenakan
penjaga orangutan (keeper), awalnya orangutan di KBM ada dua ekor, namun,
pada bulan Februari 2010, orangutan betina mengalami abortus. Hal ini
mengakibatkan orangutan betina mengalami komplikasi pada rahim. Kejadian ini,
menurut Drh. Fuji, selaku dokter hewan di Kebun Binatang Medan, diakibatkan
oleh kurang bersihnya rahim orangutan pada saat mengalami abortus. Demi
keselamatan orangutan, pihak kebun binatang mengambil tindakan untuk
memindahkan orangutan ke pusat rehabilitasi orangutan di Sibolangit. Namun,
orangutan betina tersebut akhirnya mati pada saat ditangani di Sibolangit.
Pengamatan yang dilakukan di KBM pada satu ekor orangutan. Hal ini
mengakibatkan kegiatan sosial orangutan tidak dapat dilakukan. Hal yang serupa
juga terdapat pada kegiatan nesting (pembuatan sarang), hal ini dikarenakan
orangutan hidup di kandang, orangutan tidak membuat sarang. Sehingga, hanya
ada tiga garis besar yang diamati dari perilaku orangutan, yaitu resting (istirahat),
moving (bergerak) dan feeding (makan).
Dari Gambar 2 diperoleh persentase frekuensi setiap kegiatan Tungir dan Kopral.
Kegiatan harian Tungir didominasi oleh moving (bergerak), sedangkan kegiatan
harian Kopral didominasi oleh resting (beristirahat). Perbedaan tersebut
dikarenakan ruang gerak Kopral terbatas pada ruang privasi yang relatif sempit.
Tungir terlihat lebih lincah dan agresif dengan keadaan disekitarnya. Terdapat
beberapa perilaku yang membahayakan orangutan dan pengunjung dilakukan oleh
orangutan di kandang, hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
1. Tungir 1. Tungir sering mengencingi (urinasi) pengunjung yang datang ke kandang orangutan.
2. Tungir sering meminta makanan kepada pengunjung
3. Tungir sering menjulurkan lidah kepada pengunjung dan meludahi pengujung.
2. Kopral 1. Kopral tidak memberikan makanan kepada Tungir pada waktu makan, Kopral memakan semua makanan yang diberikan keeper. 2. Kopral sering menyerang Tungir pada saat bermain
3. Kopral sering menyerang keeper pada saat memberi makan dan pada saat membersihkan kandang orangutan.
4. Kopral mau menerima rokok dari pengunjung 5. Kopral mempunyai kebiasaan melempar pengunjung
3. Tamba 1. Tamba menerima rokok dan menghisapnya dari pengunjung
2. Tamba sering menyerang dan melempar harimau di samping kandangnya.
Sumber: THPS (2010) dan KBM (2010)
Pengamatan Tungir dan Kopral dilakukan bersamaan, pada waktu dan
kandang yang sama. Di dalam kandang terdapat ruang privasi yang terpisah antara
Tungir dan Kopral. Kopral sengaja dikurung di ruang privasinya sepanjang hari,
sedangkan Tungir dikeluarkan dari ruang privasi sehingga dapat bermain bebas di
ruang bermain orangutan yang lebih luas. Kopral sengaja dikurung di dalam ruang
privasi karena Kopral sering melakukan hal-hal yang membahayakan bagi Tungir
apabila Tungir dan Kopral disatukan dalam ruang bermain.
