• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PERBANDINGAN PEMURNIAN TAREKAT IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA A. Pemurnian Tarekat Ibnu Taimiyah dan Hamka

1. Ibnu Taimiyah

Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, hubungan antara tarekat dengan tasawuf, di mana tarekat merupakan amaliah tasawuf atau salah satu bentuk praktek dalam bertasawuf. Ibnu Taimiyah secara tidak langsung mengkritisi tarekat yang pada waktu itu sebenarnya menjadi lahan kritisan. Ibnu Taimiyah menyebutnya secara umum, yaitu tasawuf, padahal yang sebenarnya adalah amalan tasawuf atau praktek tarekat, di mana tarekat sebagai lembaga tasawuf yang menurut Ibnu Taimiyah banyak yang menyimpang. Ibnu Taimiyah juga tidak fanatik terhadap suatu tarekat, sebagaimana yang dijelaskan ketika Ibnu Taimiyah mengomentari pendapat tentang banyaknya tarekat itu sebanyak nafas manusia. Bagi Ibnu Taimiyah, selama tarekat tersebut sesuai dengan ajaran Qur’an dan al-Sunnah, dan jika tarekat tersebut keluar dari kedua sumber tersebut adalah bathil (Ibnu Taimiyah., 2000c: 232). Dari anomali-anomali dan berbagai tanggapan dari Ibnu Taimiyah mengenai praktek tarekat di atas, maka dapat diformulasikan tarekat menurut Ibnu Taimiyah.

Konsep tarekat Ibnu Taimiyah pada dasarnya adalah pemurnian pada syariat, dan mengedepankan tauhid. Bagi Ibnu Taimiyah, praktek-praktek yang dilakukan para sufi lebih mengarah pada bentuk kemusyrikan dan hal-hal bid’ah, yang dapat membawa aktivisnya menjadi sesat dan menyesatkan. Kekhawatiran inilah yang kemudian mendorong Ibnu

(2)

Taimiyah memberikan batasan-batasan yang tegas dalam praktek bertasawuf atau bertarekat.

Bagi Ibnu Taimiyah, tarekat dipandang sebagai suatu tuntutan prilaku bagi aktivisnya, bukan sebagai ritual simbolik semata. Hal ini dapat dipahami karena Ibnu Taimiyah memiliki beck-ground sosio-kultur yang lebih mengedepankan praktek-praktek religious1 yang didasarkan pada ketentuan syariat. Ia seorang muslim yang taat, dan hidup dalam lingkungan yang religius. Hal inilah yang kemudian dalam beberapa hal Ibnu Taimiyah dianggap telah memusuhi para sufi.

Sikap keras yang ditunjukkan Ibnu Taimiyah terhadap kaum sufi lebih ditunjukkan pada manhaj yang dilakukannya guna mencapai ma’rifatullah dengan sang Khalik. Bagi Ibnu Taimiyah, tarekat yang dipraktekkan para sufi justru mengalami pendangkalan syariat. Pemikiran yang dibawa justru melahirkan persaingan yang tajam dalam masyarakat, lebih parah lagi ketika

1

Praktek religious yang dimaksudkan disini mengacu pada pengamalan dimensi keberagamaan seorang muslim. Dimensi-dimensi tersebut dapat dijabarkan menjadi lima aspek yaitu : (1) Keyakinan/ ideologis, dimensi ini berkenaan dengan seperangkat kepercayaan (belief’s) yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang beragama harus berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui doktrin-doktrin tersebut serta mentaati sumber hukum tertingginya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, (2) Ritualistik/ praktik agama, manifestasi dari hal ini adalah ritual yang mengacu pada tindakan formal keagamaan dan praktek suci tentang ketaatannya kepada Allah, (3) Eksperensial/ pengalaman, aspek ini berisi tentang perasaan, pengalaman keagamaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang dalam suatu esensi ketuhanan, (4) Intelektual/ pengetahuan agama,Dalam keberislaman isi dari aspek ini adalah menyangkut pengetahuan tentang isi pokok al Qur’an, pokok islam yang harus diimani, hukum Islam, sejarah Islam, dan lain-lainnya, (5) Konsekuensial/ pengalaman, aspek ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan keagamaan, prilaku disini lebih mengarrah pada prilaku “duniawi” yakni bagaimana individu berelasi atau menjalin hubungan dengan orang lain dan dunianya. (Taufik Abdullah dan Rusli Karim., 1998: 39).

