• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA DI PT UMAS JAYA AGROTAMA TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH. Oleh : DENI PRASOJO F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA DI PT UMAS JAYA AGROTAMA TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH. Oleh : DENI PRASOJO F"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA DI PT UMAS JAYA AGROTAMA

TERBANGGI BESAR – LAMPUNG TENGAH

Oleh : DENI PRASOJO

F24050261

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA DI PT UMAS JAYA AGROTAMA

TERBANGGI BESAR – LAMPUNG TENGAH

Oleh DENI PRASOJO

F24050261

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EFISIENSI PROSES PENGERINGAN TAPIOKA DI PT UMAS JAYA AGROTAMA

TERBANGGI BESAR – LAMPUNG TENGAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : DENI PRASOJO

F24050261

Dilahirkan pada 29 Juni 1987 Di Sriagung, Lampung Tengah Tanggal Lulus :

Menyetujui,

Bogor,

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS Tisa Virgiandriati, STP Dosen Pembimbing Pertama Dosen Pembimbing Kedua

Menyetujui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP

(4)

Deni Prasojo. F24050261. Efisiensi Proses Pengeringan Tapioka di PT. Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Di bawah bimbingan Tien R. Muchtadi dan Tisa Virgiandriati.

RINGKASAN

PT. Umas Jaya Agrotama adalah perusahaan pengolahan tapioka yang terletak di Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Perusahaan ini satu grup dengan PT. Great Giant Pineapples, yaitu grup Gunung Sewu. Didalam pengolahan tapioka, PT. Umas Jaya Agrotama menggunakan sistem pengeringan Flash Drying, yaitu dengan menggunakan udara sebagai media pengeringan. Biaya pengeringan di PT. Umas Jaya Agrotama masih merupakan aspek biaya produksi yang tertinggi, kedua setelah biaya bahan baku.

Permintaan tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia

Pengeringan merupakan tahapan proses pengolahan tapioka yang cukup penting. Salah satu metode pengukuran efisiensi untuk pengeringan udara adalah dengan melihat keseimbangan panas udara, dengan memperlakukan unit pengering sebagai sistem adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas dengan lingkungan. Nilai efisiensi energi pengeringan dapat dihitung dengan rumus : ή = (T1-T2)/(T1-Ta)

Kurva psikrometri merupakan alat yang cukup baik untuk menganalisis suatu proses pengeringan udara. Dengan kurva psikrometri dapat diketahui kemampuan menangkap air dari udara pengering. Dengan mengamati faktor-faktor yang berkaitan dengan pengeringan diharapkan dapat diketahui kondisi sebenarnya dari proses pengeringan yang telah berjalan. Dengan data yang diperoleh dapat diusahakan langkah-langkah perbaikan yang mungkin dapat dilakukan sehingga proses pengeringan menjadi lebih efisien.

Kegiatan magang dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pengamatan pendahuluan dan tahap optimasi proses. Pengamatan pendahuluan dilakukan enam kali pada enam shift produksi yang berbeda, yaitu dua kali pengamatan pada shift pagi (08.00-16.00 WIB), dua kali pada shift sore (16.00-24.00 WIB), dan dua kali pada shift malam (24.00-08.00 WIB). Pada pengamatan pendahuluan aspek yang diamati aspek proses produksi, kualitas produk dan efisiensi energi pengeringan. Aspek produksi yang diamati meliputi sifat psikrometri udara pengering, kecepatan pemasukan udara, dan kecepatan pemasukan pati basah. Sifat psikrometri yang diamati adalah suhu input udara, RH input udara, volume spesifik input udara, suhu udara basah, suhu udara kering, dan kelembaban mutlak udara kering dan basah. Aspek kualitas yang diamati adalah kadar air pati basah, kadar air pati kering, derajat keputihan, persentase kerak, retained on 100 mesh, fase pengeringan pati basah.

(5)

Rata-rata suhu input udara adalah 32,7 oC untuk FD 1 dan 33,3 oC untuk FD 2. Rata-rata RH input udara adalah 64,6% untuk FD 1 dan 64,2% FD 2. Rata-rata suhu udara kering adalah 192 oC untuk FD 1 dan 200 oC untuk FD 2. Rata-rata suhu udara basah adalah 60 oC pada FD 1 dan 62 oC pada FD 2. Kapasitas penangkapan air udara pengering adalah 0,0553 kg air/kg u.k. untuk FD 1 dan 0,0580 kg air/kg u.k. untuk FD 2. Kecepatan pemasukan udara(debit udara) adalah 23.063,04 m3 u.k./jam untuk FD 1 dan 26.649,00 m3 u.k./jam untuk FD 2. Rata-rata kapasitas pengeringan adalah 1479 kg air/jam untuk FD 1 dan 1555 kg

air/jam untuk FD 2. Rata-rata kecepatan pemasukan pati basah adalah 5371 kg/jam untuk FD 1 dan 6651 kg/jam untuk FD 2.

Rata-rata kadar air pati basah adalah 34,35%. Rata-rata kadar air pati kering tapioka adalah 10,6% untuk FD 1 dan 11,0% pada FD 2. Perbedaan suhu udara pengering FD 1 dan FD 2 tidak berpengaruh secara nyata pada kualitas pati kering(derajat keputihan, persentase kerak, dan retained on 100 mesh). Proses pengeringan pati basah menjadi pati kering (tapioka) telah mencapai tahap falling rate. Efisiensi energi pengeringan adalah 0,83 (83%) untuk kedua FD. Perbedaan suhu udara pengering FD 1 dan FD 2 tidak berpengaruh terhadap profil gelatinisasi pati tapioka.

Rancangan optimasi proses dibuat berdasarkan sifat psikrometri udara pengering dan kecepatan pemasukan pati basah. Optimasi proses pengeringan disarankan untuk dilakukan dengan melakukan running proses untuk mengetahui setting pemasukan pati basah yang memberikan hasil efisiensi proses paling tinggi dan tetap menghasilkan pati kering yang sesuai/masuk spesifikasi perusahaan. Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, dapat diperkirakan kadar air pati kering yang diperoleh apabila kecepatan pemasukan diketahui dan suhu udara basah diketahui. Rancangan optimasi dibuat dengan menggunakan dua asumsi dasar, yaitu asumsi 1 : dengan menggunakan nilai rata-rata pengamatan pendahuluan; asumsi 2 : dengan memisahkan kondisi ekstrim siang (pukul 10.00 WIB dan 14.00 WIB)(asumsi 2.a) dan kondisi selain keduanya(asumsi 2.b). Dari hasil perhitungan berdasarkan kapasitas pengeringan dan kecepatan pemasukan pati basah, diperkirakan kondisi optimum pengeringan berada pada kecepatan pemasukan 750 dan 800 rpm pada FD 1 dengan asumsi 1, 2.a, dan 2.b; 700 rpm pada FD 2 dengan asumsi 1 dan 2.b dan 640 rpm dan 700 rpm pada asumsi 2.a.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Desa Sriagung, Kecamatan Padangratu, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 29 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Suroso dan Ibu Sitimurtiah. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 1 Sriagung pada tahun 1993-1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Padangratu pada tahun 1999-2002, dan SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2002-2005.

Penulis lolos seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang ketika itu baru menerapkan sistem pendidikan Mayor-Minor, sehingga selama satu tahun penulis belum memiliki jurusan. Baru setelah satu tahun manjadi mahasiswa IPB, melalui seleksi internal IPB penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam Majelis Ta’lim Al Furqon, suatu wadah kajian islam bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari Islam lebih dalam.

Penulis menyelesaikan tugas akhir pada tahun 2009 berupa praktek kerja magang di PT. Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Judul penelitian magang penulis adalah “Efisiensi Proses Pengeringan Tapioka di PT. Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dan Tisa Virgiandriati, STP.