Pergerakan Tungir yang lincah terlihat dari apabila ada pengunjung yang datang
ke kandang orangutan maka Tungir langsung mendekati pengunjung dan meminta
makanan (Lampiran 4). Apabila sudah mendapat makanan dan pengunjung pergi,
maka Tungir akan segera bergerak ke ruang privasinya ataupun ayunan. Pihak
taman hewan tidak ada yang menjaga kandang sepanjang hari. Hal ini
mengakibatkan banyak pengunjung yang sembarangan memberikan makanan
kepada orangutan. Seharusnya, ada spesifikasi makanan didepan kandang agar
pengunjung tidak memberi sembarang makanan pada orangutan dan petugas
Aktivitas harian orangutan pada kebun binatang hampir sama dengan
aktivitas harian orangutan di kawasan konservasi in-situ. Kegiatan didominasi
dengan istirahat. Dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Aktivitas Harian Orangutan di Kawasan Konservasi In-Situ, Bukit Lawang
Fokal minah menghabiskan waktu aktivitas hariannya untuk beristirahat (60,2%),
bergerak pindah (16,5%), makan (15,1%), interaksi sosial (5,6%) dan bersarang
(2,6%) (Lampiran 4). Waktu aktivitas harian fokal Minah sangat berbeda dengan
pernyataan Fox et al. (2004) dimana dijelaskan pada umumya orangutan lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk makan (55%) dan istirahat (25%). Fokal
Jenggot menghabiskan waktu aktivitas hariannya untuk beristirahat (48,3%),
makan (40,7%), bergerak pindah (9,4%) dan bersarang (1,6%) (Lampiran 5).
Fokal Jenggot lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat
beristirahat dan makan (Zendrato, 2009).
Perbedaan aktivitas harian orangutan di dua kawasan ini terlihat dari kegiatan
bersarang orangutan, dimana kegiatan bersarang di kebun binatang tidak
hampir sama adalah istirahat, dimana Kopral di KBM menghabiskan 50,1 %
waktu beristirahat dan Jenggot di Bukit Lawang menghabiskan waktu 48,3%
untuk istirahat. Di alam sendiri orangutan menghabiskan waktu beristirahat lebih
banyak dikarenakan karena beberapa faktor seperti ketersediaan makanan
(Zendrato, 2009), apabila musim buah orangutan akan semakin mudah
mendapatkan makanan, sehingga waktu jelajah akan semakin sedikit. Sedangkan
di kebun binatang dikarenaka karena faktor umur, ketidakadaan fokal dan fasilitas
mengekspresikan perilaku paling normal.
Berdasarkan hasil yang terlihat pada Gambar 1, maka Tungir merupakan fokal
yang paling agresif dibandingkan fokal lainnya. Istirahat mendominasi kegiatan
harian Kopral. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Umur orangutan, semakin tua, orangutan pergerakannya lebih lamban dan
sangat soliter, seperti yang dinyatakan dalam Galdikas, yaitu orangutan
dewasa gerakannya sangat lamban dan hidup soliter kecuali berpasangan
dengan betina tanggap seksual.
2. Kondisi kandang, kandang yang dilengkapi dengan enrichment (tempat
seperti habitat, seperti ayunan, tiruan pohon) akan lebih menarik perhatian
orangutan untuk bermain.
3. Makanan, apabila ketersediaan makanan baik, orangutan tidak akan
meminta-minta makanan kepada pengunjung.
4. Pengunjung kandang orangutan, hal ini sangat berpengaruh juga terhadap
perilaku orangutan, dimana pada saat pengunjung datang orangutan (Tungir)
akan mendekat dan sering pamer akan kebolehannya berayun-ayun dan
5. Keberadaan fokal (orangutan) lain, apabila tidak ada orangutan di kandang,
maka dia tidak bisa kontak (berinteraksi).
Perilaku Sosial Orangutan
Selama melakukan pengamatan aktivitas harian orangutan di THPS, penulis
menemukan bahwa, perilaku sosial Tungir dan Kopral menyimpang. Pada
beberapa jam pengamatan Kopral melakukan kopulasi dengan Tungir
(Lampiran 6). Terkadang Kopral main sendiri (masturbasi), begitu juga dengan
Tungir. Perilaku sosio-seksual Kopral dan Tungir ini sering terjadi selama
pengamatan dilakukan. Kopral dan Tungir melakukan kontak satu sama lain
walaupun berbeda kandang. Hal-hal yang sering dilakukan adalah:
1. Kopral mengelus-elus kepala Tungir dan menarik tangan Tungir
2. Kopral memainkan kelamin di depan Tungir dan menarik Tungir.
3. Kopral dan Tungir saling berpelukan (ada ataupun tidak ada pengunjung).
4. Kopral sering memperliatkan kelaminnya kepada pengunjung dan juga
kepada keeper orangutan.
