• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AFEKSI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA YANG HUMANIS. Wahid Munawar 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AFEKSI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA YANG HUMANIS. Wahid Munawar 1"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AFEKSI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA YANG HUMANIS

Wahid Munawar1

Abstrak

Pengamatan terhadap praktek pendidikan formal di sekolah pada saat ini, menunjukkan bahwa pembelajaran di sekolah merupakan “praktek pemenjaraan” karena umumnya guru terlalu mengkondisikan kegiatan belajar mengajar dengan norma perilaku tertentu yang bersifat represif dan evaluatif, guru juga terlalu memaksakan ide dan kehendaknya. Pendidikan tidak lebih dari sekedar mengajarkan peserta didik dengan pengetahuan yang konvensional dan menanamkan nilai atau moral pada peserta didik tanpa keteladanan.

Praktek pendidikan yang represif telah menyimpang dari prinsip hakiki pendidikan yaitu perhatian pada martabat manusia (education cura personalis

est), karena dengan pendidikan diharapkan akan dihasilkan pribadi yang beradab,

berbudaya, damai dan anti kekerasan. Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah haruslah pembelajaran yang merujuk pada hati, artinya guru mendidik siswanya bukan hanya dengan otak dan otot/fisik tetapi juga dengan hati agar siswa menjadi orang dengan watak humanis.

Pendidikan afeksi adalah proses pengembangan seluruh domain afektif, meliputi: pendidikan sikap, etika, kepercayaan, perasaan, khususnya estetika, kemanusiaan, moral dan nilai.

Model pendidikan afeksi didasarkan pada konsep hubungan manusiawi daripada didasarkan konsep bidang studi atau proses berpikir.

Model pendidikan afeksi dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan menggunakan model: konsiderasi, pengembangan rasional dan aksi sosial.

Kata kunci: humanis, pendidikan afeksi

1

Dr. Wahid Munawar adalah dosen Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia; e-mail: awar@ bdg.centrin.net.id

(2)

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan alat yang paling efektif untuk menyadarkan individu dalam jati diri kemanusiaannya, karena pendidikan mengemban tugas untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan individu supaya memiliki kehalusan budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan pikir, kecekatan raga, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Dibanding faktor lain, pendidikan memberi dampak dua atau tiga kali lebih kuat dalam pembentukan kualitas manusia. (Inkeles, 1974: 304)

Pendidikan afeksi di sekolah bertujuan mempersiapkan manusia mengisi kepribadian dan kehidupan yang bertanggung jawab, karena penguasaan manusia atas ilmu, dapat berdampak positif maupun negatif tergantung pada kepribadiannya.

Kepribadian atau karakter anak bangsa yang humanis dapat dibentuk melalui pendidikan afeksi, dengan cara pengembangan domain afeksi, meliputi: sikap, etika, kepercayaan, perasaan, khususnya estetika, kemanusiaan, moral dan nilai.

Pertanyaannya adalah: Model pendidikan afeksi yang bagaimana yang dapat membentuk kepribadian atau karakter anak bangsa yang humanis ?

B. PEMBAHASAN

1. Pendidikan dan Era Global

Era global menyebabkan individu berhubungan dengan orang atau bangsa lain baik langsung maupun bantuan jasa teknologi informasi & komunikasi. Agar individu mampu bekerja dengan orang dengan budaya dan bahasa berbeda, maka perlu memiliki kesadaran akan perbedaan nilai dan norma sosial (Kerka, 1993).

Komunikasi lintas budaya dengan teknologi komunikasi dan informasi (ICT), menyebabkan interaksi antara individu, kelompok, atau bangsa pada era globalisasi sangat tinggi, maka penanaman nilai kehidupan (living values) dianggap perlu untuk dilakukan melalui jalur pendidikan. Nilai kehidupan (living

values) menurut the world declaration on education for all (1990) terdiri dari 12

nilai, yaitu: kedamaian (peace), kehormatan (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (fredom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan

(3)

hati (humility), kecintaan (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance) dan kesatuan (unity) (Drake, 2002).

Oleh karena itu, pendidikan afeksi perlu menekankan aspek penanaman nilai kehidupan pada siswa.

Penanaman nilai kehidupan di sekolah telah dilakukan melalui pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan pancasila. Namun karena pembelajaran yang terjadi di lembaga pendidikan kurang bermakna bagi siswa dan sistem nilai di masyarakat yang tidak sesuai dengan standar nilai yang diajarkan di lembaga pendidikan sehingga belum menjadi panutan bagi siswa, maka mata pelajaran penanaman nilai tidak mampu menghasilkan output pendidikan yang relevan dengan tuntutan global, tentang nilai kehidupan. Sebagai contoh: makin rendahnya toleransi, maraknya kekerasan, kebebasan dimaknai tanpa batas, dan kurangnya kejujuran adalah efek dari ketidakberhasilan pembelajaran di lembaga formal pendidikan.

