• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DILEMA ALIANSI AUSTRALIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DILEMA ALIANSI AUSTRALIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DILEMA ALIANSI AUSTRALIA

ANALYSIS OF THE AUSTRALIAN ALLIANCE DILEMMA

Syasya Yuania Fadila Mas’udi Program Studi Hubungan Internasional

Universitas Muhammadiyah Malang syasyamasudi@umm.ac.id

ABSTRAK

Kondisi politik internasional yang sedang memanas di Kawasan Asia-Pasifik membuat Australia berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat adalah sekutu lama Australia yang memegang peranan penting dalam kebijakan pertahanan dan keamanan Australia, sedangkan China adalah pemain baru yang memegang peranan penting dalam perekonomian Australia. Di posisi yang sulit ini, banyak yang berpendapat bahwa pada akhirnya Australia harus memilih salah satu di antara keduanya. Namun faktanya, Australia tidak harus memilih. Penerapan strategi hedging seperti yang sudah dilakukan di bawah Pemerintahan Perdana Menteri John Howard sangat mungkin di aplikasikan ulang saat ini. Dengan adanya kompetisi antara dua negara besar justru merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Australia untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai negara middle power untuk bisa menyatukan kepentingan kedua negara tersebut.

Kata kunci: Australia, Amerika Serikat, China, Strategi Hedging, Asia-Pasifik

ABSTRACT

The heating up of international political conditions in the Asia-Pacific region puts Australia in a difficult position. The United States is an old ally of Australia who plays an important role in Australia's defense and security policy, while China is a new player playing a significant role in the Australian economy. In this difficult position, many argue that in the end Australia will have to choose between the two. But the fact is, Australia doesn't have to choose. The adoption of a hedging strategy which was carried out under Prime Minister John Howard's government is likely to be re-applied today. With the competition between the two big countries, it is a very good opportunity for Australia to show its capacity as a middle power country to be able to unite the interests of the two countries.

Keywords: Australia, United States, China, Hedging Strategy, Asia-Pacific

I. PENDAHULUAN

Saat ini, perhatian dunia sedang mengarah pada Benua Asia. Dimana di benua inilah kesejahteraan seluruh dunia ditentukan. Hal ini karena di Asialah terdapat negara dengan jumlah penduduk terbanyak, serta negara dengan pendapatan GDP tertinggi. Saat ini, di sana pula sistem internasional yang selama ini terbangun mulai mengalami perubahan. China, salah satu negara yang mulai bergeliat melalui perekonomiannya, yang kemudian

(2)

disusul oleh sistem pertahannya, mulai mempertanyakan statusnya di kawasan regional. Amerika Serikat yang selama ini menjadi kekuatan tunggal di dunia mulai merasa terusik dengan apa yang dilakukan oleh China. Di bawah pemerintahan Obama, Amerika Serikat menganggap perilaku agresif China di Kawasan Laut China Selatan sebagai suatu ancaman nyata baginya. Oleh karena itu, Amerika Serikat kemudian merespon ancaman tersebut dengan menyeimbangkan kembali (rebalancing) kekuatan China dengan melalui langkah militer, yakni menambah personel militer yang dimiliki oleh Amerika Serikat di kawasan tersebut. Kompetisi keberadaan personel militer milik China dan Amerika Serikat ini menyebabkan adanya kompetisi strategis (strategic competition) antara keduanya di lingkar Asia-Pasifik. Keadaan yang demikian ini dapat mengancam stabilitas internasional yang selama ini terjaga dengan baik sejak berakhirnya Perang Dingin.