5. Kopral memainkan alat kelamin sendiri dengan botol yang diberikan
pengunjung (Lampiran 6).
Perilaku seks orangutan yang termasuk kedalam homoseks pada primata. Hal
seperti ini juga ditemui pada penelitian Kuncoro (2004), yang menemukan
perilaku sosio-seksual pada orangutan jantan. Kondisi-kondisi pada orangutan
rehabilitan atau saat dalam kandang memungkinkan orangutan melakukan
perilaku abnormal, seperti masturbasi dan homoseksual (Rijksen, 1978 ; Maple,
1980). Asumsi lain yang menyebabkan perilaku sosio-seksual ini disebabkan tidak
Aktivitas sosial pada orangutan di KBM hampir tidak pernah terjadi, hal ini
dikarenakan karena orangutan jantan (Tamba) hidup sendiri dalam kandang.
Kandang orangutan berada disamping kandang harimau. Pada beberapa menit
pengamatan orangutan sering terlihat seperi marah kepada harimau dengan
mengeluarkan suara panjang (long call). Kemudian Tamba melempar harimau
dengan batu ataupun benda-benda yang ada di dalam kandang. Tamba sering
melempar ban ke arah harimau walaupun berbeda kandang. Asumsi yang timbul
adalah orangutan jenuh di kandang dan mencari hal lain untuk mengisi
kejenuhannya.
TINGKAT KESEJAHTERAAN ORANGUTAN
Kesejahteraan orangutan dapat dilihat dari aspek-aspek seperti, penyediaan
makanan dan air; penyediaan lingkungan yang sesuai; penyediaan fasilitas untuk
kesehatan satwa; penyediaan peluang mengekspresikan perilaku paling normal;
penyediaan perlindungan dari ketakutan dan stress. Aspek-aspek yang ditinjau
dalam menilai kesejahteraan orangutan, yaitu:
a. Penyediaan Makanan dan Air
Makanan dan air merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk orangutan.
Orangutan memanfaatkan buah, bunga daun, kuncup dan kulit kayu serta cairan
dari berbagai species pohon, tanaman menjalar dan tanaman lain dan juga
berbagai tanaman merambat yang kecil, anggrek, akar alang-alang air, rayap ulat,
epifit, pakis dan palma kecil. Kebanyakan jenis makanan orangutan (74%) berasal
dari species pepohonan. (Galdikas, 1978).
Penyediaan makanan dan air harus mendapat perhatian dan penanganan yang
serius. Hal ini menyangkut kepada keberlangsungan hidup orangutan. Penyediaan
makanan di KBM dan THPS tidak mengacu pada standar pengelolaan orangutan
di kandang. Hal ini dituturkan oleh keeper orangutan di kedua tempat tersebut.
Pemberian makan sangat kondisional, tergantung cuaca dan kondisi badan
orangutan.
Merujuk pada Pedoman Evaluasi Taman Satwa dan Akuaria Indonesia yang
dikeluarkan PKBSI tahun 2004, hasil observasi dan wawancara perawatan makan,
ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Evaluasi satwa bebas dari Kelaparan dan Kehausan
No. Kriteria KBM THPS
1. Apakah kuantitas dan kualitas pakan yang disediakan untuk
satwa sudah memuaskan ?
2 3
2. Apakan variasi jenis pakan untuk satwa mendapatkan
perhatian ?
5 4
3. Apakan kebutuhan pakan untuk satwa betina bunting dan
yang sedang menyusui sudah sesuai ?
4 4
4. Apakah penetapan menu pakan melibatkan ahli nutrisi satwa
(termasuk dokter hewan dan biologi) ?
3 5
5. Apakah suplai pakan dan minuman yang disimpan,
dipersiapkan, dan diberikan kepada satwa dalam kondisi
sehat ?
