• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI AMPAS KECAP SEBAGAI ALTERNATIF SUBSTITUSI BUNGKIL KEDEL AI DAL AM PAKAN IKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI AMPAS KECAP SEBAGAI ALTERNATIF SUBSTITUSI BUNGKIL KEDEL AI DAL AM PAKAN IKAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI AMPAS KECAP SEBAGAI ALTERNATIF SUBSTITUSI BUNGKIL KEDEL AI

DAL AM PAKAN IKAN

Lusi Herawati Suryaningrum dan Zafril Imran Azwar Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar

Jl. Sempur No.1, Bogor 16154 E-mail: lusihera@yahoo.co.id

ABSTRAK

Bungkil kedelai merupakan salah satu komponen utama dalam formulasi pakan ikan. Penggunaan bungkil kedelai dalam campuran pakan ikan menjadi salah satu faktor yang menentukan harga pakan, karena penggunaannya dalam formulasi pakan sangat besar. Namun saat ini suplai bungkil kedelai untuk industri pakan komersil masih sangat tergantung pada impor, yang mengakibatkan harga pakan menjadi mahal. Oleh karena itu, diperlukan bahan baku alternatif yang potensial dan murah untuk mensubstitusi penggunaan bungkil kedelai dalam campuran pakan ikan agar penggunaannya dapat dikurangi, sehingga dapat menekan harga pakan ikan. Salah satu bahan yang cukup potensial adalah ampas kecap yang merupakan limbah dari industri pengolahan kedelai menjadi kecap. Ampas kecap ini memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, di mana kandungan proteinnya berkisar antara 20%-27%. Potensi ketersediaannya cukup besar, mengingat ampas kecap yang dihasilkan sebesar 59,70% dari bahan baku kedelai yang digunakan. Disebutkan bahwa kebutuhan kedelai untuk industri kecap mencapai 650 ribu ton setahun. Selain itu, kontinuitasnya juga terjaga karena merupakan buangan dari industri kecap yang mengalami pertumbuhan sekitar 10%-20% per tahun, sedangkan pada tahun 2000 saja terdapat sekitar 339 pabrik kecap dengan total kapasitas produksi lebih dari 120 ribu ton.

KATA KUNCI: ampas kecap, substitusi, bungkil kedelai, pakan ikan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Dalam budidaya perikanan, komponen biaya pakan mencapai 70% dari total biaya produksi (Anonimous, 2011). Pakan yang murah, berkualitas, tersedia dalam jumlah yang memadai, dan kontinu adalah kunci utama keberhasilan perikanan budidaya. Namun budidaya perikanan di Indonesia sekarang ini dihadapkan pada masalah besar yakni harga pakan yang terus menerus meningkat. Tingginya harga pakan komersil dewasa ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan-bahan penyusunnya, salah satunya adalah bungkil kedelai. Besarnya peran pakan dalam budidaya membuat faktor pakan menjadi kunci penting suksesnya usaha budidaya perikanan. Sementara itu, kebutuhan pakan nasional sangat besar. Pada tahun 2009 kebutuhan pakan untuk wilayah Jawa Barat saja mencapai 1,7 juta ton/tahun, diketahui bahwa Jawa Barat merupakan konsumen pakan ikan terbesar di Indonesia yakni 40% dari total kebutuhan pakan nasional (Anonimous, 2009). Dengan demikian diperkirakan kebutuhan pakan nasional mencapai sekitar 4,25 juta ton/tahun pada tahun yang sama, dan terus naik dari tahun ke tahun.

Urgensi

Dalam formulasi pakan ikan, bungkil kedelai merupakan salah satu komponen utama yang persentasenya tinggi, sehingga kontribusinya terhadap harga pakan cukup besar. Dewasa ini keberadaan bungkil kedelai lokal belum mampu mencukupi kebutuhan bungkil kedelai dalam negeri, sehingga suplainya sangat tergantung pada impor. Oleh karenanya dibutuhkan bahan baku alternatif sebagai pengganti bungkil kedelai yang memiliki kandungan nutrisi tinggi, keberadaannya melimpah, kontinuitasnya terjaga, mudah diperoleh, murah, serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Dengan pertimbangan tersebut, maka hasil samping atau buangan dari proses pengolahan industri pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat dijadikan sebagai alternatif untuk substitusi bahan

(2)

baku penyusun pakan ikan. Salah satunya adalah ampas kecap yang merupakan hasil samping agro industri pengolahan kedelai menjadi kecap. Ampas kecap memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi. Kandungan nutrisi ini membuat ampas kecap cukup potensial dan layak dipertimbangkan sebagai bahan baku alternatif pengganti bungkil kedelai dalam pakan ikan.