(3)

para sufi memunculkan praktek-praktek mistik berupa sihir-sihir yang sengaja disebar-luaskan kedalam masyarakat, yang justru menyulut terjadinya kesenjangan sosial dan perpecahan dalam masyarakat. Ibnu Taimiyah merasa tidak rela jika penempuhan jalan sufi terjebak dalam penyimpangan. Kepeduliannya tampak dalam corak pemikiran dan pandangan-pandangannya tentang konsep dan praktek-praktek tarekat.

Pada hakikatnya, praktek tasawuf atau yang diidentikkan dengan tarekat adalah hidup zuhud dan tekun beribadah. Hakikat tersebut sebenarnya sudah terjadi pada masa nabi Muhammad dan para sahabatnya. Secara normatif, pandangan Ibnu Taimiyah tersebut mempunyai dasar yang kuat dalam Qur’an dan al-Sunnah, secara historis juga memiliki panutan baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya, dan secara aplikatif dapat dikatakan sebagai perpanjangan ajaran Islam itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan dimensi moral sebagai substansi Islam.

Ibnu Taimiyah memandang tarekat sebagai bentuk ijtihad, dengan artian cara yang ditempuh untuk menjalankan ajaran-ajaran agama dengan benar dan sungguh-sungguh. Karena ia menolak tarekat sebagai satu-satunya jalan yang paling benar, otoritatif, dan benar dalam melaksanakan agama. Dan pada umumnya, manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan ijtihadnya (Ibnu Taimiyah., 2000d: 9-10).

Sudah dapat dipastikan, bahwa sumber tarekat menurut Ibnu Taimiyah harus berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Pengetahuan ma’rifat dalam pandangan Ibnu Taimiyah, harus diperoleh melalui petunjuk kedua sumber, dan upaya-upaya penyucian diri melalui dzikir

(4)

dan ibadah, sehingga dalam kondisi tertentu hati dapat menerima pengetahuan yang bersifat ilhami. Di samping itu, untuk menilai benar dan salahnya pengetahuan, harus tetap dalam kontrol dan bimbingan kedua sumber tersebut. Karena tanpa kontrol dan bimbingan dari kedua sumber, praktek tasawuf berpeluang dan atau tersusupi oleh budaya dan ajaran non Islam.Sedangkan tujuan tarekat sebagai salah satu bentuk praktek tasawuf adalah diorientasikan pada tujuan menghayati perintah agama, atau perintah Allah, agar dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Adapun dalam konsep amaliah batin, maqamat dan ahwal dipandang sebagai moralitas Islam yang wajib dilaksanakan oleh siapapun sebagai suatu kewajiban (Ibnu Taimiyah., 2000c: 5).

2. Hamka

Dalam bukunya Hamka yang berjudul Tasauf Modern, menurut penulis, dia tidak memberikan definisi tersendiri tentang tarekat. Bukunya banyak membahas tentang tasawuf walaupun yang sebenarnya Hamka sendiri pada waktu itu mengamati dan mengkritisi praktek tasawuf yang identik dengan tarekat. Hamka sendiri juga mengatakan bahwa, bukunya Tasauf Modern ini ditulis dengan berbagai sumber referensi buku-buku dan kitab-kitab tentang tasawuf, filsafat, dan kemudian dibandingkan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, serta dihubungkan dengan pikiran pribadi dan pengalaman sendiri. Dan menurutnya pula, ini juga bisa disebut sebagai karangan pribadi (Hamka., 2005a: 2). Menurut Hamka, hakikat tasawuf dalam arti tarekat di sini yaitu, tarekat yang diartikan dengan kehendak memperbaiki budi dan membersihkan batin. Hamka memakai dasar tentang tasawuf yang diungkapkan oleh al-Junaid yaitu, keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk

(5)

kepada budi, perangai yang terpuji (Hamka., 2005a: 12). Artinya, tasawuf berikut lembaga tarekatnya adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpeleset ke dalam lumpur keburukan budi dan kekotoran batin. Salah satu caranya adalah berzuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Muhammad lewat al-Sunnahnya. Tarekat adalah sebagai alat, atau suatu ikhtiar bukan suatu tujuan atau agama seperti yang dilihat pada masanya (Hamka., 2005a: 13).