4 5
6. Apakah pakan didistribusi ke seluruh areal kandang sehingga
satwa terdorong untuk bergerak mencarinya sendiri
1 1
terkontaminasi tanah dapat dikurangi ?
8. Apakah Kebersihan Tempat Pakan Satwa Dijaga ? 4 1
9. Apakah pakan yang diberikan diyakini dimakan oleh satwa ? 5 3
10. Bila pengunjung diperbolehklan untuk memberikan pakan
satwa, apakah dibatasi hanya dengan pakan yang telah
disediakan oleh menejemen ?
1 3
11. Apakah area penyimpanan pakan satwa terpisah dari area
penyiapan makanan manusia ?
5 4
12. Apakah kulkas digunakan ? bila ya, apakah peralatan
tersebut diservis dan diperiksa temperaturnya secara teratur ?
4 5
13. Apakah freeser digunakan ? biola ya, apakah peralatan
tersebut diservis dan diperiksa temperaturnya secara teratur ?
1 1
14. Apakah suplai air minum yang disimpan, dipersipakan, dan
diberikan kepada satwa dalam kondisi sehat ?
2 3
15. Apakah kuantitas air minum yang diberikan diyakini
mencukupi ?
2 2
16. Apakah air minum diletakkan pada tempat sedemikian rupa
sehingga resiko terkontaminasi tanah dapat dihindari ?
1 4
Sumber: THPS (2010), KBM (2010) dan PKBSI (2004)
Keterangan : 1 = buruk; 2 = kurang; 3 = cukup; 4 = baik; 5 = memuaskan.
Tabel 6 memperlihatkan perbedaan dalam pola makan orangutan di KBM dan
THPS. Standar yang dibuat oleh PKBSI merujuk juga pada SMZP yang ada pada
tabel 12. Terlihat perbedaan nyata pada setiap perlakuan yang menjadi ukuran
evaluasi kesejahteraan satwa.
Kandungan gizi dan kuantitas makanan kurang diperhatikan dalam penyediaan
makanan. Namun, jika dibandingkan dengan THPS asupan makanan penambah
tenaga dan vitamin lebih banyak di KBM, yaitu tambahan susu dan beberapa
penyediaan air. Di KBM, penyediaan air sangat tidak sehat. Bak air tidak pernah
dibersihkan dan air jarang diisi. Berbeda dengan di THPS, setiap hari bak air
dikuras dan diisi dengan air.
b. Penyediaan lingkungan yang sesuai
Lingkungan yang sesuai dengan habitat asli orangutan memang masih sangat sulit
diterapkan. Karena habitat orangutan asli adalah hutan hujan tropis, sangat
kompleks dari semua aspek lingkungan. Sesuai dengan sifat arboreal orangutan,
maka orangutan membutuhkan pohon pada lingkungan tempat tinggalnya.
Namun, pada kondisi kebun binatang tempat penelitian, belum ditemui adanya
pohon di dalam kandang.
Merujuk pada Pedoman Evaluasi Taman Satwa dan Akuaria Indonesia yang
dikeluarkan PKBSI tahun 2004, hasil observasi dan wawancara perawatan
kandang bebas dari ketidaknyamanan suhu dan fisik, ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Tabel Bebas dari Ketidaknyamanan Suhu dan Fisik
No Kriteria KBM THPS
1. Apakah akomodasi termasuk suhu, ventilasi, dan
penerangan sesuai bagi satwa ?
4 4
2. Apakah syarat yang diperlukan berkaitan dengan suhu,
ventilasi, dan penerangan guna memenuhi kebutuhan satwa
tersedia setiap saat ?
3 3
3. Apakah diberikan pertimbangan kebutuhan khusus kepada
satwa yang bunting dan satwa yang baru lahir ?
4 3
4. Untuk kenyamanan satwa, apakah peneduh untuk
perlindungan terhadap cuaca buruk dan terik matahari diluar
kandang diberikan ?
4 4