i USM
ANALISIS PUTUSAN NO.77/PDT.SUS-PHI/2016/PN.SMG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi S1. Hukum
Oleh
Nama : ATIK PURWASIH NIM : A.131.14.0241
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG 2018
ii
SURAT PERNYATAAN
ANALISIS PUTUSAN NO.77/PDT.SUS-PHI/2016/PN/SMG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Dipersiapkan dan disusun oleh
Nama : Atik Purwasih
Nim : A.131.14.0241
Bersama ini saya menyatakan bahwa :
Skripsi dengan judul tersebut diatas tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Saya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap orisinalitas isi skripsi ini.
Semarang,...
Penulis
Atik Purwasih A.131.14.0241
iii
USM
ANALISIS PUTUSAN No.77/PDT.SUS-PHI/2016/PN.SMG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Dipersiapkan dan disusun
Oleh
Atik Purwasih A.131.14.0241
Skripsi dengan judul tersebut diatas sudah disetujui Untuk diperbanyak dan diuji dihadapan penguji
Pembimbing II Pembimbing I
iv
ANALISIS PUTUSAN No.77/PDT.SUS-PHI/2016/PN.SMG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Oleh
Nama : Atik Purwasih Nim : A.131.14.0241
Telah diajukan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : 20 Agustus 2018
Semarang, 20 Agustus 2018
Penguji I
(Endah Pujiastuti, S.H., M.H.)
Penguji II Penguji III
(Efi Yulistyowati, S.H.,M.Hum.) (Doddy Kridasaksana,S.H., M.Hum.)
Mengetahui Dekan,
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya kepada penulis sehingga penyusunan skripsi
dengan judul “Analisis Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg Tentang
Pemutusan Hubungan Kerja” dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Andy Kridasusila,S.E,M.M Rektor Universitas Semarang, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,Universitas Semarang.
2. Ibu B.Rini Heryanti,S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Semarang, dengan kesabaran yang luar biasa membimbing, meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran, bagi penulis hingga selesainya karya ilmiah.
3. Ibu Endah Pujiastuti,S.H.,M.H. Selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan kesabaran yang luar biasa membimbing, meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran, bagi penulis hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Efi Yulistyowati, S.H.,M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah
berkenan mengarahkan dan memberikan saran serta meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran, bagi penulis dalam pembuatan skripsi ini.
5. Bapak Doddy Kridasaksana,S.H., M.Hum. selaku dosen wali dan penguji III
vi
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karena
itu, penulis terbuka terhadap saran dan/atau kritik yang dapat menyepurnakan skripsi
ini. Semoga skripsi dapat memberikan manfaat untuk terciptanya keadilan untuk
masa depan dunia perburuhan di Indonesia
Semarang,...Agustus 2018
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Pengetahuan adalah kekuatan Kegagalan terjadi jika kita menyerah Tiada hari tanpa belajar
Jadikanlah ilmu bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain sukses adalah awal dari sebuah proses
Karya tulis ini ku persembahkan kepada:
Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan dan terselesainya skripsi
Kedua orang tua saya yang telah memberikan semangat Suami dan Putri saya yang selalu sabar dan pengertian Sahabat – sahabat ku Fakultas Hukum angkatan 2014 yang
viii ABSTRAK
Pemutusan hubungan kerja selalu menjadi hal yang sulit bagi pengusaha maupun pekerja, bahkan bisa berujung pada sengketa yang harus diselesaikan di pengadilan. Penelitian ini mengkaji tentang subtansi Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja, akibat hukum dari putusan No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja terhadap para pihak (pengusaha dan pekerja). Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus. Data yang digunakan adalah data sekunder yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa subtansi dari putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan alasan efisiensi, hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerjaan yang dilakukan Penggugat bersifat terus-menerus dan pekerjaannya bersifat tetap karena Penggugat bekerja di bagian operator mesin tenun sehingga perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara Penggugat dan Tergugat batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang – Undang No 13 Tahun 2003 Pasal 59 ayat (2) dan ayat (7), Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 100 Tahun 2004 Pasal 15 ayat (4), Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 233 Tahun 2003 Pasal 3 huruf k. Akibat Hukum dari Putusan No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Pihak (Pengusaha dan Pekerja) yaitu Apabila dalam putusan tersebut Tergugat tidak menjalankan putusan secara sukarela yang telah diucapkan oleh Majelis Hakim pada tanggal 13 Maret 2017 maka akibat hukum dalam putusan tersebut Penggugat dapat mengajukan eksekusi ke pengadilan negeri yang memutuskan perkara tersebut.
