• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

18 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Pada sub bab ini akan menjelaskan mengenai studi terdahulu, yang mana berisikan mengenai hasil dari penelitian yang terdahulu, fokus penelitian sejenis dan pembeda dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti. Selain itu, hasil dari penelitian terdahulu juga akan dijadikan sebagai bahan acuan oleh peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis memasukan beberapa jurnal yang menjadi referensi dimana jurnal-jurnal tersebut bersangkutan dengan implementasi kebijakan sekolah inklusif secara umum.

Penelitian terdahulu yang pertama ditulis oleh Ika Devy Pramudiana yang berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif untuk ABK di Surabaya. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa sekolah merupakan lingkungan yang berperan penting terhadap perubahan siswa berkebutuhan khusus, siswa berkebutuhan khusus sangat memerlukan dukungan dari semua pihak. Peran orang tua, sekolah khusus, SLB, dan pemerintah masih sangat minim. Fasilitas sekolah seperti fasilitas dan infrastruktur juga sangat terbatas. Partisipasi orang tua juga merupakan salah satu kunci keberhasilan didalam pendidikan inklusi. Ada beberapa kecenderungan yang terjadi dalam implementasi pendidikan inklusif di Surabaya, diantaranya ada protes dalam kenaikan kelas ABK, sementara anak-anak yang normal tidak naik kelas, dan tidak tersedianya guru pendamping khusus. Selanjutnya hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif ada berberapa jenis, diantaranya adalah hambatan

(2)

19

yang sifatnya praktis sebagai contoh kondisi geografis, fasilitas dan infrastruktur, dan juga kondisi keuangan. (Pramudiana, 2017).

Penelitian terdahulu yang kedua ditulis oleh Sasadara Wahyu Lukitasari, Bambang Suteng Sulasmono, dan Ade Iriani yang berjudul Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai implementasi kebijakan program inklusi di Salatiga dianggap baik, yaitu mencapaian 65%. Komunikasi adalah salah satu aspek terlemah, yang ditandai dengan kurangnya komunikasi antara pelaksana kebijakan dan kelompok sasaran, dan juga kurangnya informasi yang diterima. Struktur birokrasi yang ada kurang baik dapat dilihat dalam adanya panduan (SOP) dari Pemerintah Pusat tetapi masih ada fragmentasi dalam struktur birokrasi ketika Kementerian Agama dan SLB belum terlibat secara aktif dalam program inklusif. Salah satu penilaian yang baik ditemukan dalam sumber daya, dapat dilihat dari guru pendamping khusus yang sudah melampaui standar yang ditentukan, SDM memiliki latar belakang PLB atau yang telah mendapatkan pelatihan khusus (Lukitasari et al., 2017).

Penelitian terdahulu yang ketiga ditulis oleh Tryas Wardani Nurwan yang berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif di SD Negeri 33 Payakumbuh terlaksana dengan baik. Keberadaannya mampu memberikan alternatif layanan kepada siswa inklusif karena didukung oleh jumlah guru yang sesuai dan suasana pembelajaran yang saling mendukung. Dengan menggunakan teori Edward III dapat disimpulkan sebagai berikut: dari segi komunikasi, pelaksanaan sekolah inklusif di SD Negeri 33 Payakumbuh dapat dikatakan berjalan dengan baik. Guru dan siswa mampu menciptakan suasana

(3)

20

yang setara disekolah dan hal ini berdampak positif terhadap perkembangan siswa inklusi dan siswa reguler mampu menerima keadaan siswa inklusif tanpa adanya perbedaan perlakuan. Komunikasi antar birokrasi dapat disimpulkan masih terkendala. Ditinjau dari segi sumberdaya manusia, GPK di SD Negeri 33 Payakumbuh sesuai dengan kebutuhan dan jumlah siswa walaupun dari segi sumberdaya finansial kurang mendukung penyelenggaraan sekolah inklusif (Nurwan, 2019).

Penelitian terdahulu yang keempat ditulis oleh Betty Karya yang berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif Pada SDN 9 Palangka Di Kota Palangka Raya. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusif di SDN 9 Palangka, belum terlaksana dengan baik. Sumber daya merupakan aspek yang tidak memadai, yaitu fasilitas dan infrastruktur dan jumlah guru pembimbing khusus yang masih kekurangan untuk menangani siswa dengan kebutuhan khusus. Penerimaan siswa dengan kebutuhan khusus sangat baik, namum aspek pemberian insentif yang masih tidak memadai baik dalam insentif untuk guru maupun untuk sekolah. Mengingat bahwa struktur birokrasi masih tidak memadai, hal ini tampak dari belum adanya tim khusus yang menangani siswa dengan kebutuhan khusus, seperti: guru pembimbing khusus, para ahli dari berbagai disiplin ilmu (Karya, 2018).

Penelitian terdahulu yang terakhir ditulis oleh Barsihanor dan Desy Anindia Rosyida yang berjudul Implementasi Pendidikan Inklusi Pada Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Firdaus Banjarmasin. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa setiap guru wajib membuat RPP, RPP itu nanti yang akan digunakan di dalam kelas inklusi yang sudah dimodifikasi dengan penyesuaian ABK nya. Kelas

(4)

21

inklusi juga memiliki Program Pembelajaran Individual (PPI). PPI sendiri merupakan buatan dari GPK, PPI adalah program khsusus yang ada untuk ABK. PPI tersebut merupakan jam tambahan pembelajaran di luar kelas, proses ini dilakukan dengan menyediakan tempat khusus. Pola pembelajaran di kelas inklusi terdiri dari tiga kegiatan. Pertama, dalam pembelajaran tahfidz ABK langsung di bawah bimbingan pendamping dalam waktu kurang lebih satu jam. Kedua, dalam pembelajar di kelas, siswa ABK bersama-sama dengan siswa yang lain. Ketiga, ABK dikumpulkan di sebuah ruangan dan dibimbing oleh guru pendamping khusus yang kompeten untuk memberikan pembelajaran khusus kepada ABK (Barsihanor & Anindia Rosyida, 2019).

2.2 Kajian Pustaka/Teori

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah salah satu proses kebijakan publik. Salah satu model implementasi kebijakan yang dapat dijadikan praktik dalam administrasi pemerintahan, model yang dikemukakan oleh Merille S. Grindle di Wahab menjelaskan bahwa implementasi adalah aspek penting dari semua kebijakan (Wahab, 2012). Selain itu, menurut Nugroho, gagasan dasar implementasi kebijakan menurut Grindle adalah setelah kebijakan melalui proses transformasi, implementasi kebijakan dilakukan (Nugroho, 2014). Grindle di winarno menyatakan bahwa, secara umum tugas implementasi adalah membentuk koneksi yang memfasilitasi tujuan kebijakan dapat dilaksanakan sebagai hasil dari kegiatan pemerintahan (Winarno, 2008). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah proses

(5)

22

yang dilakukan setelah kebijakan dirumuskan. Implementasi kebijakan adalah upaya untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan yang dijalankan dan terkait dengan dampak yang muncul dari kebijakan itu sendiri.

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle

Grindle memperkenalkan model implementasi kebijakannya sebagai proses politik dan administrasi. Model ini menggambarkan suatu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak yang berkentingan, di mana hasil akhirnya akan ditentukan oleh materi program atau melalui interaksi pembuat keputusan dalam konteks administrasi. Proses politik dapat dilihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan beberapa aktor, sedangkan dalam administrasi dapat terlihat dalam proses umum tindakan administratif yang dapat dilihat pada tingkat program (Feis, 2009). Tujuan dari implementasi kebijakan dirumuskan kedalam suatu program atau proyek yang dirancang dan dibiayai. Dapat dikatakan bahwa implementasi memberikan pemahaman yang terpisah karena melibatkkan beberapa aspek dalam kebijakan yaitu implementator, penerima manfaat dari implementasi, konflik yang dapat terjadi antara para aktor implementasi dan sumber daya implementasi yang diperlukan (Wanto & Syahbana, 2017). Model implementasi menurut Grindle juga lengkap, karena tidak hanya berfokus pada aspek birokrasi sebagai pelaksana, tetapi juga berfokus kepada kelompok sasaran (Dr. Sahya Anggara, 2014).

Selain itu, menurut Grindle dalam teori implementasi kebijakan, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan dapat dilihat dalam

(6)

23

proses mencapai hasil akhir (outcomes), yang dicapai atau tidak (Agustino, 2008). Dilihat dalam prosesnya, mengacu pada apakah implementasi kebijakan sudah sesuai dengan yang ditentukan, menurut tindakan kebijakan. Sementara dalam mencapai tujuan kebijakan yang mengacu pada dua faktor yaitu dampak pada masyarakat dalam tingkat perubahan yang terjadi pada kelompok sasaran penerima kebijakan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan keberhasilan suatu implementasi kebijakan, suatu kebijakan harus merujuk pada aturan yang merupakan panduan tentang pelaksanaan kebijakan. Selain itu, keberhasil atau kegagalan suatu kebijakan dapat dilihat dari dampak yang diperoleh oleh masyarakat dan adanya perubahan di dalam masyarakat, terutama setelah memperoleh kebijakan tersebut.

Grindle menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan keberhasilan implementasi kebijakan perlu adanya sinergi tiga faktor penting yakni kebijakan tersebut, organisasi, dan lingkungan kebijakan (Dr. Sahya Anggara, 2014). Hal ini harus dilakukan dalam kebijakan yang benar, maka kebijakan tersebut dapat berjalan dengan optimal dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Selain itu, menurut Merilee S. Grindle proses implementasi kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh dua variabel besar yakni isi kebijakan dan konteks implementasi. Isi kebijakan (content of policy) dalam teori Grindle terdiri atas kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya program; jenis manfaat yang akan dihasilkan; jangkauan perubahan yang diinginkan; kedudukan pengambilan keputusan; pelaksana program; dan sumber daya yang disediakan. Sedangkan konteks implementasi (context of implementation)

(7)

24

mencakup hal-hal seperti kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; dan karakteristik lembaga penguasa; Maka dari itu berikut penjelasannya (Dr. Sahya Anggara, 2014).

Tabel 2.1 Faktor-faktor dalam implementasi kebijakan

Content of policy (Isi Kebijakan)

Context of implementation (konteks Implementasi) 1. Kepentingan yang dipengaruhi

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Jangkauan perubahan yang diinginkan

4. Kedudukan pengambilan keputusan

5. Pelaksana program

6. Sumber daya yang disediakan.

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Sumber: Grindle dalam Dr. Sahya Anggara, 2014:255

A. Content of Policy (Isi Kebijakan)

Isi kebijakan atau program akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari implementasi. Kebijakan kontroversial, kebijakan yang dianggap non-populis, kebijakan tersebut membutuhkan perubahan besar, akan mendapatkan perlawanan baik dari kelompok sasaran, ataupun dari implementornya yang merasa sulit melaksanakan kebijakan tersebut atau merasa dirugikan. Isi

(8)

25

kebijakan yang dapat memengaruhi implementasi menurut Grindle adalah sebagai berikut (Dr. Sahya Anggara, 2014).

1. Kepentingan yang dipengaruhi

Kebijakan dalam pelaksanaan tentu saja melibatkan beberapa pemangku kepentingan dimana pemangku kepentingan yang akan memberikan pengaruh besar pada jalannya kebijakan. Proses implementasi kebijakan akan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok. Kepentingan dalam suatu kebijakan ini muncul dari mulai proses pendanaan, hingga pelaksanaan dari kebijakan itu sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang ada. Dimana dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk mengidentifikasi kepentingan kelompok sasaran. Dalam sebuah kebijakan, kepentingan merupakan suatu hal yang cukup berpengaruh terhadap suatu implementasi kebijakan. Sehingga pada point ini peneliti berusaha untuk melihat sejauh mana pengaruh yang dibawa oleh kepentingan-kepentingan tersebut terhadap implementasi kebijakan. Seperti halnya implementasi kebijakan pendidikan inklusif pasti terdapat kepentingan kelompok sasaran yang dipengaruhi oleh implementasi kebijakan tersebut. Adapun kelompok sasaran yang terpengaruh dengan adanya kebijakan ini adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan.

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

Implementasi kebijakan berupaya ingin menimbulkan suatu manfaat baik itu dampak positif maupun negatif yang kemudian akan diberikan pada hasil akhir dari jalannya kebijakan tersebut. Manfaat dari kebijakan ini

(9)

26

dapat menjadi pendorong pelaksanaan kebijakan dan menjadi tujuan sebuah kebijakan dilaksanakan. Jenis-jenis manfaat yang akan dihasilkan dalam implementasi sebuah kebijakan harus terdapat beberapa manfaat yang memberikan dampak positif terhadap suatu hal. Seperti halnya kebijakan pendidikan inklusif merupakan sebuah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus agar bisa bersekolah di sekolah reguler, dan agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus.

3. Jangkauan perubahan yang diinginkan

Jangkauan perubahan adalah sejauhmana perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui adanya sebuah implementasi kebijakan, sehingga dalam implementasi kebijakan derajad perubahan yang ingin dicapai harus memiliki sebuah skala yang jelas. Dalam hal ini perubahan yang diinginkan dengan adanya kebijakan pengendalian produksi ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan arah kebijakan dari diimplmentasikanya kebijakan tersebut.

4. Kedudukan pengambil keputusan

Kedudukan pengambil keputusan merupakan suatu hal yang memiliki peranan luamayan penting dalam pelaksanaan sebuah kebijakan, oleh karena itu pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pelaksana kebijakan. Seperti pada implementasi kebijakan pendidikan

(10)

27

inklusif, dalam implementasi kebijakan ini pengambilan keputusan terbesar adalah pada pemerintah yakni Dinas Pendidikan.

5. Pelaksana program

Pelaksanaan program, dalam pelaksanaan sebuah program atau kebijakan harus menyebutkan implementornya dengan rinci dan jelas, selain itu sebuah kebijakan juga perlu didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten demi keberhasilan suatu kebijakan. Dalam konteks kebijakan pendidikan inklusif pelaksanaan program telah menyebutkan bahwa pelaksana kebijakan pendidikan inklusif ini adalah Dinas Pendidikan dan sekolah yang ditunjuk merupakan aktor yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan seluruh peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah pendidikan inklusif sehingga pendidikan inklusif dapat tercapai.

6. Sumber daya yang disediakan

Sumberdaya merupakan faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan publik sehingga dalam suatu kebijakan juga perlu didukung dengan adanya sumber daya yang memadai dengan tujuan agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai yang diinginkan. Dalam penerapan kebijakan pendidikan inklusif. Sumber daya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah guru pendamping khusus, dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif dan sarana prasarana penunjang pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif.

(11)

28

B. Context of Implementation (Konteks Implementasi)

Konteks implemetasi juga akan mempengaruh tingkat keberhasilan karena baiknya kebijakan maupun dukungan kelompok sasaran, hasil implementasi tetap bergantung pada pelaksananya. Karakter pelaksana akan mempengaruhi tindakan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan karena pelaksana adalah individu yang tidak mungkin bebas dari kepercayaan, aspirasi, dan kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Dalam menerapkan kebijakan, ada kemungkinan bahwa para pelaksana mengalihkan sesuatu yang telah ditentukan oleh kepentingan pribadi mereka sehingga dapat menjauhkan tujuan dari kebijakan sebenarnya. Konteks implementasi yang berpengaruh pada keberhasilan implementasi menurut Grindle adalah sebagai berikut (Dr. Sahya Anggara, 2014).

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat

Dalam sebuah implementasi kebijakan maka perlu adanya perhitungan mengenai kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta suatu strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

Dalam implementasi kebijakan keberadaan institusi atau rezim yang sedang berkuasa cukup berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi suatu kebijakan, maka dalam implementasi kebijakan perlu mengetahui

(12)

29

bagaimana karakteristik dari suatu lembaga/institusi yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan.

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Kepatuhan dan respon dari pelaksana kebijakan juga merupakan sebuah aspek penting dalam pelaksanaan kebijakan, maka dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif ini perlu untuk mengetahui sejauhmana kepatuhan dari para aktor pelaksana dalam menanggapi kebijakan pendidikan inklusif ini, apakah para aktor pelaksana dalam pendidikan inklusif sudah sesuai apa belum dengan rencana yang telah dibuat.

(13)

30

Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Merille S. Grindle

Sumber: Diadaptasi dari Merilee S. Grindle (1980)

Menggunakan diagram dari model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Merilee S. Grindle tersebut maka proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai jika tujuan dan tujuan asli digeneralisasi, program tindakan telah dirancang untuk melaksanakan tujuan dan tujuannya (Solichin, 2011).

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh:

A. Isi Kebijakan

1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya program

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Jangkauan perubahan yang diinginkan

4. Kedudukan pengambilan keputusan

5. Pelaksana program

6. Sumber daya yang disediakan. B. Konteks Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi actor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan

penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Mengukur keberhasilan Program yang dilaksanakan sesuai rencana Hasil Kebijakan : a. Dampak pada masyarakat, individu, & kelompok b. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat Tujuan yang dicapai? Tujuan Kebijakan

Program aksi dan proyek individu yang di desain dan didanai

(14)

31

Berdasarkan penjelasan secara keseluruhan menyangkut teori implementasi kebijakan publik, maka peneliti ini lebih menekankan untuk menggunakan teori implementasi kebijakan yang dicetuskan oleh Merilee S. Grindle. Hal ini dikarenakan teori impelemntasi kebijakan menurut Grindle sangat sesuai untuk menganalisis implementasi kebijakan atau suatu penilaian terhadap proses pelaksanaan suatu kebijakan. Teori implementasi kebijakan Grindle memiliki beberapa indikator yang lebih kompleks dan memauat unsur-unsur penilaian pelaksanaan kebijakan. Dengan demikian, teori implementasi kebijakan menurut Grindle dapat menganalisis implementasi kebijakan yang sudah sesuai pelaksanaannya dan memberikan dampak atau manfaat positif bagi sasaran kebijakan yakni masyarakat dan lingkungan sekitar.

2.2.3 Pengertian Pendidikan Inklusif

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) 1948 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. Tetapi anak-anak dengan kebutuhan khusus sering dikesampingkan dalam pendidikan. Ini sering didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak berkebutuhan khusus sering kali tidak dipandang sebagai manusia yang utuh. Kelompok penyandang berkebutuhan khusus memastikan bahwa instrumen-instrumen hak asasi manusia, berikutnya PBB menyebutkan penyandang cacat atau berkebutuhan khusus dan menekankan bahwa semua anak atau orang dengan kebutuhan khusus berhak atas pendidikan.

Membantu mengatasi masalah ini diperlukan pendidikan bagi anak dengan kebutuhan khusus yang disediakan dalam tiga jenis lembaga

(15)

32

pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Sesuai dengan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pasal 15 menjebarkan bahwa pendidikan khusus adalah pendidikan bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus atau memiliki kecerdasan yang luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif. Pasal inilah yang memungkinkan bentuk terobosan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa pelaksanaan pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan khusus yang semua anak dengan kebutuhan khusus dilayani di sekolah terdekat, di kelas biasa dengan teman-teman sebayanya merek, oleh karena itu perlu adanya sturuktur organisasi pendidikan inklusif di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak berkebutuhan khusus (Stiawan, 2019).

Konsep pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang menyajikan aspek-aspek umum terkait dengan menerima anak dengan kebutuhan khusus untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Pendidikan inklusif diartikan sebagai konsep yang mengakomodasi semua anak dengan kebutuhan khusus maupun anak yang memiliki kesulitan untuk membaca dan menulis. Pendidikan inklusif adalah strategi yang dapat mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah responsif terhadap berbagai kebutuhan nyata anak-anak dan masyarakat (Illahi, 2003). Dengan kata lain, pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas diri pada

(16)

33

anak-anak sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing dan menjamin kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik.

Menurut Direktorat Pembinaan SLB, pendidikan inklusif merupakan layanan pendidikan untuk memberikan kesempatan bagi semua anak untuk belajar bersama disekolah umum dengan memperhatikan keanekaragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak-anak dapat berkembang secara optimal. Pendidikan inklusif memberikan akses yang lebih luas ke semua anak dengan kebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan menyediakan layanan pendidikan yang memenuhi kebutuhan mereka (Garnida, 2015).

Permendiknas no 70 tahun 2009 menyebutkan, pendidikan inklusif merupakan sistem penyelengaraan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi semua siswa yang memiliki kelainan dan yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat khusus untuk mengikuti pendidikan dalam lingkungan pendidikan bersama dengan siswa umumnya. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan mewujudkan penyelengaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif untuk semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemapuan mereka.

Di Indonesia, pendidikan inklusif secara resmi diarti sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutkan anak-anak dengan kebutuhan khusus

(17)

34

untuk belajar bersama dengan anak normal yang sebaya dengan mereka. Pendidikan inklusi menuntut sekolah untuk menyesuaikan baik dalam hal kurikulum, fasilitas dan infrastruktur dalam pendidikan maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan inidividu peserta didik (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2003).

Oleh karena itu, melalui pendidikan inklusif semua adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan tanpa memandang apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan inklusif, terlepas dari ketidakmampuan anak dengan kebutuhan khusus, mereka diberikan kesempatan luas untuk belajar bersama dengan anak-anak normal lainnya. Dalam implementasinya semua warga sekolah harus memberikan rasa aman, nyaman, dan senang kepada ABK.

2.2.4 Tujuan Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi tidak bermaksud untuk mempersatukan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya, melainkan berupaya dalam memberikan kesempatan bagi mereka yang mengalami keterbatasan sehingga mereka juga bisa dapat memperoleh pendidikan yang layak dan memberikan jaminan masa depan yang lebih cerah (Illahi, 2003).

Beberapa hal yang harus diamati lebih tentang tujuan pendidikan inklusi, yaitu:

1. Memberikan kesempatan yang lebih luas bagi semua siswa yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki

(18)

35

potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan.

2. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Adapun tujuan utama pendidikan inklusi adalah untuk mendidik anak dengan kebutuhan khusus bersama di kelas reguler dengan anak normal lainnya, dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka disekolah dan di lingkungan rumahnya.

2.2.5 Prinsip Pendidikan Inklusi

1. Pendidikan inklusi membuka kesempatan bagi semua siswa

Pendidikan inklusi disajikan kepada pihak-pihak berwenang dan terbelakang dari lingkungannya. Representasi pendidikan inklusi tidak hanya menolak diskriminasi dan ketidakadilan, tetapi juga memperjuangkan hak asasi manusia yang dirantai oleh hegemoni penguasa.

2. Pendidikan inklusi menghindari semua aspek negatif labeling

Prinsip dasar yang merupakan karakter pendidikan inklusi adalah untuk menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau pelabelan. Salah satu dampak buruk dari pelabelan adalah penampilan departemen atau kurang percaya diri bagi mereka yang diberi label. Dengan label itu akan mengganggu semua aspek kehidupan mereka, termasuk pendidikan. Secara khusus, pendidikan inklusi berupaya

(19)

36

menghindari label negatif dengan mengubah label yang ada di masa lalu menjadi lebih positif saat ini.

3. Pendidikan inklusi selalu melakukan checks dan balances

Salah satu keuntungan dari keberadaan pendidikan inklusi ialah selalu dilakukan cheks (periksa) dan balance (keseimbangan). Kehadiran pendidikan inklusi bukan hanya konsep eksperimen yang hanya muncul dalam wacana belaka, tetapi dapat menjadi konsep yang ideal yang memainkan peran penting dalam pendidikan berbasis cheks dan balance (Illahi, 2003). Dilakukannya cheks dan balance ini bermaksud memberikan akses yang baik dan kualitas pendidikan yang baik terutama untuk anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah reguler dengan pendidikan inklusif.

2.2.6 Komponen Keberhasilan Pendidikan Inklusif

Setiap komponen keberhasilan pendidikan inklusif tidak saling bertentangan, tetapi saling berkaitan dan menentukan semua aspek yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan belajar anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang dapat membentuk karakter warga negara yang demokrasi dan bertanggung jawab. Semua komponen pendukung faktor penentu keberhasilan pembelajaran di kelas, sebanyak mungkin harus disiapkan dan dikondisikan sehingga anak berkebutuhan khusus tidak diperlakukan diskriminatif. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui komponen mana yang menjadi faktor

(20)

37

penentu keberhasilan pendidikan inklusif untuk anak berkebutuhan khusus (Illahi, 2003).

1. Fleksibiltas Kurikulum (Bahan Ajar)

Menurut S. Nasution, kurikulum adalah salah satu komponen penting dari lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan. Namun, kurikulum sering kali tidak dapat mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Pengembangan dan peningkatan kurikulum harus selalu dilakukan secara berkesimbangan dan menyesuaikan dengan tantangan zaman.

Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Oleh karena itu, kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasikan menjadi, pertama anak dengan kemampuan akademik rata-rata dan di atas tinggi disiapkan kurikulum normal, kedua anak dengan kemampuan akademik sedang (dibawah rata-rata) disiapkan kurikulum fungsional/vokasional, ketiga anak dengan kemampuan akademik sangat rendah disiapkan kurikulum khusus untuk meminimalisasi penghalang pada setiap ABK sebelum belajar menggunakan kurikulum yang sudah disesuaikan.

(21)

38 2. Tenaga Pendidikan (Guru)

Faktor penentu keberhasilan pendidikan inklusif yang tidak kalah penting adalah keberadaan tenaga pendidik atau guru profesional dalam bidangnya masing-masing untuk mendorong dan melindungi anak berkebutuhan khusus. Pendidik atau guru yang mengajar harus membutuhkan kualifikasi, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tetang materi yang akan diajarkan dan memahami karakteristik siswa. Seperti diketahui peran guru sangat vital dalam mengatur semua proses dan perencanaan pembelajaran pada tahap evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti setiap materi belajar.

2.2.7 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat ditafsirkan dengan anak-anak yang diklasifikasikan sebagai cacat atau menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat (Illahi, 2003). Seiring waktu, dengan munculnya pendidikan inklusif sebagai perubahan penring bagi anak berkebutuhan khusus untuk menerima pendidikan yang lebih baik dan menghilangkan kesan negatif terhadap mereka. Istilah dari cacat atau anak luar biasa ke istilah anak berkebutuhan khusus bukan semata-mata hanya sekear menggantinya, tetapi memiliki tujuan bahwa seluruh warga Indonesia memandang lebih luas dan positif terhadap keragaman kebutuhan mereka yang berbeda dengan orang normal pada umumnya (Illahi, 2003).

(22)

39

Anak berekbutuhan khusus merupakan anak yang memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak lain pada umumnya. Anak berekbutuhan khusus mengalami hamabatan dalam belajar dan perkembangan, oleh sebab itu mereka anak dengan kebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Secara umum anak berekbutuhan khusus meliputi dua kategori, yakni (Garnida, 2015) :

1) Bersifat permanen : akibat dari kelainan tertentu

2) Bersifat temporer (sementara) : mereka yang mengalami hambatan belajar dan berkembang yang disebabkan kondisi dan situasi tertentu.

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer atau sementara adalah anak yang memiliki hambatan belajar belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh factor-faktor eksternal, contohnya anak yang mengalami gangguan emosi karena frustasi akibat mengalami pemerkosaan sehingga memungkinkan anak tidak dapat belajar dengan tenang (Illahi, 2003). Dalam penanganan anak berkebutuhan khusus yang temporer atau sementara harus ada kesadaran dari keluarga atau orang-orang terdekat untuk memberikan penyembuhan yang bisa mengembalikan kondisi kejiwaannya dengan cara bisa dibawa ke psikolog. Dan anak yang mengalami kebutuhan khusus temporer apabila tidak segera ditangani dengan tepat maka hal yang sangat fatal pun bisa terjadi, yaitu gangguan atau kelainan, lama kelamaan akan menjadi permanen dan sulit untuk ditangani. Sedangkan anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan akibat langsung karena kecacatan atau bawaan sejak lahir.

(23)

40

Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang temporer maupun permanen meiliki perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh 3 hal, yaitu:

1. Faktor lingkungan.

2. Faktor dalam diri anak sendiri.

3. Faktor antara lingkungan dan faktor dalam diri anak

2.2.8 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan khusus dikelompokkan ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial (Abdulah, 2013).

1. Kelainan Fisik

Kelainan fisik merupakan kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya dan tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya keadaan fisik ini bisa terjadi pada : alat fungsi indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara), alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak

(24)

41

sempurna, misalnya lahir tanpa tangan/kaki, amputasi dan lain-lain, untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.

2. Kelainan Mental

Anak-anak dengan kebutuhan khusus dalam aspek kelainan mental merupakan anak yang memiliki penyimpangan kemampuan dalam berpikir kritis, secara logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Anak dengan berkelainan mental ini bisa disebut juga dengan tunagrahita, yaitu anak yang diartikan memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikin rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk melanjutkan tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, terutama didalam pendidikan dan bimbingannya. Kondisi anak tunagrahita seringkali disalahpahami dalam kehidupan sehari-hari.

3. Kelainan Perilaku social

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lainnya. Klasifikasi anak-anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (deliquent). Berdasarkan sumber munculnya tindak kelainan perilaku sosial yang diklasifikasikan disebabkan oleh: (a) tunalaras emosional, yaitu penyimpangan perilaku sosial ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, (b) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

Gambar

Tabel 2.1 Faktor-faktor dalam implementasi kebijakan
Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Merille S. Grindle

Referensi

Dokumen terkait

bahwa yang dimaksud dengan metode survei adalah Metode penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari

Guru mengirim materi melalui Zoom, Google Meet, Classroom, Google Form dan aplikasi daring lainnya (Orientasi) berupa slide dan video tentang Melempar Bola2. Siswa

dilakukan secara teratur dan berkala (Depkes, 2004). Jadi bila Dinas kesehatan tidak melakukan supervise maka tugas puskesmas menggantikan jadwal Dinas

Data-data pedagang pasar yang diperlukan untuk kegiatan purposive sampling pedagang ini dikumpulkan dari hasil kegiatan pada Modul Identifikasi Pedagang Pasar dan

لحوالما او ه حللا اهاللاال ىلذحلا لللب لميلملا لمنلملا ااه تحياا مم كميالاع تمماسمقاا مم تمب لجاا اام حللا ميللاع ءمىاش لمل كلب او هاو

Untuk dapat menemukan ciri yang khas dari sinyal EEG maka diperlukan metode pengolahan yang tepat, dalam penelitian ini ciri diperoleh dari hasil ekstraksi

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan

Sedangkan variabel trust tidak berpengaruh terhadap minat beli online shop menggunakan Instagram karena nilai signifikan > 0,05, sementara nilai koefisien determinasi