• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika dan Asia, sedangkan jumlah orang yang mendapatkan perawatan setelah terjadi kontak dengan hewan suspek rabies mencapai angka 10 juta orang setiap tahun. Di Amerika Serikat, kasus penyakit rabies di berbagai daerah bergantung pada program pengendalian dan vaksinasi hewan. Jumlah kematian terbesar di negara ini terjadi pada awal pertengahan abad ke-20, dengan jumlah rata-rata 50 kasus per tahun, yang disebabkan oleh gigitan anjing (WHO, 2006 dalam Duana, 2011).

Mengingat ancaman bahaya rabies terhadap kesehatan, keselamatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan kematian, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kaus gigitan hewan penular rabies (HPR) harus dilaksanakan seintensif mungkin agar suatu daerah dapat bebas rabies. Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen Kesehatan (Ditjen PPM & PL), sejak awal pelita V 1989. Namun banyak kendala seperti, kebiasaan melepas hewan dan tidak divaksinnya hewan kesayangan (Setiorini, 2011).

Kasus kematian akibat rabies, untuk wilayah Asia menyebabkan 50.000 kematian per tahun, India 20.000-30.000 kematian per tahun, China rata-rata 2.500 kematian per tahun, Vietnam 9.000 kematian per tahun, Filipina 200 – 300 kematian per tahun dan Indonesia selama 4 tahun terakhir rata-rata sebanyak 143 kematian per tahun. Di Indonesia, rabies merupakan penyakit endemis di 24 propinsi di Indonesia, dengan kasus LYSSA (rabies pada manusia) tertinggi adalah Provinsi Bali, Sumatera Utara, Maluku, NTT. Hewan yang dapat menularkan rabies adalah anjing, kucing, kera, dan kelelawar. Sembilan puluh delapan persent (98%) kasus rabies di Indonesia ditularkan akibat gigitan anjing

(2)

dan dua persen (2%) adalah akibat gigitan kucing dan kera (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2010).

Anjing merupakan vektor utama penularan rabies di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Rabies juga dapat ditularkan oleh binatang berdarah panas lainnya seperti kucing, kera, serigala dan yang lainnya dengan tingkat kejadian kasus penularan rabies ke manusia sangat rendah (Wandeler et.al.,1993 dalam Duana, 2011).

Indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies di Indonesia, yaitu kasus gigitan hewan penular/ tersangka rabies (HPR), kasus yang divaksinasi dibandingkan dengan vaksin anti rabies (VAR) yang tersedia, dan kasus kematian yang diakibatkan virus rabies / lyssavirus (LYSSA). Pada tahun 2010 provinsi dengan kasus gigitan HPR, VAR dan LYSSA terbanyak adalah Bali yaitu 60.434 kasus gigitan HPR, 52.775 kasus VAR, dan 82 kasus LYSSA (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012). Provinsi yang pada tahun 2009 memiliki kasus LYSSA dan berhasil menekan jumlah LYSSA pada tahun 2010 menjadi 0 kasus adalah Aceh, Banten, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan (Kemenkes RI, 2011).

Berikut adalah data kasus rabies tahun 2008-2011 (Gambar 1) .

Gambar 1. Jumlah kasus gigitan HPR, VAR/PET, dan LYSSA di Indonesia tahun 2008-2011 (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012).

2008 2009 2010 2011 GHPR 21,245 45,466 78,574 82,908 VAR 14,683 35,316 63,658 71,053 LYSSA 122 195 206 175 0 50 100 150 200 250 0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000

(3)

Pada Gambar 1 di atas tampak adanya kecendrungan paningkatan kasus gigitan HPR, peningkatan penggunaan VAR dan ketersediaan VAR belum sesuai dengan jumlah kasus yang ada serta kasus kematian (LYSSA) cendrung meningkat di Indonesia sejak tahun 2008-2011.

Penyakit dengan CFR tinggi ini terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Sampai akhir tahun 2010, daerah tertular rabies adalah 24 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Dengan demikian hanya 9 provinsi yaitu : Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Papua Barat dan Papua yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies (Kemenkes RI, 2011).