(7)

i

KATA PENGANTAR

ِِا َِـ ْا ِّا ِِْ

Segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

Sesuatu yang penulis syukuri adalah adanya kemudahan yang Allah berikan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Efisiensi Proses Pengeringan Tapioka di PT. Umas Jaya Agrotama, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Penulis juga menyadari bahwa didalam penulisan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Untuk itu penulis ingin berterima kasih kepada :

1. Bapak, Ibu, Ita, Yoga, Yana, Mbah Talip, Mbah Putri dan keluarga besar atas segala kasih sayang, doa, dan nasehat, serta bantuan secara moril dan materil yang diberikan kepada penulis

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, perhatian, dan masukan serta kesabarannya membimbing penulis selama kuliah hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini 3. Ibu Tisa Virgiandriati, STP. selaku pembimbing lapang yang telah

memberikan bantuan, dukungan, dan semangat selama penulis melaksanakan magang di PT. Umas Jaya Agrotama

4. Bapak Dr. Ir. Nugraha Edi Suyatma, DEA dan Ibu Nur Wulandari, S.TP, M.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji, dan telah bersedia pula memeriksa hasil tulisan penulis.

(8)

ii 5. Bapak Ir. Hendro Purnomo selaku Manager administrasi di PT. UJA, yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan magang di PT. Umas Jaya Agrotama

6. Bapak Jimmy Gunawan selaku Manager Factory, Bapak Sutiyono, Bapak Ir. Sustono, Bapak Sadono Sp., Bapak Edy Sp. Selaku Kabag di PT. UJA atas bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan magang di PT. UJA 7. Pak kirno, Pak Warikun, Pak Agustinus, dan Staf QC lainnya di PT. UJA 1

lainnya yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis

8. Pak Asmadi, Pak Surono, dan Mas Kimyarno yang telah memberikan bantuan dalam mendapatkan tempat kos kepada penulis

9. Erza, Shobur, Muji, Shobur, riza dan rekan-rekan ITP 42, 41, dan 43 atas dukungan dan bantuannya serta kebersamaan yang telah diberikan

10.Ikwan, Marina,dan Arya rekan satu bimbingan penulis atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan, serta kebersamaan selama menjadi bimbingan Ibu Tien

11.Mas Kemal, Mas Sugeng, Mas Anri, Goro, Rifki, Yanto, Angga, Frendy, dan ikhwan lainnya yang telah memberikan semangat, dukungan serta nasehat kepada penulis selama penulis kuliah di IPB

12.Dosen-dosen, Staf, dan Pegawai di departemen ITP atas bantuan dan bimbingan kepada penulis selama penulis kuliah di Departemen ITP, FATETA, IPB

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang selama ini telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu, khususnya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB

Bogor, Agustus 2009 Penulis

(9)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………..………….. iii

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR ……… vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… ix

DAFTAR ISTILAH ………. xi

DAFTAR SINGKATAN ………. xii

I. PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Tujuan ………... 3

C. Manfaat ………. 3

D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Magang ………. 3

II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ………. 4

A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ……….... 4

B. Lokasi Perusahaan ………... 4 C. Struktur Organisasi ……….... 5 D. Ketenagakerjaan ……….... 5 E. Produk ……… 6 F. Pemasaran ……….. 7 G. Pengolahan Limbah ……… 7

III. TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

A. Singkong ……… 9

B. Pati ……….... 11

C. Tapioka ………. 14

(10)

iv

a. Teori Dasar ………. 20

b. Pengeringan Udara (Air Drying/Pneumatic Drying) ……….. 22

c. Efisiensi Energi Pengeringan ………. 24

d. Psikrometri ……… 25 IV. METODOLOGI ………... 27 A. Kerangka Pemikiran ……… 27 B. Kegiatan Magang ……… 28 C. Metode Analisis ………... 31 V. ASPEK PRODUKSI ………... 36

A. Bahan Baku Produksi ………... 36

a. Bahan Baku Utama ………... 36

b. Bahan Pembantu ………... 36

B. Proses Produksi ………... 37

a. Penerimaan Bahan Baku/Singkong(Receiving) ……… 37

b. Pembersihan dan Pengupasan Kulit(Peeling) ………... 38

c. Pencucian(Washing) ………. 39

d. Pemotongan dan Pencacahan(Chopping) ………. 40

e. Pemarutan(Rasping) ………. 40

f. Ekstraksi(Extraction) ……… 41

g. Pemurnian Suspensi Pati(Separation) ……….. 43

h. Penurunan Kadar Air ……… 44

i. Pengeringan(Drying) ……… 45

j. Pengayakan(Shieving) ……….. 47

k. Pengemasan(Packing) ……….. 47

l. Penggudangan ……….. 48

C. Pengawasan Mutu ……….. 48

1. Pengawasan Mutu Bahan Baku ……… 48

2. Pengawasan Mutu Incoming Material ……….. 48

3. Pengawasan Proses(In Plant Quality Control) ………. 49

(11)

v

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 50

A. Kondisi Proses ……… 50

a. Sifat Psikrometri Udara Pengering ……… 50

b. Kecepatan Udara Pengering ……… 56

c. Kapasitas Pengeringan ………. 56

d. Kecepatan Pemasukan Pati Basah ……… 58

e. Sifat Dehidrasi Pati Basah ………... 59

B. Kualitas Produk ……….. 60

a. Kadar Air ……….. 60

b. Derajat Keputihan, Persen Kerak, Retained on 100 Mesh ……….... 60

c. Sifat Gelatinisasi Pati ………. 63

C. Efisiensi Energi ……… 65

D. Rancangan Optimasi Proses ……….... 67

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 72

A. Kesimpulan ………... 72

B. Saran ………. 73

DAFTAR PUSTAKA ………... 75

(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hubungan Spesific Grafity dengan kadar pati singkong …………. 16

Tabel 2. Komponen yang diamati dari proses pengeringan ……….. 29

Tabel 3. Parameter mutu yang diamati dari sampel pati kering valve cyclone ………... 30

Tabel 4. Karakter varietas singkong yang diterima PT. UJA 1 ……… 36

Tabel 5. Hasil pengamatan kecepatan udara ………. 56

Tabel 6. Sifat Gelatinisasi Tapioka PT. UJA ... 63

Tabel 7. Hasil pengamatan adanya peningkatan kadar air selama distribusi tapioka dari valve cyclone ke corong pengemasan …… 67

Tabel 8. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 1 ………... 69

Tabel 9. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 1 ………. 69

Tabel 10. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 2.a ……….. 70

Tabel 11. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 2.a ……….. 70

Tabel 12. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 2.b ……….. 71

Tabel 13. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 2.b ……….. 71

(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Produk Tapioka PT. UJA : Kemasan @50 Kg, dan

Kemasan @800 Kg ……….………... 7

Gambar 2. Singkong dan Taksonomi Singkong ……….. 9

Gambar 3. Hasil pengamatan viskositas dengan Brabender Amylograph …... 14

Gambar 4. Timbangan kadar pati dengan metode Specific Grafity Methode… 16 Gambar 5. Hubungan aktivitas air dengan kecepatan reaksi ……….. 21

Gambar 6. Pergerakan uap air selama pengeringan ……… 21

Gambar 7. Kurva hubungan kadar air dengan kecepatan pengeringan …….. 23

Gambar 8. Sistem Flash Drying sederhana ……….... 23

Gambar 9. Kurva Psikrometri ………... 26

Gambar 10. Root Peeler ... 38

Gambar 11. Washer ……….. 39

Gambar 12. Chopper ……… 40

Gambar 13. Rasper ……….. 41

Gambar 14. Ekstraktor vertikal dan ekstraktor horizontal ……… 42

Gambar 15. Continous centrifugal starch separator ………... 44

Gambar 16. Dewatering Centrifuge Unit ……… 45

Gambar 17. Cyclone ………... 46

Gambar 18. Shifter ……….. 47

Gambar 19. Variasi suhu input udara ……….. 50

(14)

viii Gambar 21. Variasi volume spesifik input udara ……… 52 Gambar 22. Variasi suhu udara kering ……… 53 Gambar 23. Variasi suhu udara basah ………. 54 Gambar 24. Variasi kapasitas penangkapan air udara pengering …………... 55 Gambar 25. Kapasitas pengeringan udara ……….. 57 Gambar 26. Kecepatan pemasukan pati basah ………... 58 Gambar 27. Kurva hubungan kadar air pati basah(b.k.) dengan laju

pengeringan pada suhu 120oC ……….... 59 Gambar 28. Hasil pengamatan kadar air ……… 60 Gambar 29. Pengaruh perbedaan suhu proses pada kualitas produk

derajat putih, persentase kerak, retained 100 mesh ……….. 62 Gambar 30. Variasi efisiensi energi pengeringan ……….. 66

(15)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Struktur Perusahaan PT. Umas Jaya Agrotama Factory 1 ....….. 77 Lampiran 2. Bagan proses pengolahan limbah cair tapioka di PT. UJA 1….. 78 Lampiran 3. Syarat mutu teknis tapioka menurut SNI 01-3451-1994 ……… 79 Lampiran 4. Skema unit pemasukan pati basah (feeder oven) di PT. UJA 1.. 80 Lampiran 5. Skema proses pengeringan di PT. UJA 1 ……….. 81 Lampiran 6. Spesifikasi produk tapioka PT. UJA 1 ……….. 82 Lampiran 7a. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengeringan pada

Flash Dryer 1 ………... 83

Lampiran 7b. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengeringan pada

Flash Dryer 2 ………... 84

Lampiran 8. Hasil uji beda suhu input udara Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ………... 85

Lampiran 9. Hasil uji beda RH input udara pada Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ……… 85

Lampiran 10. Hasil uji beda volume spesifik udara pada Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2 ………. 86 Lampiran 11. Hasil pengamatan suhu setelah melewati Steam Heat

Exchanger(Heater uap) dan Oil Heat Exchanger(Heater oli) .. 86 Lampiran 12. Hasil uji beda suhu udara kering Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ……… 87

Lampiran 13. Hasil uji beda suhu udara basah Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ……… 87

Lampiran 14a Kapasitas penangkapan air udara pengering Flash Dryer 1 ….. 88 Lampiran 14b. Kapasitas penangkapan air udara pengering Flash Dryer 2 ….. 89

(16)

x Lampiran 15. Hasil uji beda kapasitas penangkapan air Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ……… 89

Lampiran 16. Hasil Perhitungan Kapasitas pengeringan ……… 90 Lampiran 17. Hasil uji beda kapasitas pengeringan pada Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ………... 90

Lampiran 18. Data pengamatan pemasukan pati basah ………... 91 Lampiran 19. Hasil uji beda kecepatan pemasukan pati basah Flash Dryer 1

dan Flash Dryer 2 ……… 91 Lampiran 20. Hasil pengamatan sifat dehidrasi pati basah ……….. 92 Lampiran 21. Hasil pengamatan kadar air ………... 93 Lampiran 22. Hasil uji beda kadar air pati kering Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ……… 93

Lampiran 23. Hasil pengamatan Derajat Putih, Persentase Kerak, dan

Retained on 100 mesh ……… 94

Lampiran 24. Hasil uji beda derajat putih pati kering Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2 ……….. 94 Lampiran 25. Hasil uji beda persentase kerak pati kering Flash Dryer 1 dan

Flash Dryer 2 ………. 95

Lampiran 26. Hasil uji beda retained on 100 mesh pati kering Flash Dryer 1 dan Flash Dryer 2 ……….. 95 Lampiran 27. Hasil pengamatan efisiensi energi pengeringan ……… 96 Lampiran 28. Hasil uji beda efisiensi energi pengeringan Flash Dryer 1

(17)

xi

DAFTAR ISTILAH

Pati basah : pati tapioka setelah melewati tahap penurunan kadar air, dengan kadar air berkisar 34%. Pabrik tapioka sering menyebut pati basah dengan istilah “sagu basah”.

Pati kering valve cyclone: tapioka setelah melewati tahap pengeringan pada flash

dryer, tetapi masih mengalami pendinginan dengan uadara, dan

belum siap untuk dikemas.

Pati kering corong pengemasan : tapioka setelah melewati tahap pengeringan pada

flash dryer, telah mengalami pendinginan dengan udara, dan telah

siap untuk dikemas.

Input udara : udara lingkungan yang masuk ke dalam cerobong flash dryer

Udara kering : input udara setelah melewati tahap pemanasan pada heater

Udara basah : udara kering yang telah kontak dengan bahan yang akan dikeringkan, dan telah dipisahkan dengan bahan pada cyclone

Kapasitas penangkapan air udara pengering : ukuran kemampuan penangkapan air udara pengering, diketahui dengan menghitung selisih kandungan air udara basah(kelembaban mutlak udara basah) dengan kandungan air udara kering(kelembaban mutlak udara kering. Satuannya adalah Kg air/Kg udara kering.

Kapasitas pengeringan : kemampuan udara untuk menghilangkan air dari bahan per satuan waktu tertentu, biasanyua satu jam. Dihitung dengan mengkalikan kapasitas penangkapan air udara dengan kecepatan udara. Satuannya adalah Kg air/Jam

feeder oven : unit pemasukan pati basah berupa ulir yang berfungsi mengalirkan pati

basah menuju flash dryer

(18)

xii kerak : pati kering tidak lolos saringan 80 mesh

Retained on 100 mesh : pati kering tidak lolos saringan 100 mesh

Pulp : singkong setelah melewati tahap pemarutan(rasping)

Milk : suspensi pati singkong setelah melewati tahap ekstraksi tahap I

Light phase : air buangan separator yang memiliki berat jenis paling kecil, terdiri dari

air, asam-asam terlarut, serta sedikit protein dan mineral

Middle phase : air buangan separator yang memilki berat jenis lebih tinggi dari light phase, mengandung lemak, protein, mineral dan sedikit air

Valve cyclone : katup yang terdapat pada flash dryer, tempat memeriksa kekeringan

(19)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

Tdb : suhu termometer kering (dry bulb temperature) RH : Kelembaban relatif udara (relative humidity) u.k. : udara kering

b.k. : basis kering b.b. : basis basah

SHE : Steam Heat Exchanger

OHE : Oil Heat Exchanger Ta : suhu Input udara T1 : suhu udara kering T2 : suhu udara basah

(20)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Singkong adalah tumbuhan semak keluarga Euphorbiaceae, ditanam terutama untuk memperoleh umbinya yang mengandung pati. Singkong merupakan salah satu makanan pokok yang paling penting di daerah tropis, yang mana singkong ini merupakan urutan keempat sumber energi yang paling penting. Sedangkan di dunia, singkong menempati urutan ke enam sumber kalori paling penting di dalam diet manusia (Alves, 2002).

Singkong (Manihot esculenta) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Didalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek), tepung singkong dan tapioka (Anonim, 2008a).

Tahun 2008 produksi singkong Indonesia melebihi 21 juta ton (21.757.575 ton), dengan produksi tertinggi di propinsi Lampung (7.721.882 ton) diikuti Jawa Timur (3.533.772 ton) dan Jawa Tengah (3.325.099 ton). Tahun 2009 produksi singkong Nusantara diperkirakan mendekati angka 22 juta ton. Produktivitas singkong nusantara pada tahun 2008 adalah 18 ton/ha, dengan produktivitas tertinggi juga ada di propinsi Lampung yaitu 24,2 ton/ha diikuti Sumatera Barat dan Sumatera Utara yaitu sebesar 19,4 ton/ha (Deptan, 2009).

Tapioka adalah pati yang diekstrak dari umbi singkong (Manihot esculenta). Tapioka dikonsumsi sebagai makanan pokok di beberapa daerah, dan digunakan secara luas sebagai bahan pengental, terutama pada makanan. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar

luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).

(21)

2 Permintaan tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya. Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata 15 sampai 16 juta ton tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).

Tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah menyebabkan produk Indonesia mampu bersaing dalam harga. Ekspor tapioka Indonesia telah menjangkau berbagai negara di Asia dan Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea (54%) dan Cina (30%) dari total ekspor. Luasnya negara tujuan ekspor di beberapa negara Asia dan Eropa menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sangat potensial (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).

Teknologi yang digunakan pada industri tapioka dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama; tradisional yaitu industri pengolahan tapioka yang proses pengeringannya masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim, kedua; semi modern yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (flash dryer) dalam melakukan proses pengeringan dan yang ketiga; full otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena dalam proses produksinya hanya memerlukan tenaga

(22)

3 kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2004).

