• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AWAL MULA TERBENTUKNYA SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DI INDONESIA. A. Keadaan Lembaga Permasyarakatan di Surakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II AWAL MULA TERBENTUKNYA SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DI INDONESIA. A. Keadaan Lembaga Permasyarakatan di Surakarta."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

AWAL MULA TERBENTUKNYA SISTEM PEMBINAAN

NARAPIDANA DI INDONESIA

A. Keadaan Lembaga Permasyarakatan di Surakarta

tahun 1978 – 1986

Lembaga Permasyarakatan ( penjara ) adalah tempat yang diperuntukkan bagi para tahanan dan narapidana yang bertujuan untuk membentuk warga binaan permasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan menyadari kesalahannya serta tidak mengulangi perbuatannya lagi. Hal ini dilakukan agar para tahanan dan narapidana ini dapat diterima kembali ke dalam masyarakat dan berperan aktif dalam pembangunan negara. Selain itu, tujuan dari Lembaga Permasyarakatan adalah membina para tahanan dan narapidana agar menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. 11

Lembaga Permasyarakatan ini merupakan tujuan yaitu untuk membina dan membimbing narapidana sebagai upaya pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan yang seimbang supaya terjadi keselarasan hubungan antara individu pelanggar, masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Lembaga Permasyarakatan ini sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman yang merupakan tempat pencapaian tujuan sistem permasyarakatan yang dibuat melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Permasyarakatan adalah kegoiatan untuk melakukan pembinaan kepada

11

(2)

narapidana atau warga binaan permasyarakatan melalui sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sebuah sistem penindakan kepada para narapidana atau warga binaan.

Lembaga Permasyarakatan Surakarta pada tahun 1980 mengalami kekacauan dalam membina narapidana , kekacauan yang ada ini tidak hanya terjadi di dalam lembaga permasyarakatan Surakarta saja melainkan kekacauan ini juga terjadi di luar lembaga permasyarakatan. Kekacauan ini disebabkan pemerintah daerah Surakarta yang saat itu sedang lemah sehingga banyak jumlah kejahatan yang terjadi dan melonjaknya jumlah orang yang masuk ke dalam lembaga permasyarakatan yang ada di Surakarta. Melonjaknya jumlah orang yang membuat pihak lembaga permasyarakatan di Surakarta kewalahan dalam menangani orang – orang yang masuk ke dalam lembaga permasyarakatan ini. Orang – orang yang masuk ke dalam lembaga permasyarakatan ini adalah orang – orang sudah melakukan tindak kejahatan.

Kejahatan yang dilakukan orang – orang yang menyebabkan masuk ke dalam lembaga permasyarakatan ini adalah mencuri, menjarah, melakukan tindak kejahatan yang merugikan masyarakat yang ada di Surakarta. Kerusuhan di Surakarta pada tahun 1980 ini juga menyebabkan lembaga permasyarakatan Surakarta harus turun tangan bergerak untuk menjaga narapidana yang ada di dalamnya agar tidak keluar dari lembaga permasyarakatan. Kerusuhan di Surakarta ini juga membuat situasi menjadi semakin kacau.12

Keadaan yang kacau dalam membina narapidana ini tidak hanya disebabkan karena kerusuhan yang terjadi melainkan kekacauan ini disebabkan juga dengan

12

(3)

pembinaan yang ada di lembaga permasyarakatan Surakarta yang juga mengalami kekacauan yaitu banyak program pembinaan yang tidak berjalan dengan lancar. Program pembinaan yang dilakukan lembaga permasyarakatan yang ada di luar terpaksa dihentikan sementara karena keadaan kota Surakarta yang kacau.

Keadaan Lembaga Permasyarakatan yang ada di Surakarta pada tahun 1978 -1986 ini sangat memprihatinkan dikarenakan banyaknya narapidana yang masuk ke lembaga permasyarakatan di Surakarta. Kondisi dan situasi lembaga permasyarakatan ini juga berpengaruh terhadap keadaan narapidana yang ada di dalamnya. Narapidana yang masuk ke lembaga permasyarakatan ini dikarenakan kondisi kota Surakarta yang memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi pada tahun 1974 – 1980. Banyak kasus – kasus kriminalitas yang masuk ke dalam lembaga permasyarakatan di Surakarta dan hal ini menyebabkan banyaknya narapidana yang masuk ke dalam lembaga permasyarakatan di Surakarta.

Tabel 1

Tabel kriminalitas di Surakarta Tahun 1974 - 1980

No Tahun Kasus Kejahatan Kasus Pelanggaran

Kasus Kriminalitas yang masuk Diselesaikan Kasus pelanggaran yang masuk Diselesaikan

Jumlah Proses Jumlah Proses

1 2 3 4 5 6 7 8 1 1974 1.712 1.483 54,58 978 970 99,18 2 1975 3.131 1.796 57,36 1.535 1.535 100,00 3 1976 2.417 1.246 51,55 2,351 2,351 100,00 4 1977 2.884 1528 52,58 435 435 100,00 5 1978 3.287 1.761 53,57 4.555 4.554 99,98 6 1979 4.253 2.564 60,29 3.237 3.237 100,00 7 1980 3.626 1.916 52,84 727 727 100,00

Sumber : KOMRES 951 Kota Surakarta ( BPS Kota Surakarta )

(4)

Dalam tabel di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat kejahatan dan tingkat pelanggaran yang ada di Surakarta pada tahun 1974 – 1980 mengalami naik dan turun. Pada tahun 1979, tingkat kejahatan yang ada di Surakarta ini jumlahnya meningkat dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya. Tingkat kejahatan yang ada di Surakarta ini berupa kasus kriminalitas dan kasus pelanggaran. Kasus kejahatan berupa kasus kriminalitas yang ada di Surakarta pada tahun 1980 ini menurun jumlahnya dan proses kasus kriminalitas yang diselesaikan dengan cepat yaitu pada kasus pelanggaran pada tahun 1974 – 1080 hampir semua kasus pelanggaran ini diproses. Untuk kasus kriminalitas, jumlah yang masuk dan yang diselesaikan ini hanya sekitar 52 sampai 60 % yang bisa diselesaikan. Hl ini kasus kriminalitas yang terjadi di kota Surakarta pada tahun 1974 – 1980 adalah kasus – kasus yang berat seperti pencurian dan tindak kriminalitas lain yang proses penyelesainnya harus masuk ke dalam lembaga permasyarakatan Surakarta.

B. Awal Mula Terbentuknya Sistem Pembinaan Lembaga

Permasyarakatan di Indonesia

Pada zaman dahulu belum dikenal adanya sistem pidana penjara di Indonesia . Sistem pidana penjara baru dikenal pada zaman penjajahan Pada zaman VOC pun belum dikenal penjara seperti sekarang ini. Pada saat itu yang ada ialah rumah tahanan yang diperuntukkan bagi wanita tuna susila, penganggur atau gelandangan pemabok dan

(5)

sebagainya dan mereka diberikan pekerjaan dan pendidikan agama namun semua ini hanya ada di Batavia yang terkenal dengan Spinhuis dan Rasphuis.13

Rumah tahanan yang ada pada zaman VOC trdiri dari 3 macam tmpat tahanan yaitu :

(1) Bui adalah tempat tahanan yang tempatnya berada di pinggir kota

(2) Tempat perantaian bagi para tahanan ( Kettingkwartier )

(3) Tempat untuk menampung wanita bangsa Belanda yang melakukan mukah atau tindak kejahatan (overspel).

Tempat tahanan akhirnya mendapatkan perbaikan yang dilakukan pada zaman Inggris ( Raffles ). Bui – bui yang kecil dan sempit diperbaiki dan didirikan bui dimana ada pengadilan. Perbaikan ini diteruskan oleh Belanda setelah berkuasa kembali. Oleh karena itu diadakan klasifikasi yaitu berupa kerja paksa bagi para tahanan bangsa Indonesia yang dilakukan dengan sistem rantai dan kerja paksa bagi para tahanan bangsa Belanda dengan upah.

Perkembangan sistem kepenjaraan selanjutnya pada permulaan zaman Hindia Belanda dimulai dengan sistem diskriminasi, yaitu dengan dikeluarkannya peraturan umum untuk golongan bangsa Indonesia (Bumiputera) yang dipidana kerja paksa (Strbld 1826 No. 16), sedangkan untuk golongan bangsa Eropa (Belanda) berlaku penjara. Ada dua macam pidana kerja paksa yaitu kerja paksa dimana narapidana

13

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia ( Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1986 ), hlm 91 – 92.

(6)

bangsa Indonesia dirantai dan kerja paksa biasa dan mendapat makanan tanpa upah bagi golongan bangsa Eropa ( Belanda ) .

Pada masa kolonial Belanda, penjara disebut bui, sesuai dengan keadaannya sebagai tempat penyekapan, tempat penahanan bagi orang – orang yang disangka melakukan delik, orang – orang yang disandera, penjudi, pemabok gelandangan dan penjahat – penjahat lain. Karena keadaan bui yang waktu itu sangat buruk dan menyedihkan, maka dibentuklah panitia untuk meneliti dan membuat rencana perbaikan. Pada tahun 1846, setelah bekerja selama 5 tahun panitia ini berani mengajukan rencana perbaikan yang tidak pernah dilaksanakan. Diskriminasi perlakuan antara orang pribumi dan orang Eropa (Belanda) sangat mencolok, hal ini dilihat dari perawatan yang jauh lebih baik dan pekerjaan yang lebih ringan bagi orang Eropa, begitu pula soal makanan, kondisi kamar penjara dan fasilitasnya jauh lebih baik dari orang pribumi.14

Pada tahun 1865, Stoet van Beele berusaha memperbaiki keadaan penjara dengan mengutus residen Riau untuk meninjau sistem penjara yang ada di Singapura. Dikeluarkannya peraturan baru yaitu Stbld 1871 No. 28 dengan sistem klasifikasi. Sistem pengelolaan diperbaiki pula dengan administrasi yang kebih rapi dengan displin yang lebih ketat. Tahun 1871 dirancang suatu ordonansi yang berisi perbaikan menyeluruh terhadap sistem penjara, namun rancangan ini tidak pernah terwujud.

Pada tahun 1907 – 1916 dibentuk kantor pusat Kepenjaraan yang dipimpin oleh seorang kepala yang bernaung dibawah Departemen Justisi dalam waktu 9 tahun itu

14

(7)

administrasi kepenjaraan bertambah baik. Tahun 1917 lahirlah Reglemen Kepenjaraan (Geistichten Reglement) yang tercantum dalam Stbld 1917 Nomor 708 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1918. Reglemen inilah yang menjadi dasar peraturan perlakuan terhadap narapidana dan cara pengelolaan penjara. Reglemen ini didasarkan pada Pasal 29 KUHP ( WvS) yang terdiri kurang lebih 114 pasal.

Pada periode antara Perang Dunia II ( 1918 – 1942 ), di Jawa dan Madura ada empat jenis penjara :

(1) Penjara pusat yang disebut Centrale Gevangenis. Penjara pusat ini menampung terpidana yang agak berat ( lebih dari satu tahun ). Dalam penjara pusat ini terdapat perusahaan yang tergolong besar dan sedang serta perbengkelan.

(2) Penjara negeri yang disebut Landgevangenis. Penjara ini berfungsi untuk menampung narapidana yang tergolong ringan ( dibawah satu tahun ). Dalam penjara ini, pekerjaan yang dilakukan adalah kerajinan dan pekerjaan ringan yang lain serta bengkel – bengkel kecil.

(3) Rumah Tahanan yang disebut Huis van bewaring. Tempat ini menampung para tahanan terpidana kurungan dan terpidana penjara ringan. Dalam Rumah Tahanan ini tidak ada pekerjaan yang pasti.

(4) Bagi terpidana kanak – kanak. pada tahun 1921 telah didirikan ruangan khusus untuk yang berumur dibaewah 19 tahun. Kemudian di Tangerang didirikan

(8)

penjara kanak – kanak untuk yang berumur dibawah 20 tahun. Disusul di Pamekasan dan Ambarawa pada tahun 1927.15

Perbaikan yang dilakukan ini berlanjut dengan diadakan klasifikasi sebagai berikut :

(a) Narapidana yang dipandang dapat dan tidak dapat diperbaiki.

(b) Narapidana yang dapat diperbaiki ditempatkan di Madiun, Malang, dan Sukamiskin.

(c) Diadakan sistem sel ( Cellulaire ) yang juga disebut dengan sistem diam (silent system) pada tidur bekerja sam, sedangkan pada malam hari tidur di sel sendiri – sendiri. Ini terdapat di daerah Pamekasan, Sukamiskin, dan Tanah Tinggi.

(4) Penjara khusus untuk golongan Eropa, semula berada di daerah Semarang kemudian dipindah ke Sukamiskin. Penjara Sukamiskin termasuk penjara yang baik dan sejajar dengan penjara Eropa.

(5) Diangkat pejabat reklasering di Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Penjara - penjara yang mempunyai kedudukan khusus bagi narapidana yang ada di Indonesia dianataranya adalah :

(1) Penjara Sukamiskin khusus untuk bangsa Eropa dan intelektual.

(2) Penjara Cipinang untuk terpidana Klas 1.

(3) Penjara Glodok khusus untuk orang hukuman psycopaten.

15

(9)

(5) Penjara Sragen khusus untuk orang hukuman Klas 1, terutama yang menjalani pidana seumur hidup.

(6) Penjara kanak – kanak di Tangerang.

(7) Penjara kanak – kanak di Banyubiru dekat Ambarawa.

(8) Penjara khusus wanita di Bulu Semarang. 16

Pada zaiman kependudukan Jepang hampir tidak ada perubahan sistem kepenjaraan, hanya saja pekerjaan narapidana banyak dimanfaatkan untuk kepentingan militer Jepang. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sendiri di penjara dan antara kebutuhan tentara Jepang ditingkatkan, seperti bertani, menangkap ikan di laut, termasuk juga narapidana wanita dan kanak – kanak. Keadaan narapidana sangat menyedihkan, kurang makan, tetapi bekerja keras. Pekerjaan kerajinan juga ditingkatkan terutama untuk kepentingan tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, sistem pemenjaraan ada dua macam. Yang satu di daerah Republik dan yang lain di daerah yang diduduki Belanda. Keadaan ini tidak banyak berbeda dari keadaan sebelum perang. Untuk daerah Republik, Kepala Jawatan Kepenjaraan yang pertama ialah Mr. Notosusanto. Penjara ini dikelola sepenuhnya sesuai dengan Reglemen Kepenjaraan tahun 1917 Nomor 798, usaha ke arah sistem prevensi umum maupun khusus adalah menjadi tujuan. Terpidana dipenjara agar tidak

16

(10)

lagi melakukan kejahatan ( deterrent ) dan untuk prevensi umum, agar masyarakat takut berbuat semacam yang diperbuat terpidana.17

Narapidana ditempatkan di samping sel – sel yang terbatas jumlahnya, juga di bangsal – bangsal yang pengap, penuh sesak berbagai tipe penjahat sehingga ekses – ekses banyak terjadi. Perkelahian dan pemerasan antar narapidana banyak terjadi. Ada golongan “ jagoan “ yang menjadi “ raja “ di dalam penjara yang sering memeras sesamanya baik fisik maupun pasaran memesan uang, barang, atau makanan kepada keluarga narapidana. Selain itu juga ada penjara – penjara yang terorganisasi dengan baik, misalnya penjara di Malang yang ditinjau oleh Andi Hamzah pada tahun 1957, cukup baik dan bersih, narapidana diberi tanda pangkat seperti militer dan disiplin tinggi.18 Sebelum muncul sistem permasyarakatan, Indonesia pada awalnya

memberlakukan sistem kepenjaraan yang merupakan konsep bagi para pelaku tindak kriminalitas yang berasal dari Eropa dan diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia. Penerapan sistem kepenjaraan ini diatur dalam Gestichten Reglement ( Reglemen Penjara ) Stlb 1917 No 1708. Hal ini sudah jelas bahwa sistem kepenjaraan ini berasal dari pandangan liberal. Maka dari itu perlakuan terhadap narapidana juga berbau lliberal sehingga mempengaruhi semua komponen yang ada dalam sistem ini. Di dalam sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan. Tujuan diberlakukannya penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak yang dimaksudkan untuk membuat jera dan tidak lagi melakukan tidak pidana. Untuk

17

Ibid, hlm. 95.

18

(11)

mencapai tujuan ini maka peraturan – peraturan dibuat keras dan bahkan sering tidak manusiawi.

Konsep permasyarakatan yang ada di Indonesia menggantikan sistem penjara sehingga narapidana yang bebas nantinya akan mendapatkan ketermpilan dan keahlian yang di pelajari selama berada di Lembaga Perrmasyarakatan. Hasil dari konsep permasyarakatan ini narapidana dapat bekerja bahkan ada yang membuat lapangan pekerjaan sendiri namun tidak dipungkiri ada narapidana yang bebas namun ian masih melakukan tindak kriminalitas di masyarakat. Konsep permasyarakatan ini banyak menimbulkan dampak yang positif terhadap masyarakat.

Dalam perkembanganya di Indonesia, Konsepsi Pemasyarakatan dinyatakan pertamakali pada tahun 1963 oleh Sahardjo, pada saat beliau menerima gelar Doctor Honoris Causa (Pidato Pohon Beringin Pengayoman) :

(1) Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi para narapidana yang “tersesat jalan” dan memberi bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat.

(2) Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang dengan putusan hakim untuk menjalani pidananya yang ditempatkan dalam Lembaga kemasyarakatan maka istilah penjara dirubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.

(12)

(3) Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang di dasarkan atas asas pancasila dan memandang terpidana sebagai makluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus. 19

Munculnya sistem permasyarakatan pada tahun 1964 tiada lain adalah juga disebabkan oleh keadaan di Indonesia yang ingin menciptakan suatu sistem baru di segala bidang terutama di bidang kepenjaraan. Ajakan kembali kepada hukum versi tradisi lama Indonesia juga diikuti oleh perubahan yang sangat cepat dari hukum – hukum kolonial Belanda kepada hukum – hukum nasional. Sebagai contoh, Mantan Menteri Kehakiman RI. Alm. Dr. Sahardjo, S.H. telah mengganti istilah “ Penjara “ dengan “ Lembaga Permasyarakatan “ yang mencerminkan perubahan ideologi tersebut. 20

Konsep Pemasyarakatan yang dicanangkan oleh Dr. Sahardjo ini kemudian di sempurnakan oleh Keputusan Konferensi dinas para pimpinan kepenjaraan, Konferensi Kepenjaraan di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964 ini mengatakan bahwa sistem pidana penjara dilakukan dengan sistem pemasyarakatan. Dengan demikian Sistem Pemasyarakatan,telah memperkenalkan “treatment” ke dalam sistem kepenjaraan Indonesia. Konferensi Kepenjaraan ini telah menerima 10 prinsip dasar dari Pemasyarakatan yaitu :

(1) Orang yang tersesat di ayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan material,

19Soedjono Dirdjosisworo, Sejarah Dan Azaz Penologi, (Bandung : Armico,

1984 ) hlm 11.

20

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, ( Bandung : Alumni, 1982 ) hlm. 11 -12.

(13)

tetapi lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

(2) Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara, terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkan kemerdekaannya.

(3)Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan dan kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana juga dapat diikutsertakan dalam kegiatana-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

(4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga, karena itu harus diadakan pemisahan antara:

a) Yang residivis dengan yang bukan.

b) Yang telah melakukan tindak pidana berat dan ringan. c) Macam tindak pidana yang diperbuat.

d) Dewasa, dewasa-muda dan anak-anak.

e) Orang terpidana yaitu narapidana yang sudah mendapatkan vonis hukuman dan orang tahanan yaitu narapidana yang sedang menynggu vonis hukuman.

(5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan darinya kini menurut Sistem

(14)

Pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti kultural. Secara bertahap mereka akan di bimbing di tengah - tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses Pemasyarakatan. Sistem Pemasyarakatan didasarkan kepada pembinaan yang community centered dan berdasarkan interaktivitas dan interdisipliner aproach antara unsur-unsur pegawai, masyarakat dan narapidana.

(6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya di peruntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara saja. (7) Bimbingan dan didikan ini harus sesuai dengan nilai – nilai Pancasila.

(8) Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat.

(9) Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

(10) Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan sesuaidengan kebutuhan pelaksanaan program-program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses Pemasyarakatan.21

Sistem permasyarakatan dilahirkan pada tahun 1964 bukanlah suatu kebetulan karena situasi politik Indonesia sedang menuju ke arah sosialisme Indonesia bahkan situasi ini telah ikut berperan dalam memperkuat eksistensi sistem kemasyarakatan. Posisi Dr. Sahardjo sebagai Menteri Kehakiman sekaligus sebagai pencetus gagasan permasyarakatan nampak menunjang pandangan dimana beliau mengatakan bahwa tujuan penjatuhan hukuman bukanlah menghukum semata – matau atau membuat si

21

(15)

pelanggar hukum menderita akan tetapi membimbing merekan menjadi warga sosialis Indonesia yang berguna 22

Dasar Hukum atau Undang – Undang yang digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah Reglemen Penjara. Dasar hukum itu telah digunakan sejak tahun 1917, suatu undang – undang yang sudah tidak layak diberlakukan lagi karena bersumber pada hukum kolonial. Dalam pembinaan di penjara keberhasilan pembinaan tidak dapat dipungkiri juga tergantung kepada pegawai yang ada dalam penjara tersebut, dalam reglement di atas dalam penjelasannya bahwa “pegawai penjara diwajibkan untuk memperlakukan narapida secara berpri kamanusiaan dan berpri keadilan” dengan tujuan yang dicita-citakan agar narapidana dapat berubah kepada yang lebih baik. Akan tetapi dengan adanya kesungguhan yang patut serta hanya dengan tujuan tidak dibolehkan adanya suatu ikatan persahabatan antara terpidana dengan pegawai penjara.23

Dalam sistem permasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan dengan tahap – tahap admisi / orientasi, pembinaan dan asimilasi. Tahap admisi/orintasi ini dimaksudkan agar para narapidana mengenal cara hidup, peratutan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya. Di dalam tahap pembinaan, pata narapidana ini dibimbing supaya tidak melakukan lagi tindak pidana serta para narapidana ini diberikan pendidikan agama, keterampilan dan kegiatan pembinaan lainnya. Tahap yang terakhir adalah asimilasi yang tujuannya adalah sebagai upaya penyesuaian diri

22

Achmad S. Soema & Romli Atmasasmita, Sistem Permasyarakatan di Indonesia, ( Jakarta : Bina Cipta, 1979 ), hlm. 13.

23

Bachtiar Agus Salim, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini,( Medan: Pustaka Bangsa, 2003 ),hlm. 129

(16)

bagi narapidana ke dalam masyarakat dan juga sebaga salah satu latihan bagi narapidana agar dapat menyesuaikan diri dengan msyarakat tanpa rasa canggung bila narapidana ini keluar dari Lembaga Permasyarakatan.24

Pembinaan terhadap narapidana dewasa ini dilakukan dengan empat tahap yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu yaitu :

(a) Tahap Pertama

Setiap narapidana yang masuk ke lembaga permasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal perihal dirinya termasuk bagaimana narapidana ini melakukan pelanggaran dan keterangan mengenai narapidana ini diperoleh dari keluarga serta orang – orang yang tahu tentang perkara kejahatan yang ia lakukan. (b) Tahap kedua

Dalam tahap ini dilakukan proses pembinaan terhadap narapidana tersebut dan jika dirasa sudah cukup kemajuan maka narapidana ini diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan ke dalam Lembaga Permasyarakatan melalui pengawasan. (c) Tahap ketiga

Jika narapidana yang masuk ke dalam Lembaga Permasyarakatan ini mengalami kemajuan yang cukup pesat baik dari segi fisik maupun keterampilan yang diperoleh narapidana melalui program pembinaan yang ada maka proses pembinaan ini dapat diperluas dan narapidana ini dapat bebas dengan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang kebebasannya.

24

(17)

(d) Tahap Keempat

Jika proses pembinaannya melalui tahap akhir maka narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan akan mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya.

Dalam sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan, maka tidaklah keliru jika pendekatan terhadap sistem yang digunakan adallah pendekatan keamanan. Dalam sistem kemasyarakatan pendekatan yang digunakan masih menggunakan pendekatan keamanan namun tujuan berbeda yaitu pembinaan dan bimbingan. Pembinaan adalah faktor utama dalam permasyarakatan bukan keamanan. Pembinaan adalah tujuan utama dari permasyarakatan dan bukan keamanan, keamanan adalah hanya sebagai sub bagian dari pembinaan dan keamanan sebagai salah satu dari sekian banyak penopang keberhasilan pembinaan narapidana. 25

Konsep permasyarakatan yang ada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ini telah menggantikan sistem penjara. Sistem permasyarakatan ini dilakukan dalam rangka membentuk warga binaan permasyarakatan (narapidana dan tahanan ) agar menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat. Di dalam Lembaga Permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, para narapidana maupun tahanan ini menerima pembinaan baik pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian, pembinaan kerohaniam maupun pembinaan jasmani. Pelaksanaan pembinaan kepada narapidana dalam upaya mengembalikan narapidana menjadi masyarakat yang baik sangat penting untuk dilakukan. Pelaksanaan pembinaan

(18)

narapidana ini didasarkan pada pola pembianaan narapidana yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman yang berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI.

Lembaga Permasyarakatan Surakarta yang berstatus Rutan, namun dalam pelaksanaannya kegiatan pembinaan menggunakan pedoman Proses Permasyarakatan. Sebenarnya Proses Permasyarakatan merupakan tahapan pembinaan yang dilakukan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas). Adapun tahapan pembinaan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap awal, tahap lanjutan, tahap akhir. Dalam setiap tahapan terdapat perlakuan dan bentuk kegiatan yang harus diikuti setiap narapidana. Tahap pertama yaitu tahap maximum security selama satu bulan yang disebut dengan masa admisi orientasi. Warga binaan yang baru masuk dalam Rutan selama satu bulan menjalani tahap administrasi yaitu pendataan ulang guna mengetahui identitas dan latar belakang kehidupan narapidana dan setelah itu perlu adanya orientasi yaitu berupa pengarahan atau pemberitahuan mengenai tata tertib Rutan, mengenai hak dan kewajiban narapidana serta pengenalan lingkungan.

Tahap atau masa ini bertujuan supaya narapidana yang baru masuk dapat diketahui identitasnya secara lengkap serta supaya narapidana yang baru masuk tidak kaget atau shock dengan keadaan di dalam Rutan ataupun stress karena putusan hakim yang baru dia terima. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki data yang lengkap mengenai narapidana baik itu data narapidana yang bersifat lokal (yang berasal dari daerah eks Karesidenan Surakarta) maupun yang berasal dari luar wilayah Surakarta itu sendiri. Kebanyakan narapidana yang berasal dari daerah eks Karesidenan Surakarta ini masa pidananya di bawah satu tahun.

(19)

Pada masa administrasi dan orientasi selama satu bulan narapidana yang bersangkutan dapat diberikan pembinaan kepribadian. Dengan program – program pembinaan kesadaran keagamaan, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual dan pembinaan kesadaran hukum. Program pembinaan kesadaran keagamaan ini disesuaikan dengan keyakinan yang dianut oleh narapidana. Untuk pembinaan kesadaran beragama ini pihak Rutan memberikan fasilitas yang berbentuk fisik dan non fisik. Tujuan dari dilaksanakannya pembinaan kesadaran keagamaan ini adalah agar para narapidana menjadi orang yang patuh terhadap peraturan – peraturan agama dan bertobat untuk kembali ke jalan yang benar. 26

Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara ini bertujuan untuk membentuk jiwa kebangsaan, cinta tanah air, dan berani berkorban demi kehormatan dan martabat bangsa. Kegiatan ini umumnya berupa latihan baris berbaris yang melatih adalah petugas Rutan. Pembinaan kemampuan intelektual bertujuan untuk meningkatkan wawasan narapidana. Rutan Surakarta menyediakan perpustakaan sebagai sarana untuk membaca. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran warga binaan akan pentingnya membaca untuk menambah pengetahuan. Rutan mempunyai program bagi warga binaan yang buta huruf yang kejar paket A dan B. Terbentur peraturan tentang kejar paket A dan B yang masa penempuhannya sama dengan yang ada di luar yaitu sekolah – sekolah umum, yaitu setingkat SD 6 tahun, SMP 3 tahun, dan SMA 3 tahun, maka hal ini tidak dapat dilakukan oleh Rutan. Hal ini disebabkan Rutan dihuni oleh tahanan dan narapidana yang masa hukumannya kurang dari satu tahun dan 12

(20)

bulan. Maka dalam pelaksanaannya hanya berorientasi pada pemberantasan buta huruf saja

Pembinaan kesadaran hukum ini dilakukan dengan mengedepankan pemberian pemahaman hukum pada warga binaan. Seseorang yang telah diputus oleh hakim disadarkan dengan adanya pendekatan hukum yaitu memberikan penjelasan tentang akibat melakukan tindakan yang melanggar hukum. Penyuluhan mengenai kesadaran hukum ini dilakukan oleh petugas rutan. Tahap maximum security ini berlangsung dari 0 sampai dengan 1/3 masa pidana yang ditempuh oleh narapidana.

Sistem Pembinaan kepada narapidana ini merupakan sebuah terobosan baru bagi Lembaga Permasyarakatan yang ada di daerah Surakarta sebab pada awalnya Lembaga Permasyarakatan di Surakarta mempunyai sistem penjara namun pada saat sistem permasyarakatan dicanangkan maka Lembaga Permasyarakatan di Surakarta ini berganti nama yaitu Bina Tuna Warga yaitu sebuah wadah untuk membina narapidana agar narapidana ini dapat dilatih keterampilannya namun setelah beberapa lama Bina Tuna Warga ini akhirnya berubah menjadi sistem pembinaan bagi narapidana yang berlaku sampai sekarang. Sistem pembinaan kepada narapidana ini sangat membantu dalam menata narapidana yang ada di Lembaga Permasyarakatan di Surakarta.

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah salah satu tempat pembinaan narapidana yang ada di Jawa Tengah yang dalam program pembinaannya ini memiliki program – program kemandirian yang dilaksanakan dalam berbagai bidang seperti bidang olahraga, kesenian, pendidikan, keterampilan, dan bidang sosial. Semua kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan agar narapidana dapat kembali berperan ke dalam masyarakat sebagai warga mandiri, bebas dan bertanggung jawab. Setiap kegiatan

(21)

pembinaan ini memegang peran penting dalam upaya perbaikan tingkah laku bagi narapidana itu sendiri.

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ini merupakan tempat penggabungan para narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan yang ada di daerah se eks – Karesidenan Surakarta seperti Sragen, Boyolali, Wonogiri, Klaten dan Surakarta. Pada tahun 1978, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ini adalah pusat dari lembaga – lembaga permasyarakatan yang ada di daerah eks Karesidenan Surakarta sehingga jika ada narapidana yang masuk ke dalam lembaga – lembaga permasyarakatan seperti Sragen, Boyolali, Wonogiri, Klaten harus melalui persetujuan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta itu sendiri mempunyai wewenang untuk melakukan pembinaan bagi narapidana yang ada lembaga permasyarakatan yang ada di daerah eks Karesidenan Surakarta dengan memberikan Surat Keputusan untuk lembaga – lembaga yang ada daerah eks Karesidenan Surakarta untu melakukan pembinaan kepada para narapidana.

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ini merupakan pusat dari lembaga – lembaga Permasyarakatan yang ada di daerah eks Karesidenan Surakarta. Tugas dan wewenang dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 di Surakarta ini diberikan oleh Departemen Kehakiman dan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta setiap bulannya harus melaporkan mengenai kondisi dan situasi Lembaga Permasyarajatan yang ada di daerah eks Karesidenan Surakarta. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta membuat program pembinaan kepada narapidana yang nantinya akan diikuti oleh Lembaga – lembaga permasyarakatan yang berada di daerah eks Karesidenan Surakarta.

(22)

Banyaknya tindakan kriminalitas pada tahun 1978 hingga tahun 1986 membuat Lembaga Permasyarakatan yang ada di Surakarta ini mengambil tindakan tegas untuk menghukum para narapidana namun hukuman yang diberikan bukan hukuman yang dilakukan secara fisik tapi hukuman yang diberikan kepada narapidana ini berupa para narapidana ini mendapatkan bimbingan dan keterampilan yang ada di Lembaga Permasyarakatan Surakarta. Bimbingan dan keterampilan ini merupakan sebuah program pembinaan narapidana dan narapidana yang ada di Lembaga Permasyarakatan ini memiliki tiujuan agar narapidana tidak berbuat kesalahan lagi. Lembaga Permasyarakatan di Surakarta ini menjadi pelopor pembinaan narapidana untuk Lembaga – lembaga permasyarakatan lain yang ada di daerah eks Karesidenan Surakarta.

Pekerjaan keterampilan dan kerajinan relatif berjalan dengan baik Hiburan seperti sandiwara, nyanyi, dan tari sering dipentaskan di ruangan khusus dan saat itu juga ada uang khusus yang hanya berlaku di dalam penjara dimana narapidana dapat membelanjakannya di toko dalam penjara untuk keperluan sehari – hari seperti sabun, pasta gigi, dan lain – lain. Ide mengenai Sistem Permasyarakatan ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Sahardjo. S.H.

Menurut Sahardjo, tujuan pidana penjara adalah di samping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar bertobat serta mendidiknya supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Tujuan dari Sistem Permasyarakatan yang dicetuskan Sahardjo ini bertujuan yaitu mengayomi masyarakat dari perbuatan jahat, dan membimbing terpidana sehingga kembali menjadi anggota masyarakat yang

(23)

berguna. Titik tolak pemikiran Sahardjo bahwa masyarakat yang diayomi dengan adanya tidak pidana, tidak hanya pelaku tindak pidana yang diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidup kelak setelah keluar dari Lembaga Permasyarakatan agar berguna bagi dan di dalam masyarakat. 27

Gagasan dari Sahardjo menganut sistem campuran penjeraan ( deterrent ) dan reformasi terpidana.28 Di dalam Lembaga Permasyarakatan (Rumah Tahanan) ,para

tahanan dan narapidana akan menerima pembinaan baik pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian, pembinaan kerohanian maupun pembinaan kerohanian. Dengan adanya pembinaaan ini, para narapidana ini bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak. Tujuan dari pembinaan ini adalah menumbuhkan dan mengembarkan kesadaran untuk melksanajkan ajaran – ajaran terutama ajaran agama dalam kehidupan sehari – hari supaya menimbulkan sikap dan suasana kejiwaaan yang diliputi oleh nilai – nilai agama seperti sikap sabar, pasrah dan tidak mudah putus asa. 29

27 C.I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, ( Jakarta : Djambatan,

1995 ) hlm. 2.

28Andi Hamzah,op cit, hlm. 96.

29 Mubarok, Metodologi Dahwah Kepada Narapidana, ( Jakarta : Proyek

Penerangan Bimbingan dan Dakwah, Kutbah Agama Islam Pusat, DEPAG, 1978 ), hlm .34.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Mami dan Papi yang telah membesarkan, memberi kasih sayang yang tiada hentinya, berdoa dan mendukung serta selalu memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis

rukun dan syarat perkawinan yan g sesuai dengan syari’at Islam yang dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis terhadap sistem pemesanan lama yang masih menggunakan fax dan mengetahui analisis dan perancangan aplikasi e-Logistic

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Pengaruh Keterampilan

[r]

--- Mulianya Junjungan Besar kita, Rasulullah S.A.W , walaupun telah dijanjikan Allah bahwa dia akan mengepelai manusia di Syurga, tapi dia sendiri tak sanggup MENDENGAR umatnya

Pimpinan juga diharapkan dapat lebih meningkatkan komponen kualitas kehidupan kerja yaitu komponen rasa aman dan komponen keadilan yang masih berada di bawah skor

Toleransi arah kiblat dalam perspektif astronomi yang diterjemahkan dari hadis imam Baihaqi diperoleh dari hasil perhitungan arah kiblat berdasarkan titik acuan