Di Provinsi Aceh, rabies masih merupakan penyakit endemis. Pada tahun 2009 Provinsi Aceh memiliki kasus LYSSA dan berhasil menekan jumlah LYSSA pada tahun 2010 menjadi 0 kasus, namun pada tahun 2011 ditemukan kembali kasus LYSSA (Gambar 2).

Gambar 2. Kasus gigitan HPR dan LYSSA di wilayah Pemerintah Aceh tahun 2008-2011 (P2PL Dinkes Prov.Aceh, 2012).

Gambar 2 menunjukkan, trend kasus gigitan HPR di Provinsi Aceh meningkat, dengan ketersediaan VAR yang terbatas, dan ditemukan kembali LYSSA 2 kasus pada tahun 2011. Kasus gigitan HPR di Provinsi Aceh tersebar di 21 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Kasus gigitan HPR tertinggi terjadi di Kabupaten Aceh Tengah selama 4 (empat) tahun terakhir. Dengan demikian hanya 2 Kabupaten di wilayah Pemerintah Aceh yang bebas rabies yakni Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Aceh Selatan (Gambar 3).

2008 2009 2010 2011 GHPR 153 575 592 544 VAR 143 481 532 355 LYSSA 0 4 0 2 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0 100 200 300 400 500 600 700

(4)

Gambar 3. Grafik kasus gigitan HPR di wilayah Pemerintah Aceh tahun 2008-2011 (P2PL Dinkes Prov. Aceh, 2012).

Di Kabupaten Aceh Tengah, kasus gigitan HPR menunjukkan trend meningkat sepanjang 4 (empat) tahun terakhir sedangkan ketersediaan vaksin anti rabies (VAR) jumlahnya sangat terbatas (Gambar 4).

Gambar 4. Grafik kasus gigitan HPR di wilayah Kabupaten Aceh Tengah tahun 2008-2011 (PMK Dinkes Kab.Aceh Tengah, 2012).

Peningkatan jumlah gigitan anjing ke manusia sangat berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah permintaan vaksin anti rabies (VAR). Dimana kondisi stock VAR di Kabupaten Aceh Tengah tidak sebanding dengan jumlah kasus yang ada sehingga dalam penanganan kasus gigitan HPR menjadi suatu

A.T en g B. Me r G.L ue La ngs A.B ar Lh oks B.A ce Bir eu n A.T am S.S al A.B es A.T im A.T ggr Pid ie Pij ay A. Utr A.J ay N. Ry Ab dy A.S el Asi ng 2008 13 3 6 11 8 11 7 0 9 0 12 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2009 19 12 36 31 30 42 28 50 33 15 42 21 9 5 5 9 10 0 0 0 0 2010 20 76 50 49 45 35 27 31 23 14 13 9 3 2 2 4 4 0 0 0 0 2011 21 63 35 13 10 24 17 32 33 5 12 2 32 1 5 5 7 2 0 0 29 0 50 100 150 200 250 Ax is  Ti tl e THN 2008 THN 2009 THN 2010 THN 2011 GHPR 132 197 205 219 VAR 40 52.5 59.5 167 LYSSA 0 0 0 0 0 50 100 150 200 250

(5)

kendala. Pada tahun 2008 gigitan HPR sebanyak 132 kasus dengan ketersediaan VAR sejumlah 40 kiur (160 vial), tahun 2009 gigitan HPR sebanyak 197 kasus dengan ketersediaan VAR sejumlah 52,5 kiur (210 vial), tahun 2010 gigitan HPR sebanyak 205 kasus dengan ketersediaan VAR sejumlah 59,5 kiur (238 vial), dan tahun 2011 gigitan HPR sebanyak 219 kasus dengan ketersediaan VAR sejumlah 167 kiur (668 vial) (PMK Dinkes Kab. Aceh Tengah 2012).

Keterangan :

: > 20 Kasus : 10 – 20 Kasus : < 10 Kasus

Gambar 5. Peta wilayah kasus gigitan HPR di Kabupaten Aceh Tengah tahun 2011 (PMK Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tengah, 2012)

Peta di atas menunjukkan bahwa kasus gigitan HPR tersebar di 14 (empat belas) kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Tengah. Wilayah dengan kasus gigitan HPR paling banyak yaitu wilayah Kecamatan Pegasing, Lut Tawar, Bies, Kebayakan dan Bebesen.

Vektor utama penyebar virus rabies di Kabupaten Aceh Tengah adalah anjing sebanyak 92%. Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya masyarakat yang memelihara anjing. Vektor yang lain seperti kucing 4%, dan kera 4%, serta kelelawar 0% juga harus dimasukkan sebagai faktor risiko, sekalipun peluang sebagai pembawa dan penyebar rabies jauh lebih kecil.

(6)

Populasi anjing di Kabupaten Aceh Tengah diperkirakan 20.000 ekor, termasuk anjing dengan pemilik (dirantai, dikandangkan, atau dilepas dalam pagar rumah) dan anjing tanpa pemilik. Proporsi anjing yang benar-benar dirumahkan, dipelihara, dan dirawat dengan baik oleh pemiliknya hanya 100 ekor (0,5%) saja, sisanya hanya mengklim anjing tersebut miliknya namun pemeliharaan dan perawatan anjing diperlakukan seperti anjing gelandangan yang berkeliaran di jalanan, pemukiman penduduk, tempat-tempat umum, tempat sampah, semak-semak, dan bahkan diberi makanan seadanya dari sisa-sisa makanan yang ada (Dinas Perternakan dan Perikanan Kab. Aceh Tengah, 2012).

Tradisi buruk dalam pemeliharaan anjing di Aceh Tengah adalah memelihara anjing namun tidak memberi perawatan kepada anjingnya. Anjing dibiarkan hidup berkeliaran secara bebas keluar rumah untuk mencari makan sendiri. Keburukan lainnya adalah kebiasaan membuang anjing yang tidak diminati ke alam bebas sehingga akhirnya berkembang menjadi anjing-anjing tak bertuan yang berkeliaran dan mengganggu lingkungan.

Anjing adalah binatang yang sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Aceh Tengah. Hampir semua rumah memiliki anjing peliharaan. Anjing biasanya digunakan sebagai penjaga rumah dan teman pemiliknya, penjaga lahan perkebunan/ hasil kebun dari pencurian maupun hama seperti kera, babi hutan, dan tikus. Anjing juga digunakan masyarakat sebagai teman berburu. Masyarakat umumnya memelihara anjing dengan melepasnya tanpa diikat atau dikandangkan, sehingga anjing dapat bebas berkeliaran. Anjing biasanya kurang mendapat perhatian dan perawatan dari pemiliknya dan kadang-kadang hanya memberikan sisa-sisa makanan (Hutabarat et.al, 2003).

Upaya pemberatasan rabies di Kabupaten Aceh Tengah terus dilakukan dengan melakukan program eliminasi anjing. Pada tahun 2008 sebanyak 501 HPR yang tereliminasi, tahun 2009 sebanyak 400 ekor HPR yang tereliminasi, tahun 2010 sebanyak 47 ekor HPR yang tereliminasi, dan pada tahun 2011 hanya 45 ekor HPR yang tereliminasi. Dalam pelaksanaannya upaya ini tidak berhasil maksimal karena masyarakat cendrung menyembunyikan dan memindahkan anjingnya untuk menghindari eliminasi (Dinas Perternakan dan Perikanan Kab. Aceh Tengah, 2012).

(7)

Upaya lain dalam penanganan kasus gigitan HPR di Kabupaten Aceh Tengah adalah dengan dibentuknya 7 puskesmas sebagai rabies center yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Penatalaksanaan kasus gigitan HPR, dilakukan melalui upaya penaganan luka gigitan, pemberian VAR, promosi/ KIE, pencatatan dan pelaporan kasus 1 x 24 jam. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit rabies yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Aceh Tengah belum berjalan efektif. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 4 dimana jumlah kasus gigitan HPR yang terus meningkat sepanjang tahun, menunjukkan jumlah kasus penularan rabies ke manusia melalui gigitan HPR serta tingginya kasus gigitan HPR yang terjadi di masyarakat.

Berdasarkan hasil observasi awal peneliti dan informasi staf, kebijakan dan strategi program pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR yang selama ini diterapkan di Kabupaten Aceh Tengah kurang berjalan secara efektif, hal ini dilihat dari : 1) Ketidakmerataan sumber daya manusia (petugas rabies center dan petugas kesehatan hewan) terutama di daerah terpencil, sehingga terjadi duplikasi tupoksi yang menyebabkan pengelolaan program tidak terfokus 2) Belanja anggaran yang terbatas dalam pelaksanaan program rabies (keterbatasan VAR, biaya bahan habis pakai, insentif petugas, dan biaya operasional lainnya), komitmen pemerintah dapat dilihat bukan saja dari kebijakan program yang harus dijalankan tapi juga dari ketersediaan alokasi anggaran yang mencukupi 3) Peran tim koordinasi (TIKOR) dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR kurang baik, hal ini dapat dilihat pada tahun 2011 kasus gigitan HPR sebanyak 219 kasus dan hanya 2 spesimen otak anjing yang dilakukan pemeriksaan oleh Dinas Perternakan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tengah. Hal lain menyangkut informasi stakeholder tentang program tersebut, kendala, hambatan serta hal-hal yang mendukung pelaksanaan program yang belum berjalan dengan baik 4) Belum adanya kebijakan yang menyangkut koordinasi dan pengerakan masyarakat.

Dampak dari kasus gigitan HPR tentu sangat merugikan. Selain dampak kesakitan dan kamatian yang ditimbulkan serta besarnya biaya yang diperlukan,

(8)

kasus juga berpengaruh terhadap kepariwisataan. Aceh Tengah adalah salah satu obyek wisata yang menawarkan panorama alam yang indah dan iklim udara yang sejuk. Sebagai salah satu tempat tujuan wisata di Aceh, berjangkitnya penyakit rabies akan memberi dampak yang sangat luas baik ditinjau dari aspek kesehatan, sosial, maupun budaya, sampai pada masalah keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurut Office International des Epizooties (2008), rabies di negara berkembang merupakan penyakit nomor 2 paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria.

Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti ingin melakukan evaluasi program rabies, karena sampai sekarang kasus gigitan HPR semakin meningkat, dilihat dari sisi kebijakan dan strategi program rabies, sumber daya manusia (pengelola program di puskesmas rabies center dan poskeswan), dana/ anggara pelaksanaan kegiatan, termasuk di dalamnya dana yang khusus dialokasikan untuk program rabies, alat dan bahan yang dibutuhkan dalam program rabies.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimana implementasi program pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kabupaten Aceh Tengah?

C.

Tujuan Penelitian

 

1. Tujuan Umum

Untuk mengevaluasi pelaksanaan program rabies melalui upaya pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kebijakan dan strategi program rabies yang dilaksanakan di Kabupaten Aceh Tengah.

b. Untuk mengetahui keberhasilan program pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR dilihat dari input, dan proses.

(9)

D.

Manfaat Penelitian

 

1. Manfaat teoritis

Dapat menjadi tambahan informasi, pengetahuan dan menambah referensi yang berhubungan dengan evaluasi pelaksanaan program rabies.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Dinas Kesehatan dan Distanakan Kabupaten Aceh Tengah, Penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap pelaksanaan program rabies di kedua Dinas tersebut dan dapat memberikan wawasan kepada para pengambil keputusan dan kebijakan dalam menurunkan kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) menuju eliminasi rabies 2015.

b. Bagi institusi pendidikan, Sebagai bahan kepustakaan dan acuan untuk penelitian yang akan datang berkaitan dengan masalah evaluasi pelaksanaan program rabies.

c. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dan pengetahuan terkait evaluasi pelaksanaan program rabies.

E.

Keaslian Penelitian

 

Penelitian mengenai evaluasi implementasi program rabies, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian yang mirip dan sudah dilakukan di antaranya :

1. Penelitian budaya masyarakat dalam pembentukan persepsi masyarakat Bali terhadap penyakit rabies (Duana, 2011). Penelitian tersebut menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, untuk menggali persepsi informan secara lebih mendalam mengenai penyakit rabies. Penelitian ini juga mengungkap fenomena atau isu penting yang berhubungan dengan persepsi masyarakat mengenai penyakit rabies dan persepsi pemegang kebijakan serta tokoh masyarakat mengenai pencegahan dan penanggulangan rabies. Perbedaannya terletak pada aspek yang diteliti, yaitu evaluasi pelaksanaan program pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR (input, dan proses) dan lokasi penelitian.

(10)

2. Kajian rabies di Kota Ambon : evaluasi kinerja petugas vaksinasi dan tingkat kekebalan anjing (Dwyanti, 2011). Penelitian tersebut menggunakan rancangan kuantitatif dengan rancangan analisis linear regression dan analisis unweighted logistic regression, untuk mengungkapkan kinerja petugas vaksinasi dan tingkat kekebalan anjing serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perbedaannya terletak pada aspek yang diteliti, yaitu evaluasi pelaksanaan program pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR (input, dan proses) dan lokasi penelitian. 3. Pengaruh karakteristik pemilik anjing terhadap partisipasinya dalam program

pencegahan penyakit rabies di Kelurahan Kwala Berkala Kecamatan Medan Johor Kota Medan (Malahayati, 2009). Penelitian tersebut menggunakan rancangan survey kuantitatif dengan tipe explanatory research. Bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik pemilik anjing (umurm pendidikan, pendapatan, pengetahuan, dan sikap) terhadap partisipasinya dalam program pencegahan penyakit rabies. Perbedaannya terletak pada aspek yang diteliti, yaitu evaluasi pelaksanaan program pencegahan, penanggulangan dan penatalaksanaan kasus gigitan HPR (input, dan proses) dan lokasi penelitian. 4. Evaluasi program imunisasi dasar pada bayi di Dinas Kesehatan Kabupaten

Keerom Provinsi Papua tahun 2007-2009 (Loji, 2011). Penelitian tersebut adalah rapid assessment procedure (RAP) menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan belum tercapainya target UCI desa. Perbedaannya terletak pada permasalahan yang diteliti, yaitu program imunisasi, dan penelitian tersebut tidak melihat aspek implementasi/ pelaksanaan program, tapi lebih pada aspek input dari program imunisasi.

Gambar

Gambar 1.   Jumlah kasus gigitan HPR, VAR/PET, dan LYSSA di Indonesia  tahun 2008-2011 (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012)
Gambar 2.   Kasus gigitan HPR dan LYSSA di wilayah Pemerintah Aceh tahun  2008-2011 (P2PL Dinkes Prov.Aceh, 2012)
Gambar 3.   Grafik kasus gigitan HPR di wilayah Pemerintah Aceh tahun 2008- 2008-2011 (P2PL Dinkes Prov
Gambar 5.   Peta wilayah kasus gigitan HPR di Kabupaten Aceh Tengah tahun  2011 (PMK Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tengah, 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan survey ternyata masih 70 % ingat akan sosok Jenderal Soedirman sebagai sosok pahlawan di Indonesia, 91 % masyarakat masih menginginkan dibuatkannya buku

(2) Dalam hal setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembelian saham Bank lain dan mengakibatkan yang

Penilaian anak dan dalam kategori mulai berkembang pada pra tindakan berjumlah 4 orang anak atau 27% sedangkan pada siklus 1 yaitu 11 orang anak, hal ini disebabkan karena

Perhitungan biaya persediaan bahan baku berdasarkan metode POQ periode September 2014 sampai September 2015 secara rinci terdapat pada lampiran 5, sedangkan total

real estate developer marketing mix strategi Noermijati Solimun (2014) memiliki pengaruh signifikan sebagai keunggulan kompetitif dalam bisnis real estate 4 Produk

Hasil-hasil penelitian tersebut antara lain: (1) hasil penelitian yang dilakukan Heavilin di Indiana (1982) menunjukkan bahwa perkuliahan English tentang komposisi

Analisis deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi mengenai pengaruh motivasi dan pengembangan karir terhadap kepuasan

Pada penelitian sebelumnya telah dibuat sistem penyiraman otomatis dengan menggunakan algoritma fuzzy dan prakiraan cuaca dengan menggunakan Weather Service Provider (WSP),