Tujuan

Tulisan ini memaparkan potensi ampas kecap, keterbatasan dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya serta penelitian yang telah dilakukan untuk mengevaluasi potensi ampas kecap sebagai bahan pakan.

HASIL DAN BAHASAN Ampas Kecap

Kecap merupakan jenis makanan cair hasil fermentasi kedelai. Sitorus (1986) menyatakan bahwa ampas kecap merupakan limbah dari proses pembuatan kecap yang berbahan dasar kedelai dan memiliki kandungan protein cukup tinggi dan palatabel. Ampas kecap memiliki massa seperti gel, berwarna coklat sampai hitam.

Dalam Purwoko & Handajani (2007), proses pembuatan kecap dilakukan melalui fermentasi 2 tahap, pertama yaitu fermentasi padat (fermentasi koji/tempe) dan yang kedua adalah fermentasi cair (fermentasi moromi). Kapang yang digunakan dalam fermentasi padat adalah Aspergillus sp. dan

Rhizopus sp. Fermentasi padat perlu waktu sekitar 3-5 hari. Hasil dari fermentasi padat disebut sebagai

koji/tempe. Selanjutnya koji/tempe tersebut dikeringkan, kemudian direndam dalam air garam dengan konsentrasi sekitar 20%-30%. Proses perendaman koji/tempe dalam air garam disebut fermentasi moromi. Mikroba yang berperan dalam fermentasi moromi adalah mikroba tahan garam seperti

Hensenula sp., Zygosaccharomeces sp., dan Lactobacillus sp. Fermentasi moromi perlu waktu sekitar

14-28 hari. Cairan hasil fermentasi moromi disebut sebagai moromi. Selanjutnya moromi disaring. Filtrat (air) diambil kemudian dimasak dengan penambahan rempah-rempah dan bumbu lainnya lalu dikentalkan sehingga diperoleh kecap. Sedangkan residu (ampas) yang dihasilkan dari fermentasi moromi dibuang sebagai limbah.

Potensi ampas kecap sebagai alternatif bahan baku pakan ikan di Indonesia cukup tinggi. Berdasar data BPS tahun 2011, dengan jumlah penduduk sebanyak 237.641.326 jiwa dan konsumsi per kapita kedelai sebesar 10 kg/th maka diperlukan kacang kedelai untuk kebutuhan pangan lebih dari 2 juta

Sumber: http://www.indonetwork.co.id

(3)

ton per tahun (Anonimous, 2008), dan sekitar 650 ribu ton digunakan untuk memenuhi kebutuhan suplai kedelai sebagai bahan baku utama industri kecap (Adetama, 2011).

Ampas kecap yang merupakan limbah padat dari industri kecap, dihasilkan sebesar 59,70% dari total bahan baku kedelai yang digunakan (Sofyan et al., 2000). Sehingga dari 650 ribu ton bahan baku kedelai, dihasilkan ampas kecap sebesar 388.050 ton. Berdasarkan data Capricorn Indonesia

Consult (CIC) tahun 2000 dalam Morina (2004), sampai dengan tahun 2000 terdapat sekitar 339

pabrik kecap dan diperkirakan jumlahnya terus mengalami kenaikan. Sehingga ampas kecap terdapat dalam jumlah yang sangat besar dan melimpah, tetapi belum termanfaatkan secara maksimal. Banyak produsen kecap yang mengaku kesulitan dalam menangani limbah padat kecap ini, bahkan seringkali ampas kecap ini langsung dibuang ke TPA /Tempat Pembuangan Akhir (Nugroho et al., 1998).