Efisiensi energi selama pengeringan jelas sangat penting, dimana

konsumsi energi merupakan komponen biaya pengeringan yang utama (Earle, 1983). Pada PT. Umas Jaya Agrotama biaya energi merupakan

komponen biaya energi terbesar kedua setelah bahan baku. Peningkatan efisiensi proses pengeringan tapioka merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi tapioka secara keseluruhan. Oleh karena itu, dengan dilakukannya peningkatan efisiensi proses pengeringan tapioka, diharapkan efisiensi produksi secara total dapat ditingkatkan.

B. Tujuan

Tujuan kegiatan praktek kerja magang ini adalah mengkaji sifat psikrometri udara pengering dan efisiensi energi proses pengeringan tapioka di PT Umas Jaya Agrotama. Selanjutnya dapat dirancang usaha optimasi proses pengeringan tapioka berdasarkan hasil kajian yang telah diperoleh .

C. Manfaat

Menghasilkan data yang dapat digunakan perusahaan sebagai dasar untuk meningkatkan efisiensi pengeringan tapioka di PT Umas Jaya Agrotama.

D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Magang

Kegiatan magang ini dilaksanakan selama empat bulan mulai tanggal 1 April 2009 hingga 1 Agustus 2009. Tempat pelaksanaan magang adalah di PT Umas Jaya Agrotama, Jl. Lintas Timur Km 77 Terbanggi Besar, Lampung Tengah.

(23)

4

II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

Pabrik tapioka PT. Umas Jaya Agrotama (UJA) Terbanggi Besar merupakan perusahaan swasta nasional (PMDN) yang bergerak di bidang industri tapioka. Pada awal berdiri bernama PT. Umas Jaya Farm. Perijinan perusahaan ditandatangani melalui surat akta pendirian No. 29 tanggal 5 Maret 1973.

Pembukaaan lahan (land clearing) pertama kali dilaksanakan pada tahun 1975, dilanjutkan pananaman singkong pada tahun 1977. Tahun 1979 dibangun pabrik tapioka skala kecil, baru pada tahun 1982 dibangun pabrik tapioka skala besar dengan kapasitas produksi terpasang 200 ton/hari.

Umas Jaya Agrotama pada awal berdirinya merupakan perkebunan singkong dengan nama Umas Jaya Farm. Baru pada tanggal 1 Januari 1996 Umas Jaya Agrotama bergabung dengan PT. Great Giant Pineapples (PT. GGP) dan menjadi salah satu divisinya. Sejak tanggal 1 Agustus 2004 PT. UJA menjadi perusahaan tersendiri, tidak lagi menjadi divisi dari PT. GGP. PT. UJA dan PT. GGP merupakan anak perusahaan grup Gunung Sewu.

PT. Umas Jaya Agrotama memiliki tiga pabrik pengolahan tapioka. Pabrik UJA 1 yang terletak di daerah Terbanggi Besar, Lampung Tengah, UJA 2 yang terletak di daerah Gunung Batin, Lampung Tengah dan UJA 3 yang terletak di daerah Jabung, Lampung Timur.

B. Lokasi Perusahaan

Magang yang telah penulis laksanakan berlokasi di pabrik tapioka UJA 1 terletak di Jl. Lintas Timur Km 77 Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Perusahaan ini terletak kurang lebih 52 Km dari pelabuhan udara Branti, dan kurang lebih 92 Km dari pelabuhan laut Panjang. Pabrik UJA 1 ini memilki kapasitas produksi 1000 ton Singkong/hari atau setara dengan 200 ton tapioka/hari.

(24)

5 Luas areal bangunan pabrik tapioka UJA 1 kurang lebih 200 hektar termasuk tempat parkir, taman, gudang, dan kolam limbah. Secara geografis PT. Umas Jaya Agrotama Factory 1 berbatasan dengan :

 Batas bagian utara : desa transmigrasi angkatan darat (transad), yaitu desa Bandar Sakti, desa Bandar Agung, desa Tanjung Anom, dan perkebunan tebu milik PT. Gunung Madu plantation.

 Batas sebelah selatan : Sungai Way Pengubuan, Sungai Way Joroitong, dan CV Tunas Baru Lampung

 Batas sebelah timur : desa Bandar Rejo, desa Kijung, dan Sungai Way Pangubuan

 Batas sebelah barat : CV. Ratih Mustika Sari

C. Struktur Organisasi

Pabrik Tapioka UJA 1 dikepalai oleh seorang Manager Factory. Manager Factory membawahi empat kepala bagian, yaitu bagian Quality Control (QC), bagian Raw Material (RM), bagian proses dan bagian Maintenance and Utilities. Struktur organisasi dari pabrik tapioka UJA 1 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Bagian QC terutama bertanggung jawab dalam mengawasi kesesuaian produk dan proses dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Bagian RM bertanggung jawab dalam penerimaan bahan baku singkong. Bagian proses bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses produksi. Sedangkan bagian Maintenance and Utilities bertanggung jawab atas kelangsungan mesin produksi.

D. Ketenagakerjaan

Jumlah tenaga kerja di PT Umas Jaya Agrotama saat ini mencapai 352 orang. Spesifikasi tenaga kerja di PT.UJA (UJA 1) adalah sebagai berikut :

 121 karyawan, termasuk di dalamnya manager, kepala bagian, kepala seksi, dan beberapa pelaksana

 88 tenaga kerja harian tetap  19 tenaga harian lepas

(25)

6  58 tenaga harian borongan

 1 tenaga kerja kontrak

 65 tenaga kerja pindahan dari UJA 2

Berdasarkan pembagian waktu kerja, tenaga kerja di PT. UJA dapat dibagi menjadi dua, yaitu tenaga kerja non-shift dan tenaga kerja shift. Untuk tenaga kerja non-shift waktu kerja mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WIB. Sedangkan untuk tenaga kerja shift waktu kerja tergantung giliran shiftnya. PT.UJA menerapkan 3 shift untuk produksinya,yaitu shift I (08.00 s.d. 16.00 WIB), shift II (16.00 s.d. 24.00 WIB), dan shift III (24.00 s.d. 08.00 WIB). Proses produksi di PT. UJA dilakukan terus-menerus selama 24 jam .Proses dihentikan apabila stok singkong habis, terjadi kerusakan unit proses, atau apabila akan dilakukan pembersihan alat.

Hari kerja di PT. UJA adalah dari senin hingga sabtu. Apabila suplai bahan baku masih mencukupi, sabtu dan minggu tetap dilakukan proses, dan pekerja terhitung lembur. Waktu istirahat untuk hari Senin hingga Kamis adalah pukul 12.00 s.d. 13.00 WIB. Sedangkan untuk hari Jum’at istirahat mulai pukul 11.30 s.d. 13.00 WIB. Hari Sabtu waktu kerja hanya sampai pukul 12.00 WIB.

E. Produk

Produk dari PT. UJA adalah tapioka dalam kemasan. Produk standar dari

PT.UJA adalah tapioka kemasan @ 50 kg dengan merek dagang “Cap Kodok”. Untuk pemesan khusus, biasanya kemasan yang disediakan

(26)

7 (a) (b)

Gambar 1. Produk Tapioka PT. UJA : (a) Kemasan @50 kg, (b) Kemasan @800 kg

F. Pemasaran

Pemasaran PT. UJA dilaksanakan oleh Unit Pemasaran PT. Umas Jaya Agrotama yang berkedudukan di gedung Chase Plaza Lt. 5, jl. Jendaral Sudirman Kav. 21, Jakarta Pusat. Untuk penjualan tapioka, pihak marketing menerima Purchase Order (PO) atau surat kontrak sebagai bukti bahwa harga, jumlah order, dan spesifikasi telah disetujui. Pihak marketing kemudian mengeluarkan Delivery Order (DO) ke bagian produksi (Sie. Inventory) untuk mengirimkan tapioka ke pelanggan.

