1 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Tentang tanaman daun Tempuyung (Sonchus arvensis Linn) 1. Klasifikasi Difisi : Spermatophyta Subdifisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Asterales Suku/Family : Compositae Marga : Sonchus
Spesies : Sonchus arvensis Linn Nama umum : Tempuyung
(Winarto, 2004:2-3) 2. Nama Daerah
Galibug, Jombang, J. Lalaking, Lempung, Lompnas, Rayana. (Winarto, 2004:2).
3. Morfologi
Tempuyung adalah tanaman tahunan, tinggi 1-2 m, akar tunggang kokoh, batang berusik, bergetah putih. Daun bagian bawah terpusat membentuk roset, bentuk lonjong atau berbentuk lancet, berlekuk menjari atau berlekuk tidak teratur, pangkal daun berbentuk panah atau jantung. Ujung daun bercuatan pendek, panjang daun 6-48 cm, lebar daun 10 cm. Bunga berbentuk bonggol yang bergabung dalam malai, bonggol bunga berukuran 2 cm -2,5 cm, panjang bonggol 1 cm-8 cm, mahkota bunga panjang 2 cm sampai 2,5 cm, mula-mula berwarna kuning terang, lama-kelamaan berwarna coklat. Panjang biji 4 mm sampai 4,5 mm, berusuk, panjang papus 1,5 cm.
Tumbuh liar di Jawa, di daerah yang banyak hujan pada ketinggian 50 m sampai 1.650 m di atas permukaan laut. Tumbuh di
tempat terbuka atau sedikit kenaungan, di tempat yang bertebing di pematang, di pnggir saluran air (Winarto, 2004: 1).
4. Efek Farmakologi
Tempuyung dapat digunakan sebagai diuretik, obat batu ginjal, kegemukan (Dalimarta,2002 ; 158). Selain itu ekstrak tempuyung bisa memecah batu ginjal dan batu saluran kencing (Winarto,2004 : 8). 5. Kandungan kimia
Kandungan kimia yang terdapat dalam daun tempuyung berupa ion-ion mineral, seperti silika; kalium; magnesium; natrium; dan senyawa organik, seperti flavonoid (kaempferol, luteolin-7-O-glukosida, dan apigenin-7-o-glukosida), kumarin, taraksasterol, inositol, serta asam fenolat (sinamat, kumarat, dan vanilat). Kandungan flavonoid total dalam daun tempuyung sekitar 0,1044%. Sementara itu, kandungan senyawa flavonoid total dalam akar sekitar 0,5%. Flavonoid terbesar yang terkandung dalam akar adalah apigenin-7-O-glukosida.
Selain berguna sebagai antiradang, senyawa flavonoid dalam daun tempuyung juga berguna untuk menjaga kesehatan. Senyawa ini bermanfaat untuk memperkuat dinding kapiler. (Winarto, 2004:6-7).
B. Analgetika
Analgetika adalah senyawa dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anestesi umum (Mutscher, 1991:177). Secara umum analagetika dibagi dalam dua golongan, yaitu:
1. Analgetik non narkotik atau intergumental analgetics (misalnya: parasetamol dan asetosal), cocok untuk nyeri muskuloskeletal.
2. Analgetika narkotik atau visceral analgetics (misalnya: morfin), ini merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium dan morfin. Meskipun memperlihatkan farmakodinamik yang lain yaitu dapat mengakibatkan toleransi, tetapi ini bukan alasan untuk tidak dipergunakan
dalam mengatasi nyeri pada penyakit terminal. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan atau juga menghilangkan rasa nyeri terutama nyeri sedang sampai berat (Ganiswara, 1995:189,207). Analgetika yang diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa sakit yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis rangsangan nyeri seperti rangsangan mekanik, kimia dan fisis. Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya: bradikinin, prostaglandin) dalam jaringan rusak kemudian merangsang reseptor nyeri di ujuk saraf perifer atau di tempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsangan nyeri dikorteks oleh syaraf sensori melalui sumsum tulang belakang dan hipotalamus. Berdasarkan atas rangsangan nyeri yang dipergunakan, maka terdapat beberapa metode penetapan daya analgetika suatu obat salah satunya adalah dengan menggunakan rangsangan kimia sebagai penimbun rasa nyeri (Mutschler, 1991:178-180 ).
Telah dikenal umum bahwa rangsang nyeri yang sama dinilai sangat berbeda oleh orang yang berlainan. Jika yang seorang menyatakan nyeri kuat (sampai tak tertahankan), yang lain hanya merasakan sebagai nyeri.
Di samping itu aktivitas sistem penghambat nyeri yang mungkin berbeda, yang bertanggung jawab adalah penilaian nyeri emosional efektif yang berbeda, karena itu juga mungkin menguntungkan untuk mempengaruhi kondisi kondisi dengan fisikofarmaka, yang ia sendiri tidak bekerja tidak analgetik tapi mengubah pengalaman nyeri (rasanya memang masih nyeri, tapi merasakan itu tidak lagi menyiksa) disamping trankuilasia, untuk indikasi mungkin juga dipakai terutama neorakptika dan anti depresiva. (Mutscher, 1991:181).
Pada pengobatan nyeri dengan analgetika, faktor psikis turut memegang peranan seperti kesabaran individu dan gaya mencekal nyerinya. Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer, atau aminifezon. Obat ini mampu menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi sistem saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan ketagihan (Tan & Raharja,2002 : 295).
Untuk mengurangi nyeri dengan obat, terdapat beberapa kemungkinan sebagai berikut:
A. Mencegah sensibilitas reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostalglandin dengan analgetik yang bekerja perifer. B. Mencegah pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri dengan
memakai anastetika permukaan dan anastetika infiltrasi.
C. Menghambat penerusan rangsang dalam serabut syaraf sensorik dengan anestetika konduksi.
D. Meringankan nyeri/meniadakan nyeri dengan malalui kerja dalam sistem syaraf pusat/obat nakrosis.
E. Mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikoamarka (trankuilansia, neuroleptika, anti depresiva).(Mutschler , 1991 : 181 )
psikofarmaka obat anastetika,analgetika yang bekerja sentral
sumsum tulang belakang
syaraf anastetika konduksi
reseptor nyeri anastetika permukaan
analgetika yang bekerja
perifer
Gambar 1. Bagan berbagai kemungkinan pengaruh bermacam-macam obat terhadap nyeri menurut keldel (Mutschler, 1991:182).
1 . Mekanisme Kerja Analgetik
Mekanisme kerja analgetik sebagian besar tergantung pada penghambatan biosintesa prostaglandin dengan menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin G2(PGG2) terganggu (Tan & Rahardja, 1978:306).
trauma / luka pada sel
gangguan pada membran sel
fosfolipid
Dihambat kortikosteroid Enzim fosfolipase
Asam arakhidonat
Enzim siklooksigenase Hambatan obat AINS
( serupa aspirin )
Endoperoksida
(prostaglanding2(PGG2)/Prostaglandin H)
PGE2, PGF2, PGO2 Tromboksan A2 Prostasiklin
Gambar 2. Skema penghambatan biosintesa prostaglandin ( Wilmana, 1995:208 )
C. Nyeri 1. Definisi
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling serius. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi serta sering memudahkan diagnosis, pasien merasakan sebagian hal yang tidak mengenakan, kebanyakan menyiksa dan oleh orang itu berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1991:177).
Sebab-sebab rasa nyeri adalah rangsangan mekanisme atau kimiawi, yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat tertentu yang disebut mediator nyeri (pengantara). Zat ini lalu merangsang reseptor nyri yang letaknya pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan (organ-organ lain).
Rasa nyeri timbul karena peran prostagrandin (PG) yang menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik kimia. Jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin yang merangsangnya yang menimbulkan rasa nyeri yang nyata (Ganiswara, 1995:209).
Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri dalam (visceral). Nyeri somatik dibagi menjadi 2 golongan yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam.Apabila rangsangan bertempat dari kulit saja maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari dalam otot, persediaan, tulang dan jaringan ikat disebut nyeri dalam.
Reseptor nyeri (nosiseptor) secara fungsional dibedakan menjadi 2 jenis, yang dapat menyusun 2 sistem saraf yang berbeda:
1. Mekanoreseptor, yang meneruskan rasa nyeri permukaan melalui serabut A delta bermielin.
2. Termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tak bermielin (Mutschler, 1991:178).
Gambaran terapi terhadap rasa nyeri
Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka nyeri dapat diatasi dengan berbagai cara, yaitu:
1. Menghalangi pembentukan rangsangan dengan reseptor-reseptor nyeri perifer oleh analgetika perifer atau oleh analgetika lokal.
2. Menghalangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensorik misalnya dengan anastesia lokal.
3. Blokade dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan anagetika narkotika atau dengan anesteti lokal (Tan dan Raharja, 2002:296).
2. Etiologi dan Patofisiologi
Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanik, fisik atau kimiawi pada ujung saraf perifer. Rangsang tersebut dihantarkan oleh serabut syaraf jenis A delta dan C. Serabut A delta berjalan cepat (6-30 m/detik) mentrasmisi rasa nyeri yang tajam melalui neuron dalam jumlah kecil. Sedangkan serabut C berjalan lambat (0,5 sampai 2 menit/detik) menstrasmisi rasa nyeri yang dalam melalui neuron dalam jumlah banyak.
Substansia gelatinosa yang terletak di medula spinalis adalah tempat pertama yang mempengaruhi, menekan, merubah, implus rasa nyeri sebelum menerima pengaruh dari memberitahukan lokasi nyeri, sebagian lagi masuk ke batang otak, sistim imbik dan lobulu-lobulu otak. Masing-masing mengumpulkan analisa kemudian, bertindak terhadap rasa nyeri dalam keadaan sadar. (Mutschler, 1991:183).
3. Jenis Rangsangan dan Reseptor Nyeri Ada 3 jenis rangsangan reseptor nyeri yaitu:
a. Mekanik dengan reseptor nyeri mekanosensitif contohnya akibat stres mekanik.
b. Suhu dengan reseptor nyeri termosensitif contohnya panas dan dingin.
c. Kimia dengan reseptor nyeri kemosensitif contohnya bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam,prostaglandin, asetilkholin, dan enzim proteolitik.
D. Asetosal
Asam asetat salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin merupakan ester salisilat dengan rumus bangun sebagai berikut:
Gambar 3. Struktur asetosal
Asetosal adalah obat anti nyeri tertua (1899). Asetosal dikenal oleh masyarakat sebagai analgetik-antipiretik dan anti inflamasi. Asetosal digolongkan dalam obat bebas terbatas sehingga banyak digunkan oleh masyarakat dibandingkan dengan obat analgetik-antipiretik yang lain, karena hingga saat ini asetosal dianggap cukup manjur dan bekerja cepat (Ganiswara, 1995:210-211).
Asetosal bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri yang berasal dari banyak tempat dan merupakan obat utama dalam demam reumatik akut, rematid athritis menyebabkan urtikaria, asma, dan radang kering akut. Mekanisme kerja dari asetosal belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan besar berkaitan dengan mekanisme penyekat terhadap timbulnya infuls dalam reseptor kimia perifer yang bertugas menghantarkan rangsangan rasa sakit.
Resopsi dari asetosal cepat dan praktis lengkap, dibagian pertama duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat akan diabsorpsi di lambung. Asetosal yang diberikan secara orat, sebagian besar akan diabsorpsi di usus halus bagian atas. Mulai efek analgetik dan antipiretiknya cepat yaitu setelah 30 menit dan bertahan selama3-6 jam. Dalam hati, zat ini segera dihidrolisis menjadi asam salisilat dengan daya anti-nyeri lebih ringan dan asam asetat. (Ganiswara, 1995:212)