• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. DISONANSI SETELAH PROSES PEMBELIAN. Menurut Solomon (1992), Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. DISONANSI SETELAH PROSES PEMBELIAN. Menurut Solomon (1992), Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu dari"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. DISONANSI SETELAH PROSES PEMBELIAN 6. Pengertian Disonansi

Menurut Solomon (1992), Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu dari pendekatan terhadap tingkah laku yang paling penting berdasarkan pada prinsip konsistensi. Teori ini mengemukakan bahwa orang termotivasi untuk mengurangi keadaan negatif dengan cara membuat keadaan sesuai satu sama lainnya. Elemen kognitif adalah sesuatu yang dipercayai oleh seseorang bisa berupa dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga pengamatan terhadap sekelilingnya. Pengurangan disonansi dapat timbul baik dengan menghilangkan, menambah, atau mengganti elemen-elemen kognitif.

Disonansi Kognitif dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan mereka tidak sejalan bersama dengan kenyataan yang ada. Kondisi ini mendorong mereka untuk merubah pikiran, perasaan dan tindakan mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku dan kepercayaan mereka yang lainnya (East,1997).

Menurut Festinger (dalam Schiffman dan Kanuk,1997), Cognitive Dissonance Theory dibentuk dalam tiga konsep yaitu:

(2)

a. Seseorang lebih suka untuk konsekuen dengan cognitions mereka dan tidak suka menjadi tidak konsisten dalam pemikiran, kepercayaan, emosi, nilai dan sikap.

b. Disonansi terbentuk dari ketidaksesuaian psikologis, lebih dari ketidaksesuaian logika, dimana dengan meningkatnya ketidaksesuaian akan meningkatkan disonansi yang lebih tinggi.

c. Disonansi adalah konsep psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan dan mengharapkan dampak yang bisa diukur.

Festinger (dalam Bem, 1967) menjelaskan bahwa disonansi kognitif merupakan keadaan dimana seseorang mengalami ketidakkonsistenan kognitif. Orang tersebut cenderung mengalami tekanan. kognitif merupakan proses berpikir seseorang yang terdiri atas keyakinan, opini, sikap, persepsi dan begian dari pengetahuan mengenai suatu hal – tentang orang lain, objek, issu dan lain-lain (Aronson, 2004; Littlejhon&Foss, 2005; O’Keefe, 2002).

Wells & Prensky (1996) menyatakan bahwa individu akan mengalami ketidaknyamanan perasaan yang dikenal sebagai disonansi kognitif, ketika pengetahuan, perilaku, atau tindakan yang kita lakukan tidak sejalan satu sama lain. Saat disonansi muncul individu akan mencari cara untuk menguranginya dengan merubah hal yang tidak konsisten pada elemen kognitif tersebut.

6. Pengertian Disonansi Pasca Pembelian (Postpurchase Dissonance) Disonansi setelah proses pembelian (postpurchase dissonance) merupakan disonansi kognitif yang terjadi setelah adanya proses pembelian, dimana setelah

(3)

proses pembelian, konsumen memiliki perasaan yang tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasan yang cenderung untuk memecahkannya dengan merubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman dan Kanuk,1997).

Menurut Hawkins, Best & Coney (1986) disonansi pasca pembelian merupakan salah satu hal setelah proses pembelian yang seharusnya diperhatikan dan dimengerti oleh konsumen. Pada prosesnya, disonansi pasca pembelian adalah usaha yang dilakukan oleh konsumen untuk memanggil kembali saat membuat keputusan penting dalam proses membeli, dimana konsumen menimbang atas beberapa alternatif pilihan yang ditawarkan. Konsumen akan mulai mempertanyakan dan merasa cemas dengan pilihan yang telah dibuatnya. Skema yang terjadi pada konsumen yang mengalami disonansi pasca pembelian adalah seperti dibawah ini :

Disonansi pasca pembelian pengaduan konsumen

Pembelian pemakaian evaluasi pembelian

kembali

(4)

Ada beberapa kondisi atau syarat pembelian yang memunculkan disonansi pasca pembelian pada konsumen, diantaranya :

a. Keputuasan yang akan diambil merupakan keputusan mengenai suatu hal yang sangat penting bagi konsumen. Konsumen harus mempunyai ketrikatan secara psikologis atau konsumen harus membayar mahal untuk mendapatkan barang tersebut.

b. Konsumen merasa bebas dalam menentukan pilihan. Keputusan pemilihan barang yang dilakukan konsumen dilakukan karena keinginan sendiri dan tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain.

c. Konsumen hanya punyai sekali kesempatan menetapkan komitmen. Keputusan pemilihan barang yang dibuat oleh konsumen tidak dapat diulang lagi. Misalnya barang yang dibeli konsumen tidak daat dikembalikan lagi.

(Cummings&Venkatesan, 1997; Korgaonkar&Moschis, 1982; Mowen, 1995; Oliver, 1997)

Korgaonkar&Moschis (1982) menambahkan bahwa keputusan pembelian yang besar mempunyai konsekuensi panjang terhadap konsumen yang akan semakin mengarahkan konsumen untuk mengalami disonansi.

Menurut Singh (2003) ada beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya disonansi, yaitu :

a. Batas minimum toleransi terlampaui. Maksudnya. Konsumen mungkin mempunyai level inkonsistensi dalam hidupnya sampai akhirnya mencapai disonansi.

(5)

b. Tindakan yang dilakukan tidak dapat diulang kembali, ketika konsumen membeli mobil baru, sangat kecil kemungkinannya untuk menukar mobil tersebut atau mendapatkan uangnya kembali.

c. Ada beberapa alternatif yang menarik. Dalam pembelian mobil contohnya, alternatif yang ditawarkan mempunyai beberapa kemiripan model yang dianggap menarik. Penelitian mengindikasikan bahwa konsumen yang merasa kesulitan dalam membuat keputusan atau kesulitan dalam menentukan toko dan merek cenderung mengalami disonansi pasca pembelian.

d. Alternatif yang disediakan mempunyai kualitas yang tidak sama (adanya kognitif overlap). Misalnya, diantara beberapa pilihan model telepon genggam yang ada, salah satunya mempunyai karakteristik yang unik. e. Pembelian yang dilakukan karena adanya keterikatan psikologis.

Misalanya, dalam pembelian perabotan untuk sebuah ruang tamu yang dirasa mempunyai keterikatan psikologis karena secara dramatis merefleksikan citra dekorasi, philosopi dan gaya hidup pembelinya. Keterlibatan ego sangat besar dalam hal ini.

f. Tidak ada tekanan yang dirasakan konsumen saat mengambil keputusan. Apabila konsumen merasakan tekanan saat membeli produk atau membeli produk atas suruhan orang lain, maka konsumen akan melakukan pembelian tanpa melihat produk tersebut dari sudut pandangnya sendiri. Dengan kata lain, konsumen tidak akan merasakan pergolakan mental dalam kognisinya.

(6)

6. Faktor Disonansi Kognitif

Disonansi pasca pembelian terjadi apabila konsumen telah melakukan keputusan yang sulit, sehingga menaikkan kecemasan yang dialami konsumen. Penyebab konsumen akan mengalami disonansi pasca pembelian, diantaranya :

a. Tingkat komitmen yang dimiliki konsumen. Konsumen yang dengan mudah mengubah keputusannya akan rendah tingkat disonansi yang dialaminya. Dan sebaliknya konsumen yang berkomitmen dan telah memakai produk tersebut dalam jangka waktu yang lama akan semakin mengalami disonansi ketika dihadapkan pada alternatif pilihan yang ada. b. Pentingnya keputusan yang dibuat konsumen. Biasanya keputusan besar

yang dibuat oleh konsumen akan memungkinkan konsumen untuk mengalami disonansi. Misalnya dalam mengambil keputusan untuk membeli rumah atau produk mahal lainnya konsumen akan merasakan disonansi yang tinggi.

c. Kesulitan memilih alternatif yang disediakan. Pengalaman akan mempengaruhi pengambilan keputusan besar. Keputusan yang sulit akan terjadi apabila ada sejumlah alternatif, dimana setiap alternatif menawarkan hal yang berbeda-beda.

d. Kecenderungan individu untuk mengalami kecemasan. Kecenderungan kecemasan pada tiap konsumen tidaklah sama. Konsumen dengan kecenderungan mengalami kecemasan yang lebih tinggi akan semakin mudah mengalami disonansi.

(7)

Jadi kesimpulannya, disonansi muncul disebabkan oleh pengambilan keputusan yang relatif permanen dalam memilih satu alternatif yang dikehendaki dan melepaskan alternatif lain yang lebih menarik. Beberapa keputusan penting dalam pembelian akan menyebabkan disonansi dan ketika disonansi tidak dapat lagi ditoleransi maka, konsumen akan berusaha untuk mengurangi disonansi tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk menguranginya adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan keinginan membeli barang dengan merek tertentu b. Mengurangi keinginan terhadap alternatif pilihan yang telah ditolak c. Mengurangi pentingnya keputusan membeli

Pengurangan disonansi dalam diri konsumen ini melibatkan reevaluasi internal dan eksternal. Pada proses ini, yang paling penting adalah adanya informasi baru yang diterima konsumen yang sifatnya eksternal. Informasi tersebut didapatkan dari iklan, penjual yang didatangi langsung, dan pelayanan yang disediakan oleh pemasar (Hawkins, Best & Coney, 1986).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Czinkota et al (2000) mengenai cara yang dilakukan konsumen untuk mereduksi disonansi yang dialami dengan menyelaraskan keputusan yang telah dibuatnya. Maksudnya, konsumen akan mencari informasi yang mendukung keputusan membeli yang telah dilakukannya (meyakinkan bahwa keputusan pembelian yang dilakukannya tepat), menghindari informasi yang kontradiksi dengan keputusan pembelian atau menarik kembali keputusan awal dengan mengembalikan produk.

Cara lain yang mungkin dilakukan konsumen untuk mereduksi disonansi yang dialami pasca pembelian adalah dengan membicarakan atau memberitahu

(8)

kepada keluarga maupun teman mengenai ketidaksenangan yang dirasakan (Lamb et al, 2004).

6. Penyebab Disonansi Pasca Pembelian

Strydom et al (2000) menyatakan bahwa disonansi kognitif sering muncul karena pada konsumen melakukan pembelian besar yang sulit dan tidak bisa diulang.

Etzel et al. (2001) menyatakan bahwa dasar dari disonansi kognitif adalah dasar kecemasan dalam melakukan pembelian sulit dalam memilih alternative yang disediakan. Disonansi merupakan rahasia umum, dan apabila kecemasan tidak bias dihilangkan, konsumen mungkin tetap tidak bahagian dengan produk yang dipilihnya meskipun produk yang dibeli telah sesuai dengan harapan konsumen.

Disonansi pasca pembelian muncul karena salah satu alternative yang dipilih konsumen memiliki kekurangan sekaligus kelebihan.

Menurut Bermans & Evans (1998), disonansi kognitif muncul karena pembuatan keputusan yang relatif permanen dalam memilih salah satu alternative untuk mengalahkan fitur yang menarik dari alternative yang tidak dipilih. Hill & O’Sullivan (1996) menambahkan bahwa, karena keputusan pembelian yang melibatkan keterlibatan tinggi selalu diikuti oleh satu atau lebih factor yang mengarahkan pada disonansi pasca pembelian, maka keputusan pembelian seperti ini sering disertai disonansi.

Dalam membuat keputusan akhir, konsumen tidak hanya harus melupakan pilihan menarik lainnya, tetapi juga harus memikirkan soal uang yang akan

(9)

digunakan untuk membeli. Bukanlah hal yang mengherankan apabila konsumen merasa bersalah atas kebijaksanaan keputusannya (Foxall et al, 2001). Perasaan negative dari rasa bersalah dan ketidakpastian pada periode pasca pembelian akan mengarahkan pada disonansi pasca pembelian, emosi negative muncul dari tidak konsistennya psikologis dalam kognisi (hal yang diketahui oleh konsumen) (Strydom et al, 2000).

Disonansi kognitif muncul dikarenakan konsumen pembelian produk yang dilakukan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Misalnya pada pembelian stereo, kerugiannya berupa harga yang mahal beradu dengan keuntungan berupa kecanggihan teknologinya. Dengan kata lain, disonansi adalah ketidakpastian atau kecemasan pasca pembelian (Etzel et al, 2001).

Kinicki & Williams (2003), mengatakan bahwa individu sering mengalami disonansi hanya pada saat membeli produk yang mempunyai keterlibatan yang tinggi. Disonansi kognitif merupakan tekanan dari dalam yang dialami konsumen setelah mengetahui kekurangan produk.

5. Faktor Yang Mempengaruhi Disonansi Pasca Pembelian

Menurut Halloway (dalam Loudon & Bitta, 1979) ada beberapa hal yang mempengaruhi disonansi pasca pembelian, yaitu :

a. Daya tarik alternatif yang ditolak. Apabila alternatif yang ditolak mempunyai daya tarik yang lebih atau sama dengan alternatif yang dipilih maka, hal tersebut akan semakin mengarahkan konsumen untuk mengalami disonansi kognitif.

(10)

b. Faktor negatif pada alternatif yang dipilih. Konsumen akan sulit sekali untuk menerima hal negatif yang terdapat pada produk yang telah dipilihnya. Semakin banyak hal negatif yang dirasakan ada pada produk yang telah dibeli, maka akan semakin besar pula disonansi yang dialami oleh konsumen.

c. Jumlah alternatif yang ada. Semakin banyak jumlah alternatif yang disediakan, maka akan semakin besar pula disonansi yang dialami oleh konsumen.

d. Pentingnya keterlibatan kognitif. Semakin besar keterlibatan kognitif pada keputusan membli atau memilih produk yang dilakukan konsumen, maka akan semakin besar pula disonansi yang dialami oleh konsumen.

e. Hal positif yang diciptakan. Apabila produk yang dibeli sesuai dengan kebutuhan, maka disonansi yang terjadi akan sedikit, sebaliknya apabila produk yang dibeli berbeda dengan yang dibutuhkan maka disonansi yang timbul akan semakin besar.

f. Discrepansi atau perilaku negatif. Apabila konsumen membeli produk baru dengan harga yang tidak sesuai dengan kebiasaannya, maka konsumen akan cenderung untuk merasakan disonansi yang besar. Misalnya konsumen yang biasa membeli jam tangan dengan harga 2 juta rupiah akan merasakan disonansi yang sangat tinggi saat dia membeli jam tangan dengan harga 5 juta rupiah.

g. Informasi yang diperoleh. Informasi yang baik dan sesuai dengan yang dibutuhkan konsumen akan menciptakan penerimaan konsumen pada

(11)

produk tersebut. Penerimaan konsumen pada produk akan meminimalkan disonansi yang dirasakan konsumen.

h. Antisipasi terhadap disonansi. Konsumen yang telah memperkirakan hal-hal buruk terhadap produk yang dibelinya akan membuat konsumen dapat menerima keburukan yang muncul pada produknya, dan hal yang demikian akan mengurangi disonansi pada konsumen.

i. Pengetahuan dan keterbiasaan. Konsumen yang telah sering menggunakan produk yang sama dan mempunyai informasi yang cukup mengenai produk yang dibelinya cenderung untuk tidak mengalami disonansi

6. Dimensi Disonansi Pasca Pembelian

Menurut Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) disonansi kognitif dapat diukur dengan tiga dimensi yaitu: Emotional (emosional), Wisdhom of Purchase (kebijaksanaan pembelian), dan Concern Over the Deal (perhatian setelah transaksi).

a. Emotional (emosi) adalah ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan pembelian. Berkaitan dengan situasi psikologi konsumen setelah melakukan pembelian, dalam hal ini kondisi psikologis konsumen secara alami mempertanyakan apakah tindakan yang dilakukannya telah tepat.

b. Wisdhom of Purchase (kebijaksanaan pembelian) adalah ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian, dimana mereka bertanya apakah mereka sangat membutuhkan produk tersebut atau apakah

(12)

mereka telah memilih produk yang sesuai. Berkaitan dengan keputusan yang telah dilakukan disini konsumen mempertanyakan apakah dia telah membeli suatu barang yang benar-benar sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.

c. Concern Over the Deal (perhatian setelah transaksi) adalah ketidaknyamanan yang dialami sesesorang setelah transaksi pembelian dimana mereka bertanya–tanya apakah mereka telah dipengaruhi oleh tenaga penjual yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka. Berkaitan dengan kekecewaan konsumen dimana pada kondisi ini konsumen cenderung kurang yakin dengan keputusan yang telah dibuatnya

B. PENGETAHUAN TENTANG PRODUK 1. Pengetahuan (Knowledge)

Menurut Peter & Olson (2002) pengetahuan konsumen yang tersimpan di memori akan mempengaruhi kognitif dalam membuat keputusan membeli. Pengetahuan yang dimiliki konsumen mencakup informasi yang dapat mebentuk pngetahuan itu sendiri, makna dan kepercayaan. Secara garis besar pengetahuan pada diri konsumen dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu :

a. General knowledge

General knowledge adalah pengetahuan yang mencakup pengetahuan tentang lingkungan dan perilaku. General knowledge merupakan interpretasi yang relevan dari informasi yang diperoleh konsumen dari lingkungan. Misalnya, konsumen membuat kategori produk tertentu (compact disk), toko

(13)

(macan yaohan), perilaku yang mungkin muncul (belanja di mall), orang lain (sahabat karib) dan dirinya sendiri (pintar).

General knowledge yang tersimpan dalam memori berfungsi sebagai proposisi yang menghubungkan dua konsep. Misalnya menghubungkan antara sebuah “kamera digital bermerek Canon” dengan “mahal”. Penghubung yang dua konsep akan menentukan pengertian atau arti dari konsep yang dihubungkan. Penghubung yang berbeda akan menghasilkan pengertian yang berbeda pula. General knowledge dibagi lagi dalam dua pengetahuan spesifik, yaitu general episodic dan semantic knowledge. General Episodic knowledge meliputi kejadian spesifik yang terjadi pada kehidupan individu berupa waktu terjadinya. Sedangkan general semantic knowledge meliputi pemaknaan personal dan kepercayaan konsumen mengenai suatu hal.

b. Procedural knowledge

Procedural knowledge adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan suatu hal. Procedural knowledge tersimpan di memori sebagai hasil. Hasil dari tipe spesial yang menggunakan kalimat pengandaian sebagai proposisi yang menghubungkan konsep atau kejadian dengan perilaku. Misalnya, “jika produk yang dibeli tidak memuaskan, jangan beli lagi produk yang sama”. Procedural knowledge dibutuhkan saat konsumen membeli barang-barang yang berteknologi tinggi, seperti komputer, kamera digital dan lain-lain. Banyak konsumen yang merasa kesulitan untuk mengunakan atau mengoperasikan produk yang begitu kompleks, sehingga pemasar perlu membuat cara pemakaian produk tersebut.

(14)

Kedua tipe pengetahuan yang disebutkan diatas akan muncul disetiap situasi dan sangat mempengaruhi perilaku konsumen. General knowledge dan procedural knowledge diorganisasikan menjadi sebuah srtuktur pengetahuan dalam memori yang difungsikan secara bersamaan dengan menggunakan assosiative network.

2. Jenis Struktur Pengetahuan

Menurut Peter dan Olson (2002), dalam diri individu terdapat struktur pengetahuan, yaitu skema (schema). skema merupakan suatu jaringan asosiatif dari arti-arti yang dihubungkan. Sebagian besar skema berisikan pengetahuan umum semantik dan episodik. Skema muncul dalam berbagai level yang bersifat abstrak, misalnya konsumen mempunyai skema spesifik mengenai sebuah merek sama baiknya dengan konsep umum mengenai produk tersebut (Engel, Blackwell dan Miniard, 1995).Skema dapat diaktifkan pada situasi pengambilan keputusan dan dapat mempengaruhi proses kognitif.

Skema yang ada tentang sebuah produk dapat dilihat pada bagan berikut :

Pramuniaga yang melayani ramah Jangan sampai terbanting

Casing senyawa

Di toko graha insan surya Produk telepon genggam

(15)

Harga Warna Perasaan setelah lama memakai Simbol

Bosan Bangga Malu

Kualitas Merek

Dari skema diatas dapat dilihat bahwa individu mempunyai pengetahuan tentang produk, seperti harga produk, merek, perasaan yang ada setelah memakai produk, kualitas, dan pengetahuan episodik seperti tempat membeli telepon genggam dan pelayanan yang diberikan pramuniaga.

Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995), skema mempunyai peran penting dalam memproses informasi. Aktivasi skema dalam pemrosesan informasi akan mengurangi usaha kognitif yang berfungsi mengidentifikasi stimulus dan bagaimana harus merespon stimulus tersebut.

3. Pengetahuan Terhadap Produk (product knowledge)

Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995), pengetahuan tentang produk adalah sekumpulan berbagai informasi yang berbeda. Meliputi :

a. Kesadaran akan merek, meliputi kesadaran akan berbegai merek yang memproduksi produk

b. Terminologi produk, misalnya adanya floppy disk pada komputer

c. Bentuk atau atribut yang melekat pada produk, meliputi fitur-fitur produk yang membuat konsumen membeli produk

(16)

Assael (1995) mendefinisikan pengetahuan terhadap produk (product knowledge) sebagai pengetahuan konsumen tentang produk yang akan dibelinya. Rao dan Sieben (1992) mendefinisikan prior product knowledge sebagai cakupan seluruh informasi akurat yang disimpan dalam memori konsumen yang sama baiknya dengan persepsinya terhadap pengetahuan produk. Konsumen yang berpengetahuan lebih tinggi akan lebih realistis dalam pemilihan sesuai dengan harapannya. Semakin tinggi pengetahuan konsumen dalam pembelian suatu produk dapat meningkatkan kemampuan konsumen untuk membuat pilihan yang lebih memuaskan (Sambandam & Lord, 1995).

Pengetahuan konsumen terhadap suatu produk didapatkan dari berbagai cara, misalnya dengan membaca katalog tentang produk, tulisan atau informasi yang terdapat di label, aturan pemakaian, presentasi pada saat launching produk tersebut. Selain itu konsumen bisa memperoleh informasi produk dari iklan yang ditayangkan atau disajikan di berbagai media serta pengalaman yang dirasakan oleh konsumen (stephen, 2007). Hal ini sesuai dengan pendapat Alba dan Hutchinson (dalam Rao dan Sieben 1992) yang menyatakan bahwa pengetahuan konsumen terdiri dari pengetahuan yang berdasar pada pembelian, pemakaian atau pengalamannya sendiri dan keahlian yang berdasar pada kemampuan untuk menghubungkan kinerja produk dengan tugas atau pekerjaan. Menurut Bruks (dalam Rao dan Sieben 1992), pengetahuan sebelumnya tentang produk merupakan pengetahuan dari informasi yang dikirim ke dalam memori (pengetahuan obyektif). Sedangkan pengetahuan sebelumnya menurut Monroe

(17)

(dalam Rao dan Sieben 1992) merupakan pengetahuan dari apa yang mereka rasa, mereka tahu tentang produk atau kelas produk (pengetahuan subyektif).

Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1995), pengetahuan tentang harga merupakan salah satu aspek pengetahuan produk. informasi mengenai harga absolut dan harga relatif akan sangat berpengaruh bagi konsumen. Harga absolut adalah harga ketetapan yang melekat pada sebuah jenis produk , sedangkan harga relatif adalah perbedaan harga pada item yang sama dengan merek yang berbeda. Pengetahuan harga akan sangat mempengaruhi

4. Tipe Pengetahuan Tentang Produk

Menurut Hawkins, Best & Coney (1986), konsumen memiliki tiga tipe pengetahuan tentang produk. Pengetahuan konsumen tentang produk yang dimaksud adalah :

a. Pengetahuan tentang atribut dan karakteristik produk. Setiap produk yang dihasilkan pastilah mempunyai karakteristik tertentu yang menegaskan produk tersebut sebagai produk. Beberapa pemasar melengkapi atribut produknya sehingga produk tersebut mempunyai ciri tertentu yang membedakannya dari produk lain. Pemasar diharuskan lebih memahami atribut penting yang harus ada dalam produknya. pemasar juga harus mengetahui bahwa atribut yang diberikannya pada produk dapat diterima oleh konsumen secara kognitif. Yang termasuk dalam pengetahuan konsumen tentang produk adalah komposisi produk, karakteristik fisik produk. Disamping itu, konsumen juga memiliki pengetahuan subjektif

(18)

tentang atribut abstrak dari produk, seperti perasaan nyaman, kehangatan bahan yang digunakan dan evaluasi afektif lainnya.

b. Keuntungan menggunakan produk. Pada tipe yang kedua ini, pemasar harus mengetahui bahwa konsumen juga mempertimbangkan konsekuensi dari sebuah produk dan merek, tidak hanya sekedar atribut. Konsekuensi yang dihasilkan berupa hal yang timbul apabila produk tersebut dibeli ataupun dipakai. Tetapi beberapa konsumen juga merasa kelihatan bodoh bila membeli produk dengan merek terentu. Konsekuensi penggunaan produk dibagi dalam dua bentuk, yaitu konsekuensi fungsional dan konsekuensi psikologis. Konsekuensi fungsional merupakan hasil yang diperoleh konsumen secara langsung saat menggunakan produk. Konsekuensi psikologis mencakup hasil yang dapat dilihat secara fisik dan penampilan atas penggunaan sebuah produk. Konsekuensi psikologis merupakan hasil psikologis dan sosial yang didapat dari penggunaan produk. Konsekuensi psikologis meliputi penggunaan produk secara internal, hasil personal dan bagaimana perasaan yang timbul saat memakai produk. Konsumen juga pasti memiliki konsekuensi sosial saat menggunakan produk. Contohnya adalah perasaan dihargai ketika memakai sebuah produk.

Konsumen mempertimbangkan konsekuensi positif dan negatif atas penggunaan sebuah poduk. Kemungkinan mendapat keuntungan atau potensi resiko yang harus ditanggung. Keuntungan adalah konsekuensi yang diharapkan konsumen akan terjadi ketika konsumen membeli atau

(19)

menggunakan sebuah produk. Konsumen memiliki pengetahuan kognitif mengenai keuntungan dan respon afektif dari keuntungan tersebut. Pengetahuan kognitif inilah yang akan menghubungkan konsekuensi fungsional dan psikososial.

c. Tipe yang ketiga adalah nilai produk yang memuaskan konsumen. Konsumen juga memiliki pengetahuan personal tentang nilai simbolik yang akan membuatnya merasa puas dengan sebuah produk. Nilai diartikan sebagai tujuan hidup dalam cakupan luas. Nilai sering melibatkan afek emosional yang berhubungan dengan tujuan dan kebutuhan. Nilai yang terdapat pada sebuah produk akan berpengaruh pada kepuasan konsumen. Beberapa nilai tertentu merupakan central dari pembentukan self-concept.

Kesimpulannya, pengetahuan konsumen tentang produk mencakup atribut produk, konsekuensi penggunaan produk dan nilai personal. Pemasar harus memahami tentang tipe-tipe pengetahuan konsumen , khususnya yang menyangkut atribut dan konsekuensi karena keduanya akan lebih fokus pada keuntungan yang di dapat daripada memikirkan resiko yang mungkin terjadi. Masalah akan timbbul jika pemasar hanya mengetahui salah satu dari tipe pengetahuan yang dimiliki konsumen tentang produk karena tidak akan bisa mengkaitkan antara atribut, konsekuensi dan nilai.

(20)

C. HUBUNGAN PENGETAHUAN YANG DIMILIKI TENTANG PRODUK YANG AKAN DIBELI DENGAN DISONANSI PASCA PEMBELIAN

Manusia melakukan kegiatan membeli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia yang melakukan kegiatan membeli disebut sebagai konsumen. Dalam setiap kegiatan yang dilakukannya, konsumen akan melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli dan tahap terakhir perilaku setelah pembelian (Kotler, 2001). Setiap tahapan tersebut akan menuntun konsumen pada kesesuaian dalam pembelian produk.

Pada tahap pencarian informasi, konsumen akan mengumpulkan berbagai informasi mengenai produk yang akan dibelinya. Informasi yang dikumpulkan tersebut akan membentuk pengetahuan tentang produk pada konsumen. Pengetahuan produk adalah pengetahuan konsumen tentang produk yang akan dibelinya (Assael, 1995). Pengetahuan produk didapatkan konsumen dari berbagai cara, seperti membaca katalog tentang produk, tulisan atau informasi yang terdapat di label, aturan pemakaian, presentasi pada saat launching produk tersebut. Selain itu konsumen bisa memperoleh informasi produk dari iklan yang ditayangkan atau disajikan di berbagai media serta pengalaman yang dirasakan oleh konsumen (stephen, 2007).

Tahap pencarian informasi merupakan tahap yang sangat penting, namun konsumen sering mengabaikan tahap ini karena selalu ingin cepat, mudah menerima dan tidak mau repot (Sembiring, 2009). Konsumen juga sering

(21)

mengalami kesalahan dalam memproses informasi. Riset menunjukkan bahwa sejumlah informasi pemasaran disalahpahami sehingga konsumen menerjemahkannya dengan tidak tepat, kebingungan, atau tidak akurat (Peter & Olson, 2002). Kondisi konsumen yang demikian, akan membuat konsumen semakin rentan dengan kekecewaan atau perasaan tidak nyaman setelah membeli produk.

Ketidaknyamanan yang dirasakan konsumen setelah proses pembelian atau biasa disebut disonansi pasca pembelian (postpurchase dissonance). Disonansi Kognitif dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan mereka tidak sejalan bersama dengan kenyataan yang ada. Kondisi ini mendorong mereka untuk merubah pikiran, perasaan dan tindakan mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku dan kepercayaan mereka yang lainnya (East,1997).

D. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan diatas, maka hipotesa yang terdapat dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan pengetahuan tentang produk dengan disonansi pasca pembelian”.

Referensi

Dokumen terkait

Makalah ini menganalisis secara komparatif pelajaran hidup yang tersirat dalam cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang yang menampilkan cerita interaksi antara

Untuk tahapan pengumpulan data dalam Aplikasi pendukung keputusan dalam memilih peminatan program studi ini metode yang digunakan yaitu penyebaran kuisioner kepada

Dalam sebuah transmisi data dapat berupa simplex yaitu sinyal ditransmisikan hanya pada satu arah, half duplex yaitu kedua stasiun dapat mentransmisikan, namun

Pemanfaatan areal hutan yang dilakukan kelompok tani Desa Sumber Agung dengan menanam tanaman agroforestri dan pohon serba guna/MPTS (Multi Purpose Trees Species) yang dikelola

Dalam studi ini, seperti yang diungkapkan Baym (1995) diatas bahwa metode netnografi digunakan untuk mengetahui dampak internet terhadap sebuah kebudayaan yaitu dampak

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas diare dan ISPA pada anak balita di Sumatera Barat adalah status gizi, keadaan lingkungan tempat tinggal, kepedulian ibu

d) Apakah anggota keluarga ada yang mengalami gangguan jiwa. e) Pengalaman klien yang tidak menyenangkan (kegagalan yang terulang lagi, penolakan orang tua, harapan

Dilihat dari pemikiran-pemikiran beliau yang sesuai dengan konsep yang masih diimplementasikan yaitu pendidikan dan pengajaran di Indonesia saat ini mengenai budi