G. Pengolahan Limbah

Limbah dari pabrik tapioka UJA 1 dapat dikelompokkan menjadi limbah cair dan limbah padat. Limbah cair terdiri dari air untuk pengolahan, air dari bahan baku(singkong), komponen terlarut seperti pati, protein, dan lemak. Limbah cair di PT. UJA 1 dapat mencapai 3000 m3/hari. Limbah cair ini diolah pada bak-bak pengolahan limbah sebelum kemudian dialirkan ke sungai. Proses pengolahan limbah cair di PT. UJA 1 melewati tiga tahapan, yaitu tahap sedimentasi, tahap dekstruksi anaerobik, dan tahap dekstruksi aerobik. Proses pengolahan limbah cair ini dilakukan pada 15 kolam pengolahan limbah yang ada di PT. UJA 1. Bagan tahapan pengolahan limbah cair di PT. UJA 1 dapat dilihat pada Lampiran 2.

(27)

8 Limbah padat pada PT. UJA 1 terdiri dari tanah, kulit, dan serat (onggok). Tanah dan kulit dikumpulkan pada silo untuk kemudian dibawa ke areal perkebunan dan dibuang disana. Sedangkan onggok digunakan sebagai bahan pakan penggemukan sapi di PT. Great Giant Livestock (PT.GGL), yaitu perusahaan penggemukan sapi yang masih satu grup dengan PT. UJA dan PT GGP, atau dijual kepada masyarakat umum.

(28)

9 III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Singkong

Singkong (Manihot utilisima Pohl = Manihot esculanta Crantz) adalah tanaman pangan pokok di banyak daerah di negara-negara tropis, dan dapat menghasilkan hasil yang tinggi walaupun pada kondisi tanah yang kurang subur dan curah hujan rendah. Umbi singkong, sebagaimana kebanyakan tanaman pangan yang berasal dari umbi, terdiri dari mayoritas pati murni, tetapi daun singkong memiliki protein berkisar 17% dan merupakan sumber protein yang baik di dalam diet harian (Macdonald dan Low, 1984).

Singkong adalah tumbuhan semak keluarga Euphorbiaceae, ditanam terutama untuk memperoleh umbinya yang mengandung pati. Singkong merupakan salah satu makanan pokok yang paling penting di daerah tropis, yang mana singkong ini merupakan urutan keempat sumber energi yang paling penting. Sedangkan di dunia, singkong menempati urutan ke enam sumber kalori paling penting di dalam diet manusia (Alves, 2002).

(a) (b)

Gambar 2. (a) Singkong(Anonim, 2008a), (b) Taksonomi Singkong (Anonim, 2009a)

Singkong tumbuh baik pada daerah hangat, dengan suhu harian berkisar 25-29oC, dan cocok untuk tumbuh pada daerah ketinggian 1.500 meter dpl. Singkong tumbuh dengan baik ketika ada distribusi hujan yang baik sekitar 1.000 – 1.500 mm per tahun. Singkong juga dapat tumbuh pada daerah yang sangat kering, walaupun hasilnya sangat rendah. Singkong membutuhkan tanah yang longgar dan berpasir, dan dapat tumbuh dengan

Klasifikasi Ilmiah Kerajaan Plantae Divisi Magnoliophyta Kelas Magnoliopsida Ordo Malpighiales Famili Euphorbiceae Bangsa Manihoteae Genus Manihot

Spesies Manihot esculenta

Nama binomial Manihot esculenta Crantz

(29)

10 baik pada tanah dengan kesuburan rendah. Tanah berat tidak cocok

karena tidak memungkinkan umbi untuk membesar/mengembang (Macdonald dan Low, 1984).

Singkong secara normal dapat dipanen setelah 9-18 bulan, tetapi dapat

dibiarkan di tanah lebih lama lagi. Apabila terlalu lama dibiarkan (tidak dipanen), umbi singkong akan menjadi berserat dan menjadi seperti

kayu. Singkong akan rusak secara cepat setelah panen dan tidak dapat disimpan lebih lama dari 2-3 hari. Hasil panen dapat mencapai 10-25 ton/ha pada tanaman yang bebas penyakit (Macdonald dan Low, 1984)

Umbi singkong memiliki masa simpan setelah panen yang paling singkat dibandingkan tanaman umbi utama yang lain. Umbi singkong sangat mudah rusak dan biasanya menjadi tidak layak makan setelah 24-72 jam setelah panen akibat proses kerusakan fisiologis yang cepat, dimana terjadi sistesis komponen fenolik sederhana terjadi membentuk pigmen biru, coklat dan hitam. Diduga komponen polifenol pada umbi teroksidasi membentuk substansi kuinon yang membentuk kompleks dengan molekul kecil seperti asam amino untuk kemudian membentuk pigmen warna yang disimpan dalam jaringan vaskular. Polifenoloksidase (PPO) adalah enzim yang mengoksidasi fenol menjadi quinon. Beberapa proses yang dapat menghambat PPO seperti perlakuan panas, penyimpanan dingin, atmosfer anaerob, dan mencelupkan umbi pada larutan inhibitor (seperti asam askorbat, glutathione dan KCN). Kerusakan mikrobial dapat terjadi mengikuti kerusakan fisiologi atau kerusakan primer, yaitu 5-7 hari setelah panen. Hal ini dikarenakan infeksi microbial akibat terjadinya kerusakan mekanik pada jaringan. Kerusakan ini meyebabkan perubahan warna jaringan (Alves, 2002).

Singkong merupakan tanaman dunia baru, hal ini dikarenakan singkong baru dikenal setelah ditemukannya benua amerika. Bukti arkeologi menunjukkan dua daerah asal (center of origin) singkong yaitu dari benua amerika, yaitu satu di meksiko dan amerika tengah, dan yang lainnya di timur laut Brasil (Grace, 1977). Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah di Brasil dan Paraguay. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah

(30)

11 dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun spesies Manihot yang liar ada banyak, semua varitas M. esculenta dapat dibudidayakan (Anonim, 2008a).

Negara-negara timur jauh tidak mengenal singkong sebagai tanaman pangan hingga tahun 1835 M. Sekitar tahun 1850 M singkong di bawa dari Brasil ke Jawa, Singapura, dan Malaysia. Ketika penanaman singkong yang lebih menguntungkan dimulai di Semenanjung Malaya, pertanian singkong mulai bergerak ke daerah lain di Indonesia. Sekitar tahun 1919-1941 sekitar 98% dari total tepung singkong diproduksi di Jawa, tetapi selama perang dunia kedua, Brasil mengembangkan dan meningkatkan produksi singkongnya (Grace, 1977).

Singkong dikenal juga dengan banyak nama : Ubi Ketela atau kaspe (Indonesia), manioc, rumu, atau yucca (Amerika latin), mandioca atau aipim (Brasil), manioc (Madagaskar dan Afrika), tapioka (India dan Malaysia), cassava, dan terkadang cassada (Afrika, Thailand, dan Sri Lanka) (Grace, 1977).

B. Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1992).

Pati pada jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya. Sifat birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop terlihat Kristal hitam-putih (Winarno, 1992).

(31)

12 Pati memiliki sifat menyerap air. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini dapat dilakukan dengan cara memanaskan suspensi pati (Winarno, 1992).

Bila suspensi pati dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusensi larutan pati tersebut biasanya diikuti pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul air menjadi lebih kuat dari pada daya tarik-menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang yang menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak ini mendekati indeks refraksi air, dan hal inilah yang menyebabkan sifat translusen (Winarno, 1992).

Proses pembengkakan granula pati ini diikuti dengan peningkatan viskositas pati. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam granula pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1992).

Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mulai pecah (Winarno, 1992) atau suhu ketika viskositas mencapai maksimum (ISI, 1999). Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan merupaka suatu kisaran. Dengan menggunakan viskometer suhu gelainisasi dapat ditentukan, misalnya pada jagung 62-70 oC, beras 68-70 oC, gandum 54,5-64 oC, kentang 58-66 oC, dan tapioka 52-64 oC. Suhu gelatinisasi tergantung juga pada konsentrasi pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno, 1992).

(32)

13 Pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi di dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pasta pati tersebut tetap dalam keadaan panas. Karena itu dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan untuk mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta tersebut kemudian mendingin, energi

kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa

berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi ini disebut retrogradasi. Proses retrogradasi ini biasanya diikuti dengan peristiwa merembasnya air dari dalam gel pati yang disebut sineresis (syneresis) (Winarno, 1992).