Nutrisi dalam Tepung Ampas Kecap

Ampas kecap mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi terutama protein, karena dalam proses pembuatan kecap hanya sebagian kecil protein kedelai yang dimanfaatkan dan larut dalam kecap, sedangkan sisanya tertinggal dalam ampas kecap (Mulyokusumo, 1974).

Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan, maka ampas kecap harus ditepungkan (dibuat dalam bentuk tepung) dengan cara dikeringkan dalam oven atau dijemur dengan memanfaatkan panas sinar matahari menjadi tepung ampas kecap.

Sunarso (1984) melaporkan tepung ampas kecap (untuk 100% bobot kering) memiliki kadar abu 26,85%; protein kasar 28,72%; lemak 24,36%; serat kasar 8,79%; dan BETN 10,34%. Sementara dalam Siregar (1994) disebutkan bahwa kandungan nutrien tepung ampas kecap terdiri atas protein kasar 23,5%; lemak 24,2%; kadar air 73,4%; dan TDN 87%. Setiana (1999) menyebutkan untuk bahan kering 87,14%; terdapat kadar abu 19,14%; protein kasar 27,22%; lemak 12,48%; serat kasar 11,03%; Ca 0,69%; P 1,19%; dan NaCl 20,25%.

Tabel 1 menyajikan perbandingan hasil analisis proksimat tepung bungkil kedelai dan tepung ampas kecap.

Upaya Untuk Mereduksi Kandungan NaCl

Kelemahan yang dimiliki oleh tepung ampas kecap antara lain adalah tingginya kadar NaCl. Beberapa laporan menyebutkan kandungan NaCl dalam tepung ampas kecap sebesar 20,60% (Minarti, 1992), 20,25% (Setiana, 1999), 19,37% (Cahyadi, 2000). Kadar NaCl tersebut terlalu tinggi bila digunakan dalam pakan ikan. Kadar NaCl yang terlalu tinggi akan mengganggu hormon pertumbuhan pada ikan. Tingginya kadar NaCl ini dikarenakan dalam proses pembuatan kecap, yakni pada fermentasi moromi, digunakan larutan garam (Rahayu et al., 1993).

Tabel 1. Nutrien dalam tepung bungkil kedelai dan tepung ampas kecap

Sumber: *) Sosroamidjojo (1991); **) Minarti (1992)

Bungkil kedelai *) Ampas kecap **)

Bahan kering 88,4 91,04 Abu 11,5 24,89 Protein kasar 42,7 26,79 Lemak kasar 9,0 20,16 BETN 16,9 11,38 Serat kasar 10,4 7,72 Tepung Parameter (%) HCl CH3COONa NaCl CH3COOH  

(4)

Hasil penelitian Cahyadi (2000), menyebutkan bahwa perendaman ampas kecap selama 24 jam dalam air dingin menurunkan kadar NaCl dari 19,37% menjadi 9,72% dan dalam air panas turun menjadi 12,27%. Suminar (2000) menyebutkan bahwa perendaman ampas kecap dalam larutan CH3COOH dengan pH 3 selama 24 jam, mampu menurunkan kandungan NaCl dari 19,05% menjadi 4,5%. Hal ini dapat terjadi karena NaCl yang terdapat dalam ampas kecap bereaksi dengan CH3COOH, menghasilkan CH3COONa dan HCl, dengan persamaan reaksi:

CH3COONa dan HCl merupakan senyawa yang mudah larut dalam air. CH3COONa adalah garam yang mudah mengendap dan kelarutannya dalam air tinggi.

Tepung Ampas Kecap dalam Formulasi Pakan Ikan

Selama ini ampas kecap dan tepung ampas kecap telah banyak diaplikasikan sebagai pakan ternak. Namun sayangnya tepung ampas kecap yang digunakan dalam ransum ikan masih berada dalam tahapan penelitian rintisan. Melihat potensinya yang sedemikian besar maka penelitian mengenai tepung ampas kecap sebagai salah satu bahan baku alternatif penyusun pakan ikan sebaiknya segera dilakukan secara intensif dan berkesinambungan, mengingat telah begitu tingginya harga pakan komersil dewasa ini sekaligus sebagai kontribusi positif terhadap masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh besarnya jumlah ampas kecap yang dihasilkan oleh industri kecap.

Hasil penelitian Intihayati (2007), menyebutkan bahwa substitusi protein bungkil kedelai dengan tepung ampas kecap ternyata memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap retensi protein dan energi pada ikan gurami (Osphronemus gouramy). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perbandingan TBK dan TAK untuk setiap perlakuan masing-masing adalah TAK/TBK = 100/0 (P0); 80/20 (P1); 60/40 (P2); 40/60 (P3); 20/80 (P4). Ikan yang digunakan dipelihara dalam 15 akuarium berdimensi 40 cm x 30 cm x 30 cm, padat tebar 10 ekor/akuarium, panjang ikan sekitar 5-7 cm dan bobot 4,66±0,27 g. Pakan diberikan 3 kali dalam sehari dan sampling dilakukan setiap 1 minggu.

Nilai retensi protein tertinggi terdapat pada perlakuan P1 dengan rata 15,21%; dan nilai rata-rata terendah pada perlakuan P3 sebesar 10,97%. Sedangkan rata-rata-rata-rata nilai retensi energi tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 55,44% dan terendah pada perlakuan P2 yaitu sebesar 36,05%. Kualitas air yang diukur selama penelitian diperoleh kisaran suhu sebesar 26,8°C-27,5°C, pH sekitar 7,3-7,6; dan BOD berkisar antara 5,6-5,8 mg/L. Substitusi TBK dengan TAK dalam ransum pakan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap retensi protein dan energi pada ikan gurami (Osphronemus gouramy) dan TAK dapat mensubstitusi TBK sampai level substitusi 80%.

Hasil penelitian Mandriani (2007), menyebutkan bahwa substitusi TBK dengan TAK ternyata memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap sintasan, laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan, dan rasio efisiensi protein pada ikan gurami (Osphronemus gouramy).

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perbandingan TBK dan TAK untuk setiap perlakuan masing-masing adalah TAK/TBK = 100/0 (P0); 80/ 20 (P1); 60/40 (P2); 40/60 (P3); 20/80 (P4). Ikan yang digunakan dipelihara dalam 15 akuarium berdimensi 40 cm x 30 cm x 30 cm, padat tebar 10 ekor/akuarium, panjang ikan sekitar 5-7 cm, dan bobot 4,66±0,27 g. Pakan diberikan 3 kali dalam sehari dan sampling dilakukan setiap 1 minggu.

Nilai tingkat sintasan menunjukkan kisaran yang relatif tinggi untuk tiap-tiap perlakuan yaitu 91,13%-100%. Sintasan yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu sebesar 100% dan sintasan terendah diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 91,13%. Laju pertumbuhan spesifik rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 yaitu menghasilkan rata-rata 1,94% dan pertumbuhan terendah terdapat pada perlakuan P0 dengan rata-rata 1,53%. Rasio konversi pakan tertinggi diperoleh pada perlakuan P0 dengan rata-rata 2,77% dan rasio konversi pakan terendah terdapat pada perlakuan P1 dengan rata-rata 2,18%. Rasio efisiensi protein nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu mencapai rata-rata 1,79% dan nilai terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu dengan rata-rata 1,32%. Kualitas air yang diukur selama penelitian diperoleh kisaran suhu sebesar 26,2°C-28,3°C, pH sebesar 7-7,5. DO berkisar antara 5,21-5,98 mg/L. Kesimpulan dari penelitian ini adalah substitusi TBK dengan TAK dalam ransum pakan ikan gurami (Osphronemus gouramy) tidak memberikan pengaruh yang

(5)

berbeda nyata terhadap sintasan, laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan, dan rasio efisiensi protein. Dari penelitian ini disarankan perlu adanya penelitian lanjutan mengenai optimalisasi pemberian pakan dan frekuensi pakan dengan pemanfaatan TAK sebagai pengganti TBK dalam ransum pakan ikan gurami (Osphronemus gouramy).

Penelitian Kartini (2007) melaporkan pengaruh TAK sebagai pengganti TBK untuk mengetahui dosis yang paling baik dari TAK supaya mendapatkan hasil yang maksimal pada daya cerna protein dan energi ikan gurami (Osprhonemus gouramy). Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan No-vember-Desember 2007, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah substitusi protein TBK dengan TAK dalam ransum pakan dengan perlakuan: P0 (100%/0%), P1 (80%/20%), P2 (60%/40%), P3 (40%/60%), dan P4 (20%/80%). Pemanfaatan TAK sebagai pengganti TBK dalam ransum pakan terhadap daya cerna protein dan energi pada ikan gurami (Osphronemus gouramy), tidak berpengaruh nyata terhadap daya cerna protein dengan rata-rata P0 (98,08); P1 (97,28); P2 (97,11); P3 (96,19); P4 (96,31). Begitu pula pada daya cerna energi ikan gurami tidak berpengaruh nyata dengan rata-rata P0 (96,94); P1 (95,60); P3 (95,27); dan P4 (95,08).

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pemanfaatan TAK sebagai pengganti TBK dalam ransum pakan terhadap daya cerna protein dan energi ikan gurami (Osphronemus gouramy) dapat dipergunakan sampai dengan 80%.

PENUTUP

Ampas kecap cukup potensial sebagai alternatif substitusi bungkil kedelai dalam formulasi pakan ikan, mengingat keberadaannya yang melimpah, kontinu, murah, dan mudah didapat sebagai buangan dari industri kecap. Dalam pemanfaatannya sebagai bahan pakan ikan, ampas kecap ditepungkan terlebih dahulu menjadi tepung ampas kecap. Selain itu, tepung ampas kecap memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi terutama protein kasar yakni sekitar 20%-27%. Kelemahan dari tepung ampas kecap adalah tingginya kandungan NaCl yang disebabkan oleh penggunaan larutan NaCl dalam proses pembuatan kecap. Namun hal ini dapat diatasi dengan perendaman ampas kecap dalam larutan CH3COOH. Mengingat potensi ampas kecap yang cukup besar sebagai pengganti bungkil kedelai dalam formulasi pakan, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mendapatkan alternatif bahan baku guna mengatasi masalah harga pakan ikan komersial yang terus meningkat, maka penelitian mendalam mengenai ampas kecap sebagai alternatif bahan baku pakan perlu dilakukan secepatnya secara intensif dan berkesinambungan.

DAFTAR ACUAN

Anonimous. 2009. Pakan Lokal Terserap 20%, 80% Masih Gunakan Produk Impor. http:// www.kompas.realviewusa.com

Anonimous. 2011. Ampas kecap/lumpur kecap. http://www.indonetwork.co.id. Diakses tanggal 13 Juli 2011.

Anonimous. 2011. Pakan Alami Budidaya Ikan Air Tawar. http://www.foragri.blogsome.com. Diakses tanggal 14 Juli 2011.

Adetama, D.S. 2011. Analisis Permintaan Kedelai. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 2.

Anonimous. 2011. Produksi Tanaman Kedelai Seluruh Provinsi, 2010. http://www.bps.go.id. Diakses tanggal 13 Juli 2011.

Anonimous. 2006. Produksi Perikanan Budidaya Capai 58 juta ton. http://www.bisnis.com/industri/ agroindustri/26277.Diakses tanggal 13 Juli 2011.

Cahyadi, R. 2000. Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap yang Diproses dengan Perendaman terhadap Konsumsi

Air Minum, Kadar Air, dan Kadar Protein Daging Karkas Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan,

Universitas Diponegoro. Semarang.

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005. Bahan Alternatif Pakan Dari Hasil Samping Industri Pangan. Jakarta. http://www.dkp.go.id. Akses tanggal 13 Juli 2011.

(6)

Intihayati, A. 2007. Substitusi Bungkil Kedelai Dengan Ampas Kecap dalam Ransum Pakan Terhadap

Retensi Protein Dan Energi pada Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Skripsi. Jurusan Perikanan.

Universitas Muhammadiyah Malang, 42 hlm.

Kartini. 2007. Pemanfaatan Ampas Kecap Sebagai Pengganti Bungkil Dalam Ransum Terhadap Daya

Cerna Protein Dan Energi Pada Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Skripsi. Jurusan Perikanan.