Oleh karena itu, penanaman nilai kehidupan harus ada dalam pendidikan afeksi di sekolah, walaupun tidak harus dalam bentuk mata pelajaran, melainkan dapat terintegrasi dalam mata pelajaran. Hal yang paling penting adalah bagaimana guru menanamkan nilai pada peserta didik melalui pendidikan afeksi yang diajarkan di sekolah dan bagi peserta didik belajar tentang nilai kehidupan memberi makna (Bambang Irianto, 2003 : 2).

2. Pendidikan Afeksi dan Karakter Humanis

Tujuan utama pendidikan adalah membentuk kepribadian manusia sesuai dengan hakikat kemanusiaan dan tuntutan zaman. Oleh karena itu, peserta didik haruslah individu yang memiliki kemampuan intelektual, sikap dan kemampuan psikomotorik, serta kualitas yang dinamakan kepribadian (personality).

Kepribadian merupakan masalah yang sangat penting dalam nation and

character building.

Kepribadian adalah sesuatu yang sangat kompleks. Beberapa ahli mencoba mengartikan dimensi penting kepribadian dalam struktur dan dinamika kejiwaan, maupun manifestasinya dalam perilaku manusia.

(4)

Teori kepribadian merupakan suatu ilmu yang membahas secara sistematis mengenai manusia secara individu. Teori kepribadian menitikberatkan pada sifat-sifat individual dari manusia dan dihubungkan dalam situasi yang nyata.

Ahli psikologi belum mempunyai kesepakatan tentang definisi kepribadian. Namun demikian ada beberapa definisi yang dapat dijadikan acuan. Lanyon (1997: 54) mengartikan kepribadian sebagai karakteristik kebiasaan individu yang signifikan dalam tingkah lakunya berhubungan dengan orang lain. Atkinson (1983: 417) menyatakan kepribadian sebagai pola perilaku dan cara berpikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Khas yang dimaksud adalah konsistensi perilaku bahwa orang cenderung untuk bertindak atau berpikir dengan cara tertentu.

Dengan demikian kepribadian dapat diartikan sebagai ekspresi ke luar dari pengetahuan dan perasaan yang dialami seseorang secara subyektif. Kepribadian merujuk pada keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang digunakan seseorang dalam usaha adaptasinya.

Kepribadian humanis adalah keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang digunakan seseorang dalam usaha adaptasinya dengan dilandasi kasih sayang (human being).

Humanis, tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga berkembang dalam keindahan dan moral, diantaranya: orang yang mengerjakan tugasnya dengan baik dan berperilaku baik. Itulah ide pendidikan humanis yang landasannya adalah moral/nilai.

Pendidikan nilai tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pendidikan nilai atau moral di sekolah akan berhasil bila dikaitkan dengan kehidupan di masyarakat. Pendidikan nilai tidak harus merupakan suatu program atau pelajaran khusus, seperti pelajaran menggambar atau bahasa inggris tetapi lebih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan (Sastrapratedja, 1986). Lebih jauh Djahiri (1985: 21) mengemukakan alasan yang sifatnya sosiologis, bahwa peserta didik hidup dalam dunia nyata kehidupan di lingkungannya serta harus mampu hidup fungsional dan

(5)

bermasyarakat (sociatable). Nilai dan moral yang dianut dalam kehidupan nyata merupakan nilai yang esensial/penting yang diminta masyarakat.

Bila sekolah atau guru melupakan nilai yang nyata dan hanya membina nilai esensial yang ideal saja, maka bahaya utama kelak adalah lahirnya generasi penerus dan warga masyarakat yang frustasi, karena nilai yang tertanam dalam diri (bekal dari sekolah) dengan kenyataan berbeda.

Dengan demikian yang dimaksud pendidikan afeksi adalah proses pengembangan seluruh domain afektif, meliputi: pendidikan sikap, etik, kepercayaan, perasaan, khususnya yang menyangkut estetika, kemanusiaan, moral dan nilai.

Pendidikan afeksi yang humanis menyangkut seluruh unsur afeksi yang diawali dari adanya stimulus berupa informasi baru yang dapat menimbulkan perubahan dalam kepercayaan, sikap, nilai, standar moral, itikad (tingkat komitmen) dan diakhiri dengan adanya perilaku baru.