Hamka juga memberi kesimpulan tentang sumber dalam bertarekat yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari uraian tersebut, Hamka memang mengakui adanya model praktek tasawuf dalam agama lain. Dan model itu yang kebanyakan masuk menyatu dengan tasawuf Islam. Oleh karena itu, tasawuf dalam prakteknya yang dilakukan oleh tarekat harus bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebagaimana yang dikatakan dalam bukunya (2005b: 188), “mari kita kembali kepada sumbernya, yaitu, al-Qur’an dan al-Sunnah, dan mari jadikan segala kemajuan pikiran dan pendapat orang yang terlebih dahulu menjadi bahan. Qur’an tetap Qur’an, ke sanalah dikembalikan segala perjalanan pikiran yang bersimpang alur bagi umat Islam.”

Sedangkan pokok pangkalnya yang sebenarnya adalah kembali kepada ajaran tauhid, yaitu ke-Esaan Tuhan, yang lain adalah alam. Hamka sendiri menolak secara tegas mengenai paham wahdat al-wujud yang pada waktu itu diselewengkan menjadai ilmu sihir. Wahdat al-wujud merupakan rasa cinta yang tidak dikendalikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Menurut Hamka, Rasa cinta kepada Allah berasal dari zuhud, zuhud yang berasal pokok dari tauhid, kadang-kadang kian berlarut. Sehingga yang tadinya hanya sebagai perasaan semata, menjadi satu pandangan hidup.

(6)

Kemudian pada awalnya bertolak dari tauhid, karena perasaan cinta yang tak terkontrol, berubah menjadi syirik (Hamka., 2005b: 202).

Bagi Hamka, tujuan pengamalan tarekat diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya (Hamka., 2005a: 17), bahwa “kita tegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan diri.” Selain itu agama Islam adalah agama yang menyeru umatnya mencari rizki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian dan keagungan dalam perjuangan hidup bersosial dan berbangsa.

Secara singkat, refleksi pengamalan tarekat Hamka bercorak sosio-religius, jalan tarekatnya lewat sikap zuhud yang dapat dilaksanakan dalam peribadatan resmi, bukan untuk uzlah, khalwat, dan menjauh dari kehidupan normal. Sedangkan penghayatan tarekatnya berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan ingin bersatu dengan Tuhan, prinsipnya bukan mencari mukasyafah tetapi berdasar prinsip tauhid. Adapun maqamat dan ahwal dipandang bukan sebagai jalan penyucian jiwa dengan tujuan akhir liqa’ dengan Tuhan, akan tetapi dipandang sebagai keniscayaan moralitas yang harus dimiliki seorang muslim untuk mencapai kesentausaan dan kesempurnaan derajat kemanusiaan.

(7)

B. Pebandingan Pemurnian Tarekat Ibnu Taimiyah dan Hamka

Dilihat dari segi konsep, persamaan antara pemurnian tarekat menurut Ibnu Taimiyah dan Hamka ditandai kecenderungan upaya menghidupkan kembali Islam ortodoks dan aktifismenya yang puritan. Dengan dalih, kedua pemikir tersebut dalam konsepnya tentang tarekat harus bersumber kapada al-Qur’an dan al-Sunnah. Keduanya juga memandang tarekat sebagai ijtihad dan ikhtiar, bukan sebagai panutan ataupun keyakinan yang harus diyakini secara mutlak, tarekat bukan agama. Maka, suatu kewajaran dalam berijtihad dan berikhtiar mengalami kesalahan. Jadi, apabila tarekat sebagai ijtihad dan ikhtiar, maka sudah sewajarnyalah timbul berbagai macam aliran tarekat yang sesuai dengan ijtihad dan ikhtiar masing-masing orang. Karena setiap satu orang yang berijtihad, belum tentu sama dengan hasil ijtihad orang lain. Oleh karena itu, tarekat yang disyariatkan menurut kedua pemikir adalah tarekat yang bertumpu kepada kedua sumber tersebut, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Adapun pokok pangkal tarekat yang sebenarnya menurut kedua pemikir adalah kembali kepada ajaran tauhid, yaitu ke-Esaan Tuhan. Artinya, ajaran yang dibawa dan dipraktekkan oleh para nabi yang disempurnakan oleh nabi Muhammad. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan tujuan tarekat sebagai salah satu bentuk praktek tasawuf menurut kedua pemikir adalah diorientasikan pada tujuan menghayati perintah agama, atau perintah Allah, agar dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

Kemudian dilihat dari praktek; menurut kedua pemikir, bahwa pada hakikatnya praktek tasawuf atau yang diidentikkan dengan tarekat adalah hidup zuhud dan tekun beribadah. Hakikat tersebut sebenarnya sudah terjadi pada masa nabi Muhammad dan para sahabatnya. Secara

(8)

normatif, pandangan kedua pemikir tersebut mempunyai dasar yang kuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, secara historis juga memiliki panutan baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya, dan secara aplikatif dapat dikatakan sebagai perpanjangan ajaran Islam itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan dimensi moral sebagai substansi Islam. Adapun dalam konsep amaliah batin, maqamat dan ahwal dipandang sebagai moralitas Islam yang wajib dilaksanakan oleh siapapun sebagai suatu kewajiban untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan derajat kemanusiaan. Bukan sebagai jalan penyucian jiwa dan sebagai suatu tingkatan di mana dengan tujuan akhir bersatu dengan Tuhan, mukasyafah, fana’, atau mencari keajaiban yang berupa khariq al-adat, ataupun mencari sesuatu yang bersifat magis, sebagaimana dipraktekkan oleh kebanyakan aliran tarekat pada waktu itu. Juga bagi kedua pemikir, tujuan pengamalan tarekat diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia. Sedangkan refleksi pengamalan tarekat kedua pemikir bercorak sosio-religius, jalan tarekatnya lewat sikap zuhud yang dapat dilaksanakan dalam peribadatan resmi, bukan untuk menyepi dan menjauh dari kehidupan normal.

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Hamka adalah Ibnu Taimiyahnya Indonesia. Disebabkan karena, Ibnu Taimiyah dan Hamka memiliki pandangan dan pemikiran yang sama dalam masalah praktek bertasawuf. Sehingga sangat sulit untuk ditemukan perbedaan pemikiran antara kedua tokoh tersebut, walaupun Hamka dalam bukunya Tasauf Modern menyebutkan beberapa referensi dalam menulis buku tersebut tidak ada satu kitabpun hasil karya Ibnu Taimiyah yang menjadi bahan rujukannya. Akan tetapi, ada perbedaan yang mencolok yaitu menurut Hamka bahwa, tasawuf ataupun dalam Indonesia yang dikenal

(9)

dengan tarekat merupakan salah satu dari filsafat Islam yang tujuan awalnya untuk zuhud dari dunia yang fana. Seperti yang dijelaskan dalam bukunya (2005a: 13) bahwa, “tasawuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksudnya bermula ialah hendak zuhud dari dunia fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karena tasawuf bukan agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut dengan tidak diingat.” Penulis belum menemukan pendapat Ibnu Taimiyah tentang tasawuf merupakan bagian dari filsafat Islam. Ibnu Taimiyah hanya menjelaskan sejarah kata tasawuf saja.

Selain itu, ada perbedaan yang mencolok, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah membagi tiga macam sufi, yang tidak terdapat dalam konsep Hamka, yaitu sufi haqaiq, sufi yang sebagaimana mestinya, ‘adalat, yang mempunyai tata cara yang sesuai seperti ahli tarekat, dan tidak terlalu mendewakan duniawi. Sufi arzaq yaitu sufi sebagaimana orang mestinya, mengharapkan banyak rezki sebagaimana orang mestinya, seperti pedagang di mana selalu menginginkan laba yang banyak. Sufi rasm yaitu sufi yang cukup dengan nisbatnya saja. Misalnya berpakaian, beradab sebagaimana pakaian orang sufi (Ibnu Taimiyah., 2000d: 10-11). Model tarekat yang diinginkan Hamka yaitu bersatu dengan alam, bukan bersatu dengan Tuhan. Karena zat manusia dan alam berbeda dengan Zat Tuhan. Sedangkan zat manusia satu dengan zat alam, artinya manusia dituntut untuk bersatu dengan alam dengan cara bersatu dengan seluruh perikemanusiaan – manusia berbudi luhur- sehingga dengan budi luhur tersebut manusia secara otomatis akan bersatu dengan alam. Dan seluruh yang ada ini adalah satu,

(10)

terjadi karena kehendak Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.

Keadaan sosial sangat mempengaruhi pemikiran dari kedua tokoh tersebut. Adapun persamaan latar belakang soaiologis kedua pemikir adalah sama-sama dalam negara yang dijajah oleh bangsa asing. Dilihat dari segi politik, dari keduanya kurang stabil. Selalu tunduk terhadap yang menjajah, apapun kebijakan politiknya walaupun kebijakan tersebut merugikan penduduk pribumi. Dari segi sosial juga keagamaan, keduanya juga sama-sama dalam kekacauan dengan ditandai perampokan, tidak adanya suatu tata tertib yang menjadi pelindung masyarakat. Sehingga norma-norma hanyalah sebagai bahan pembicaraan belaka. Krisis keagamaan juga semakin menggelapkan tatanan sosial. Banyak aliran yang mengklaim dirinya yang benar dan menganggap yang lain salah. Yang lebih parah lagi bahwa aqidah sudah tercampuri oleh bau bid’ah yang menyebabkan musyrik. Yang kemudian menjadi sebuah kepercayaan yang melekat dalam keyakinan kaum muslim dan susah untuk dihilangkan. Dari ajaran suatu aliran tersebut, ada yang menekankan untuk hidup pasrah total tanpa adanya usaha dan upaya, hidup untuk menjauhi dunia, menjauhi kehidupan yang normal sebagaimana manusia. Dari ajaran tersebut, mengakibatkan keadaan ekonomi yang tidak seimbang. Ditambah lagi dengan kebijakan ekonomi dari penjajah yang tidak menguntungkan pribumi.

Dari keadaan lingkungan itulah, menurut penulis semangat tarekat atau praktek tasawuf yang ditawarkan oleh kedua pemikir bersifat aktif-sosio-religius. Dalam upaya untuk membebaskan manusia dari budak penjajahan, ketimpangan sosial, dan membentuk kesalehan secara pribadi dan sosial sebagaimana dalam ajaran Islam yang menuntut kesemua hal tersebut. Dalam bukunya Hamka menjelaskan (2005a: 15), “....zuhud yang melemahkan itu

(11)

bukanlah bawaan Islam. Semangat Islam adalah semangat berjuang, semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah, dan mlempem.” Agama Islam adalah agama yang menyeru umatnya mencari rizki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam perjuangan hidup bermasyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: 1) Kepuasan konsumen berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen, artinya semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen

Anak juga lebih perhatian pada persetujuan atau ketidak-setujuan dari orang lain bukan karena kekuatan fisik yang dimiliki orang

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai Pengaruh Perubahan Fraksi Harga Saham Terhadap Likuiditas Perusahaan pada Indeks Harga Saham Gabungan (Studi

IRT Gusman (mitra pengabdian) masih menggunakan metode pengeringan konvensional berupa pengeringan melalui panas matahari. Hal ini akan menyebabkan ketergantungan produksi

Salah satu bidang study keilmuan yang didaarkan pada ilmu desain, bidang keilmuan ini bertujuan untuk dapat menciptakan suatu lingkungan binaan (ruang dalam) beserta

a) Ruang Resepsionis adalah tempat dimana sebuah perusahaan menyambut dunia, itu adalah bagian pertama yang dapat langsung dilihat oleh masyarakat umum. Dalam

Berangkat dari visi, misi, dan tujuan seorang Perancang Acara / Produser maka masyarakat akan lebih mengetahui tentang sesuatu hal yang kecil yang tidak banyak di

Pendidikan Anak Usia dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui