• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI MENURUT POLA PENDAPATAN DAN PENGELUARAN DI PERDESAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI MENURUT POLA PENDAPATAN DAN PENGELUARAN DI PERDESAAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008

ANALISA TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI

MENURUT POLA PENDAPATAN DAN

PENGELUARAN DI PERDESAAN

oleh Sugiarto

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN

(2)

ANALISA TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI MENURUT POLA PENDAPATAN DAN PENGELUARAN DI PERDESAAN

Sugiarto

Staf Peneliti Pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian

ABSTRAK

Setelah masa krisis berlalu, sektor pertanian telah berhasil lepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah dengan laju pertumbuhan PDB 1,83 persen pertahun, namun permasalahannya sekitar 21,1 juta jiwa penduduk yang bekerja disektor pertanian adalah penduduk miskin dan kurang sejahtera. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran besarnya tingkat pendapatan dari berbagai sumber matapencaharian, pengeluaran dan kesejahteraan bagi rumahtangga petani di agroekosistem lahan sawah dan lahan kering. Lokasi penelitian diambil 6 desa di daerah penelitian Panel Petani Nasional (Patanas) dengan jumlah responden 150 rumahtangga. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan rumahtangga petani lebih didominasi oleh pendapatan di sektor pertanian (53 %-81%) dibanding diluar sektor pertanian (19%-47%). Sedangkan tingkat kesejahteraan petani relatif masih rendah, dengan Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani < 1 (NTPRP = 0,6 - 0,9), kecuali di Desa Sumber Rejo pada agroekosistem lahan sawah yang lebih sejahtera dibanding desa lainnya dengan NTPRP > 1( NTPRP = 1,2). Hal ini berarti bahwa sebagian besar Rumah tangga petani mempunyai kemampuan mengalokasikan pendapatan terhadap total pengeluaran/ konsumsi yang berbeda. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan petani diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan melalui berbagai aspek yang menunjang peningkatan sektor pertanian dan non pertanian. Disamping itu diperlukan kebijakan harga komoditas pertanian yang layak diterima petani dengan pengembangan usaha pertanian yang berkelanjutan, serta didorong oleh iklim usaha di luar pertanian yang lebih kondusif, sehingga dapat diperoleh manfaat bagi rumahtangga petani sebagai penyedia tenaga kerja, aset lahan dan modal yang terbatas.

Kata Kunci : Pengeluaran, pendapatan dan kesejahteraan

PENDAHULUAN

Peran sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan pada saat krisis ekonomi yang lalu dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai, dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian, dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas. Walaupun dalam pertumbuhannya dari hasil penelitian Rusastra, I.W., et al (1997) ditemukan bahwa selama 10 tahun (1983-1993) peran sektor pertanian dalam struktur ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari 24,5 persen menjadi 18,3 persen. Namun demikian sektor pertanian masih merupakan “penampung” bagi pekerja di perdesaan. Hal ini ditunjukan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pwertanian masih cukup tingi. Ironisnya angka kemiskinan

(3)

dari total penduduk miskin 36 juta jiwa pada tahun 2004, diantaranya sekitar 21 juta jiwa atau 35 persen bekerja di sektor pertanian dan perdesaan.

Salah satu faktor besarnya angka kemiskinan seperti rendahnya pendapatan yang diterima sebagai akibat rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja dengan upah riil yang diterima juga rendah. Disamping itu kurang berkembangnnya kesempatan kerja dan rendahnya produktivitas kerja di sektor ekonomi pedesaan yang mengakibatkan mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah lambannya peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Jayasura,1996 ) atau mengalami stagnasi, sementara upah riil non tani mengalami penurunannya ( Erwidodo dkk, 1993).

Diharapkan berkembangnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di sektor luar pertanian merupakan alternatif kegiatan dan sumber pendapatan masyarakat pedesaan terutama bagi para petani berlahan sempit (small size land holding farmers) dan petani tanpa lahan (landless farmers). Akan tetapi pada kenyataannya, peran sektor pertanian masih cukup besar sebagai sumber pendapatan rumah tangga ( Rusastra, 1998). Walaupun dalam hasil analisis Sensus Pertanian 1983-1993 terjadi penurunan usaha pertanian, seperti di pulau Jawa turun dari 47,8 persen menjadi 40,7 persen, luar Jawa turun dari 61,7 persen menjadi 68,9 persen. Besarnya peran sektor pertanian sebagai pendapatan rumahtangga adalah merupakan akumulasi peran antar sub sektor, terutama sub sektor tanaman pangan dan hortikutura, yang mempunyai peran sangat besar dalam pendapatan rumahtangga, disamping diversivikasi pendapatan dari sub sektor perkebunan dan peternakan, kehutanan maupun usaha non pertanian.