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ... i
HALAMAN ORISINALITAS ... ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... ... iii
KATA PENGANTAR ... ... v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... ... vii
ABSTRAK ... ... viii
DAFTAR ISI ... ... ix
BAB I :PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ... 1
B. Rumusan Masalah ... ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... 5
D. Keaslian Penelitian ... ... 7
E. Sistematika Penulisan ... ... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Kerja ... ... 10
1. Pengertian Perjanjian Kerja... ... 10
2. Syarat-syarat Perjanjian Kerja... ... 12
x
4. Jenis Perjanjian Kerja ... ... 14
5. Berakhirnya Perjanjian Kerja ... ... 17
6. Pemutusan Hubungan Kerja ... ... 18
B. Perselisihan Hubungan Industrial ... ... 20
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial ... ... 20
2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial... ... 23
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis/Tipe Penelitian... ... 26
B. Spesifikasi Penelitian ... ... 27
C. Metode Pengumpulan Data ... ... 27
D. Metode Analisis Data ... ... 28
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Subtansi Putusan No 77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja... ... 30
B. Akibat Hukum Putusan No 77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Pihak (Pengusaha dan Pekerja) ... ... 50
BAB V : PENUTUP A. Simpulan ... ... 54
xi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik bagi
pengusaha maupun pekerja/buruh. Pengusaha menganggap terjadinya PHK
merupakan hal yang wajar di dalam kegiatan perusahaan. Bagi pekerja/buruh,
terjadinya PHK berdampak sangat luas bagi kehidupanya tidak hanya bagi dirinya
pribadi namun juga keluarganya. PHK jelas akan menyebabkan seorang
pekerja/buruh kehilangan mata pencahariannya. Demikian juga pada waktu pekerja
tersebut berhenti atau adanya pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan,
perusahaan mengeluarkan dana untuk pensiun atau pesangon atau tunjangan lain
yang berkaitan dengan pemberhentian, sekaligus memprogramkan kembali penarikan
pekerja baru yang sama halnya seperti dahulu harus mengeluarkan dana untuk
kompensasi dan pengembangan pekerja.1
PHK merupakan bagian dari suatu hubungan kerja yang awalnya merupakan
hubungan hukum dalam lingkup hukum privat karena hanya menyangkut hubungan
hukum perorangan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam
perkembangannya, PHK ternyata membutuhkan campur tangan pemerintah karena
menyangkut kepentingan.
Pengaturan mengenai PHK membutuhkan campur tangan pemerintah karena
pemerintahlah yang memiliki fungsi untuk menetapkan kebijakan,
1
2
melakukanpengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini terutama ketentuan PHK.
Kehadiran Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah memberikan kepastian hukum
kepada para pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang RI No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian pemutusan
hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
PHK diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 Undang-Undang RI No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk alasan-alasan melakukan PHK.
Banyak pihak yang salah dalam menafsirkan alasan-alasan melakukan PHK terutama
ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian
atau bukan karena keadaan memaksa (forceimajeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4). Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan serigkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Dalam
prakteknya, pihak perusahaan menggunakan pasal ini untuk melakukan PHK
3
Dalam ketentuan Undang – Undang RI nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah disebutkan bahwa PHK
merupakan atau dapat menjadi salah satu penyebab perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang merupakan pengadilan khusus
yang berada pada lingkungan pengadilan umum yang berfungsi dan berwewenang
untuk memeriksa dan memutus
1) di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2) di tingkat pertama perselisihan pemutusan hubungan kerja;
3) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
4) di tingkat pertama dan terakhir perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.2
Konflik pada umumnya timbul karena sikap yang berbeda antarapengusaha
dan pekerja/buruh. Pengusaha memiliki modal, mempunyai kekuasaan yang lebih
besar sehingga pihak yang mempunyai kekuasaan lebih(pengusaha) yang
mendominasi pihak lain (pekerja/buruh) Pasal 151 Undang-Undang RI No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maka perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan terlebih dahulu merundingkanya dengan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh. Terkait dengan PHK, Mahkamah Konstitusi
2
4
melalui putusan MK No 19/PUU-IX/2011 memutuskan bahwa pemutusan hubungan
kerja disuatu perusahaan yang mengalami renovasi dan melakukan efisiensi
dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang RI No 13 Tahunn 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa :
hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Terdapat dua macam perjanjian kerja, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT merupakan perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atau pekerjaan tertentu, sehingga bersifat sementara atau tidak tetap. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) merupakan perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang sifatnya tetap.3 Gugatan perkara No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN/SMG berkaitan dengan
pemutusan hubungan kerja yang pada intinya dengan alasan telah habis kontrak dan
efisiensi dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Sehingga muncul adanya tuntutan
PKWT penggugat demi hukum menjadi PKWTT, dan muncul tuntutan pesangon dan
pembayaran upah hingga jatuhnya putusan pengadilan.
Dalam putusan perkara No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN/SMG, majelis hakim
ternyata mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian menyatakan bahwa
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan tergugat kepada penggugat tidak
sah dan batal demi hukum, dan memerintahkan tergugat untuk mempekerjakan
kembali penggugat pada posisi semula, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
penggugat dengan tergugat batal demi hukum dan PKWT penggugat berubah
3
5
menjadi PKWTT. Serta pembayaran pesangon dan pembayaran upah setelah putusan
dibacakan.
