• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Laju Infiltrasi Dengan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan hutan menempati tingkat yang paling dominan di lokasi penelitian. Sebagian besar termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Hutan yang berada di Kampung Lebakpicung merupakan hutan sekunder dan hutan tanaman. Hutan tanaman sebagian besar berada di dalam kawasan TNGHS, sedangkan hutan sekunder berada di dalam dan di luar kawasan TNGHS (Handini, 2010). Tanaman yang tumbuh diantaranya yaitu harendong kota, puspa, pisang hutan, dan pohon sobsi. Selain pohon-pohonan tersebut, terdapat juga tumbuh-tumbuhan lain seperti semak, rumput-rumputan, lumut, dan jenis tumbuhan lainnya. Gambar secara visual berbagai jenis penggunaan lahan pada lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 4

A B

(2)

Kebun campuran di lokasi penelitian ditanami oleh tanaman tahunan dan tanaman musiman yaitu pohon lame, sobsi, tebu, dan turubuk. Sedangkan lahan yang didominasi oleh pohon sengon dikategorikan termasuk ke dalam penggunaan lahan sengon untuk dilakukan pengukuran infiltrasi.

Sawah merupakan jenis penggunaan lahan cukup luas di lokasi penelitian. Luas sawah di luar kawasan taman nasional lebih besar dibandingkan di dalam kawasan. Lahan sawah sudah ada sebelum adanya kawasan taman nasional dan merupakan mata pencaharian utama di Kampung Lebakpicung sehingga lahan sawah di dalam taman nasional cukup luas. Keadaan penggunaan lahan sawah ketika pengukuran sedang diberakan karena belum masuk masa tanam (di musim penghujan).

Penyusun geologi di lokasi penelitian terdisi dari Formasi Cikotok, Formasi Napal, dan Formasi Cimapag. Formasi Cikotok mengandung batuan yang mengalami alterasi dan pola kelurusan struktur yang berpotongan. Formasi Napal merupakan formasi yang didominasi oleh napal dengan sedikit batugamping dan batupasir. Pada beberapa tempat batuan ini terpropolitkan dan terkersikan dengan piritisasi yang kadang-kadang telah berubah menjadi limonit (Sugeng, 2005).

Formasi Cimapag merupakan formasi yang berumur miosen awal. Bagian atas terdiri dari lapisan basal breksi dan konglomerat polimik yang mengandung fragmen yang lebih tua. Batuan vulkanik yang berkomposisi andesitik, kadang-kadang berselingan dengan konglomerat, batupasir, batuapung, dan batugamping. Formasi Cimapag diduga sebagai penyebab mineralisasi di daerah ini (Sutisna et

al., 1994). Formasi Citorek dan Cimapag berada pada satuan breksi gunungapi 3.

Hasil pengukuran infiltrasi pada beberapa titik lokasi di daerah penelitian memberikan nilai yang cukup bervariasi (Tabel 1). Keanekaragaman tersebut menunjukkan bahwa setiap titik lokasi mempunyai laju infiltrasi yang tidak sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan memiliki peran besar dalam menentukan tinggi rendahnya infiltrasi. Dalam kondisi penggunaan lahan berbeda (hutan, kebun campuran, sengon, dan sawah) dan kemiringan lereng yang berbeda menghasilkan laju infiltrasi yang berbeda.

(3)

Tabel 1. Laju infiltrasi pada berbagai penggunan lahan dan lereng Landuse Lereng (%) Laju infiltrasi (cm/jam) Laju infiltrasi rata-rata Kelas laju infiltrasi Hutan 26 60 51,5 sangat cepat Hutan 25 66 Hutan 24 28,5 Sengon 35 6 15 cepat Sengon 27 33 Sengon 34 6 keb cam 27 7,5 5 agak cepat keb cam 30 4,5 keb cam 34 3 Sawah 27 5,4 2,75 sedang Sawah 33 0,2 Sawah 22 2,65

Laju infiltrasi pada lahan hutan di titik pertama sebesar 60 cm/jam. Nilai ini didapatkan dari hasil pembacaan mistar pada ring kecil dari ring infiltrometer. Pembacaan dilakukan pada awal waktu yang telah ditetapkan dan dibaca kembali pada setiap 30 detik pengukuran sehingga didapatkan jarak per-30 detik pembacaan. Kemudian penurunan tersebut dikonversikan dari detik ke dalam satuan per-jam. Pengukuran dihentikan ketika penurunan dengan jarak yang telah terlihat konstan tiga sampai lima kali, maka didapatkan nilai konstan laju infiltrasi pada titik tersebut yaitu 60 cm/jam. Nilai ini adalah hasil rata-rata dari dua pengukuran yang dilakukan komposit pada setiap titik.

Waktu selama 30 detik ditetapkan berdasarkan kecepatan penurunan air yang terlihat secara visual dan dapat berbeda di setiap titik pengukuran. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Semakin besar kemampuan tanah dalam meresapkan air, semakin cepat penurunan air dan semakin pendek waktu yang ditetapkan. Sebaliknya, semakin lambat penurunan air, maka waktu ditetapkan lebih lama bahkan dapat berbeda satuan waktu (detik atau menit).

Berdasarkan hasil pengukuran infiltrasi di lapang, dapat ditunjukkan bahwa laju infiltrasi rata-rata pada setiap penggunaan lahan sangat bervariasi. Kelas laju infiltrasi yang ditetapkan berdasarkan Kohnke (1968) menunjukkan

(4)

bahwa kelas laju infiltrasi yang paling cepat pada lahan hutan. Sedangkan kelas laju infiltrasi yang paling rendah berada pada lahan sawah. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju infiltrasi berbeda pada setiap penggunaan lahan.

Kemiringan lereng terlihat tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada setiap titik pengukuran. Hal ini bertolak belakang dengan teori yang diungkapkan oleh Nordwijk et al. (2009) yang menyatakan bahwa semakin besar kemiringan lereng, peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan menjadi lebih besar. Adanya perbedaan ini, dimungkinkan karena metode pengukuran yang tidak sama antara pengukuran yang dilakukan Nordwijk et al. (2009) dan pengukuran infiltrasi pada penelitian ini. Nordwijk et al. (2009) mengukur langsung peresapan air ke dalam tanah melalui hujan yang dilihat pada suatu topografi sehingga kemiringan lereng menjadi faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya peresapan air ke dalam tanah. Sedangkan penelitian ini mengukur peresapan air ke dalam tanah melalui pengukuran infiltrasi menggunakan double ring infiltrometer. Pengukuran ini dilakukan in-situ pada suatu titik yang menjadikan peresapan air lebih dikendalikan oleh ring.

Selain itu, perbedaan ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang pengaruhnya lebih besar terhadap laju infiltrasi daripada kemiringan lereng. Misalnya faktor tutupan lahan, kondisi sifat fisik tanah, sistem perakaran tanaman, dan panjang lereng. Panjang lereng merupakan jarak dari titik awal aliran sampai titik dimana mulai ada pengendapan atau aliran permukaan masuk ke saluran. Sinukaban (1986) menyatakan bahwa semakin panjang lereng permukaan suatu tanah, semakin rendah infiltrasi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi.

Panjang lereng tidak diperhitungkan pada penelitian ini karena kondisi lapang yang sulit dalam mengamati panjang lereng. Selain itu, walaupun sudah ada peta kontur, namun ternyata tidak bagus untuk disesuaikan dengan kondisi di lapang.

Pengukuran infiltrasi in-situ pada penggunaan lahan hutan awalnya besar kemudian menurun dengan cepat menurut waktu dan akhirnya mencapai konstan. Nilai laju infiltrasi pada penggunaan lahan hutan paling cepat dibandingkan

(5)

dengan lahan lainnya. Hal ini karena pada lahan hutan mempunyai vegetasi sebagai penutup permukaan tanahnya berupa pohon keras yang akar dari pepohonan tersebut mampu menembus tanah dan membentuk pori-pori antara butir tanah sehingga menyebabkan air lebih mudah terinfiltrasi ke dalam tanah. Selain itu, serasah yang terbentuk cukup tebal melindungi permukaan tanah sehingga air tertahan dan mempunyai waktu lebih lama untuk meresap ke dalam tanah juga menjadikan fauna tanah yang berada di dalamnya mendapatkan makanan yang cukup sehingga tanah menjadi gembur.

Menurut beberapa penelitian, tanah berstruktur remah/gembur mempunyai pori-pori diantara agregat yang lebih banyak daripada yang berstruktur gumpal sehingga perembesan airnya lebih cepat. Oleh karena itu terjadinya aliran permukaan diperkecil pada tanah dengan pori-pori yang besar dan struktur yang baik sehingga memiliki kecepatan infiltrasi yang besar.

Pada penggunaan lahan sengon diperoleh laju infiltrasi rata-rata sebesar 15 cm/jam dan termasuk kelas cepat. Lahan ini didominasi oleh sengon yang mempunyai akar yang dalam sehingga pori-pori tanah yang dibentuk oleh akar menjadi besar dan memberikan banyak ruang untuk perjalanan air meresap ke dalam tanah. Partikel tanah terdiri dari butir-butir yang berbeda dalam hal susunan kimia, mineral, ukuran butir, bentuk, dan arah penyebarannya. Distribusi ukuran zarah tanah merupakan sifat dasar yang sangat penting karena dapat menentukan jumlah dan distribusi ukuran pori tanah sehingga akan menentukan kemampuan menahan dan mengalirkan air.

Pada lahan kebun campuran, laju infiltrasi rata-rata yaitu 5 cm/jam (agak cepat). Sedangkan laju infiltrasi pada lahan sawah termasuk ke dalam kelas sedang yaitu sebesar 2,75 cm/jam. Sawah merupakan lahan yang telah dijenuhi air dalam waktu yang lama sehingga laju relatif cepat untuk mencapai konstan. Bahkan ketika dilapang, pengukuran infiltrasi harus dilakukan berulangkali karena beberapa titik mengalami kendala dengan lamanya penurunan air yang terbaca di mistar dalam ring. Lahan sawah memiliki laju infiltrasi paling kecil atau mempunyai kemampuan meresapkan air yang tergolong lambat.

Pada lahan sawah tekstur halus, liat, lekat, dengan air tanah dangkal dan telah terjadi pemadatan tanah menyebabkan air sulit terinfiltrasi ke dalam tanah.

(6)

Disamping itu, sawah mempunyai kelembaban tanah yang relatif lebih tinggi karena sering diairi sehingga kadar air dalam tanah lebih tinggi. Vegetasi yang berupa tanaman kecil seperti padi, palawija, dan rumput, memberikan pengaruh terhadap daya serap air ke dalam tanah. Tajuk yang dominan pendek membuat laju infiltrasi lambat dan lebih banyak terjadi aliran permukaan.

Pada proses pengukuran di lapang, laju infiltrasi semakin berkurang dengan semakin bertambahnya waktu. Hal ini karena secara teoritis pada saat tanah belum mencapai jenuh, terdapat gaya hisapan matrik dan gaya gravitasi yang bekerja. Akibatnya laju infiltrasi berkurang dengan bertambahnya waktu hingga mencapai minimum dan konstan.

Menurut Hardjowigeno (2003) semakin banyak perakaran tanaman semakin tinggi porositas tanah sehingga air lebih banyak mengalami infiltrasi ke dalam tanah. Secara umum tanah yang ditutupi tanaman mempunyai laju infiltrasi lebih besar daripada permukaan tanah terbuka. Selain itu, dikuatkan oleh Winanti (1996) pengaruh vegetasi terhadap infiltrasi ditentukan oleh sistem perakaran yang berbeda antara tanaman berakar pendek, sedang, dan dalam.

Vagetasi menjadi faktor penentu besar kecilnya infiltrasi, yaitu semakin banyak dan lebat vagetasi, laju infiltrasi semakin cepat (Stothoff, 1999). Vegetasi secara efektif dapat mengabsorpsi air hujan dan mempertahankan laju infiltrasi (Foth, 1984), meningkatkan laju infiltrasi (Hardjowigeno, 2003), dan kemampuan dalam menahan air. Resapan air lebih efektif pada lahan yang ditumbuhi vegetasi, karena vegetasi dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

(7)

Pengukuran laju infiltrasi pada berbagai jenis pola tutupan lahan yaitu hutan (H), sengon (Sg), kebun campuran (KC), dan sawah (S) pada Gambar 5 di atas merupakan rentang nilai laju infiltrasi pada masing-masing tutupan lahan. Pola ini merupakan penggabungan dari hasil pengukuran tiga titik sampel. Pola nilai yang paling tinggi dengan box tebal yaitu pada lahan hutan 28,5 cm/jam sampai 66 cm/jam. Sedangkan nilai yang paling rendah dengan box tipis adalah pada lahan sawah 0,2 cm/jam sampai 5,4 cm/jam. Tinggi-rendahnya nilai dan tebal-tipisnya box mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan nilai laju untuk mencapai konstan. Nilai tinggi dan box tebal berarti nilai konstan yang dicapai ketika pengukuran adalah tinggi pada setiap titiknya. Demikian sebaliknya, nilai rendah dan box tipis berarti nilai konstan yang dicapai ketika pengukuran adalah rendah pada setiap titiknya.

Hasil ini menggambarkan bahwa semakin banyak/lebat vegetasi maka semakin cepat laju infiltrasi. Semakin jarang vegetasi dan tegakan suatu lahan maka laju infiltrasi semakin lambat. Lahan yang jarang dengan penutupan lahannya menjadikan air permukaan lebih berpotensi untuk terjadi daripada air infiltrasi.

Menurut Soetoto dan Aryono (1980) laju infiltrasi pada tanah dengan tumbuh-tumbuhan hutan lebih tinggi daripada tanah telanjang (bare soils). Akar tanaman melonggarkan dan menciptakan pembuluh dimana air dapat masuk ke dalam tanah dengan lebih mudah. Daun dan sampah di atas permukaan mengurangi percikan hujan yang jatuh sehingga aliran permukaan dapat berkurang.

4.2 Keterkaitan Antar Peubah 4.2.1 Analisis Korelasi

Analisis korelasi sangat bermanfaat untuk mengetahui keeratan dan arah hubungan antara peubah respon dengan peubah bebas. Hasil dari analisis korelasi menunjukkan bahwa data secara keseluruhan mengalami multikolinearitas dengan indikasi terdapat korelasi yang tinggi antar peubah bebas. Peubah-peubah tersebut yaitu landuse-pF2, landuse-PDC, landuse-PM, lereng-pF4,2, KA-PD, KA-PDC, KA-PM, BD-pF4,2, BD-RPT, PD-pF1, PD-pF2,54, PD-pF4,2, PD-PDC, PD-PM,

(8)

pF1-pF2, pF1-pF2,54, pF1-PDC, pF2-pF2,54, pF2-pF4,2, pF2-PDC, pF2- pF2,54, pF2-pF4,2, pF2,54-pF4,2, pF2,54-PDC, pF2,54-PM, AT-PM, dan AT-PDC.

Keterkaitan ini dikuatkan oleh hasil penelitian terdahulu dan teori yang menyebutkan bahwa terdapat keterkaitan antara pori tanah dengan bobot isi. Drainase memiliki hubungan yang erat dengan perakaran tanaman/penggunaan lahan (Sarief, 1985). Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa ketersediaan air dipengaruhi jenis tanaman (Sinukaban, 1986).

Hasil perbandingan peubah-peubah yang berkorelasi terhadap laju infiltrasi disajikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Korelasi antara penggunaan lahan, lereng, dan sifat fisik terhadap laju infiltrasi

Land LRG KA BD PD Pf1 Pf2 Laju 0,262 -0,053 -0,565 -0,643 -0,608 -0,349 -0,118 p-value 0,411 0,870 0,056 0,024 0,036 0,266 0,715 Pf2,54 Pf4,2 RPT PDC PDL AT PM Laju -0,515 -0,476 0,266 0,783 0,129 0,004 0,762 p-value 0,086 0,118 0,403 0,003 0,689 0,991 0,004 Keterangan :

- Land : landuse (nilai NDVI) - LRG : kemiringan lereng - KA : kadar air - BD : bulk density /bobot isi - PD : particle density - RPT : ruang pori total - PDC : pori drainase cepat - PDL : pori drainase lambat - AT : air tersedia - PM : permeabilitas - P : nilai signifikansi statistik

Nilai p menunjukkan seberapa ekstrim data yang ditemui di lapang secara aktual dalam bandingannya dengan selang kepercayaan. Selain itu, p-value juga menunjukkan letak hasil penelitian pada area distribusi dan hanya bisa diketahui setelah uji statistik (Fisher, 1955). Fisher menggunakan nilai p untuk menunjukkan uji signifikansi dan inferensi induktif. Suatu inferensi disebut induktif jika bertolak dari pengamatan dan eksperimen. Umumnya inferensi induktif digunakan untuk penelitian empiris. Dalam logika induktif, kesimpulan yang didapatkan tidak pernah seratus persen yakin akan kebenarannya.

Berdasarkan hasil korelasi (Tabel 2), dapat ditunjukkan bahwa terdapat empat peubah berkorelasi secara nyata dengan laju infiltrasi pada p-value < 0,05. Peubah-peubah tersebut yaitu : bulk density value = 0,024), particle density

(9)

(p-value = 0,036), pori drainase cepat (p-(p-value = 0,003), dan permeabilitas (p-(p-value =

0,004).

Bobot isi tanah merupakan perbandingan antara massa partikel padat tanah atau tanah kering dengan volume tanah total (Hardjowigeno, 2003). Berat tanah merupakan suatu sifat tanah yang menggambarkan taraf kemampatan tanah. Tanah dengan kemampatan tinggi dapat mempersulit perkembangan perakaran tanaman, pori makro terbatas dan penetrasi air terhambat (Darmawijaya, 1997) sehingga kondisi ini menentukan tinggi rendahnya peresapan air ke dalam tanah.

Peubah particle density ditemukan berkorelasi nyata terhadap infiltrasi. Hasil uji regresi ini sesuai dengan pendapat Marshal (1988) yang menyatakan bahwa bobot partikel tanah merupakan sifat dasar yang sangat penting karena dapat menentukan jumlah dan distribusi ukuran pori tanah sehingga akan menentukan kemampuan menahan dan mengalirkan air. Kerapatan jenis butir tanah (particle density) adalah perbandingan antara massa partikel padat tanah dengan volume partikel padat tanah (Hardjowigeno, 2003). Oleh karena itu, adanya hubungan antara particle density dengan infiltrasi dipengaruhi oleh kerapatan butir tanah pada titik pengukuran. Particle density terdiri dari butir-butir yang berbeda dalam hal susunan kimia, mineral, ukuran butir-butir, bentuk, dan arah penyebarannya.

Pori drainase cepat merupakan perbandingan volume pori tanah yang berukuran > 100 m dengan volume total (Koorevaar, et al. 1983). Kajian empirik yang dilakukan oleh Rohmat dan Soekarno (2006) membuktikan bahwa kandungan pori drainase cepat bergantung pada nilai permeabilitas tanah sedangkan nilai permeabilitas berbanding lurus dengan infiltrasi. Infiltrasi menjadi besar jika nilai permeabilitas juga besar serta pori drainase cepatnya besar.

Arsyad (2006) mengemukakan bahwa besarnya permeabilitas tanah pada lapisan teratas sangat mempengaruhi laju infiltrasi. Potensial kapiler bagian bawah lapisan tanah yang menjadi kering (oleh evaporasi) kurang dari kapasitas menahan air normal akan meningkat jika lapisan teratas dibasahi oleh hujan. Peningkatan potensial kapiler ini bersama-sama dengan gravitasi akan mempercepat infiltrasi. Jika permeabilitas suatu tanah kurang oleh air infiltrasi,

(10)

maka selisih potensial kapiler akan menjadi kecil. Pada waktu yang bersamaan kapasitas infiltrasi pada permulaan curah hujan akan berkurang tiba-tiba yang disebabkan oleh pengembangan bagian koloidal tanah.

Kadar air tidak mempunyai korelasi nyata pada hasil regresi dengan

p-value >0,05. Hal ini dimungkinkan karena sebenarnya kadar air yang berpengaruh

terhadap infiltrasi adalah kadar air kondisi lapang yang di ukur secara langsung. Sedangkan nilai kadar air hasil penelitian ini adalah hasil analisis laboratorium. Asdak (2002) menyatakan bahwa berkurangnya laju infiltrasi dapat terjadi karena bertambahnya kadar air sehingga menyebabkan butiran tanah berkembang dengan demikian menutup pori-pori tanah. Kadar air yang dimaksudkan Asdak (2002) adalah kadar air kondisi lapang.

Ruang pori total merupakan perbandingan antara volume pori tanah terhadap volume tanah total (Sunggono, 1984). Hasil analisis menunjukkan bahwa ruang pori total tidak berkorelasi nyata terhadap laju infiltrasi. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa jika suatu tanah mengandung banyak pori total maka nilai infiltrasi akan besar karena banyaknya ruang pori akan mampu melewatkan air dengan cepat dan dikuatkan dengan hasil penelitian Mbagwu (1997) yang menyebutkan bahwa laju infiltrasi berkorelasi positif terhadap porositas. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pori pada porositas total berukuran mikro karena pori yang ditelaah oleh Mbagwu (1997) tersebut adalah pori yang berukuran lebih dari 15 m, yang mempunyai peranan besar untuk menginfiltrasikan air ke dalam tanah. Selain itu, menurut Baver (1972) pori tanah yang berukuran makro lebih berperan dalam proses pertukaran air dan udara dalam tanah dibandingkan dengan tanah yang berukuran mikro.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pori drainase lambat (PDL) pada wilayah studi tidak terkait dengan nyata terhadap laju infiltrasi. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ukuran pori yang kecil. PDL adalah perbandingan volume pori tanah yang berukuran (30-100) m terhadap volume total (Koorevaar, 1983). Kecepatan rembes air di dalam tanah tergantung pada besarnya masing-masing pori (Soetoto dan Aryono, 1980). Dengan demikian, pori yang berukuran kecil tidak mampu untuk meloloskan air dengan cepat (Yanrilla, 2001). Soetoto dan Aryono (1980) menambahkan bahwa selain ukuran pori, kekontinuan pori

(11)

juga mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah. Pori yang mampu meloloskan air adalah pori yang berada di antara butir tanah yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedangkan jika pori tersebut tidak saling berhubungan (sekalipun persentasenya besar), maka tanah tersebut dapat dikatakan kedap air sehingga tidak dapat meloloskan air.

Demikian juga dengan air tersedia yang ditemukan tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap laju infiltrasi. Hasil penelitian ini cukup berbeda dengan kajian empirik yang dilakukan Rohmat dan Soekarno (2006) yang menyatakan bahwa air tersedia diduga berpengaruh terhadap permeabilitas tanah yang berkorelasi positif terhadap infiltrasi. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh kadar air tanah di lokasi penelitian yang ternyata tidak mempunyai pengaruh nyata pula terhadap infiltrasi. Selain itu, juga dimungkinkan adanya kesalahan dalam pengaturan air ketika pengukuran infiltrasi yang dilakukan secara in-situ.

4.2.2. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Laju Infiltrasi

Analisis regresi secara simultan yang melibatkan semua peubah ditemukan tidak memunculkan hasil. Hal ini disebabkan karena terdapat multikolinearitas antar peubah bebas yang menjadikan data tidak memberikan hasil yang sama dibandingkan dangan pendekatan parsial. Demikian juga jika analisis hanya mengujikan peubah-peubah yang telah berkorelasi nyata pada uji korelasi. Hasil analisis regresi simultan disajikan pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Regresi laju dengan BD, PD, PDC, dan PM.

Prediktor Coef SE Coef T P

BD PD -49,75 13,26 52,36 45,99 -0,95 0,29 0,374 0,782 PDC 2,948 2,422 1,22 0,263 PM 3,163 2,809 0,83 0,434 S = 15,6768 R-Sq = 70,9% R-Sq(adj) = 54,3%

Analisis secara simultan antar peubah bebas yang diambil dari hasil korelasi dengan r2 sebesar 70,9% pada selang kepercayaan 95% memberikan

(12)

partikel, pori drainase cepat, dan permeabilitas tidak mempengaruhi secara nyata pada laju infiltrasi.

Yanrilla (2001) menyatakan bahwa proses terjadinya infiltrasi disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi bumi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan dibatasi oleh diameter pori tanah. Di bawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir tegak lurus ke dalam tanah melalui profil tanah. Gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus ke atas, ke bawah, dan ke arah horisontal. Pada tanah dengan pori-pori berdiameter besar gaya ini dapat diabaikan pengaruhnya dan air mengalir ke tanah yang lebih dalam yang dipengaruhi gaya gravitasi. Dalam perjalanannya air mengalami penyebaran ke arah lateral akibat gaya tarik kapiler tanah, terutama ke arah tanah dengan pori-pori yang lebih sempit.

Untuk memahami lebih lanjut keterkaitan antar peubah terhadap laju infiltrasi, maka penelitian ini juga menelaah melalui analisis regresi parsial. Hasil analisis regresi secara parsial antara laju infiltrasi dengan masing-masing penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan sifat fisik tanah disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Pengaruh laju infiltrasi dengan peubah-peubah bebas

Prediktor P Persamaan regresi

LANDUSE 0,411 1. laju = - 5,1 + 44,3 LANDUSE LRG 0,870 2. laju = 26,5 - 0,27 LRG KA 0,056 3. laju = 178 - 5,51 KA BD 0,024* 3. laju = 142 - 132 BD PD 0,036* 4. laju = 187 - 75,2 PD pF 1 0,276 5. laju = 131 - 3,43 pF1 pF 2 0,715 6. laju = 34,2 - 0,57 pF 2 pF 2,54 0,086 7. laju = 118 - 4,02 pF 2,54 pF 4,2 0,118 8. laju = 78,7 - 3,93 pF 4,2 RPT 0,403 9. laju = - 56,7 + 1,30 RPT PDC 0,003* 10. laju = - 38,9 + 5,30 PDC PDL 0,689 11. laju = - 20,4 + 10,6 PDL AT 0,989 12. laju = 18,1 + 0,05 AT PM 0,004* 13. laju = - 1,90 + 6,60 PM Keterangan= *: nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil regresi di atas, terlihat bahwa beberapa peubah tidak memiliki pengaruh nyata terhadap laju infiltrasi. Pengaruh ini ditandai dengan

(13)

p-value > 0,05. Sementara itu, terdapat tiga peubah yang berpengaruh nyata

terhadap laju infiltrasi yang ditandai dengan p-value < 0,05. Peubah tersebut adalah bobot isi, particle density, pori drainase cepat, dan permeabilitas.

Hasil regresi ini lengkap bersama persamaannya masing-masing baik peubah yang mempunyai hubungan positif maupun peubah yang mempunyai hubungan negatif.

4.2.3. Perbaikan Model

Analisis statistika awal menunjukkan bahwa data ini mengalami multikolinearitas. Kendala seperti ini dapat dikurangi melalui teknik analisis secara bertahap dan seleksi peubah bebas yaitu metode regresi stepwise (Wardiana dan Izza, 2009). Stepwise dimaksudkan untuk menganalisis hubungan dengan melibatkan semua peubah bebas yang diujikan terhadap peubah respon. Analisis dilakukan secara simultan antara peubah respon dengan peubah bebas dan menghasilkan model sebagai berikut:

Tabel 5. Regresi antar laju infiltrasi, penggunaan lahan, lereng, dan sifat-sifat fisik tanah Respon laju infiltrasi

pada 14 prediktor dengan 12 sampel Step 1 2 Constant -38,11 -125,96 PDC 5,3 7,2 T-Value 3,98 5,54 P-Value 0,003 0,000 Alternatif terbaik PM 0,004 BD 0,024 PD 0,036

Tabel di atas merupakan perbaikan model sebelumnya karena model ini dapat memberikan hasil yang melibatkan semua peubah secara bersama-sama. Hasil analisis regresi stepwise (Tabel 5) menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% dengan nilai r2 yang didapatkan sebesar 77,66%, hanya

terdapat satu peubah yang berkorelasi nyata dengan laju infiltrasi. Peubah tersebut adalah pori drainase cepat. Pencarian peubah lain yang mempunyai pengaruh

(14)

dan partcle density yang ditunjukkan dengan p-value < 0,05. Sedangkan hasil analisis regresi stepwise secara parsial disajikan pada diagram berikut:

Gambar 6. Regresi antara laju infiltrasi dengan peubah bebas. Hasil analisis regresi stepwise secara parsial (Gambar 6) menunjukkan hasil bahwa terdapat tujuh peubah bebas yang dapat dianalisis. Sedangkan peubah yang mempunyai pengaruh nyata dengan laju infiltrasi yaitu pori drainase cepat, permeabilitas, bobot isi, dan particle density. Peubah lain yang tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan yang digunakan adalah kadar air, pF 2,54, dan pF 4,2.

Dalam hubungannya pada proses infiltrasi, pori tanah mempunyai pengaruh besar terutama dalam proses penyerapan air menuju konstan. Pori yang berperan dalam menentukan tinggi rendahnya serapan air ke dalam tanah adalah pori yang berukuran lebih dari 100 m. Pori drainase cepat merupakan perbandingan volume pori tanah yang berukuran >100 m dengan volume total (Koorevaar, et al. 1983). Oleh karena itu, pori drainase cepat termasuk peubah yang paling berpengaruh terhadap laju infiltrasi.

Suatu massa tanah terdiri dari butiran tanah dan ruang pori di antara butiran tanah. Ruang pori ini dapat terisi oleh air, udara atau gabungan antara keduanya. Bila seluruh ruang pori terisi oleh air maka massa tanah berada pada kondisi jenuh. Sedangkan bila sebagian ruang pori ditempati oleh air dan sisanya terisi udara maka dapat dikatakan tanah berada dalam kondisi tidak jenuh (Arsyad, 2006).

(15)

4.3 Variabilitas NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Pada Berbagai Penggunaan Lahan

Beberapa peubah yang diketahui tidak mempunyai korelasi nyata terhadap laju infiltrasi diantaranya adalah NDVI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NDVI belum dapat menunjukkan variasi yang signifikan pada setiap titik pengukuran dan setiap titik penggunaan lahan. Hal ini dimungkinkan karena beberapa sebab, diantaranya yaitu pengambilan potret lapang oleh citra dengan waktu pengamatan lapang ketika pengukuran dilakukan pada waktu yang berbeda sehingga mungkin saja kondisi lahannya berbeda. Selain itu, citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan untuk aplikasi analisis NDVI mempunyai kekurangan resolusi spasial. Penelitian ini juga menemukan bahwa resolusi spasial citra 10 meter belum cukup menjelaskan variasi lapangan pada sub DAS yang relatif kecil. Nilai NDVI dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Nilai NDVI pada setiap penggunaan lahan

NO Titik koordinat Laju NDVI

X Y S1 650772 9249972 5,4 0,487 S2 650851 9250016 0,2 0,681 S3 650469 9249650 2,65 0,418 H1 650657 9249917 60 0,690 H2 650967 9250891 66 0,544 H3 651491 9249993 28,5 0,595 KC1 650592 9250050 7,5 0,345 KC2 650833 9249860 4,5 0,622 KC3 651180 9249903 3 0,629 Sg1 650947 9250920 6 0,647 Sg2 651137 9250548 33 0,567 Sg3 650987 9250458 6 0,284

NDVI juga memiliki keterbatasan kontrol pada bias atmosfer, maka juga diperlukan percobaan lain yang mengkuantifikasi atmosfer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun data telah terkoreksi secara standar (radiansi), masih diperlukan berbagai koreksi tambahan (koreksi haze dan atmosfer) untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Dengan demikian, nilai NDVI kurang tepat untuk digunakan sebagai pewakil penggunaan lahan pada analisis hubungan NDVI terhadap infiltrasi.

Gambar

Gambar 5. Pola tutupan lahan dengan laju infiltrasi
Tabel 2. Korelasi antara penggunaan lahan, lereng, dan sifat fisik terhadap laju infiltrasi
Gambar 6. Regresi antara laju infiltrasi dengan peubah bebas.

Referensi

Dokumen terkait

Sebanyak enam virus yang berhasil dianalisis menunjukkan bahwa hasil analisis genetika pada gen HA1 memperlihatkan bahwa virus AI tahun 2009 mempunyai mutasi asam amino yang

3) dilaporkan dalam neraca dengan klasifikasi (classification) akun yang tepat dan periode akuntansi yang sesuai dengan terjadinya transaksi (cutoff). Bagian flowchart yang

Hasil dari Kolmogorov-Smirnov Test dan Levene’s Test menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan tidak homogen, maka dapat dilanjutkan dengan menggunakan uji Brown

Pernyataan yang menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan peraturan polusi.. Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti akad muamalat yang diaplikasikan oleh salah satu bank sampah yang ada di madiun, alasannya karena tempat ini

Analisis regresi linear merupakan model statistika yang digunakan untuk menganalisis hubungan linier antara satu variabel atau lebih variabel bebas ( dengan

Tujuan penulis dalam membuat tugas akhir dengan judul Perancangan Kampanye Sosial Meningkatkan Kesadaran Penilaian Pria Terhadap Cara Berpakaian Wanita agar dapat

Untuk dapat mencapai target yang ditetapkan tersebut telah ditetapkan kebijakan melaksanakan penyelesaian perkara bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan yang diselesaikan