Dalam proses pendidikan afeksi humanis, menurut Jarolimek dan Foster (1989: 277), guru dituntut untuk memiliki kompetensi berupa kemampuan untuk: (1) menyajikan contoh-contoh khusus dari nilai-nilai umum dan mampu menjelaskan bagaimana hal itu berbeda dari nilai-nilai pribadi; (2) menggambarkan karakteristik sebuah kelas yang mempertinggi belajar afeksi; (3) menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari belajar afeksi dan menunjukkan dengan contoh bagaimana hal itu dapat diterapkan.

Guru humanis memotivasi siswanya melalui mutual trust. Guru humanis tidak akan memaksa peserta didik untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.

3. Model dan Pendekatan Pendidikan Afeksi Humanis

Hasil belajar afeksi tidak dapat dicapai dengan metode ceramah atau demonstrasi (Nasution, 1989). Pendidikan afeksi mengharapkan terjadinya perubahan perilaku peserta didik, dan untuk mencapai tujuan itu diperlukan suasana interaktif.

(6)

Sebagai ilustrasi bahwa pendidikan afeksi tidak dapat dicapai dengan metode ceramah adalah seorang siswa yang mempelajari sains dapat membayangkan bahwa yang dipelajarinya dari sains terentang dari ukuran yang paling besar seperti jagad raya sampai yang sangat kecil seperti elektron. Lahirlah kesadaran siswa bahwa dirinya kecil tak bermakna di alam raya yang luas ini, akibatnya siswa menjadi pribadi humanis yang rendah hati.

Contoh lain pada pelajaran kimia, yang membahas bahwa suhu mempengaruhi laju reaksi dipahami dan dimaknai siswa, maka tentu tak akan ada lagi siswa yang bermain petasan, apalagi membawa petasan dalam jumlah besar di dalam bus pada siang hari yang panas karena akan meledak dan membuat susah orang lain. Implikasinya pendidikan afeksi akan melahirkan karakter atau kepribadian humanis, karena akan lahir kesadaran siswa tentang toleransi dan kasih sayang.

Ada beberapa model pendidikan afeksi yang dapat dikembangkan di lembaga pendidikan, yaitu: (1) model konsiderasi, asumsinya: hidup untuk kepentingan orang lain ialah pengalaman yang membebaskan (dari egoisme), hanya dengan memberikan konsiderasi kepada orang lain, kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya. Kebutuhan fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan sesama, saling memberi dan menerima cinta kasih; (2) model pengembangan rasional, asumsinya nilai adalah standar, norma, prinsip, kriteria untuk menentukan harga sesuatu, dan nilai bukan soal pribadi, karena bertalian dengan orang lain; dan (3) model aksi sosial, asumsinya, pendidikan yang diberikan selama ini tidak memenuhi sasarannya dan justru menimbulkan sikap pasif terhadap masalah sosial, tidak mampu mengembangkan kompetensi pada siswa untuk turut secara aktif mempengaruhi lingkungannya, karena hanya terfokus pada disiplin ilmu tertentu.

Pendekatan atau strategi pendidikan afeksi yang dapat dipilih menurut Doll (1978: 101) adalah: (1) inculcation, yaitu penanaman nilai dengan menerima nilai-nilai yang diajarkan melalui kekuatan hukum lama/kuno; (2) analisis terhadap isu dan situasi yang melibatkan nilai didalamnya; (3) clarification atau metode

(7)

klarifikasi; dan (4) action learning, yaitu dengan mencoba dan menguji secara nyata di lapangan.

Beberapa pendekatan yang dapat dipilih dalam pendidikan afeksi, yaitu: (1)

evocatio, pendekatan ekspresi spontan, dimana siswa diberi kesempatan dan

kebebasan penuh untuk mengekspresikan tanggapan, perasaan, penilaian dan pandangan terhadap sesuatu hal; (2) inculcation, pendekatan sugesti terarah, dimana peran guru sangat menentukan dengan memberikan rangsangan yang menggiring siswa secara halus pada suatu kesimpulan atau pendapat yang sudah ditentukan; (3) awareness, pendekatan kesadaran dengan cara menuntun, untuk mengklarifikasikan dirinya atau nilai orang lain/umum melalui suatu kegiatan; (4)