Sementara itu, struktur pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah : perubahan pengeluaran menurut waktu, perbedaan antar selera, perbedaan pendapatan dan lingkungan. Perilaku pengeluaran rumah tangga yang tersedia harus sesuai dengan tingkat kemampuan pendapatan yang diperoleh dan bagimana mendistribusikannya, agar tidak terguncang untuk memenuhi kebutuhan dibawah tingkat kesejahteraan. Pada dasarnya akses kebutuhan rumahtangga terhadap pengeluaran bahan pangan dan bahan bukan makanan yang dibutuhkan sangat tergantung dari daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, proses distribusi, kelembagaan tingkat lokal, maupun kondisi sosial lainnya.

Pada umumnya konsumsi/pengeluaran rumahtangga berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan yang di pengaruhi oleh tingkat pendapatan, bisa terjadi

(4)

apabila tingkat pendapatan relatif rendah maka terlebih dahulu mementingkan kebutuhan pengeluaran akan memprioritaskan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dibanding bukan makanan. Namun demikian seiring dengan pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk bahan makanan akan menurun dan meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan non pangan. Seiring dengan kondisi tersebut akan terukur tingkat kesejahteraan masyarakat, apakah pendapatan rumahtangga yang diterima dari berbagai sumber matapencaharian mampu dibelanjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan atau kebutuhan pangan dan non pangan.

Oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran besarnya tingkat pendapatan dari berbagai sumber matapencaharian dan pengeluaran, serta kesejahteraan bagi rumahtangga petani didesa penelitian Panel Petani Nasional (Patanas). Disamping itu, memberikan masukan bagi penentu kebijakan tentang masalah pendapatan, pengeluaran dan kesejahteraan petani di perdesaan

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan kajian data PATANAS (Panel Petani Nasional) TA 2005 dengan mengambil beberapa tiga desa yang berbasis agroekosistem lahan sawah dan tiga desa yang berbasis agroekosistem lahan kering (Tabel 1). Desa pada agroekosistem lahan sawah, lebih didominasi tanaman padi, dan desa pada agroekosistem lahan kering tanaman ubikayu, jagung dan bawang putih.

Tabel 1. Lokasi Penelitian Patanas menurut Agro-ekosistem dan Komoditas Dominan

Propinsi Kabupaten Desa Komoditas Agroekosistem

1. Sulsel Sidrap Passeno Padi Lahan sawah

Jeneponto Rumbia Jagung Lahan kering

2. Jawa Timur Kediri Selosari Padi Lahan sawah

3. N.T.B Lombok Timur Karang Baru B. Putih Lahan kering 4. Lampung Lampung Tengah Sumber Rejo Padi Lahan sawah Lampung Tengah Komering Putih Ubikayu Lahan kering Sumber; Data Primer 2005.

Jumlah responden yang diambil dari masing-masing desa 25 rumahtangga, sehingga jumlah responden adalah 150 rumahtangga, terdiri 75 responden rumahtangga di pedesaan berbasis ekosotem lahan sawah dan 75 responden di perdesaan agro-ekosistem lahan kering.

(5)

Sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan rumahtangga petani didekati dengan konsep Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio indeks harga yang diterima dan indek harga yang dibayar petani. Menurut Simatupang, et al, 2007, bahwa penanda kesejahteraan yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian. Namun NTP tersebut baru merujuk rumahtangga petani tanaman bahan makanan dan perkebunan saja. Sedangkan rumahtangga petani bahan makanan dan perkebunan, pada umumnya juga memperoleh pendapatan dari usaha peternakan atau perikanan bahkan dari non pertanian.

Penanda kesejahteraan petani dengan NTP dapat didekati dengan bergabagi cara sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan penelitian, maka pananda tingkat kesejahteraan petani dengan konsep “Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani (NTPRP)”. Penanda tersebut adalah merupakan ukuran kemampuan rumahtangga petani didalam memenuhi kebutuhan subsistennya. Konsep kebutuhan subsisten disebut juga dengan Nilai Tukar Subsisten (Susistencs Term of

Trade). Sedangkan menurut konsep Biro Pusat Statististik yang diformulasikan sebagai

Nilai Tukar Subsisten (NTS) mendifinisikan bahwa nilai tukar pendapatan baru memasukan semua usaha pertanian, namun belum memasukan kegiatan berburuh tani dan sektor non pertanian yang cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumahtangga petani (Muchjidin, R. et al. 2000). Oleh karena itu menurut Muchjidin. R. et al 2000; Riyanto Basuki, et al 2001; Simatupang,et al 2007, bahwa konsep “Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Pedesaan (NTPRP)” didifinisikan merupakan nisbah antara pendapatan total rumahtangga dengan pengeluaran total rumahtangga. Pendapatan total rumahtangga pertanian merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani, nilai dari berburuh tani, nilai hasil produksi usaha non-pertanian, nilai dari berburuh non pertanian, dan lainnya (kiriman dan lain-lain). Sedangkan pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan pengeluaran untuk biaya produksi.

Secara matematis konsep Nilai Tukar Pendapatan Rumahangga Petani adalah sebagai berikut:

NTPRP = Y/E Y = Yp + YNP

(6)

Dimana :

NTPRP = Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Perdesaan Y = Pendapatan

E = Pengeluaran

Yp = Total pendapaan dari usaha pertanian

YNP = Total Pendapatan dari usaha non pertanian

Ep = Total pengeluaran untuk usaha pertaian

EK = Total pengeluaran untuk usaha non pertanian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Pendapatan Pendapatan Rumahtangga Petani

Struktur pendapatan pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu kelompok pendapatan disektor pertanian dan non pertanian. Sumber pendapatan disektor pertanian adalah merupakan kontribusi dari pendapatan usaha pertanian (usahatani sawah/tegal, kebun, pekarangan, usaha ternak) dan diluar usaha pertanian seperti berburuh tani. Sedangkan pendapatan di luar pertanian terdiri dari usaha non pertanian (dagang, industri, angkutan dan jasa), Pegawai Negeri/TNI, buruh non pertanian dan pendapatan dari sumber lain seperti sumbangan, penyewakan asset dan lainnya.

Pada Tabel 2, menunjukan bahwa di perdesaan pada kedua basis agroekosistim, rata-rata total pendapatan rumahtangga yang terendah adalah di desa Selosari (Rp 7.411 ribu/tahun) dan tertinggi di desa Sumber Rejo (Rp1.4605 ribu/tahun). Rendahnya pendapatan di desa Selosari, karena pendapatan yang bergantung pada usaha pertanian, terutama usahatani padi mengalami gangguan kekeringan yang mengakibatkan produksi padi relatif rendah. Didalam struktur pendapatan rumahtangga petani, secara keseluruhan dari kedua agroekosistem yang terbesar adalah pendapatan dari sektor pertanian (53%-81%) dibanding sektor non pertanian (19%-47%). Namun demikian secara parsial porsi pendapatan dari sektor pertanian di desa agroekosistem lahan sawah relatif lebih rendah (53%-69%) dibanding desa lahan kering (66%-81%). Hal ini menunjukan bahwa di perdesaan yang berbasis agroekosistem lahan kering, sumber pendapatan disektor pertanian lebih dominan dibanding pedesaan yang berbasis agroekosistem lahan sawah. Besarnya pendapatan di sektor pertanian di perdesaan agroekosistem lahan sawah, berasal dari kontribusi pendapatan usaha pertanian seperti

(7)

usaha sawah/tegal dengan basis usahatani tanaman padi, ternak, kolam serta kegiatan berburuh tani. Berbeda halnya di desa lahan kering, kontribusi pendapatan pertanian berasal dari usahatani dengan berbagai komoditas seperti ubikayu, jagung dan kentang disamping pendapatan buruh tani dan ternak

Sementara itu, besarnya kontribusi pendapatan di sektor pertanian (53%-69%) terhadap total pendapatan rumah tangga pada agroekosistem lahan sawah yang berbasis tanaman padi masih relatif sama dari rata-rata kontribusi pendapatan dari berbagai hasil penelitian yang berkisar antara 65 persen hingga 50 persen dan pendapatan diluar sektor pertanian antara 35 persen hingga 50 persen (Rusastra, 1998; Adyana, et al, 1999; Nurmanaf. RA. et al 2005; Muchjidin.R. et al, 1997; Kasryno, 2000). Lebih lanjut bila dibandingkan antar desa, menunjukan bahwa desa Karang Baru, kontribusi pendapatan disektor pertanian lebih tinggi dibanding desa lainnya. Hal ini disebabkan ada beberapa hal, diantaranya adalah : (1) desa Karang Baru sebagai daerah sentra produksi Bawang Putih kurang mampu menyediakan kesempatan kerja sepanjang tahun, (2) peluang berusaha dan bekerja di sektor pertanian belum berkembang kearah agroindustri; dan (3) kesempatan kerja sektor pertanian belum berkembang.

Selanjutnya kontribusi pendapatan di luar sektor pertanian yang terbesar adalah usaha dagang kemudian berburuh non pertanian, pegawai dan pendapatan lainnya (sumbangan/kiriman). Hal ini berarti bahwa telah terjadi diversifikasi peluang kerja di luar sektor pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan baik itu dilakukan didalam desa atau diluar desa dengan bermigrasi seperti anggota rumahtangga yang bermigrasi sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

(8)

Tabel 2. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani menurut Sumber Pendapatan dan Agro-ekosistem di Pedesaan Penelitian Patanas, 2005.