Kompetisi militer antara China dan Amerika Serikat ini tentu menyebabkan negara-negara lain yang berasa di kawasan ini merasa terganggu. Hal ini disebabkan oleh status negara-negara lain tersebut, dimana hampir semuanya tergolong sebagai negara dengan kekuatan menengah (middle power countries). Mereka yang tidak terbiasa dengan pilihan semenjak berakhirnya Perang Dingin, kini kembali merasakan dilema yang sama. Beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia memiliki hubungan aliansi militer yang kuat dengan Amerika Serikat di satu sisi, sedangkan di sisi lainnya, mereka juga memiliki hubungan dagang yang kuat dengan China. Kebangkitan perekonomian China telah sukses merebut posisi Amerika Serikat dalam hal perekonomian. Hal ini menciptakan kondisi politik yang sulit bagi negara-negara tersebut, terutama bagi Australia. Beberapa pakar bahkan menyebut kondisi sulit ini dengan sebutan mimpi buruk bagi Australia, karena inilah pertama kalinya Australia menghadapi pilihan keberpihakan antara berpihak pada Amerika Serikat atau China. Sekenario terburuk yang terbayang adalah, apabila Amerika Serikat memilih untuk berperang dengan China untuk mencegah dominasi China di kawasan, apa yang harus dilakukan oleh Australia. Sebagai aliansi dari Amerika Serikat, Australia tentu akan diminta untuk bergabung bersamanya memerangi China. Atau sebaliknya, apabila China meminta Australia untuk meninggalkan Amerika Serikat demi kesejahteraannya, apa yang harus dilakukan oleh Australia? Dapatkah Australia memilih salah satu pihak? Apakah memilih antara Amerika Serikat dan China adalah suatu keharusan bagi Australia?

Artikel ini akan mencoba menganalisis kemungkinan terjadinya mimpi buruk tersebut serta kemungkinan Australia untuk mengelola hubungan baik dengan Amerika Serikat maupun China. Pertama yang akan dilakukan penulis adalah melihat kondisi geopolitik di

(3)

Kawasan Asia-Pasifik. Langkah selanjutnya, yakni melihat seberapa penting kedua negara ini, Amerika Serikat dan China bagi Australia. Dan yang terakhir adalah menjelaskan dua faktor: ketidakmungkinan terjadinya perang antara Amerika Serikat dan China serta kemungkinan yang kecil bagi China untuk menjadi satu-satunya kekuatan global. Dua faktor inilah, menurut hemat penulis, yang menyebabkan mimpi buruk tersebut tidak akan pernah terjadi. Berdasarkan analisis tersebut, penulis berargumen bahwa Australia tidak harus memilih antara keduanya, melainkan dapat membuat keputusannya sendiri, yaitu tetap mempertahankan hubungan baik, baik dengan Amerika Serikat dan China.

II. PEMBAHASAN

Keadaan Geopolitik di Asia-Pasifik Saat Ini

Sejak tahun 2009, media-media Amerika Serikat gencar memberitakan perilaku agresif China ke seluruh dunia (Gilsinan, 2015). Setelah sukses dengan program ekonomi ambisiusnya yang berdasarkan pada liberasisasi dan internasionalisasi ekonominya sejak 1978, agenda China selanjutnya adalah bersiap untuk memodernisasi militernya (Henry, 2016). Dan saat ini, China sedang menuju kesana, mewujudkan agendanya yang selanjutnya. Sayangnya, kemajuan ekonomi yang diikuti oleh kemajuan militer, membuat China semakin agresif. Setidaknya, itulah yang ditangkap atau dilihat oleh negara-negara lain di Kawasan Asia-Pasifik seperti Jepang dan Amerika Serikat. Keagresifan China sangat terlihat ketika negara lain merespon klaim China tentang Laut China Selatan, yang dikenal dengan klain sembilan garis putus-putus (nine-dash line claim) serta sengketa wilayah lain yang melibatkan Jepang dan Korea Selatan. Untuk menanggapi respon dari negara lain tersebut, China lebih memilih untuk mengirimkan militernya ke daerah konflik tersebut daripada menggunakan jalur diplomasi. Bahkan, di bawah klaimnya atas Kepulauan Spratly, China membangun fasilitas militernya di sana. Yang kemudian, menyebabkan Amerika Serikat ikut terlibat untuk merespon kegiatan ilegal China di daerah yang masih disengketakan tersebut. Amerika Serikat merasa terpanggil untuk merespon karena posisinya sebagai polisi dunia. Dengan nilai demokratis yang dianutnya, Amerika Serikat menilai apa yang dilakukan China tersebut adalah suatu hal yang salah.

Amerika Serikat menganggap China melanggar hukum internasional di bawah kebebasan untuk operasi navigasi (Freedom of Navigation Operations/ FONOPs). Amerika Serikat berargumen bahwa pembangunan fasilitas militer tersebut dapat mengganggu stabilitas kawasan, karena Laut China Selatan termasuk dalam salah satu jalur perdagangan terpenting di dunia. Oleh karenanya, di bawah pemerintahan Obama,

(4)

Amerika Serikat merespon tindakan China tersebut dengan kebijakan rebalancing, yaitu Pivot to Asia. Melalui kebijakan ini, Amerika Serikat berkomitmen untuk tetap terlibat baik secara ekonomi maupun militer di Kawasan Asia-Pasifik. Dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat berusaha untuk tetap terlibat melalui program Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP). Dari segi militer, Amerika Serikat mempertahankan keberadaan Angkatan Lautnya di Kawasan Laut China Selatan, memperdalam dan memperkuat ikatan dengan negara-negara aliansinya seperti Australia. Australia menjadi salah satu negara yang penting bagi Amerika Serikat dalam hal ini karena Australia setuju untuk menjadikan Darwin, salah satu ibukota negara bagiannya sebagai pangkalan militer tambahan. Dengan demikian, kontribusi Australia terhadap kebijakan rebalancing Amerika Serikat ini sangat jelas. Terlebih, selain Darwin, Australia juga memberikan akses pada salah satu daerah terpentingnya, yang bernama Pine Gap, di Negara Bagian Utara sebagai salah satu pangkalan militer Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang intelejen.

“Pine Gap, in Australia’s Northern Territory, is a home to some of the USA’s most important intelligence facilities. It is a base that provides an early warning system for ballistic-missile attacks and intelligence data for US overseas forces (Brown & Bretherton, 2016).”

Pada tahun 2016, Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan atas gugatan yang diajukan Filipina atas klaim China atas Scarborough Shoal. Mahkamah internasional menyatakan bahwa Scarborough Shoal milik Filipina karena wilayah tersebut masih termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Filipina. China telah melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional karena atas klaim tersebut, China melarang Filipina untuk mengekplorasi wilayah Scarborough Shoal. Pengadilan arbitrase internasional menyatakan bahwa China tidak mempunyai dasar hukum untuk mengklaim wilayah tersebut (ABC News, 2016). Meskipun demikian, Beijing tidak menerima keputusan mahkamah internasional tersebut, mereka percaya bahwa 99% wilayah Laut China Selatan adalah milik China. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kompetisi militer antara China dan Amerika Serikat di wilayah Laut China Selatan akan berlanjut dan kemungkinan akan meningkat intensitasnya, terutama karena China menolak keputusan internasional tersebut.

Pentingnya Amerika Serikat dan China bagi Australia

Australia dikenal dengan pendekatan uniknya dalam menentukan kebijakan luar negeri serta kebijakan pertahanannya. Sepanjang sejarahnya, Australia selalu bersandar pada “its

(5)

great and powerful friends” atau sekutunya. Pada jaman awal-awal kemerderkaannya, dalam menentukan kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahannya, Australia bergantung pada Inggris. Hal ini dikarenakan Australia sebelum merdeka merupakan bagian dari Inggris. Kemudian setelah pengaruh Inggris di Kawasan Asia mulai memudar, Australia beralih ke Amerika Serikat hingga hari ini. Aliansi keamanan yang terjalin antara Australia dengan Amerika Serikat dimulia dengan adanya Perjanjian ANZUS (ANZUS Treaty) pada tahun 1951. Dimana perlindungan Amerika Serikat terhadap Australia secara jelas tertuang pada Pasal 4 dari perjanjian tersebut. Di situ disebutkan bahwa Amerika Serika berjanji untuk menolong Australia (dalam konteks militer) apabila Australia berada di bawah serangan negara lain (Fraser, 2001). Sejak itu, Amerika Serikat menjadi penjamin keamanan nasional Australia dan Perjanjian ANZUS menjadi suatu hal yang penting dalam kebijakan pertahanan Australia. Dengan kata lain, sepanjang sejarahnya, Australia selalu mendasarkan dua kebijakan vitalnya itu pada negara besar yang berkuasa di kawasan.

Dari penjelasan di atas, maka timbul pertanyaan: mengapa Australia tidak berusaha untuk memenuhi kebutuhan pertahanannya sendiri? Alasan utamanya adalah karena daratan Australia terlalu besar dan mereka tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk mempertahankan negaranya sendiri. Dengan adanya aliansi keamanan dengan Amerika Serikat, Australia bisa memaksimalkan sumber dayanya yang sangat terbatas untuk melindungi tanah airnya. Bagi Australia maupun Amerika Serikat, aliansi tidak hanya tentang keamanan, tetapi juga tentang nilai dan cara pandang yang sama, serta kesamaan budaya (Albinski, 1978). Atas dasar semangat demokrasi dan rules-based order, Australia bersedia mengikuti kebijakan Amerika Serikat. Pada tahun 1983, Bob Hawke, salah satu Perdana Menteri Australia pernah berkata, karena banyaknya ikatan yang terjalin antara Australia dan Amerika Serikat, maka kedua negara akan bersama selamanya. Amerika Serikat tidak pernah menikmati hubungan yang lebih dekat dengan negara lain kecuali dengan Australia, dan Australia menganggap bahwa hubungannya dengan Amerika Serikat merupakan suatu kepentingan yang mendasar (Albinski, 1978).

Tidak seperti Amerika Serikat yang terhitung sudah lama mempengaruhi kehidupan politik Australia, China adalah pengaruh baru bagi Australia. Kedekatan hubungan antara Australia dan China yang terjalin belakangan ini dikarenakan perekonomian China yang mulai bangkit sejak tiga dekade terakhir. Kebangkitan perekonomian China ini juga didukung oleh jumlah populasinya yang mencapai seperlima populasi dunia (Golley and Song, 2011). Oleh karena itulah, sejak 2003, China menggantikan posisi Amerika Serikat dan Jepang di tahun 2009 dalam konteks sebagai negara sasaran ekspor (pasar) Australia.

(6)

Saat ini, China menempati posisi teratas sebagai partner dalam urusan bisnis Australia (Findlay, 2011). Di sisi lain China juga meningkatkan investasi luar negerinya pada Australia. Selain menjadi business partner, Australia dan China juga merupakan intellectual partner. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa China yang bersekolah di Australia. Jumlah total mahasiswa China mencapai setengah dari total mahasiswa internasional yang ada di Australia (Brown and Bretherton, 2016). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa China menjadi penjamin kesejahteraan bagi Australia saat ini, karena jelas, tidak ada negara lain yang dapat menggantikan posisi China sebagai pasar terbesar dari industri mineral Australia. China mulai mengambil keuntungan atas posisi ini, China mulai berani mengintervensi proses pengambilan kebijakan Australia, terutama dalam hal perdagangan dan investasi.

Perdebatan yang muncul tentang hubungan Australia, baik dengan Amerika Serikat maupun China adalah tentang keberpihakan Australia. Banyak yang berpendapat bahwa cepat atau lambat Australia harus memilih satu di antara keduanya karena tidak lama lagi perekonomian China akan melampaui Amerika Serikat. Dengan perkembangan ekonomi yang pesat serta modernisasi militernya yang cukup signifikan, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa yang akan datang, China akan menjadi negara paling kuat di seluruh dunia. Yang artinya, China akan menjadi lebih berpengaruh dalam kontentasi politik internasional (White, 2011). China akan lebih berani bersuara untuk kepentingannya. China akan lebih berani untuk konfrontasi dengan negara-negara middle power yang bersekutu dengan Amerika Serikat. Dan itu sudah terjadi. Contohnya adalah apa yang terjadi di Kawasan Laut China Selatan. China mulai merasa terganggu dengan dukungan Australia terhadap keputusan Mahkamah Internasional terhadap gugatan yang diajukan oleh Filipina. China juga merasa terganggu dengan kontribusi Australia untuk berpatroli di kawasan sengketa tersebut. Melalui salah satu surat kabarnya, Global Times, pemerintah China memperingatkan keterlibatan Australia dan menyebutnya dengan sindiran “a paper cat,” yang artinya, hanya berani menggertak, padahal kenyataannya tidak memiliki kemampuan untuk konfrontasi secara langsung (Global Times, 2016). Saat ini, Australia sedang menghadapi dilema dimana pada satu sisi Amerika berharap bahwa Australia akan mengesampingkan perhatiannya terhadap perdagangannya dengan China dan lebih mengutamakan usaha strategisnya yang sejalan dengan Amerika. Sedangkan di sisi lain, China mengharapkan Australia tidak mengambil tindakan ofensif atas kepentingan regionalnya (Thomas, 2015). Apa yang terjadi pada Australia ini adalah pilihan yang sulit. Memilih satu di antara keduanya adalah hal yang mustahil. Jaminan

(7)

keamanan adalah hal yang sangat penting bagi Australia, demikian juga dengan jaminan kesejahteraan. Dalam hal ini, Australia menjadi sebuah kasus uji coba bagaimana suatu negara kekuatan menengah berhadapan langsung dengan penguasa kawasan.

Mimpi Buruk yang Tidak Akan Pernah Terjadi

Artikel ini berargumen bahwa mimpi buruk yang dibayangkan oleh Australia, yakni memilih antara Amerika Serikat atau China. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Faktor yang pertama adalah perang antara Amerika Serikat dan China yang tidak mungkin terjadi. Mengapa demikian? Karena hubungan ekonomi yang terjalin di antara keduanya. Meskipun demikian, faktor pertama ini tidak sesederhana itu. Perang, menurut Clausewitz, harus memiliki tujuan politis, karena perang hanyalah suatu cara untuk mencapai sebuah tujuan (Clausewitz, 2009). Perang juga tentang, tujuan akhir apa yang hendak dicapai. Pertanyaan penting sebelum mengibarkan bendera perang adalah tujuan apa yang dicapai setelah perang. Dalam kasus ini, Amerika Serikat mungkin memiliki alasan politis yang kuat untuk berperang dengan China, yakni mempertahankan dominasinya di kawasan, atau bahkan di seluruh dunia. Bagi China, perang merupakan suatu ajang unjuk gigi antara kekuatan baru dengan penguasa lama. Tetapi kemudian, untuk tujuan akhir yang seperti apa? Apa yang akan tersisa apabila kedua negara tersebut berperang? Perang di antara keduanya hanya akan menimbulkan kerusakan. Efek samping lainnya, yang tidak kalah penting dari kerusakan itu adalah hancurnya perekonomian dunia, karena Amerika Serikat dan China adalah dua penguasa perekonomian global. Perang antara keduanya hanya akan menjadi bencana global.

Thucydides menuliskan bahwa ada tiga hal yang dapat menyebabkan suatu perang itu terjadi. Ketiga hal tersebut adalah: uang, rasa takut, dan kehormatan (money, fear and honour). Dalam kasus ini, dua hal terakhir memiliki peran yang signifikan untuk mendorong baik Amerika Serikat maupun China untuk berperang satu sama lain. Amerika Serikat menganggap penting untuk menjaga pengaruhnya di Kawasan Asia-Pasifik dan takut jika China merebut posisi tersebut. China merasa bahwa kehadiran personel militer Amerika Serikat di halaman belakangnya adalah sebuah ancaman yang nyata terhadap kedaulatannya. Dan sebagai negara paling kuat di kawasan, China mulai merasa gerah berada di bawah kendali aturan Amerika Serikat.

Apabila hal-hal tersebut dapat menjadi penyebab perang antar negara, maka salah satunya bisa menjadi penangkal yang kuat terhadap terjadinya perang. Terlepas dari ketakutan dan kehormatan mereka, kedua belah pihak harus menyadari betapa pentingnya

(8)

peran ekonomi yang terjalin dalam hubungan mereka. Terlebih, kita hidup di era globalisasi, dimana semuanya saling terhubung. Ken berpendapat bahwa “kolaborasi, kerjasama, kemitraan, kemampuan mencocokkan, dan keterlibatan adalah bahasa abad ini, seperti halnya kompetisi internasional yang menjadi bahasa abad lalu (Henry, 2016).” Maka, menimbang faktor ketergantungan ekonomi yang telah dipaparka di atas, perang antara Amerika Serikat dan China tidak akan membawa keuntungan bagi siapapun. Sehingga logikanya, perang tidak akan terjadi.

Faktor kedua ialah bahwa China tidak ingin menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai penguasa kawasan dan dunia. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Presiden Xi tentang a new type of great power relations ketika ia mengunjungi Amerika pada bulan Februari 2012 sebagai wakil presiden. Ia menekankan bahwa China menekankan pada “elemen tidak adanya konflik, tidak adanya konfrontasi, saling menghormati, dan kerjasama yang saling menguntungkan (Xinbo, 2014).” Pernyataan ini mencerminkan keinginan jujur Beijing untuk menghindari Thucydides Trap. Pola hubungan baru antara kekuatan besar yang dipromosikan oleh China merupakan suatu upaya merangkul Amerika Serikat untuk mengelola sistem internasional bersama. Bahwa hubungan mereka harus saling menguntungkan. Pada saat itu, Presiden Obama menyambut baik ide tersebut.

Walaupun China mengalami peningkatan yang sangat sigfinikan pada sektor ekonomi dan militer, faktanya, mereka masih menghadapi berbagai persoalan domestik yang tidak bisa diabaikan. Ide pola hubungan baru antara kekuatan besar secara tidak langsung menyatakan bahwa China tidak ingin menjadi satu-satunya kekuatan utama di dunia, karena menjadi penguasa dunia bukanlah hal yang mudah dan murah. Menurut Robert Sutter, “jelas bahwa tidak ada kekuatan atau koalisi kekuatan yang lain yang mampu atau berkeinginan untuk menanggung biaya, resiko, dan komitmen Amerika Serikat dalam mempertahankan stabilitas dan pembangunan regional untuk kepentingan bersama (Sutter, 2015).” Menilai dari apa yang telah dilakukan oleh China selama ini, terutama di kawasan, sama sekali tidak menunjukkan keinginan baiknya untuk bertanggung jawab sama seperti Amerika Serikat dalam menjaga stabilitas kawasan. Terlebih, China sepertinya tidak memiliki misi tertentu untuk menyebarkan nilai-nilai tertentu melalui diplomasi ekonominya. Secara tidak langsung, ini menggambarkan bahwa kepentingan China hanya untuk berbisnis, bukan yang lain.

Penting untuk dicatat bahwa perilaku asertif China di Kawasan Asia-Pasifik disebabkan oleh sejarah panjang penghinaan yang dilakukan oleh Barat. Sekarang, saat China mulai bangkit, terdapat semacam keinginan untuk mengembalikan apa yang disebut

(9)

dengan Mimpi China (Chinese Dream). “The strong China with strong military (BBC News, 2017).” Perilaku asertif China di kawasan sebenarnya dalam rangka menuntut pengakuan Amerika Serikat bahwa China sudah setara dengannya dalam hal power, bukan untuk memancing Amerika Serikat melakukan penyeimbangan ulang (rebalancing) atau bahkan containment. Karena sejarah panjang itulah, keamanan dan kedaulatan menjadi isu yang sensitif bagi China (Zhao, 2013). Atas keinginan untuk pengakuan itulah Presiden Xi mempromosikan a new type of great power relations.

Selama ini, yang dilakukan oleh Australia adalah menerapkan strategi hedging, yaitu bermain dua kaki, antara Amerika Serikat dan China. Sebenarnya strategi ini sudah diterapkan sejak jaman pemerintahan Perdana Menteri John Howard tahun 1996. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan dua kepentingan Australia yang sama pentingnya, yakni keberlangsungan aliansi ANZUS yang sekaligus menjaga eksistensi Amerika Serikat di kawasan, serta mengakomodasi perkembangan China ke dalam arsitektur keamanan di Kawasan Asia-Pasifik. Mengenai strategi hedging ini, PM Howard berkata:

“…hedging as one of the great successes of Australia‟s foreign relations that we had simultaneously been able to strengthen our last-standing ties with the United States of America, yet at the same time continued to build a very close relationship with China (Thomas, 2015).”

Alasan utama mengapa hedging sangat mungkin dilakukan karena Washington dan Beijing akan terus memiliki kepentingan yang sama. Oleh karenanya, Australia harus mendukung hal tersebut dengan menjadi pihak ketiga yang dapat menyatukan mereka, bukannya terjebak pada bipolaritas yang ada di masa lalu (Thomas, 2015). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lowy Institute pada tahun 2014, sebanyak 87% masyarakat Australia percaya bahwa Australia mampu menjaga hubungan baik dengan dua negara besar tersebut (Thomas, 2015).

Baik Amerika Serikat maupun China memiliki superioritas masing-masing. Amerika Serikat superior dalam hal militer. Tidak ada satu negarapun yang memiliki kemampuan yang serupa bahkan mendekati Amerika Serikat dalam hal ini. Sama halnya dengan China. Tidak ada satu negarapun yang dapat menyaingi China dalam hal konsumsi, yang menjadikannya sebagai pasar terbesar di dunia. Dan China akan semakin besar, baik dari segi populasi maupun perekonomiannya. Dengan kondisi yang demikian, penulis yakin bahwa Amerika dan China saling membutuhkan. Dan ini menjadi kesempatan besar bagi Australia untuk membuktikan bahwa sebagai middle power yang „terjebak‟ di antara great powers, Australia dapat membantu mempromosikan kepentingan bersama serta turut

(10)

menjaga stabilitas kawasan daripada fokus pada pemikiran untuk memilih salah satu dari mereka yang justru membuat keadaan semakin buruk.

Apa yang terjadi di antara Amerika dan China selama ini lebih banyak disebabkan oleh kesalah-pahaman atas posisi masing-masing. Amerika Serikat menganggap apa yang dilakukan China adalah untuk menghilangkan pengaruhnya di kawasan. Sedangkan China menganggap apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk mencegahnya mendominasi kawasan. Keterlibatan Australia sebagai pihak ketiga diharapkan dapat mengurangi kesalah pahaman yang terjadi dan meningkatkan pengertian satu sama lain.

III. KESIMPULAN

Ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dan China menyebabkan Australia berada di posisi yang sulit. Banyak ahli pertahanan dan keamanan serta akademisi Australia yang khawatir apabila pada akhirnya Australia harus dihadapkan dengan dua pilihan sulit, yaitu memilih satu di antara Amerika Serikat dan China. Faktanya, Amerika Serikat dan China saling membutuhkan satu sama lain, sehingga perang di antara kedua tidak mungkin terjadi. Selain itu, kekhawatiran itu hanya sekedar kekhawatiran belaka karena China tidak ingin menjadi penguasa kawasan maupun dunia. Apa yang sedang terjadi antara Amerika Serikat dan China justru menjadi peluang yang bagus bagi Australia untuk bisa menunjukkan perannya sebagai middle power di kawasan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Albinski, H. S. (1987). ANZUS: The United States and Pacific Security. USA: University Press of America, Inc.

[2] Beeson, M. a. (2016). Chinese Views of Australian Foreign Policy: Not a Flattering Picture. Australian Journal of International Affairs, Vol. 70, No. 3, 293-301.

[3] Blum, S. (2003). Chinese Views of US Hegemony. Journal of Contemporary China, Vol. 12, No. 35, 239-264.

[4] Brown, K. a. (2016). Australian Relations with China and the USA: The Challenge of Grand Strategies. Australian Journal of International Affairs, Vol. 70 No. 1, 1-5.

[5] Carr, A. (2016). Issues in Australian Foreign Policy: January to June 2016. Australian Journal of Politics and History, Vol. 62, No. 4, 592-607.

[6] Chen, R. (2003). China Perceives America: Perspectives of International Relations Experts. Journal of Contemporary China, Vol. 12, No. 35, 285-297.

[7] Clausewitz, G. C. (2009). On War: The Complete Edition. Ed. Colonel J. J. Graham. United States: Wildside Press.

[8] Dibb, P. (2009). Is the US Alliance of Declining Importance to Australia? Security Challenges, Vol. 5, No. 2, 31-40.

[9] Editorial. (2016, 7 30). Global Times. Retrieved from Global Times: https://www.globaltimes.cn/content/997320.shtml

(11)

[10] Findlay, C. (2011). Australia-China Economic Relations. In J. G. Son, Global Challenges and Opportunities (pp. 181-201). Canberra: ANU Press.

[11] Fraser, M. (2001). An Australian Critique. Australian Journal of International Affairs Vol. 55 Np. 2, 225-234.

[12] Golley, J. a. (2011). China‟s Rise in a Changing World. In J. a. Golley, Global Challanges and Opportunities (pp. 1-8). Canberra: ANU Press.

[13] He, B. (2012). Politics of Accommodation of the Rise of China: The Case of Australia. Journal of Contemporary China, Vol. 21, No. 73 , 53-70.

[14] Henry, K. (2016). Australia in the Asian Century. Asia & The Pacific Studies, Vol. 3 No. 2, 132-139.

[15] Jackson, V. (2012). Power, Trust, and Network Complexity: Three Logics of Hedging in Asian Security. International Relations of the Asia-Pacific, Vol. 14, 331-356.

[16] Lim, D. J. (2015). Reassessing Hedging: The Logic of Alignment in East Asia. Security Studies, Vol. 24, No. 4 , 696-727.

[17] McDowall, R. C. (2009). Howard’s Long March: The Strategic Depiction of China in Howard Government Policy, 1996-2006. Canberra: ANU Press.

[18] Sutter, R. G. (2015). The United States and Asia. USA: Rowman & Littlefield.

[19] Thomas, N. (2015). The Economics of Power Transitions: Australia between China and the United States. Journal of Contemporary China, Vol. 24, No. 95, 846-864.

[20] White, H. (2013). The China Choice: Why America Should Share Powe. Australia: Black Inc.

[21] Xinbo, W. (2014). Agenda for a New Great Power Relationship. The Washington Quarterly, Vol. 37, No. 1, 65-78.

[22] Zhao, S. (2013). Foreign Policy Implications of Chinese Nationalism Revisited: The Strident Turn. Journal of Contemporary China, Vol. 22 No. 82, 535-553.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menggunakan Magnetic Lasso Tool, klik pada satu titik bidang yang akan diseleksi, kemudian gerakan pointer pada bidang yang Anda inginkan (bidang seleksi akan

Dengan data jumlah kalori yang dimiliki buruh angkut diatas, peneliti dapat menentukan kekurangan kalori buruh angkut yang seharusnya terpenuhi dari makanan

3.a Peningkatan kemampuan relasional matematis pada siswa yang memperoleh pembelajaran saintifik dengan strategi konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang

Dehidrasi yang dilakukan yaitu dengan cara adsorbsi menggunakan molecular sieve 3A, silica gel, dan kombinasi dari molecular sieve 3A + silica gel. Dari percobaan adsorbsi dari

Karena itu, untuk mengubah citra negatif birokrasi perijinan usaha dan investasi, Propinsi Jawa Timur menggagas dan melakukan penyederhanaan pelayanan perijinan

Adalah layanan yang memungkinkan pengguna melakukan komunikasi telepon dengan pengguna lain melalui internet. Dalam hal ini kita juga mengenal Internet Telephony

Dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Wilayah Kota Malang, disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai PKL

Segara Timber adalah pada yaitu pada On Product yang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta produk yang menggunakan tanda/logo V-Legal tersebut bukan