moral reasoning, pendekatan yang dipakai untuk mencari kejelasan moral melalui

stimulus yang berupa dilema (masalah pelik) yang dilontarkan guru kepada peserta didik; (5) analysis, pendekatan melalui analisis nilai yang ada dalam suatu media mulai dari analisis seadanya berupa reportase sampai pada pengkajian secara akurat, teliti dan tepat; (6) value clarification, pendekatan dengan membina kesadaran emosional nilai siswa melalui cara yang kritis rasional dengan mengklarifikasi dan menguji kebenaran, kebaikan, keadilan, kelayakan, dan ketepatannya; (7) comitment, pendekatan kesepakatan dimana siswa sejak awal sudah diminta untuk menentukan atau menyepakati sikap dan pola pikir berdasarkan acuan tertentu; (8) union, pendekatan dengan mengintegrasikan diri dalam kehidupan nyata atau stimuli yang dirancang guru. (Douglas dikutip Djahiri ;1985).

C. Kesimpulan

1. Pendidikan afeksi bertujuan mempersiapkan manusia mengisi kepribadian dan kehidupan yang bertanggung jawab.

2. Kepribadian atau karakter humanis dapat dibentuk melalui pendidikan afeksi, meliputi: sikap, etika, kepercayaan, perasaan, estetika, kemanusiaan, moral dan nilai.

3. Model pendidikan afeksi dapat dilakukan dengan menggunakan model: konsiderasi, pengembangan rasional dan aksi sosial.

(8)

D. Daftar Pustaka

Atkinson, L. Rita, 1983, Introduction to Psychology, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Bambang Irianto, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu Solusi Dalam

Memenuhi Tuntutan Global dan Lokal (makalah), Bandung: ITB.

Drake, C., 2002, Values education-moving from rhetoric to reality, Paper presented at the 8th UNESCO-APED International Conference on Education. Bangkok.

Djahiri A.K., 1985, Strategi Pengajaran Afektif, Nilai, Moral, VCT, dan Games

dalam VCT, Bandung: Granesia.

Doll, R., 1978, Curruculum Improvement, Boston: Allyn and Bacon Inc.

Inkeles, Alex dan David Horton Smith, 1974, Becoming Modern: Individual in Six

Developing Countries, Massachusetts: Harvard University Press.

Jarolimek, J. and Foster, C.D., 1989, Teaching and Learning in The Elementary

School. New York: Macmillan Publishing Company.

Kerka,S., 1993, Career Education for Global Economy. ERIC: ED355457

Lanyon, Richard I. dan Leonard D. Goodstein, 1997, Personality Assessment, New York: John Wiley& Sons, Inc.

Nasution, S., 1989, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bina Aksara. Sastrapratedja,1996, Pendidikan Nilai, Jakarta: Grasindo.

.

(9)

FORMULIR PENDAFTARAN

Bersama ini saya mendaftarkan diri untuk mengikuti Seminar Nasional „Pengembangan Ilmu Sosial, Humaniora dan Pendidikan untuk Membangun Karakter Anak Bangsa” sebagai:

Pemakalah Judul Makalah:

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AFEKSI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER ANAK BANGSA YANG HUMANIS

Nama (dan gelar): Dr. Wahid Munawar Pekerjaan : Staf pengajar

Instansi : Jurusan Pend. Teknik Mesin FPTK Universitas Pendidikan Indonesia Alamat kantor : Jl. Dr. Setiabudhi 207 Bandung Telepon/Fax : (022) 2020162

Alamat rumah : Jl. BP. Ampi 5 F Baros-Cimahi 40521 Telepon : 08122122058

E-mail : awar @ bdg.centrin.net.id

Catatan:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian pada tiap responden di Kelurahan Jaya rata-rata jumlah produksi yang diperoleh bervariasi dengan jumlah produksi yang paling sedikit 300 lempeng

Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko

simulasi yang dapat membantu warga Jurusan Teknik Informatika ITS dalam melakukan evakuasi saat terjadi bencana kebakaran pada gedung tersebut dengan memanfaatkan

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang (2010) dimana pengaruh transaparansi negatif terhadap hubungan antara tax avoidance

Fiscal Deficit financed

Seperti yang disampaikan oleh tamu pengunjung restoran ini: “Terkenal karena sambal dan lalabannya, kami singgah di rumah makan Cibiuk karena menikmati bermacam hidangan khas

Sebagai akibat hukumnya sanksi-nya bila pelaku usaha tetap mencantumkan klausula eksonerasi dalam karcis parkir yang mereka buat, maka Pasal 18 ayat 3 menetapkan, “Setiap klausula

4.4.4 Grafik Hubungan Antara Putaran Poros dan Daya Mekanis Untuk Tiga Variasi Kecepatan Angin Data dari Tabel 4.4, Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 yang sudah diperoleh pada