Brabender Amylograph adalah alat yang sangat umum digunakan untuk menganalisis sifat gelatinisasi pati. Menurut Zobel (1990), Amylograph digunakan secara luas didalam mengkarakterisasi pasta pati. Enam poin penting yang terdapat pada kurva viskositas amylograph umumnya dikenal sebagai :

1. Pasting Temperature – menunjukkan awal pembentukan pasta; bervariasi berdasarkan jenis pati dan modifikasinya serta adanya aditif pada suspensinya (Slurry)

2. Peak Viscosity – menunjukkan viskositas maksimum

3. Viskositas pada 95 oC – menunjukkan tingkat kemudahan pemasakan pasta pati

4. Viskositas setelah holding pada 95 oC selama 1 jam (ISI : 20 menit) – menunjukkan kestabilan pasta selama pemasakan pada pangadukan yang relatif pelan.

5. Viskositas pada 50 oC – mengukur setback (peningkatan kembali viskositas) yang terjadi selama pendinginan pasta panas.

6. Viskositas setelah holding pada 50 oC selama 1 jam (ISI : 20 menit) – menunjukkan stabilitas pasta di bawah kondisi penggunaan.

(33)

14 Contoh analisis sifat gelatinisasi pati menggunakan Brabender Amylograph dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil pengamatan viskositas dengan Brabender Amylograph (Moore et al, 1984)

Keterangan pada kentang, A : Pasting temperature, B : Peak viscosity, C : Viskositas pada suhu 95 oC, D : Viskositas setelah holding pada suhu 95 oC, E : Viskositas pada 50 oC

C. Tapioka

Tapioka atau pati singkong adalah pati yang diperoleh dari akar yang menggelembung (umbi) dari tanaman singkong. Terdapat dua jenis singkong yang umum dibudidayakan yaitu: varietas yang pahit, Jatropha manihot atau Maniot utilisima dan varietas yang manis, Jatropha dulcis atau Manihot palmata. Umbi singkong biasanya mengandung sedikit asam sianida (HCN) yang akan hilang selama proses ekstraksi pati. Varietas yang pahit biasanya menghasilkan pati yang lebih tinggi dan inilah yang umumnya ditanam untuk diambil patinya, hanya saja memiliki kandungan HCN yang lebih tinggi dari varietas manis (Jackson, 1976).

Asam sianida yang ada pada singkong diproduksi akibat adanya aktifitas enzim terhadap glikosida, phaseolunatin. Jumlah HCN pada singkong terdapat pada kisaran yang lebar, yaitu 0.01-0.035% didalam umbi singkong pahit. Dan

Viscosities of unmodified starches

A B

C

D

(34)

15 pada bagian korteks varietas manis dengan persentase yang sama. Pada umbi hanya mengandung 0.004-0.015% HCN. Selama pengeringan di bawah sinar matahari kandungan HCN dapat turun mencapai 0.0006%-0.0017%. Didalam proses pembuatan tapioka asam sianida ini sedapat mungkin harus dikendalikan, karena ketika dibebaskan, HCN akan membentuk ferrosianida yang berwarna biru (Jackson, 1976).

Secara umum, umbi singkong mengandung 60-75% air dan 20-30% pati, tetapi variasinya mulai dari yang terendah 12% hingga yang tertinggi 33%. Singkong pahit kemungkinan memiliki lebih banyak pati dari singkong manis. Secara komersial, perusahaan membeli singkong dari petani berdasarkan kandungan pati yang dapat ditentukan dengan metode Specific Gravity Methode. Metode ini telah digunakan di eropa sebagai dasar pembelian kentang selama lebih dari 100 tahun. Setelah specific gravity dari sampel sebanyak 3-4 kg diperoleh, dibandingkan dengan monogram yang menunjukkan persentase dari pati (Jackson, 1976).

Spesific Gravity (SG) adalah unit dimensionless yang didefinisikan sebagai rasio dari densitas material terhadap densitas dari air pada suhu yang spesifik. Spesific Gravity dirumuskan sebagai :

SG = ρ/ ρH2O

dimana : SG = specific gravity, ρ = densitas fluida atau substansi (kg/m3), ρH2O = densitas air (kg/m3). Densitas air yang umumnya digunakan sebagai referensi adalah pada 4oC (39oF), pada titik ini densitas air berada pana nilai tertinggi (1000 kg/m3 atau 62.4 lb/ft3) (Anonim, 2009b)

Sejumlah metode percobaan untuk menentukan spesific gravity dari padatan, larutan, dan gas telah dibuat. Padatan ditimbang terlebih dahulu di udara, kemudian ditimbang kembali dengan merendam padatan tersebut didalam air. Perbedaan bobot diantara penimbangan di udara dengan penimbangan di dalam air, berdasarkan prinsip archimedes, adalah bobot air yang digamtikan oleh volume padatan. Apabila padatan memiliki densitas lebih rendah dari air, beberapa metode harus ditambahkan untuk membuat singkong benar-benar terendam, seperti dengan menambahkan sistem kerekan (pulley) atau sinker yang diketahui massa dan volumenya. Spesific gravity dari

(35)

16 padatan adalah rasio dari bobot di udara dengan selisih antara bobot di udara dengan bobot di dalam air (Anonim, 2009c). Contoh alat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Timbangan kadar pati dengan metode Specific Grafity Methode (Sungzicaw, 2007)

Spesific gravity metode ini dapat digunakan untuk mengukur kadar pati singkong dengan melihat hubungan spesific gravity dengan kadar pati. Hubungan spesific gravity pada singkong dengan kadar pati dapat dilihat pada Tabel 1 (Sungzikaw,2007).

Tabel 1. Hubungan Spesific Grafity dengan kadar pati singkong (Sungzikaw, 2007) Wu (gram) Wa (gram) Wu-Wa (gram) Spesific Gravity Kadar Pati (%) 5000 440 4560 1.0965 18.2 5000 460 4540 1.1013 19.2 5000 480 4520 1.1062 20.3 5000 500 4500 1.1111 21.3 5000 520 4480 1.1161 22.3 5000 540 4460 1.1211 23.3 5000 560 4440 1.1261 24.4 5000 580 4420 1.1312 25.4 5000 600 4400 1.1364 26.4 5000 620 4380 1.1416 27.4 5000 640 4360 1.1468 28.5 5000 660 4340 1.1621 29.5

Keterangan : Wu=bobot di udara, Wa=bobot di dalam air

Keranjang untuk menimbang singkong di udara Keranjang untuk menimbang singkong di dalam air Penampung air Skala timbangan

(36)

17 Pabrik pengolahan tapioka biasanya berlokasi dekat dengan area penanaman singkong untuk meminimalkan biaya transportasi, dan yang lebih penting lagi, untuk memungkinkan pemprosesan singkong dengan waktu yang paling singkat (Corbishley dan Miller, 1984).

Singkong dihantarkan ke pabrik dan disimpan di tempat penyimpanan (bunker) dari kayu atau beton. Proses bongkar-isi bunker harus selalu diawasi untuk memastikan singkong yang dipanen lebih awal diproses lebih awal. Singkong biasanya dipindahkan ke mesin pencuci dengan menggunakan konveyor. Setelah pencucian, kulit terluar dihilangkan. Bagian lebih dalam dari kupasan, atau korteks, tidak dibuang karena memiliki pati yang dapat di-recovery melalui proses yang modern. Mesin pencuci biasanya berupa mesin berbentuk-U dengan pedal yang menggerakkan singkong yang telah dicuci ke mesin pengupas. Mesin pengupas dapat terintegrasi pada mesin pencuci ataupun terpisah. Singkong dikupas dengan abrasi antar singkong atau antara singkong dengan dinding dan pedal dari mesin pencuci dan pengupas (Corbishley dan Miller, 1984).

Proses selanjutnya adalah ekstraksi pati. Untuk mendapatkan pati, semua dinding sel singkong harus dihancurkan. Untuk memperoleh pati dengan kualitas yang tinggi, singkong yang telah dikupas di potong-potong (chopped) dulu menjadi berukuran 30-50 mm dan di lanjutkan ke mesin pemarutan (rasping device). Variasi kecepatan konveyor digunakan untuk mengkontrol kecepatan pemasukan bahan. Penghancuran yang efisien dibutuhkan untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang tinggi. Fungsi ini dapat dilakukan dalam satu atau dua tahap, tergantung efisiensi dari mesin. Mesin pemarut adalah mesin penghancur dengan kecepatan perputaran yang tinggi. Setelah pemarutan, HCN di singkong akan bebas dan terlarut dalam air pencuci. Reaksi HCN dengan besi dapat menghasilkan ferrosianida yang berwarna kebiruan, oleh karena itu mesin pemarut dan mesin-mesin yang lain serta pipa yang berinteraksi dengan pati dibuat dari stainless steel atau bahan lain yang resisten (Corbishley dan Miller, 1984).

(37)

18 Setelah penghancuran, pulp dicuci dengan menggunakan saringan (screens) sehingga serat tertahan sedangkan bagian patinya lolos dari saringan. Saringan ini biasanya berbentuk kerucut berputar, menyudut, atau bak. Pada setiap kondisi, penyaringan counter current tetap dibutuhkan (Corbishley dan Miller, 1984).

Larutan pati kasar (crude starch milk) yang telah melewati tahap pencucian dan penyaringan pada konsentrasi 30Be (54 kg pati/m3), dilewatkan pada degritting screen, dimana apabila ada benda asing yang kecil akan dihilangkan, setelah itu masuk ke continous centrifuges dimana pati akan dipisahkan dari serat yang masih ada dan bahan terlarut. Partikel pati kemudian disemprotkan melalui nozel-nozel didalam mangkuk bulat, sedangkan fraksi yang mengandung serat halus dan bahan terlarut dikeluarkan melalui conical disc dengan bantuan pompa sentrifugal. Air bersih dimasukkan melalui nozel dekat pati yang dikumpulkan. Air bersih inipun menggantikan air yang kotor yang dialirkan ke bagian pencuci serat dan pencuci singkong (Corbishley dan Miller, 1984).

Pada setiap operasi sentrifugasi, pati dicuci dengan air yang mengandung sulfur dioksida (SO2) 0.05% secara counter current. Penggunaan SO2 penting untuk mengkontrol aktivitas mikroba pada proses pemisahan pati dengan air. Larutan yang mengandung pati akan keluar dari proses purifikasi berupa slurry dengan total solid 38-42%, sedangkan total solid larutan pati yang telah melewati penyaring vakum adalah 40-45% dan yang telah melewati basket centrifuge memiliki total solid 32-37%. Larutan pati yang telah dihilangkan sebagian airnya digerakkan ke pengering, baik itu tipe drum, belt, tunnel, atau flash. Jenis pengering yang paling umum adalah tipe pengering flash (pneumatic), yang udara panasnya dihasilkan dari heater (coil uap, gas, atau burner berbahan bakar minyak) dengan suhu mencapai 1500C. Pati yang telah kering (k.a. 12-14%) dipisahkan dari udara lembab didalam siklon-siklon, kemudian digiling dan disaring (Corbishley dan Miller, 1984).

(38)

19 Menurut DSN (1994), SNI 01-3451-1994 menyatakan tapioka sebagai pati (amylum) yang diperoleh dari umbi ubi kayu segar (Manihot utilisima Pohl atau Manihot usculenta Crantz) setelah melalui proses pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Tapioka digolongkan menjadi tiga jenis mutu, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III. Syarat mutu tapioka dapat dilihat dari dua sisi yaitu syarat mutu organoleptik (sehat, tidak berbau apek atau masam, murni, dan tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing) dan syarat teknis. Syarat teknis mutu tapioka ini dapat dilihat pada Lampiran 3.

D. Proses Pengeringan

Pengeringan adalah salah satu metode pengawetan makanan yang paling tua. Masyarakat primitif melakukan pengeringan terhadap daging dan ikan dibawah sinar matahari jauh sebelum masehi. Sekarang ini pengeringan makanan tetap penting sebagai metode pengawetan. Pangan kering bisa disimpan dalam waktu lama tanpa terjadi kerusakan. Alasan utamanya adalah mikroorganisme yang menyebabkan keracunan dan kerusakan makanan tidak mampu tumbuh dan memperbanyak diri pada kondisi tidak adanya air bebas dan banyak enzim yang memacu perubahan komposisi kimia yang tidak diinginkan tidak dapat berfungsi tanpa adanya air (Earle, 1983). Selain itu penurunan berat dan kekembaan serta stabilitas penyimpanan dari produk yang dikeringkan akan mampu menurunkan biaya penyimpanan dan distribusi. Sebagaimana teknik pengeringan yang menghasilkan produk yang berkualitas baik dan sesuai telah dikembangkan, lebih banyak produk hasil pengeringan yang secara komersial yang mungkin akan dikembangkan (Toledo,1991).

Pengawetan adalah alasan utama dilakukannya pengeringan, akan tetapi pengeringan dapat juga terjadi bersamaan dengan proses yang lain. Sebagai contoh pada pemanggangan roti, aplikasi panas menghasilkan gas, mengubah struktur dari protein dan pati, dan mengeringkan bongkah roti. Kehilangan air dapat juga terjadi tanpa diinginkan, sebagai contoh pada saat pemeraman

keju dan pada penyimpanan segar atau penyimpanan beku daging (Earle, 1983).

(39)

20 a. Teori Dasar

Secara teknik, pengeringan didefinisikan sebagai aplikasi panas pada kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan mayoritas air yang secara normal terdapat didalam pangan melalui penguapan (atau pada kasus freeze drying melalui penyubliman). Definisi ini tidak termasuk operasi yang menghilangkan air dari bahan pangan yang menghilangkan air lebih sedikit dari pengeringan (seperti separasi dan pemekatan membran, evaporasi, dan pemanggangan) (Fellows, 2000).

Pengeringan bahan pangan berarti penghilangan air dari pangan. Pada kebanyakan kasus, pengeringan dicapai dengan menguapkan air yang ada pada pangan, dan untuk melakukan ini panas laten penguapan harus disupply. Sehingga ada dua faktor pengkontrol proses yang penting yang masuk ke dalam unit operasi pengeringan, yaitu :

(a). transfer panas untuk menyediakan panas laten yang cukup untuk penguapan

(b) pergerakan air atau uap air melalui material pangan dan kemudian lepas dari pangan untuk mempengaruhi pemisahan air dari pangan (Fellows, 2000).

Produk yang dikeringkan menjadi awet karena memiliki aktivitas air pada level dimana aktivitas mikrobial tidak dapat terjadi atau minimum. Aktivitas air (aw) di ukur sebagai kelembaban udara kesetimbangan (equilibrium relative humiditi/ERH), yaitu persen kelembaban udara pada atmosfir yang kontak dengan produk pada kadar air kesetimbangan. aw juga merupakan rasio dari tekanan parsial air pada permukaaan produk (P) dengan tekanan uap jenuh (Po) pada suhu yang sama.

aw = ERH = P/Po

Hubungan antara aw dengan kecepatan kerusakan makanan ditunjukan oleh Gambar 5. Penurunan aw dibawah 0.7 dapat mencegah kerusakan mikrobial. Akan tetapi, walaupun kerusakan mikrobial tidak terjadi pada aw=0.7, pencegahan reaksi kerusakan lain dibutuhkan untuk mengawetkan makanan secara baik. Usaha yang dilakukan yaitu dengan menurunkan aw hingga 0.3 (Toledo,1991).

(40)

21

Gambar 5. Hubungan aktivitas air dengan kecepatan reaksi (FAO, 2002) Selama pengeringan, air yang diuapkan hanya dari permukaan.

Transfer dari uap air dari permukaan yang lembab ke udara pengering analog dengan transfer panas, sehingga digunakan koefisien transfer massa. Flux uap air proporsional terhadap gaya dorong (driving force) yang dihasilkan akibat adanya perbedaan tekanan uap air pada permukaan produk dengan tekanan uap air pada udara disekitar produk. Pada waktu yang bersamaan dengan hilangnya air dari permukaan produk, air berdifusi dari bagian interior produk ke permukaan (Toledo,1991).

Gambar 6. Pergerakan uap air selama pengeringan(Fellows, 2000)

R el at iv e r eac ti on r at e Water Activity M oi st ur e C ont ent Lipid Oxidation isoterm Maillard Enzymes Bacteria Yeasts Molds Drying air Moisture Food cells

(41)

22 b. Pengeringan Udara (Air Drying/Pneumatic Drying)

Pengeringan udara adalah proses pengeringan yang menggunakan udara sebagai medium pengeringan. Pada pengeringan udara kecepatan penghilangan air tergantung pada kondisi udara, sifat bahan pangan dan desain mesin pengering. Air dalam bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan derajat keterikatan pada bahan pangan, akan tetapi utamanya dibagi menjadi dua kategori yaitu air bebas dan air terikat (Earle, 1983).

Air tertahan pada bahan pangan akibat adanya gaya, yang intensitas gaya ikat ini bervariasi dari sangat lemah yang menahan air pada permukaan bahan pangan hingga sangat kuat yaitu berupa ikatan kimia. Didalam pengeringan, sangat jelas bahwa air terikat dengan lemah maka akan dapat dihilangkan dari bahan pangan dengan lebih mudah. Sehingga dapat diharap bahwa kecepatan pengeringan akan menurun apabila kadar air bahan pangan menurun, dengan air yang masih tersisa menjadi semakin terikat dengan lebih kuat seiring penurunan jumlahnya pada bahan pangan (Earle, 1983).

Pada kebanyakan kasus, bagian substansial dari air tidak terikat. Air ini dapat dianggap sebagai air bebas pada permukaan bahan. Kondisi dimana pengeringan berjalan ketika air terdapat pada permukaan bahan (free surface) disebut sebagai constant rate drying. Kecepatan pengeringan yang tertinggi normalnya terjadi pada situasi constant rate, kemudian sebagaimana proses pengeringan, kadar air bahan turun dan pergerakan air dari interior bahan pangan ke permukaan mempengaruhi kecepatan pengeringan dan membuatnya turun (Earle, 1983). Ketika kadar air bahan pangan berada dibawah kadar air kritis, kecepatan pengeringan secara perlahan akan turun hingga mendekati nol pada kadar air kesetimbangan (dimana bahan pangan menjadi berkesimbangan dengan udara pengering). Keadaan ini dikenal sebagai falling rate periode (Fellows, 2000).

(42)

23 Gambar 7. Kurva hubungan kadar air dengan kecepatan pengeringan (Fellows, 2000), B-C : Constant rate periode; C-D : Falling rate periode.

Flash dryer merupakan salah satu aplikasi dari pengeringan udara. Pada pengeringan jenis ini bubuk basah atau bahan pangan partikulat, biasanya kadar airnya dibawah 40% dan ukuran partikel berkisar 10-500 µm, dialirkan kedalam cerobong metal dan dicampurkan dengan udara panas (Fellows, 2000).

Komponen utama dari Flash Drying System adalah cerobong vertikal atau flash tube dimana proses pengeringan terjadi. Sebuah kipas (fan) menarik gas pengering (biasanya udara, adakalanya gas inert seperti nitrogen) melalui pemanas (heater) dan naik melewati flash tube. Feed (bahan yang akan dikeringkan) masuk ke dalam aliran gas pengering, yang secara instan melingkupinya dan membawanya ke alat pengumpul yang biasanya berupa Cyclone atau bag collector (GEA, 2009a).

Gambar 8. Sistem Flash Drying sederhana (GEA, 2009a) Moisture content D ry ing ai r Flash duct Product Heater Supply fan Air Filter Feed Feeder Cyclone collector Exhoust fan

(43)

24 Flash dryer sederhana cocok digunakan untuk produk pada kisaran yang luas, mulai dari bahan kimia anorganik seperti natrium bikarbonat, gypsum and alumina hingga produk organik dari pati hingga material polimer (GEA, 2009b). Pengeringan pneumatik ini relatif memiliki biaya modal dan pemeliharaan yang rendah, kecepatan pengeringan yang tinggi, dan kemampuan mengkontrol kondisi pengeringan yang lebih mudah, yang membuatnya cocok untuk pengeringan bahan yang sensitif terhadap panas (Fellows, 2000).

c. Efisiensi Energi Pengeringan

Efisiensi energi selama pengeringan jelas sangat penting, dimana konsumsi energi merupakan komponen biaya pengeringan yang utama. Pada dasarnya efisiensi energi merupakan rasio dari energi minimum yang dibutuhkan untuk pengeringan dibandingkan dengan energi yang benar-benar digunakan. Akan tetapi karena hubungan yang sangat kompleks antara bahan pangan, air dan media pengering yang biasanya adalah udara, nilai efisiensi yang diukur dapat berbeda-beda, masing-masing tepat untuk keadaan yang sesuai. Oleh sebab itu dapat dipilih parameter pengukuran yang sesuai dengan proses tertentu. Perhitungan efisiensi sangat berguna ketika menaksir performance mesin pengering, melakukan pengembangan proses, dan dalam membuat perbandingan diantara beberapa kelas mesin pengering yang mungkin dapat menjadi alternatif untuk operasi pengeringan tertentu (Earle, 1983).

Panas harus disupply untuk memisahkan air dari bahan pangan. Jumlah panas minimum untuk menghilangkan air diperlukan, yaitu untuk mensupply panas laten penguapan air, sehingga salah satu penggukuran efisiensi adalah rasio energi minimum dengan energi yang benar-benar disediakan untuk proses tersebut (Earle, 1983).

Cara pengukuran efisiensi yang dapat digunakan untuk pengeringan udara adalah dengan melihat keseimbangan panas udara, dengan memperlakukan unit pengering sebagai sistem adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas dengan lingkungan. Pada kondisi ini, panas yang dipindahkan ke dalam bahan pangan untuk proses pengeringan bahan

(44)

25 pangan tersebut sebanding dengan penurunan suhu udara pengering, dan panas yang harus disuplai sebanding dengan peningkatan suhu dari udara lingkungan didalam pemanas udara (air heater). Sehingga efisiensi dari pengeringan udara-adiabatik ini dapat didefinisikan sebagai :

ή = (T1-T2)/(T1-Ta)

dimana T1=suhu udara masuk, T2= suhu udara keluar dari pengeringan, Ta=suhu udara lingkungan. Dalam hal ini selisish antara T1 dan T2, adalah faktor utama didalam efisiensi (Earle, 1983).

d. Psikrometri

Kapasitas penghilangan air oleh udara tergantung pada kelembaban udara dan suhu udara. Studi mengenai hubungan antara udara dengan air yang terkandung didalamnya inilah yang disebut sebagai psikrometri (Earle, 1983).

Grafik kelembaban sebagai fungsi dari suhu pada berbagai derajat kejenuhan merupakan inti dari kurva psikrometri. Proses yang terdiri dari penyerapan dan pelepasan air oleh udara pada suhu ruang, kurva psikrometri sangat berguna untuk menentukan perubahan didalam suhu dan kelembaban. Keistimewaan lain dari kurva psikrometri adalah suhu bola basah (wet bulb temperature). Ketika termometer dibungkus dengan kaos basah pada bagian ujungnya (bulb) dan ditempatkan pada aliran udara, penguapan air dari kaos akan mendinginkan bulb sehingga suhu bulb menjadi lebih rendah dari bulb kering. Perbedaan suhu ini dikenal sebagai wet bulb depression dan ini merupakan fungsi dari kelembaban relatif dari udara. Udara yang lebih lembab akan menyebabkan penguapan lebih rendah, ditunjukkan oleh wet bulb depression yang lebih rendah (Toledo,1991).

Gambar

Gambar  3.  Hasil  pengamatan  viskositas  dengan  Brabender  Amylograph (Moore et al, 1984)
Gambar  4.  Timbangan  kadar  pati  dengan  metode  Specific  Grafity  Methode (Sungzicaw, 2007)
Gambar 5. Hubungan aktivitas air dengan kecepatan reaksi (FAO, 2002)
Tabel 3. Parameter mutu yang diamati dari sampel pati kering valve  cyclone
+7

Referensi

Dokumen terkait