Universitas Muhammadiyah Malang, 47 hlm.

Kurniansyah, A., Nugraha, R., & Handoko, W.A. 2011. Fermentasi Limbah Kulit Buah Kakao sebagai Sumber Protein Alternatif dalam Pakan Ikan. Program Kreativitas Mahasiswa. IPB. Bogor.

Mandriani, F. 2007. Pemanfaatan Ampas Kecap sebagai Pengganti Bungkil Kedelai dalam Ransum

Pakan terhadap Kelulushidupan (survival rate) dan Pertumbuhan Ikan Gurami ( Osphronemus gouramy). Skripsi. Jurusan Perikanan. Universitas Muhammadiyah Malang, 38 hlm.

Minarti, T. 1992, Pengaruh Penggantian Bungkil Kedelai dengan Ampas Kecap dalam Ransum terhadap Performa dan Mortalitas Ayam Broiler Jantan. Karya ilmiah. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor. Mulyokusumo, S.E. 1947. Kecap. Penerbit Terate. Bandung.

Morina, B.S. 2004. Analisis Strategi Pemasaran Kecap Cap Banteng. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nugroho, A., Setiatin, E., Tabrani, T., & Surahmanto, H. 1998, Evaluasi Limbah Padat Kecap sebagai Pakan Ruminansia Berdasarkan Uji Degradasi Serat Terlarut dalam Asam. Pusat Penelitian Pengembangan Teknologi. Lembaga penelitian. Universitas Diponegoro. Semarang, hlm. 1. Purwoko, T. & Handajani, N.S. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis tanpa Fermentasi Moromi Hasil

Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Biodiversitas, 8(2): 223-227.

Rahayu, E.S., Indrati, R., Utami, T., Harmayanti, E., & Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. Food and Nutrition Culture Collection (FNCC). Pusat Antar Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Setiana, B. 1999. Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap dalam Ransum terhadap Berat Karkas, Berat Lemak Abdominal, dan Kadar Lemak Daging Karkas pada Ayam Pedaging. Fakultas Peternakan, Universitas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Siregar, S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sitorus, S. 1986. Pemberian Urea dan Ampas Kecap pada Domba yang Diberi Makan Jerami Padi dan Molase. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Sofyan, L.A., Aboenawan, L., Laconi, E.B., Djamil, A., Ramli, N., Ridla, M., & Lubis, A.D. 2000. Diktat Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

Sosroamidjojo, M.S. 1991. Ternak Potong dan Kerja. Yasaguna, Jakarta.

Suminar, A.R. 2000. Kecernaan Secara In Vitro Bahan Kering dan Bahan Organik Terolah pada Ampas Kecap

Terolah melalui Biofermentasi dengan Ragi Tempe (Rhizopus sp.). Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas

Gambar

Gambar  1. Ampas kecap
Tabel  1  menyajikan  perbandingan  hasil  analisis  proksimat  tepung  bungkil  kedelai  dan  tepung ampas kecap.

Referensi

Dokumen terkait

TAPM yang berjudul Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Masyarakat Dalam Pelayanan Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan 1MB Di Kabupaten Lampung Utara adalah hasil karya

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh parameter yang digunakan terhadap frekuensi tingkat pengelolaan ruas Jalan Nasional, mengetahui pengaruh Pusat Kegiatan

[r]

Sistem peradilan pidana adalah intitusi kolektif dimana seorang pelaku tindak pidana melalui suatu proses sampai tuntutan ditetapkan atau penjatuhan hukuman telah

( Glossopharyngeus ) saraf motorik dan sensorik keluar dari permukaan anterior medulla oblongata , antara oliva dan pedunculus cerebellaris inferior ,

Misi ke 4 : Meningkatkan pembangunan pelayanan perkotaan dengan pengembangan budaya daerah disertai dengan peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat

In that case, motive can be interpreted as strength inside indidual which encourages or become the force for someone to do something (Bimo Walgito, 2005: 240).

Selanjutnya diberi kode clan nomor contoh, ditanyakan jenis analisis yang diinginkan clan kapan hasil data analisis akan diambil/diperlukan.Kemudian staf teknisi bagian penerima