Sumber Pendapatan Lahan Sawah Lahan Kering

Rumahtangga Petani Sumberejo Selosari Paseno Rumbia Kom. Putih Kr.Baru

I. Pertanian 53.83 66.18 69.7 66.4 74.6 81.70 1. Usaha Pertanian 49.45 64.05 69.5 65.6 72.7 76.57 a. Usahatani Sawah/Tegal 39.03 50.72 67.5 35.2 69.6 76.13 b. Usahatani Kebun/Pek 0.00 2.51 0.9 25.4 1.0 0.18 c. Usahatani Ternak 10.42 10.82 1.1 5.1 2.1 0.26 2. Berburuh Tani 4.39 2.13 0.2 0.8 1.9 5.12

II. Non Pertanian 46.17 33.82 30.3 33.6 25.4 18.30

1. Usaha Non Pertanian 5.66 15.54 9.8 19.9 4.7 8.73

a. Usaha Dagang 4.96 13.30 2.1 17.6 4.2 6.58

b. Usaha Industri 0.00 0.00 1.4 1.1 0.0 0.75

c. Usaha Jasa 0.70 2.24 0.7 1.3 0.5 0.00

d. Usaha Angkutan 0.00 0.00 5.5 0.0 0.0 1.12

e. Usaha Lainnya 0.00 0.00 0.0 0.0 0.0 0.28

2. Berburuh Non Pertanian 2.22 7.77 5.4 6.4 8.8 2.80

3. Pegawai Negeri/TNI 1.02 5.38 3.5 3.1 6.7 1.40

4. Pendapatan Lainnya 37.27 5.12 11.6 4.1 5.1 5.37

III. Total ( Rp 000) 14605.3 7411.5 13304.4 10794.1 8028.9 8564.3

Sumber : Data Primer, 2005.

Pola Pengeluaran Rumahtangga di Perdesaan

a. Pengeluaran Konsumsi Makanan

Pada Tabel 3, menunjukan bahwa nilai total pengeluaran dari masing-masing desa pada kedua basis agroekositem sangat bervariasi. Pada basis agroekosistem lahan sawah, desa Sumberejo dan desa Komering Putih pada basis lahan kering, total nilai pengeluaran untuk makanan lebih besar dari pada desa lainnya. Namun demikian bila dilihat proporsi pengeluaran dari seluruh konsumsi makanan untuk semua desa lebih banyak didominasi oleh pengeluaran yang bersumber dari konsumsi karbohidrat (beras dan non beras) 25 persen hingga 35 persen dari seluruh total pengeluaran makanan. Sementara itu pengeluaran konsumsi protein yang bersumber dari protein hewani (daging, ikan, susu, telur) dan nabati (tahu, tempe) berkisar 17 persen hingga 20 persen serta sumber mineral dan vitamin yang berasal dari sayuran dan buah berkisar 6 persen hingga 12 persen. Sedangkan pemenuhan kebutuhan konsumsi lainnya terdiversifikasi pada berbagai jenis makanan yang lain dengan porsi dibawah 10 persen dari total pengeluaran rumahtangga.

Dilain pihak proporsi konsumsi tembakau di pedesaan lahan kering 10 persen lebih tinggi dibanding perdesaan lahan sawah. Hal ini berarti bahwa terjadi pemborosan pola pengeluaran yang dianggap kurang memenuhi kebutuhan konsumsi pokok.

(9)

Sementara itu sebagian besar rumahtangga lebih mengutamakan kebutuhan konsumsi karbohidrat yang bersumber dari beras dan non beras sebagai komponen konsumsi terbesar diantara komponen konsumsi lainnya.

Tabel 3. Proporsi Pola Pengeluaran Konsumsi Makanan Rumatangga Petani di Perdesaan Berbasis Agroekosistem Lahan sawah dan Kering, 2005.

(Persen) Jenis Konsumsi Lahan Sawah Lahan Kering

Makanan Sumberejo Selosari Passeno Rumbia Kom. Putih Kr.Baru

A. Sumbr Karbohidrat 28.4 29 25.1 35.9 32.6 36.6 1. Beras 23.8 25.7 21.9 24.7 28.1 31.7 2. Non beras 4.6 3.3 3.2 11.2 4.5 4.9 B. Pangan Hewani 19.4 12.1 24.3 20 15.1 19.3 1. Daging + IKan 13.1 7.2 18.7 17.3 11.1 16.5 2. Telur + Susu 6.3 4.9 5.4 2.7 4.0 2.8 C. Kacang2an 7.3 10.5 2.7 1.7 8.0 5.9 Tahu +Tempe+lainnya 7.3 10.5 2.7 1.7 8.0 5.9 D. Sayuran +Buah 12.3 8.0 8.8 5.9 7.2 7.0

E. Minyak dan lemak 4.8 5.8 5.6 3.5 4.0 5.6

G. Bahan Minumnan 8.8 10.8 8.3 8.4 8.7 8.7 Gula putih+the+kopi 8.8 10.8 8.3 8.4 8.7 8.7 H. Bumbu-bumbu 6.3 7.0 7.5 3.7 5.2 6.6 J. Tembakau/rokok 5.3 9.1 9.3 16.0 13.8 9.3 K. Konsumsi lainnya 7.4 7.7 8.4 4.9 5.4 1.0 1. Makanan jadi 1.1 0.6 0.9 0.5 0.3 0.8 2. Minuman Jadi 6.3 7.0 7.5 3.7 5.1 0.2 3. Lainnya 0 0.1 0 0.7 0 0 Total (Rp 0000 4868.8 4201.4 4356.6 4 149.1 5 038,0 3715.3

Sumber: Data Primer 2005.

b. Pengeluaran Bukan Makanan

Komposisi pengeluaran bahan non makanan dikelompokan menjadi 6, diantaranya adalah pengeluaran untuk pendidikan, komonikasi dan telekomunikasi serta transportasi, pengeluaran kesehatan, sandang, sosial dan pengeluaran lainnya. Pengeluaran total bukan makanan di desa agroekosistem lahan sawah lebih besar dibanding desa agroekosistem lahan keriang. Namun demikian secara parsial, masing-masing komposisi pengeluaran bukan makanan berbeda. Seperti pengelauran untuk pendidikan, di desa agroekosistem lahan kering proporsinya lebih tinggi dibanding di desa agroekosistem lahan basah. Hal ini berarti bahwa kesadaran masyarakat terhadap pendidikan sangat penting, karena didorong oleh tersedianya dan kemudahan fasilitas pendidikan dan kesehatan guna mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun dengan kosekuensi harus menambah biaya pendidikan dibanding untuk memenuhi kebutuhan non makanan lainnya.

(10)

Pengeluara telekomunikasi, dan transportasi berkisar 17 persen hingga 21 persen, kecuali di desa Karang Baru (2,7%). Besarnya proporsi pengeluaran transportasi dan telekomunikasi hal ini disebabkan karena aktivitas sehari-hari yang mengeluarkan biaya perjalanan, serta pemanfaatan sarana komunikasi seperti telpon genggam (hand phone) dan telepon rumah untuk berkomunikasi dengan komunitasnya. Sementara pengeluaran yang tak terduga seperti pengeluaran kegiatan sosial yang selalu membebani rumah tangga selalu dikeluarkan dengan porsi lebih besar dibanding porsi kebutuhan sandang. Besarnya pengeluaran ini, dianggap oleh sebagian besar masyarakat untuk menjaga kesinambungan hubungan kekerabatan dan komunitasnya.

Besarnya proporsi pengeluaran bahan bukan makanan dari masing-masing desa maupun pada agroekosistem yang berbeda, hal ini menunjukan bahwa masing-masing rumahtangga mempunyai persepsi dan partisipasi yang berbeda terhadap pemenuhan konsumsi non makanan.

Tabel 4. Proporsi Pola Pengeluaran Bukan Makanan Rumatangga Petani di Perdesaan Berbasis Agroekosistem Lahan sawah dan Kering, 2005. (Persen)

Bukan Lahan Sawah Lahan Kering

Bahan Makan Sumberejo Selosari Paseno Rumbia K. Putih Kr.Baru A. Perawatan Kesehatan 12.9 12.8 14.5 16.1 13.8 18.0 B. Pendidikan 20.7 15.7 16.0 26.7 31.4 36.8 C. Sandang 9.5 11.1 11.1 16.0 10.6 25.1 D. Sosial 16.4 16.4 20.8 17.0 21.2 6.6 E. Komunikasi dan Transportasi 17.5 19.4 20.1 19.9 20.4 2.7 F. Lainnya 23.0 24.6 17.5 4.3 2.6 10.8 Total (Rp 000) 3 806.2 4 139.8 3 400.2 2 492.6 3 132.3 2829.2

Sumber: Data Primer 2005.

c. Pengeluaran Bahan Bakar

Diantara pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi bahan bakar, total nilai rata-rata yang tertinggi adalah di pedesaan agroekosistem lahan sawah terutama di desa Selosari dan desa Passeno dan yang terendah di desa Rimbia. Proporsi pengeluaran bahan bakar yang terbesar adalah pengeluaran listrik untuk penerangan (40%-60%), kecuali di desa Selosari. Pengeluaran bahan bakar kedua yang terbesar adalah minyak tanah (19%-23%), kecuali didesa Selosari (10,3%). Sedangkan di desa Selosari proporsi pengeluaran bahan bakar yang terbesar adalah bensin/solar (50%) dibanding pengeluaran bahan bakar lainnya.. Pengeluaran bensin/solar, dianggap sebagai

(11)

kebutuhan sehari-hari untuk melakukan berbagai aktivitas baik untuk kebutuhan ekonomi maupun non ekonomi. Sementara itu kebutuhan bahan bakar seperti minyak tanah untuk keperluan dapur atau penerangan sudah terdiversifikasi dengan penggunaan bahan bakar berupa gas (elpiji), disamping masih ada sebagian kecil rumahtangga yang menggunakan kayu bakar. Penggunaan bahan bakar elpiji yang terbesar didominasi desa Paseno (20%) dibanding desa lainnya yang lebih mengutamakan bahan bakar minyak untuk kebutuhan rumahtangga sehari-hari.

Tabel 5. Proporsi Pola Pengeluaran Bahan Bakar Rumatangga Petani di Perdesaan Berbasis Agroekosistem Lahan Sawah dan Kering, 2005. (Persen)

Jenis Bahan Lahan Sawah Lahan Kering

Bakar Sumberejo Selosari Paseno Rumbia Kom. Putih Kr. Baru Minyak Tanah 23.4 10.3 19.1 21.4 25.5 19.6 Listrik 64.2 31.5 41.1 54.2 61.4 47.7 Bensin/Solar 12.4 55.9 19.1 23.2 12.2 6.5 Kayu Bakar 0.0 0.1 0.2 0.0 0.0 26.2 Gas/Elpiji 0.0 2.1 20.5 1.2 0.8 0.0 Total (Rp 000) 793.3 1 136.8 1 054.2 361.3 596.2 689.2 Sumber: Data Primer 2005

Total Pengeluaran Rumahtangga

Ada tiga komponen total pengeluaran rumahtangga petani terhadap kebutuhan konsumsi, yaitu kebutuhan konsumsi untuk memenuhi bahan makanan, bukan makanan dan bahan bakar. Pada Tabel 6, menunjukan bahwa proporsi total pengeluaran rumahtangga di desa berbasis agroekosistem lahan rata-rata total pengeluaran rumahtangga berkisar Rp 8.8 juta hingga Rp 9.4 juta pertahun lebih besar dibanding total pengeluaran rumahtangga di desa berbasis agroekosistem lahan kering antara Rp7 juta hingga Rp 8,7 juta. Total pengeluaran rumahtangga dari semua desa pada umumnya lebih didominasi pengeluaran untuk konsumsi makanan dibanding non makanan dan bahan bakar. Hal ini menunjukan bahwa rumahtangga petani dari masing-masing basis agroekosistem berorientasi untuk menyeimbangkan konsumsi makanan dan non makanan maunpu bahan bakar sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

Sementara itu, proporsi total pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi makanan di pedesaan lahan kering, proporsinya lebih tinggi dibanding desa lahan sawah. Sebaliknya proporsi pengeluaran konsumsi bukan makanan dan bahan bakar lebih tinggi dibanding desa lahan kering. Atau dengan perkataan lain bahwa rumahtangga di pedesaan agroekosistem lahan sawah sudah berorientasi pada kebutuhan konsumsi non makanan dan bahan bakar dibanding desa pada agroekosistem

(12)

lahan kering yang masih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bahan makanan.

Tabel 6. Proporsi Pola Pengeluaran Bahan Bakar Rumatangga Petani di Perdesaan Berbasis Agroekosistem Lahan Sawah dan Kering, 2005. (Persen)

Kelompok Lahan Sawah Lahan Kering

Konsumsi Sumberejo Selosari Passeno Rumbia Kom. Putih Kr. Baru 1. Bahan makanan 51.4 44.5 49.4 59.2 57.5 51.4 2. Non makanan 40.2 43.8 38.6 35.6 35.7 39.1

3. Energi 8.4 11.7 12.0 5.2 6.8 9.5

Total (Rp 000) 9 467.5 9 448.0 8 811.2 7003.0 8 766.5 7233.7 Sumber: Data Primer 2005

Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani

Dengan tolok ukur Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani (NTPRP)sebagai penanda tingkat kesehteraan yang merupakan nisbah antara pendapatan dan pengeluaran, maka dapat terukur besarnya tingkat kesejahteraan petani selama melakukan aktivitasnya. Pada Tabel 7, memperlihatkan NTPRP terhadap total pengeluaran baik itu di pedesaan agroekosistem lahan sawah dan lahan kering bervariasi. NTPRP diperdesaan pada agroekosistem lahan sawah irigasi dan lahan kering lebih kecil dari satu (NTPRP = 0,6-0,9), kecuali di desa Sumber Rejo (NTPRP > 1). Hal ini berarti bahwa rumahtangga petani di kedua basis agroekosistem belum menunjukan tingkat kesejahteraan, kecuali di desa Sumber Rejo. Indikasi ini disebabkan karena besarnya total pengeluaran konsumsi (pangan dan non pangan) yang lebih berpengaruh terhadap besarnya total pendapatan dibanding komponen pembentukan NTPRP lainnya.

Besarnya NTPRP dari masing-masing desa terhadap total konsumsi nilainya lebih kecil (NTPRP = 0,7-1,5) dibanding nilai NTPRP terhadap total biaya produksi (NTPRP = 2.1-5.4). Keadaan ini menunjukan bahwa untuk memenuhi tingkat kesejahteraan rumahtangga petani di kedua basis agroekosistem relative lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dibanding kebutuhan usahanya. Namun demikian diantara pengeluaran untuk kansumsi baik makanan dan non makanan, besarnya NTPRP relative seimbang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar rumahtangga di pedesaan pada kedua agroekosistem tersebut, berusaha menyeimbangkan besarnya pengeluaran dari kedua komponen konsumsi terhadap besarnya pendapatan yang mereka peroleh.

(13)

Tabel 7. Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani di Perdesaan Berbasis Agroekosistem Lahan Sawah dan Kering, 2005.

Uraian Lahan Sawah Lahan Kering

Sumberejo Selosari Paseno Rumbia K. Putih Kr. Baru

A. Pendapatan (Rp 000) 14605.3 7411.5 13304.4 10794.1 8029,0 8564.3

I. Pendapatan Pertanian 7862.7 4905.1 9276.9 7170.1 5991.1 6996.7 1. Usaha Pertanian 7221.7 4747.2 9248.9 7082.9 5836.0 6557.9 2. Berburuh Tani 641.0 157.9 28.0 87.2 155.0 438.8

II.Pendapatan NP (Rp 000) 6742.6 2506.4 4027.5 3624.0 2037.9 1567.6

1. Usaha Non Pertanian 826.0 1152.0 1303.2 2152.0 377.6 747.6 2. Berburuh Non Pertanian 324.0 576.0 711.8 686.0 708.4 240.0 3. Lain-lain 5592.6 778.4 2012.5 786.0 951.9 580.0 B. Biaya Produksi (Rp 000) 2696.5 2650.9 4821.0 4283.5 3126.7 4070.8 I. Pertanian 2695.0 2406.5 3470.0 3170.4 3111.7 3434.5 2. Non Pertanian 1.5 244.4 1350.9 1113.1 15.0 636.3 C. Konsumsi (Rp 000) 9467.5 9476.8 8811.0 7003.0 8766.5 7233.7 I. Pangan 4868.0 4201.0 4356.6 4149.1 5038.0 3715.3 2. Non Pangan 4599.5 5275.8 4454.4 2853.9 3728.5 3518.4 D. Tot Pengeluaran 12164.0 12127.7 13632 11286.5 11893.2 11337.5 (B+C) (Rp 000) E. Nilai Tukar Pendapatan

1. Terhadap Total Pengeluaran 1.2 0.61 0.97 0.95 0.67 0.75 2. Terhadap Biaya Produksi 5.4 2.79 2.7 2.5 2.5 2.1 3. Terhadap Konsumsi Pangan 3.0 1.76 3.0 2.6 1.6 2.3 4. Terhadap Konsumsi NP 3.1 1.4 2.9 3.7 2.1 2.4 5. Terhadap Total Konsumsi 1.5 0.78 1.5 1.5 0.91 1.2 Sumber : Data Primer 2005

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari aspek pendapatan rumahtangga, pendapatan di sektor pertanian yang terbesar pada umumnya dari usaha pertanian (pertanian tanaman pangan dan hortikultura) dibanding pendapatan non pertanian (usaha non pertanian dan dagang). Hal ini berarti sebagian besar rumahtangga petani untuk memperoleh pendapatan masih berorientasi pada land base sebagai sumber matapencaharian.

Dilihat dari aspek pengeluaran, jenis komoditas bahan makanan lebih besar dalam anggaran pengeluaran rumahatangga dibanding bahan bukan makanan. Komoditas bahan makanan pokok seperti beras masih mendapat porsi yang lebih besar diantara kelompok pengeluaran bahan makanan. Namun demikian pada kondisi dimana pendapatan semakin tinggi, akan terjadi pergeseran konsumsi beras yang cenderung menurun dan digantikan oleh komoditas yang mengandung karbohidrat lainnya atau

(14)

protein, mineral dan vitamin. Pengeluaran konsumsi bukan makanan, memeperlihatkan bahwa untuk pendidikan relatif lebih besar dari pengeluaran non makanan lainnya.

Di Pedesaan berbasis lahan sawah dan kering diperoleh Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani (NTPRP) kurang dari 1 (NTPRP = 0,6-0,9). Artinya bahwa kesejahteraan sebagian besar di pedesaan kedua agroekosistem belum tercapai. Rendahnya NTPRP sangat dipengaruhi oleh rendahnaya pendapatan yang diperoleh dibanding total pengeluaran yang terdiri total pengeluaran konsumsi (pangan, non pangan dan energi) dan biaya produksi (usaha pertanian dan non pertanian).

Sebagai saran kebijakan didalam meningkatkan NTPRP dapat dilakukan dengan peningkatan harga jual komoditas yang layak diterima petani, meningkatkan skala usaha pertanian yang berkelanjutan dan menghilangkan kendala penerapan teknologi, seperti pengendalian harga sarana produksi dan meminimalkan pengaruh external untuk menghindari resiko, serta mendorong iklim usaha di luar pertanian yang lebih kondusif bagi rumahtangga petani sebagai penyedia tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., Sumaryanto, M. Rachmat, R. Kustiari, S.H. Susilowati, Supriati, E. Suryani and Suprapto. 2000. Assesing the Rural Development Impact of the Crisis in Indonesia. CASER, Bogor, Indonesia and The Wold Bank Washington, D.C. Erwidodo, M. Sukur, B. Rachman, G.S. Hardono. 1993. Evaluasi Perkembangan

Tingkat Upah di Sektor Pertanian. Monograph. Pusat Penelitiian Sosialk Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kasryno, F. 2000. Membangun Kembali Sektor Perrtanian dan Kehutanan. Makalah Seminar Nasional “ Prespective Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 ke Depan. Bogor 9-10 Nopember 2000.

Manning, C. 1992. Survey of Recent Development. Bulletin of Economic Studies. 28(1). Indonesian Project. The Australian National University.

Manning. C and J. Suriya. 1996. Survey of Recent development. Bullein of Indonesian Economic Studies. 32(1). Indonsian Project. The Australian National University. Nurmanaf, A.R, A. Djulin, Sugiarto, A.K. Zakaria,. N.K, Agustina, J. F. Sinuraya, 2005.

Dinamika Sosial Ekonomi Rumahtangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisa Profitabilitas Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Rachmat. M, Supriyati. D. Hidayat, J. Situmorang. 2000. Perumusan Kebijakan Nilai Tukar Pertanian dan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

(15)

Rusastra. I,W., G.S. Budhi, S. Bachri, K.M. Noelman. MSM. Tambunan, Sunarsih dan T, Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Laboran Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Soial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Rusastra. I W et al. 1998. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan: Dinamika Adopsi Teknologi: Pola Usahatani dan Produktivitas Tenaga Kerja di Pedesaan: Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Soial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Simatupang, P, M. Maulana, 2007. Kaji Ulang Konsep Nilai Tukar Petani Tahun 2003-2006. Makalah Seminar pada Pusat Analisis Dan Kebijakan Pertanian, Oktober 2006. Bogor.

Speare Jr,A and J. Harris. 1996. Education, Farmings and Migration in Indonesia. Ecinomic Development and Culture Change 34 (2). The University of Chichago Press. Illionis.

Gambar

Tabel 1. Lokasi Penelitian Patanas menurut Agro-ekosistem dan Komoditas Dominan
Tabel 2. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani menurut Sumber Pendapatan dan  Agro-ekosistem di Pedesaan Penelitian Patanas, 2005.
Tabel  3.  Proporsi  Pola  Pengeluaran  Konsumsi  Makanan  Rumatangga  Petani  di  Perdesaan  Berbasis Agroekosistem Lahan sawah dan Kering, 2005.
Tabel 4. Proporsi Pola Pengeluaran Bukan Makanan Rumatangga Petani di Perdesaan Berbasis
+4

Referensi

Dokumen terkait

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dikelas, tidak hanya tergantung dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) proses kerjasama BKK dengan industri dapat dilakukan dengan melalui jalur ―pendekatan‖ dan ―seleksi‖, (2) partisipasi

Aturan yang dipakai adalah, bahwa suatu batuan akan tersingkap sebagai titik, dimana titik tersebut merupakan perpotongan antara ketinggian (dalam hal ini dapat

Modal kerja dan rasio leverage mempunyai peranan penting dalam pembentukan rentabilitas, karena dengan adanya pengelolaan modal kerja yang efektif dan manajemen hutang yang baik

Berdasarkan tabel 3 distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang breast care pada ibu hamil di BPS Kusni Sri Mawarti Dlingo Bantul Yogyakarta tahun 2015 dapat diketahui

Terdapat korelasi positif namun tidak bermakna antara status gizi berdasarkan indeks massa tubuh dengan derajat nyeri sendi pada osteoartritis lutut.. Adanya kecenderungan

Alim Setiawan Slamet, S.TP, M.Si, mengatakan bahwa mahasiswa yang mengikuti program dari perusahaan dapat menambah pengalaman dan soft skill sehingga setelah lulus nanti tidak

Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik (UU no 14