Berdasarkan latar belakang tersebut dimana, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian skripsi dengan judul:”Analisis Putusan
No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja”. B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada dan untuk mengetahui gambaran yang
lebuh jelas, maka penulis mencoba merumuskan permasalahan dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Bagaimana subtansi Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang
pemutusan hubungan kerja ?
2. Bagaimana akibat hukum dari putusan No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg
tentang pemutusan hubungan kerja terhadap para pihak (pengusaha dan
pekerja) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pokok permasalahan
yang telah diuraikan sebelumnya yaitu:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis subtansi Putusan
6
b. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari putusan
No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja
terhadap para pihak (pengusaha dan pekerja)
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk mengembangkan konsep pemikiran secara lebih logis,
sistematis dalam meneliti permasalahan terkait pemutusan
hubungan kerja.
2) Dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitian berikutnya.
b. Manfaat praktis
Bagi peneliti
Manfaat yang dapat peneliti ambil dari penelitian ini adalah untuk
menambah dan memperdalam wawasan hukum khususnya hukum
ketenagakerjaan
Bagi pekerja/pengusaha
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan
referensi bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan atau keputusan
yang dipandang perlu dalam usaha meningkatkan produktivitas kerja
7
Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam
meningkatkan kualitas pelaksanaan pemerintah khusunya dalam
pemutusan hubungan kerja
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, penulis
menemukan judul diantaranya tentang :
1. “Analisis Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan” ditulis
oleh Dodi Oscard Sirkas pada tahu 2011 dari Universitas Indonesia yang
mengulas tentang analisis putusan MA nomor 861 K/Pdt.Sus/2010
mengenai pemutusan hubungan kerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003.
2. “Implikasi Hukum Putusan Pengadilan Hubungan Industrial tentang
Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja” ditulis oleh Faradillah Diputri
Ashan pada tahun 2014 dari Universitas Hasanuddin Makasar mengulas
tentang pelaksanaan pemutusan hubungan kerja pada putusan perkara No
021/PHI.G/2012/PN..Mks
3. “Peranan Serikat Pekerja Nasional (SPN) DPC Kota Semarang dalam
8
Pasca Keluaran Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 ditulis oleh David
Bayu Narendra pada tahun 2013 dari Universitas Negeri Semarang
Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul tentang “Analisis
Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja”
merupakan karya tulis asli penulis dan belum diteliti oleh peneliti yang lain.
Kajian penelitian skripsi ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Penulis
mengkaji dan mengambil rumusan masalah tentang Bagaimana subtansi Putusan
No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja dan
Bagaimana akibat hukum dari putusan No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang
pemutusan hubungan kerja terhadap para pihak (pengusaha dan pekerja). Perumusan
masalah di atas berbeda dengan penelitian sebelumnya, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul ini sebagai judul skripsi.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan kemudahan dalam memahami penelitian ini, maka
sistematika skripsi dibagi menjadi lima bagian. Adapun sistematikanya adalah
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian
serta sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum mengenai pengertian
9
jenis perjanjian kerja yang terdiri dari perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT), perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT),
berakhirnya perjanjian kerja, pemutusan hubungan kerja yang
meliputi pengertian pemutusan hubungan kerja, alasan pemutusan
hubungan kerja, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
BAB III Metode Penelitian
Dalam bab ini akan diuraikan tentang metode penelitian yang berisi
tentang jenis/type penelitian, spesifikasi penelitian, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
BAB VI Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
subtansi Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang
Pemutusan Hubungan Kerja serta akibat hukum dari Putusan
No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap para pihak (pengusaha dan pekerja)
`BAB V Penutup
Pada bab ini berisikan simpulan dan saran. Simpulan merupakan
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dalam bahasa belanda disebut Arbeidsoverenkoms. Pasal
1601a KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian kerja adalah “suatu perjanjian dimana pihak kesatu (siburuh), mengikatkan dirinya untuk di bawah
perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan
dengan menerima upah”. Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian bahwa
“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja atau buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yan memuat syarat – syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah
pihak”.
Selain pengertian tersebut di atas, beberapa pengertian perjanjian kerja yang
diungkapkan oleh para sarjana antara lain :
Imam Soepomo berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah “ suatu perjanjian kerja dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan
diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.4
Subekti mendefinisikan perjanjian kerja adalah :
11
Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan yang ditandai
dengan ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
adanya suatu hubungan diperatas (dienstverhoeding) dimana pihak majikan
berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lainnya.5
Menurut Endah Pujiastuti pengertian perjanjian kerja, adalah :
“perjanjian kerja merupakan suatu bentuk persetujuan antara pengusaha dengan pekerja/buruh, sehingga perjanjian kerja tidak ditarik kembali dan
atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak”.6
Dengan demikian secara ringkas dalam perjanjian kerja ada keterikatan
seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah
perintah dengan menerima upah.
Adapun yang dimaksud dengan pekerja atau buruh adalah “setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3
Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003). Imbalan yang dimaksud
adalah berupa barang atau benda yang nilainya ditentukan atas dasar kesepakatan
pengusaha dengan pekerja buruh. Unsur-unsur yang ada dalam pengertian
pekerja/buruh adalah : (1) bekerja pada orang lain, (2) dibawah perintah orang lain,
(3) mendapat upah.
5
Abdul Khakim, Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung: Citra AsityaBakti, 2014), halaman 49.
6 Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,(Semarang University Press Semarang 2015),,halaman 21.
12 2. Syarat-syarat perjanjian kerja
Suatu perjanjian kerja yang berdasarkan pada ketentuan dalam
Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dinyatakan sah apabila
memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian Pasal 52 ayat (1) menentukan bahwa
perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a) Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya, bahwa pihak – pihak yang mengadakan
perjanjian kerja harus setuju/sepakat mengenai hal – hal yang diperjanjikan.7
b) Kemapuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian kerja maksudnya pihak pekerja maupun pihak pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan Pasal 1 angka 26 Undang – Undang Ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun bagi seseorang yang dianggap cakap membuat perjanjian kerja. Lebih lanjut dalam Pasal 69 Undang – Undang Ketenagakerjaan memberikan pengecualian bagi anak yang berumur 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya/waras.8
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUH Perdata
adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan adalah objek dari perjanjian
antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan
kewajibanpara pihak.
7
Lalu Husni, op.cit., halaman 64-65 8
13
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku
Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian
kerja yang harus disebutkan secara jelas, dimana obyek perjanjian (pekerjaan)
harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang - undang,
ketertiban umum dan kesusilaan.
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja dan syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian kerja dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja, yaitu :
1) Adanya unsur perintah
Adanya unsur peintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain. Unsur peintah ini memegang peranan penting dalam sebuah perjanjian kerja, sebab tanpa adanya perintah maka tidak ada perjanjian kerja. Unsur perintah inilah yang membedakan hubungan kerja atas dasar perjanjiann kerja dengan hubungan lainnya.
2) Adanya unsur pekerjaan
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pekerjaan tersebut harus ada dan dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh atas perintah pengusaha. Tidak adanya unsur pekerjaan dapat mengakibatkan perjajian kerja tersebut batal demi hukum 3) Adanya unsur upah
Upah merupakan unsur penting dalam hubungan kerja. Upah ini adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai dalam bentuk imbalan dari pengusaha dan pemberi kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-udangan, termasuk tujangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan / jasa yang telah atau akan dilakukan.9
Kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum disebut syarat subyektif, karena syarat tersebut harus dipenuhi oleh
subyek hukum sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang diperkenankan
9
14
disebut syarat obyektif karena syarat ini harus dipenuhi oleh obyek hukum
perjanjian.
Apabila terjadi dimana perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat subyektif,
maka perjanjian kerja itu dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu menjadi batal jika
ada yang memohonkan pembatalan. Kemudian apabila perjanjian kerja tidak
memenuhi syarat obyektif, perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula
dianggap tidak pernah ada perjanjian atau perikatan.
3. Isi Perjanjian kerja
Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja/buruh dengan majikan/pengusaha
harus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-undang RI No.13
Tahun 2003 tentang Ketenangakerjaan.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat a. Nama, alamat perusahaan, umur dan jenis usaha
b. Nama, jenis kelamin, umur,dan alamat pekerja/buruh c. Jabatan atau jenis pekerjaan
d. Tempat pekerjaan
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha atau pekerja/buruh
g. Mulai jangka waktu berlakunya perjanjian kerja h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan i. Tandatangan para pihak dalam perjanjian kerja
4. Jenis Perjanjian Kerja
a) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian kerja waktu tertentu merupakan perjanjian kerja yang didasarkan
atas jangka waktu atau selesainya sesuatu pekerjaan. Perjanjian kerja ini berlaku
15
habis maka dengan sendirinya perjanjian kerja berakhir sehingga terjadi pemutusan
hubungan kerja. Perjanjian kerja waktu tertentu juga dapat berakhir dengan
selesainya suatu pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu menurut Pasal 59 ayat (1)
Undang - Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah : “ pekerjaan
waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan
sifatnya atau kegiatan prakteknya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu :
1) Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya
2) Pekerjaannya yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun
3) Pekerjaan yang musiman
4) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.”
b) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu merupakan perjanjian kerja antara
pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang sifatnya
tetap. Perjanjian kerja ini dibuat untuk waktu tidak tertentu yaitu tidak dibatasi
jangka waktunya. Pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu boleh mensyarakat
masa percobaan. Masa percobaan ini merupakan masa atau waktu menilai kinerja
dan kesungguhan, keahlian seseorang pekerja. Sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 Pasal 60 ayat (1) masa percobaan paling lama 3 bulan
Dalam pelaksanaan perjanjian kerja, perubahan PKWT menjadi PKWTT
merupakan akibat dari ketidakcermatan dari penyusunan perjanjian kerja. Sehingga
16
Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT telah diatur dalam
Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang –undang RI No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan serta Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep 100/Men/VI/2004 tentang ketentuan
pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yaitu :
- PKWT yang tidak tertulis bertentangan dengan Pasal 57 ayat (1) Undang –
Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- PKWT yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5), dan
(6) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia (Pasal 15 ayat (1)
Kep.Menakertrans Republik Indonesia Nomo 100/Men/VI/2004
- PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2)
Kep.Menakertrans Republik Indonesia Nomo 100/Men/VI/2004
- Dalam hal PKWT dilakukan untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan
(3)Kep.Menakertrans Republik Indonesia Nomo 100/Men/VI/2004
- Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang 30 hari setelah
berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Kep.Menakertrans Republik Indonesia Nomo
100/Men/VI/2004
Sebagai konsekuensi hukum atas perubahan di atas apabila pengusaha
17
penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
PKWT.
5. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja berakhir apabila :
1) Pekerja meninggal dunia
Perjanjian kerja akan berakhir jika pekerja meninggal dunia, namun perjanjian kerja tidak berakhir jika pengusaha meninggal dunia.
2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.10
Perjanjian kerja tidak berakhir dikarenakan meninggalnya pengusaha atau
pengalihan hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
Dalam pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
Dalam Pasal 62 Undang-undang RI No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja
sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja
diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh
10
18
sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Hal ini merupakan
asas fairness (keadilan) yang berlaku baik pengusaha maupun pekerja agar kedua
saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian kerja yang telah dibuat dan
ditandatangani.
6. Pemutusan Hubungan Kerja
a) Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang RI No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”.
Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena berakhirnya waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua
belah pihak, karena para pihak telah menyepakati kapan berakhirnya hubungan kerja
tersebut. Namun lain halnya terhadap pemutusan hubungan kerja yang disebabkan
adanya perselisihan, alasan pemutusan hubungan kerja yang disebabkan adanya
perselisihan akan berdampak pada kedua belah pihak. Dampak tersebut lebih
dirasakan oleh pihak pekerja/buruh, karena mempunyai kedudukan yang lebih lemah
dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Bagi pekerja/buruh, pemutusan
hubungan kerja akan memberikan pengaruh secara psikologis, ekonomi, dan
19 b) Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja dapat dikelompokan dalam beberapa jenis yaitu : 1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pengusaha berhak melakukan PHK terhadap pekerja/buruh apabila
berbagai upaya pencegahan dan pembinaan sudah dilakukan. Bahwa
PHK tidak dapat dihindari maksudnya PHK wajib dirundingkan terlebih
dahulu. Apabila perundingam benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial(PPHI)
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh
Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak
pengusaha karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksakan
untuk bekerja terus-menerus bilamana ia sendiri tidak menghendakinnya.
Dalam hal ini yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya
adalah dari pekerja/buruh itu sendiri.
3. Hubungan kerja putus demi hukum
Hubungan kerja putus demi hukum maksudnya hubungan kerja tersebut
harus putus dengan sendirinya dan kepada pekerja/buruh serta pengusaha
tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari PPHI. PHK ini terjadi
semata-20
mata karena keadaan, ketentuan perundang-undangan, karena telah
disepakati dalam perjanjian kerja.11
Adapun alasan yang dipandang sebagai alasan yang cukup kuat untuk
menunjang pembenaran pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
pengusaha/majikan atas diri seorang atau beberapa orang karyawan/pekerja//buruh
pada dasarnya ialah sebagai berikut:
Dalam Pasal 151 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebut alasan untu melakukan pemutusan hubungan kerja,sebagai
berikut
1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,
dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja
2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan kerja tidak dapat
dihindari, maka dimaksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan
oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar
tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
11
21 B. Perselisihan Hubungan Industrial
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Secara historis, pengertian perselisihan perburuhan adalah : “pertentangan
antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau
gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya perselisihan paham
mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan atau keadaan
perburuhan”.12
Namun berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor Kep.5A/Men/1994, istilah perselisihan
perburuhan diganti menjadi perselisihan hubungan industrial.
Dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang – Undang ini
mencabut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1964 tentang PHK.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang –Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
disebutkan bahwa :
“Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
12
Indonesia, Undang – Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, UU No 22 Tahun 1957, Pasal 1 ayat 1 huruf c.
22
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikatpekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.13
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang RI No 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan
Pasal 1 angka 22 Undang – Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perselisihan hubungan industrial terdiri dari 4
(empat) jenis, yaitu :
1. perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
2. perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama
3. perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
4. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
13
23
dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat
pekerjaan.14
2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Sesuai dengan UU RI No.2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan
Industrial, diselesaikan dengan menempuh mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, serta pengadilan hubungan industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah
untuk mufakat. Apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka
penyelesaian perselisiahn hubungan industrial dilakukan melalui prosedur
penyelesaian industrial.
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa perselisihan
hubungan industrial diselesaikan dengan menempuh mekanisme bipartit, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, serta pengadilan hibungan industrial.
1. Bipartit
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit
merupakan penyelesaian perselisihan antara buruh/serikat buruh dengan
14
24
pengusaha secara intern di dalam lingkungan perusahan tanpa melibatkan
pihak ketiga. 15
2. Mediasi
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi maka dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 16 Jika tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi maka mediator
mengeluarkan anjuran tertulis.
3. Konsiliasi
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi akan dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
konsiliator. Perjanjian bersama kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pencatatan. Jika
tidak tercapai kesepakatan maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.
15
Endah Pujiastuti, Op. Cit ,halamann 72 16
25
Terhadap anjuran tertulis yang disetujui konsiliator harus membantu para pihak
untuk membuat perjanjian bersama.17
4. Arbitrase
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselish dan dilakukan secara tertutup
kecuali para pihak yang berselisih menghendaki.18
5. Pengadilan Hubungan Industrial
Merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri
yang berwewenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial. Pengadilan hubungan industrial merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum.19
Keempat penyelesaian perselisihan yang telah disebutkan, memiliki alur
penyelesaian yang berbeda-beda karena dilihat dari jenis perselisihan dan akibat
yang timbul oleh masing- masing perselisihan. Tetapi pada prinsipnya semua jenis
perselisihan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah/ secara bipartrit.
17 Ibid.,halaman 74 18 Ibid.,halaman 75 19 Ibid.,halaman 76
26 BAB III
METODE PENELITIAN
Peter Mahmud Marzuki, menyatakan bahwa : “Penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.20Metode penelitian
hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.21
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
A. Jenis/tipe penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif
atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud
Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah sebagai berikut :
“doctrinal research: research wich provides a systematic exposition of the rules goverming a particular legal kategory, analyses the relationship between rules, explain areas of difficullty and, perhaps, predicts future development.”
(Penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan).22
20
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm 35 21Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,2004, hlm.57
22
27
Penelitian hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian hukum
doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang
tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.23
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus
karena penelitian ini akan mengkaji putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis karena
penelitian ini akan memberikan gambaran yang menyeluruh, terinci, dan sistematis
mengenai putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg. Penelitian ini dilakukan
dengan studi kepustakaan dan dokumentasi yaitu dengan mempelajarai materi
kepustakaan dan dokumen yang berupa literatur, buku-buku, tulisan, peraturan
perundang-undangan, karya ilmiah lainnya, dan putusan MA. Dalam penelitian ini
penulis memberikan gambaran menyeluruh mengenai subtansi dan akibat hukum
yang berkaitan dengan Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan
Hubungan Kerja.
C. Metode Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dalam arti bahwa data ini
diperoleh berdasarkan studi kepustakaan dan studi dokumentasi yang berhubungan
23 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 14
28
dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Data sekunder yang digunakan dalam
penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang undangan yaitu :
a) Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,
b) Undang-Undang RI No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
c) Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang pemutusan
hubungan kerja
2. Bahan hukum sekunder, berupa hasil-hasil penelitian, buku, kamus
hukum, jurnal hukum, pendapat para sarjana, dan masalah.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.24 Bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Hukum dan Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif, analitis kualitatif merupakan suatu tata cara penelitian
yang akan menghasilkan suatu data deskriptif analitis, yaitu data yang di
24
29
peroleh dari penelitian disusun, diteliti dan dipelajari kemudian diambil
30 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Subtansi Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja
1. Para Pihak
Putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg di jatuhkan karena ada
perselisihan hubungan kerja yaitu antara Zamroni beralamat Desa Curug RT 11 RW
04 Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan (selaku Penggugat) dengan PT PUTRA
SAHABAT Textile (Pusatex) beralamat di Jalan Raya Watusalam No.10 Kecamatan
Buaran Kabupaten Pekalongan dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Daryanto,SH
adalah pengacara pada kantor pengacara “Daryanto & Rekan” beralamat di Ruko Semarang Indah Blok C8 No 25, jalan Madukoro Raya-Semarang dan Damirin,SH
Legal Officer PT PUTRA SAHABAT Textile (Pusatex) beralamat di Jalan Raya
Watusalam No.10 Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan,(selaku Tergugat).
2. Kronologis kasus
Sengketa pada putusan No.77/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg diawali dengan
terjadinya perselisihan pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan
31
a. Penggugat merupakan karyawan PT PUTRA SAHABAT Textil (Pusatex)
pada bagian TENUN dengan jabatan sebagai OPERATOR MESIN TENUN.
b. Pada saat masuk bekerja di tempat Tergugat, Penggugat menjalani masa
percobaan selama 3 (tiga) bulan yang disyaratkan oleh Tergugat, setelah
melalui masa percobaan Penggugat bekerja di tempat Tergugat dengan status
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT)
c. Dari tahun 2014 sampai tahun 2016 Penggugat hanya menandatangani
perjanjian kerja waktu tertentu dengan Penggugat sebanyak 3 (tiga) kali
untuk jangka waktu masing – masing selama (3) bulan dan (6) enam bulan.
d. Setelah berakhir masa perjanjian kerja waktu tertentu Penggugat tetap
bekerja di tempat Tergugat tanpa dibuat perjanjian kerja secara tertulis.
e. Pembaharuan perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak
pernah ada masa tenggangnya 30 (tiga puluh) hari dan Penggugat tidak
pernah menerima salinan perjanjian kerja tersebut
f. Pada tanggal 25 Aguatus 2016 Tergugat melakukan pemutusan hubungan
kerja yang pada intinya dengan alasan telah habis kontrak dan efisiensi.
g. Pada 27 Agustus 2016 Penggugat menolak untuk di PHK dan meminta untuk
dipekerjakan kembali. Penggugat pada pukul 21.45 berangkat ketempat
Tergugat untuk bekerja, namun dihalang-halangi dan dilarang bekerja oleh
32 3. Petitum Gugatan
Petitum merupakan bagian yang dimohonkan untuk diputuskan oleh
Pengadilan. Petitum dalam pokok perkara adalah Sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dan
Tergugat dengan alasan efisiensi adalah tidak sah, sesuai dengan
Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (3)
2. Menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara
Penggugat dengan Tergugat berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (PKWTT) bertentangan dengan Undang-undang RI No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 Ayat 59 ayat (2) dan ayat (7)
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayarkan hak-hak Penggugat
karena melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak sesuai dengan
Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 yaitu :
Juni 2016 = 2 Juni - 15 Juni =Rp 805.451
16 Juni - 1 Juli =Rp 692.092
Juli 2016 = 2 Juli - 19 Juli =Rp1.189.616
20 Juli - 1 Agustus =Rp 787.819
Agustus 2016 = 2 Agustus - 15 Agustus =Rp 921.855
16 Agustus – 1 September =Rp1.185.121
Rp5.581.954
Rata – rata upah 3 bulan =Rp5.581.954 : 3 bulan = Rp1.860.651
1. Menerima dan mengabulkan seluruhnya tuntutan Penggugat guna
33 4. Dalam Provisi
1. Menerima dan mengabulkan provisi Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk membayar upah proses
kepada Penggugat sebagai berikut :
September 2016 sampai November 2016 = 3 bulan
Rp.1.860.651 X 3 bulan = Rp5,581,953 (Lima Juta Lima Ratus
Delapan Puluh Satu Ribu Sembilan Ratus Lima Puluh Tiga Rupiah)
Dan Tergugat juga diwajibkan tetap membayar upah setiap bulannya yang
biasa diterima Penggugat sampai dengan adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap atas perselisihan ini
3. Menghukum dan menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih
dahulu walaupun ada upaya lebih dahulu (putusan serta merta)
meskipun ada upaya hukum Verzet maupun kasasi (uit Voerbar
bij Vorraad).
5. Dalam Pokok Perkara
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
- Memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat
dengan posisi semula yaitu bagian operator mesin tenun, karena PHK
dengan alasan efisiensi perusahaan, sangatlah bertentangan dengan
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003 tentang
34
- Mengabulkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi
perjanjian waktu tidak tertentu (PKWTT) dikarenakan proses
produksinya terus – menerus dan tetap.
- Mengabulkan Tergugat untuk membayarkan upah proses sebelum
adanya penetapan dari Lembaga Perselisihan Pengadilan Hubungan
Industrial.
2. Menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara Penggugat
dan Tergugat BATAL DEMI HUKUM karena bertentangan dengan Undang
– Undang No 13 Tahun 2003 Pasal 59 ayat (2) dan ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 100 Tahun 2004 Pasal 15 ayat (4), Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No 233 Tahun 2003 Pasal 3 huruf k
- Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara Penggugat dengan
Tergugat, hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai pada waktu
tertentu. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap karena bertentangan dengan Undang – Undang RI No 13
Ketenagakerjaan Tahun 2003 Pasal 59 ayat (2) yang isinya
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap” dan ayat (7) berisi “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
35
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 100
Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu yang menyatakan : “ Dalam hal PKWT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat
(2), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan
kerja”. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, PKWT yang
dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud hanya dapat
dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Serta
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 233 Tahun 2003 tentang jenis
dan sifat pekerjaan yang dijalankan terus-menerus Pasal 3 huruf (k)
yang menyatakan “Pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan terus pemeliharaan
/ perbaikan alat produksi.”
Oleh sebab itu PKWT yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat
Batal Demi Hukum karena proses pekerjaan terus – menerus atau
tetap..
3. Menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) Penggugat
berubah menjadi perjanjian waktu tidak tertentu (PKWTT)
- PKWT dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-undang RI No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Penggugat
meminta Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
36
Tertentu (PKWT) antara Penggugat dengan Tergugat adalah demi
hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
berdasarkan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang RI No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :” Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap”
4. Menyatakan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Penggugat batal demi
hukum
- PHK yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat karena
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang RI No 13 Tahun
2003 Pasal 151 (3) yang berbunyi “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Maka PHK yang dilakukan oleh Penggugat batal demi hukum. ketika perusahaan memutuskan untuk PHK maka harus menunggu penetapan dari
37
5. Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk memnbayar uang proses
kepada Penggugat
- PHK yang dilakukan oleh Tergugat belum mendapatkan penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka
Tergugat wajib terhadap Penggugat dengan tetap membayarkan upah
beserta hak-hak lainnya sesuai Undang-undang RI No 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Pasal 155 ayat (2) yang menyatakan :” Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh
harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Juni 2016 = 2 Juni - 15 Juni =Rp 805.451
16 Juni - 1 Juli =Rp 692.092
Juli 2016 = 2 Juli - 19 Juli =Rp1.189.616
20 Juli - 1 Agustus =Rp 787.819
Agustus 2016 = 2 Agustus - 15 Agustus =Rp 921.855
16 Agustus – 1 September =Rp1.185.121
Rp5.581.954
Rata – rata upah 3 bulan =Rp5.581.954 : 3 bulan = Rp1.860.651
Upah kerja selama diberhentikan secara sepihak dari bulan
September 2016 sampai November 2016 =3 bulan
Rp.1.860.651x3 bulan =Rp.5.581.953
(Lima Juta Lima Ratus Delapan Puluh Satu Ribu Sembilan Ratus
38
6. Membebankan biaya perkara ini kepada Tergugat
Apabila majalis hakim yang terhormat berkehendak lain mohon putusan yang
seadil adilnya
- Sesuai ketentuan Pasal 58 Undang-undang No 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang isinya :” Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang
berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai
gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Berdasarkan subtansi putusan No.77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg
tentang pemutusan hubungan kerja yang menjadi permasalahan dalam
perkara ini adalah :
1. Penggugat tanpa adanya kesalahan apapun di PHK oleh Tergugat dengan
alasan efisiensi dilihat dari Undang-undang RI No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (3), tidak seharusnya Penggugat di PHK
dengan alasan efisiensi. Efisiensi diartikan dalam PHK apabila perusahaan
tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi. Apabila
perusahaan ingin melakukan PHK terhadap Penggugat seharusnya dilakukan dengan cara terhormat dan jika Tergugat ingin mem-PHK Penggugat haruslah alasannya sesuai dengan Undang-undang RI No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 158 ayat (1) yang berbunyi :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
39
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
2. Pasal 59 Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mengatur sebagai berikut :
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
40
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT telah diatur
dalam Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang-undang No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu ketentuan mengenai perubahan
PKWT menjadi PKWTT juga diatur dalam Pasal 15 Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Dalam putusan Nomor : 77Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Smg Awal mula
perjanjian kerja dibuat antara Penggugat dengan Tergugat melalui masa
percobaan selama 3 (tiga) bulan dengan status Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT). Pada tahun 2014 sampai tahun 2016 Penggugat hanya
mendatangani perjanjian kerja waktu tertentu sebanyak 3 (tiga) kali untuk
jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu masing-masing 3 (tiga) dan 6
(enam) bulan. Setelah berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu
41
secara tertulis dan sejak awal bekerja di tempat Tergugat tidak pernah
menerima salinan perjanjian kerja. Dan Tergugat tidak pernah memberikan
salinan perjanjian kerja terhadap Penggugat. PKWT yang dilakukan Tergugat
kepada Penggugat bertentangan dikarenakan :
- Jenis pekerjaannya bersifat terus-menerus
- Pekerjaannya bersifat tetap yaitu bagian operator produksi
Maka sesuai Pasal 59 ayat (7) Undang-undang RI No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan demi hukum menjadi PKWTT.
3. Sejak Penggugat di PHK oleh Tergugat, dengan demikian Tergugat wajib
membayarkan upah Penggugat sampai dengan putusan ditetapkan. Hal ini
berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (30) Undang-undang No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu upah adalah hak pekerja/buruh yang
diterima atau dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja. Pasal 156 ayat (1) Undang-undang No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam hal
terjadinya pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang suharusnya diterimanya, dengan demikian Tergugat wajib
melaksanakan pembayaran hak pemutusan hubungan kerja kepada
42
Berdasarkan petitum tersebut Majelis Hakim pada hari Senin tanggal 13
Maret 2017 memutuskan sebagai berikut :
A. Pengabulan Memperkerjakan Kembali
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
Dalam amar putusan tersebut, Majelis Hakim telah mengabulkan gugatan
untuk sebagian yaitu bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara
Penggugat dan Tergugat batal demi hukum berubah menjadi PKWTT dan
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh Tergugat kepada
Penggugat tidak sah sehingga Penggugat di pekerjakan kembali pada posisi
semula. Dan Tergugat untuk membayarkan upah proses sejak putusan
diucapkan.
2. Menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara Penggugat
dengan Tergugat batal demi hokum, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) Penggugat berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT)
Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT telah diatur dalam
Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Selain itu ketentuan mengenai perubahan PKWT
menjadi PKWTT juga diatur dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan