• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Yuridis Prinsip National Treatment Dalam Trips-Wto Terhadap Pengaturan Perlindungan Hak Cipta Di Indonesia. Oleh : Budi Ardianto 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implikasi Yuridis Prinsip National Treatment Dalam Trips-Wto Terhadap Pengaturan Perlindungan Hak Cipta Di Indonesia. Oleh : Budi Ardianto 1"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Implikasi Yuridis Prinsip National Treatment Dalam Trips-Wto Terhadap Pengaturan Perlindungan Hak Cipta Di Indonesia

Oleh :

Budi Ardianto1

ABSTRAK

Penelitian ini adalah menganalisis Implikasi Prinsip National Treatmant Dalam TRIPs-WTO terhadap perkembangan perlindungan Hak Cipta di Indonesia. karena dalam pelaksanaannya seringkali terjadi praktek pelanggaran hak cipta yang merugikan para pencipta karena masih lemahnya bentuk perlindungan hak cipta yang dilakukan oleh negara, sehingga mengakibatkan Indonesia harus melakukan beberapa kali perubahan terhadap Undang-Undang hak cipta, tentunya dalam hal ini Indonesia dimata dunia benar-benar diharapkan dapat menunjukan sikap mendukung terhadap perlindungan hak cipta tanpa adanya pembedaan perlakuan antara hak cipta yang dimiliki oleh pencipta yang berasal dari Indonesia sendiri maupun dari negara lain sehingga pengaturan perlidungan hak cipta in bila ditinjau dari perspektif Prinsip National Treatmant diharapkan tidak ada pembedaan perlakuan yang bersifat diskriminatif sehingga pengaturan perlindungan hak cipta benar-benar dapat dijalankan secara efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan perlindungan terhadap hak cipta belum berjalan secara maksimal, hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak cipta, keadaan seperti ini tidak terlepas dari bagaimana sesungguhnya peran negara dalam dalam hal menegakan, mengatur dan memberi perlindungan tanpa adanya sikap pembiaran yang nyata-nyata masih terjadi sampai saat ini, hal ini terjadi karena ada beberapa pasal yang semestinya harus ada aturan pelaksanaannya yang berfungsi sebagai norma pelaksana, tentunya dengan adanya aturan pelaksana ini dapat menindak lanjuti segala bentuk pelanggaran terhadap hak cipta, selain itu adanya bentuk delik aduan yang lebih menekankan pada pelaporan terhadap adanya perbatan pelanggaran hakc cipta oleh pemilik hak cipta itu sendiri menjadi salah satu persoalan ketidak efektifan dari perlindungan hak cipta sebab tanpa adanya pengaduan dari pemilik hak cipta tentunya pelanggaran terhadap hak cipta tidak akan ditangani dengan baik oleh aparan pengak hukum. Penelitian ini berimplikasi terhadap prinsip national treatman, dalam artian tindakan dari negara yang mengabaikan dan membiarkan hal itu sama saja dengan menolak keberadaan prinsip national treatman yang ada dalam TRIPs-WTO

Kata Kunci : Implikasi Prinsip National Treatmant, TRIPs-WTO, Hak Cipta.

1

(2)

A. Pendahuluan.

General Agreement on Tariff and Trade (disingkat GATT) merupakan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan sebagai instrumen hukum perdagangan internasional yang terbentuk melalui persetujuan-persetujuan atau perundingan-perundingan yang lazimnya diistilahkan dengan: round. Tujuan pembentukan GATT sebagaimana dijelaskan oleh Huala Adolf yang mengacu pada Preamble GATT adalah:

1. Untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.

2. Untuk meningkatkan volume perdagangan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara.

3. Meningkatkan standar hidup manusia. 4. Meningkatkan lapangan tenaga kerja.

5. Mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka yang bermanfaat bagi negara-negara.

6. Meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.2

Trade Related Aspect of Intellectual Property Right (disingkat TRIPs) merupakan salah satu dokumen penting yang dihasilkan dalam “Putaran Akhir Uruguay (The Uruguay Final Round) dalam rangka pendirian World Trade Organization (WTO), mengingat TRIPs dan WTO merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, maka dalam beberapa literatur populer dikenal dengan istilah TRIPs-WTO”.3 TRIPs-WTO memuat norma dan standar perlindungan bagi

2

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 21-22.

3

Afrillyanna Purba dkk, TRIPs-WTO dan Hukum Haki Indonesia : Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 5.

(3)

karya intelektual di samping itu TRIPs-WTO juga mengandung pelaksanaan penegakan hukum di bidang hak kekayaan intelektual.4

Adapun maksud diadakanya persetujuan TRIPs ini adalah dengan maksud untuk mengurangi gangguan (distorsion) dan hambatan (impediment) dalam perdagangan internasional dan kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HAKI serta untuk menjamin bahwa proses serta langkah-langkah penegakan hukum HAKI tersebut tidak akan menjadi hambatan perdagangan.

Berkaitan dengan konteks Hak Cipta, TRIPs-WTO mengaturnya dalam Bab II Bagian Pertama Pasal 9-14. Perlindungan hak cipta dalam TRIPS yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Konvensi Bern. Sebenarnya Konvensi Bern 1886 tentang Internasional Convention for the Protection of Literary and Artistik Work yang telah direvisi beberapa kali merupakan dasar perlindungan hak cipta secara internasional, selanjutnya timbul gagasan untuk menciptakan hukum secara universal yang dikenal dengan Universal Copyright Convention (UCC).

Konvensi Bern pada hakikatnya mensyaratkan negara anggotanya untuk melindungi karya-karya yang di antaranya sebagai berikut:

a. Karya tertulis (writen material) seperti halnya buku dan laporan. b. Musik.

c. Karya drama dan koreografi. d. Karya arsitektur.

e. Karya sinematografi dan video.

f. Karya adaptasi, seperti terjemahan dan aransemen musik. g. Koleksi seperti kumpulan, seperti ensiklopedi.5

Mengingat Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement

4

Ibid., hal. 1.

5

Endang perwaningsih, Perkembangan hukum intellectual Property Right (Kajian Hukum Terhadap Hak Kekayaan Intelektual Dan Kajian Komparatif Hukum Paten), Cetakan I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 3.

(4)

Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), maka sebagai konsekuensinya Indonesia harus melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan TRIPs-WTO.

Sehubungan dengan adanya kesepakatan dari masyarakat internasional melalui TRIPs-WTO tentang masalah HAKI, pastinya membawa pengaruh/implikasi/dampak/akibat bagi Indonesia, dikarenakan secara resmi Indonesia telah terikat dengan segala macam ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan di dalam TRIPs-WTO tersebut.

Salah satu prinsip yang terdapat pada TRIPs dan juga merupakan bagian dalam GATT adalah prinsip National Treatment (perlakuan nasional), prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi..

Prinsip National Treatment ini bila dikaitkan dengan perlindungan HAKI yang mensyaratkan bahwa ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu negara peserta perjanjian harus mendapatkan perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperolehnya ciptaan seorang pencipta warga negaranya sendiri.

Ketentuan TRIPs memuat norma dan standar perlindungan HAKI, serta bagaimana pelaksanaan penegakan hukumnya di bidang HAKI. Oleh karena itu, dalam prinsip ini menekankan bahwa negara peserta dapat memberikan perlindungan HAKI yang sama kepada negara anggota, atau dengan perkataan lain tidak ada diskriminasi dalam bidang perlindungan Hak kekayaan Intelektual.

Ketentuan lebih lanjut tentang diterimanya prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal 76 huruf (C) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, yang dijelaskan dan ditegaskan bahwa:

Semua ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, bukan badan hukum Indonesia, dengan ketentuan:

(5)

i. Negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan hak cipta dengan Negara Republik Indonesia.

ii. Negaranya dan negara Indonesia merupakan pihak dalam atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindugan Hak Cipta.

Eddy Damian menjelaskan tentang arti penting dari perlindungan hukum hak cipta adalah sebagai berikut:

Perlindungan hukum terhadap hak cipta di beberapa negara Eropa yang tergabung dalam European Union (EU) dan Amerika Serikat didasarkan atas pertimbangan bahwa hak cipta memberikan manfaat ekonomi dimana kontribusi industri hak cipta yang juga diistilahkan dengan industri budaya (cultural industries) seperti: seni, sastra, musik dan lain-lain membawa pengaruh terhadap pendapatan nasional negara.6

Substansi tentang HAKI yang dikaitkan dengan perdagangan internasional diatur pada Lampiran IC yang merupakan suatu perjanjian tersendiri dengan judul Argeement on Trade Related-Aspect of Intellectual Property Rights atau Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak-hak atas Kekayaan Intelektual. TRIPs ini memuat 7 (tujuh) golongan utama HAKI, yaitu meliputi:

a) Copyright and Related right b) Trade Mark

c) Geographical Indication d) Industrial Design

e) Patent

f) Layout-Design of Integrated Circuit g) Undisclosed Information

6

(6)

Persetujuan TRIPs di atas sebagaimana dinyatakan pada Pasal 9.1. mewajibkan semua anggota WTO untuk menetapkan hukum nasional yang isinya sesuai dengan aturan-aturan baik dalam Konvensi Paris maupun Konvensi Bern.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta merupakan kebijakan paling baru pemerintah Indonesia dalam rangka melindungi hak cipta yang telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sejalan dengan ketentuan TRIPs. Namun demikian, di dalamnya antara lain masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya cipta demi memajukan perlindungan karya cipta yang berasal dari keanekaragaman karya cipta yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya.7

Berdasarkan pada ketentuan yang ada mengenai peraturan pemerintah yang khusus mengatur hak cipta saat ini, yaitu hanyalah sebatas pada:

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1989, perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 Tentang Dewan Hak Cipta.

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1989 Tentang penerjemahan dan perbanyakan Ciptaan Untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Pengembangan.

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik.

Oleh karenanya, penulis berpendapat bahwa telah terjadi kekosongan hukum terhadap hak cipta terutama dalam tataran peraturuan pelaksananya, yang tentunya akan berimplikasi terhadap penerapan perinsip National treatment itu sendiri.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hak cipta di Indonesia paska TRIPs-WTO?

2. Bagaimanakah implikasi prinsip National Treatment dalam TRIPs-WTO terhadap perlindungan hak cipta di Indonesia?

7

(7)

B. Pembahasan

1. pengaturan perlindungan hak cipta di Indonesia paska TRIPs-WTO

Perkembangan hukum Hak kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right) tidak terlepas dari suatu kondisi sistem perdagangan multilateral yang berlangsung ketika masyarakat internasional menyikapi kondisi perdagangan internasional yang kurang stabil dan tidak tertata dengan baik dikarenakan kompleknya persoalan kebijakan perdagangan yang ditentukan oleh masing-masing negara yang tidak seragam dan cendrung merugikan negara-negara lainya tertuma negara berkembang.

Keadaan demikian diperparah lagi dengan suatu kondisi dimana negara-negara dunia terlibat dalam suatu perang besar yaitu perang dunia kedua yang melibatkan banyak negara yang turut mempengaruhi kondisi perekonomian dunia sehingga keadaan ekonomi pada saat itu dalam keadaan tidak kondusif serta tidak adanya kesetabilan dibidang poltik dan ekonomi.

Situasi demikian memunculkan kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di bidang ekonomi yang dapat berperan aktif untuk mengatasi segala persoalan di bidang perdagangan serta mampu menjadi wadah bagi masyarakat internasional yang mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan setiap negara dalam bentuk kerja sama demi mencegah agar tidak terjadi praktek-praktek perdagangan yang merugikan bagi setiap negara serta mampu memberikan keuntungan.

TRIPs yang merupakan perjanjian internasional yang berada dalam wadah WTO, saat ini keberadaanya tidak terlepas dari suatu perjalan sejarah panjang lahirnya lembaga multilateral di bidang perdagangan yaitu GATT (General Agreement On Trade And Tariff) merupakan badan internasional yang dibentuk sebagai suatu upaya untuk mendorong terciptanya liberalisasi perdagangan dan menghasilkan aturan perdagangan yang adil dan transparan bagi masyarakat internasional.

(8)

Untuk itu pembahasan mengenai hak kekayaan intelektual yang berkenaan dengan hak cipta tidak dapat dipisahkan dari kelahiran ITO (International Trade Organization) dan GATT. Untuk itu dalam tesis ini penulis memaparkan terlebih dahulu sejarah perkembangan GATT yang turut mepengaruhi terbentuknya TRIPs yang khusus mengatur mengenai Hak Kekayaan Intelektual dan GATT juga mempengaruhi terbentuknya organisasi perdagangan dunia atau disingkat dengan WTO (World Trade Organization).

GATT merupakan suatu kesepakatan umum mengenai perdagangan dan tariff atau juga merupakan suatu bentuk perjanjian internasional yang dijadikan dasar hukum bagi negara-negara di dunia untuk melaksanakan perdagangan internasional untuk mewujudkan suatu kondisi perdagangan yang lebih kondusif . Awalnya GATT dibentuk sebagai suatu dasar (wadah) yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Sejarah pembentukan GATT diawali dengan ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus 1941. “Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada prinsip nondiskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa.”8

Pada tahun 1941 itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di bidang perdagangan di samping Bank Dunia (World Bank) dan IMF (International Monetary Fund), yakni ITO (International Trade Organization). Ketiga lembaga internasional ini diharapkan menjadi 3 (tiga) pilar penting untuk mendorong liberalisasi dan kerja sama multilateral serta mampu mencegah lahirnya konflik atau sengketa ekonomi. Bank Dunia berperan menangani masalah rekonstruksi pembangunan dan ekonomi, IMF menangani masalah keuangan dan ITO menangani urusan perdagangan internasional.

Begitu banyaknya permasalah dibidang perdagangan yang dibicarakan pada Putaran Uruguway ini, hal ini menunjukan bahwa topik-topik yang dibicarakan terlalu banyak dan komplek, sehingga wajar saja perundingan ini

8

Baca Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional: Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hal. 11.

(9)

membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan salah satu hal terpenting yang diatur dalam perundingan ini adalah persoalan mengenai perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang telah diatur secara spesifik dalam TRIPs.

Adapun prinsip-prinsip umum dari perundingan Uruguay Round ini antara lain:9

1. Negoisasi dilaksanakan secara terbuka untuk semua anggota sesuai dengan komitmen yang disepakati dalam Putaran Uruguay dan prinsip-prinsip GATT;

2. Peluncuran keputusan, secara implementasi hasil perundingan merupakan satu paket (single under taking);

3. Konsesi yang berimbang untuk semua masalah;

4. Penerapan differential and most favoured treatment bagi negara berkembang di dalam setiap pelaksanaan perundingan;

5. Negara maju tidak mengharapkan rollback negara berkembang jika hal tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan perimbangan keuangan dan perdagangan negara berkembang bersangkutan.

Kompeksnya masalah yang diatur, serta panjangnya waktu yang dibutuhkan memakan waktu kurang lebih hampir 7,5 tahun , maka proses perundingan dalam Putaran Uruguay berlangsung dalam beberapa tahapan sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yakni:

1. Tahap perundingan awal (1986-1988)

Tahap ini berlangsung segera setelah selesainya pertemuan tingkat menteri di Punta Del Este, Uruguay pada tahun 1986.

2. Tahap tinjauan paruh masa (1988)

Pada tahap perundingan paruh masa di Montreal, Kanada pada tahun 1988.

3. Tahap pertemuan Brussel (1990)

4. Tahap naskah ketua komite perundingan perdagangan (1991)

9

(10)

5. Tahap pertemuan Jenewa (1993)

Pada tanggal 15 April 1994 dilakukan penandatanganan Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization di Marrakesh, Maroko Sebagai pelaksanaan dari hasil perjanjian dalam Putaran Uruguay sekaligus menandai berakhirnya Putaran Uruguay. Perjanjian-perjanjian dan understanding yang merupakan lampiran (annex) terhadap Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization.

Ketika WTO secara efektif berdiri pada tangggal 1 Januari 1995, negara-negara maju diberikan waktu 1 tahun untuk menata kembali peraturan dan praktik hukum yang berlaku di negara-negara tersebut sesuai dengan persetujuan TRIPs dengan ketentuan bahwa “Negara-negara berkembang dan negara-negara transisi diberi waktu 5 tahun, sedangkan negara-negara berkembang terbelakang diberikan waktu 11 tahun, ketentuan ini dibuat agar negara-negara yang telah ditintukan sesuai dengan tingkat kemajuan bangsanya lebih siap untuk menata dan menyesuaikan hukum nasionalnya dengan ketentuan yang tertuang dalam kesepakatan TRIPs-WTO”10

Selain itu dibentuknya TRIPs adalah bertujuan untuk :

1. Meningkatkan perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang tidak menghambat kegiatan perdagangan

2. Menjamin prosedur pelaksanaan terhadap hak kekayaan intelektual yang tidak menghambat perdagangan

3. Merujuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksaan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual

4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme serta kerja sama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas hak kekayaan intelektual.

Apabila dicermati lebih lanjut mengenai tujuan pengaturan Hak Kekayaan intelektual dalam TRIPs hal ini berarti Hak Kekayaan Inteletual bukan hanya menjadi urusan satu negara saja, melainkan telah menjadi urusan masyarakat

10

Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat, Direktoran perdagangan dan perindustrian, Investasi dan HKI, Jakarta, hlm. 38.

(11)

internasional yang merupakan tanggunga jawab bersama untuk mendukung perlindungan atas suatu karya atau ciptaan karena kenyataan seperti ini sesuai akan suatu kebutuhan yang lebih komprehensif akan arti penting keberadaan Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri di tengah-tengah masyarakat terlebih sejak ditandatangani dalam Agreement Establishing World Trade Organization (WTO).11

TRIPs yang merupakan instrumen hukum internasional, berdasarkan Statuta of International of Justice (ICJ) atau Statuta Mahkamah internasional, perjanjian ini merupakan salah satu sumber pokok hukum internasional telah sejak lama dilahirkan dan telah beberapa kali mangalami perubahan. Namun TRIPs bukanlah titik awal tumbuhnya konsep hak kekayaan intelektual karena sebelumnya HKI telah diatur dalam beberapa konvensi, namun persoalan yang daiatur dalam konvensi tersebut masih terbatas dan belum mencakup seluruh aspek HKI.

Keberadaan TRIPs yang tidak dapat terlepas dan terpisahkan dari kerangka GATT dan WTO mengakibatkan sebagian besar prinsip-prinsip yang berkaitan dengan TRIPs juga ada sebagian yang tercantum dalam kerangka GATT WTO, karena bagaimanapun juga TRIPs yang khusus mengatur masalah Hak Kekayaan Intelektual keberadaan tidak dapat dipisahkan dari lingkup perdagangan, karena hasil dari sebuah karya intelektual tersebut mempunyai nilai ekonomis dan terkait langsung dengan aspek perdagangan maka dari itu beberapa prinsip-prinsip TRIPs melekat juga di dalam GATT-WTO.

Dalam bidang perdagangan internasional beberapa ahli memberi pandangan yang berbeda terhadap prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam kerangka GATT yang cukup berpengaruh terhadap agreement TRIPs, seperti yang dikatakan Huala Adolf yang mengemukakan bahwa prinsip utama dalam GATT adalah:

1. Prinsip Most Favoured Nation; 2. Prinsip National Treatment;

3. Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif;

11

(12)

4. Prinsip perlindungan melalui tarif; 5. Prinsip transparansi

6. Prinsip resiprositas;

7. Prinsip perlakuan khusus bagi negara sedang berkembang. Sealanjutnya menurut Oliver Long prinsip-prinsip GATT adalah:12

1. Most-Favoured-Nations atau Nondiskriminasi; 2. National Treatment;

3. Tarif sebagai Instrumen Tunggal untuk Proteksi; 4. Tariff Binding;

5. Persaingan yang Adil;

6. Larangan terhadap Restruksi Kuantitatif;

7. Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor.

Berkaitan dengan itu, Hata membagi prinsip-prinsip GATT dalam 2 kelompok yang didasarkan pada sejarah pembentukan GATT maupun putaran-putaran yang dilaluinya hingga berubah menjadi WTO. Kelompok pertama adalah prinsip GATT lam yang dibuat pada tahun 1947 yang terdiri dari:13

1. Prinsip Most Favoured Nation;

2. Prinsip Standard of Equitable Treatment; 3. Prinsip Standard of National Treatment; 4. Prinsip Minimum Standard;

5. Prinsip Prefential Treatment;

Beberapa ketentuan prinsip-prinsip TRIPs diatas adalah hasil kesepakatan yang khusus diperuntukan bagi Hak Kekayaan inteletual, untuk itu kesediaan dan kerja sama masing-masing negara sangat diperlukan untuk mematuhi prinsip-prinsip yang telah ada, sehingga TRIPs mampu memberikan perlindungan maksimal dalam bidang Hak Kekyaan Intelektual.

12

Baca, Syahmin AK., ibid., hal. 47-49.

13

Periksa, Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 56-61.

(13)

2. Implikasi prinsip National Treatment dalam TRIPs-WTO terhadap perlindungan hak cipta di Indonesia

Konsep mengenai Hak Kekayaan Intelektual didasarkan pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah dihasilkan oleh manusia memerlukan pengorbanan tenaga, waktu dan biaya. Tentu dengan adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang telah dihasilkan memiliki nilai ekonomi karena terdapat mamfaat yang dapat dinikmati oleh pencipta.

Berdasarkan konsep tersebut mendorong kebutuhan adanya penghargaan atas hasil karya yang telah dihasilkan berupa perlindungan hukum bagi Hak Kekayaan Intelektual. Adapun tujuan pemberian perlindungan hukum tersebut adalah bertujuan untuk mendorong dan menumbuh kembangkan semangat dari berkarya dan mencipta. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa Hak Kekayaan Intelektual adalah hak yang berasal dari kegiatan intelektual manusia itu sendiri yang mempunyai mamfaat secara ekonomi.

Hasil dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektual tersebut merupakan prinsip utama yang terdapat dalam Hak Kekayaan Intelektual, maka dari itu pribadi yang menghasilkanya mendapat kepemilkan berupa hak alamiah, maka dari itu dari prinsip ini melahirkan hak eksklusif bagi pencipta.

Namun demikian pada tingkatan yang lebih tinggi dari hubungan kepemilkan, hukum diharapkan dapat bertindak lebih jauh dan memberikan jaminan bagi manusia dalam penguasaan dan menikmati hak eklusif tersebut atas benda dan ciptaan dengan peran dan batuan dari negara. Maka dari itu jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin dalam sitem Hak Kekyaan Intelektual.

Sebagai suatu cara untuk menyeimbankan kepentingan antara individu dan kepentingan masyarakat, untuk itu sistem yang terkandung di dalam Hak kekyaan intelektual harus berdasarkan pada prinsip:

(14)

Berdasarkan prinsip ini maka pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya memperoleh imbalan yang wajar dari karyanya.

2. Prisip Ekonomi (The economic argument)

Dalam hal ini suatu kepemilikan adalah wajar, karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang di dalam kehidupan masyarakat.

3. Prinsip Kebudayaan (The cultural argument)

Pada hakikatnya karya manusia memungkinkan manusia untuk hidup, selanjutnya dari karya itu akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak lagi karya. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan manusia sangat besar artinya bagi perkembangan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. 4. Prinsip sosial (The social argument)

Pemberian hak oleh hukum tidak boleh semata-mata untuk memenuhi kepentingan perseorangan, akan tetapi harus memenuhi seluruh kepentingan masyarakat.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa secara prinsip sistem yang terkandung dalam Hak Kekayaan Intelektual telah meletak dasar dan ketentuan yang menjadi patokan bagi pencipta atau pemegang hak cipta terhadap ciptaanya menetukan bahwa sebuah ciptaan harus mampu memberikan rasa keadilan berupa imbalan yang wajar atas ciptaan tersebut, secara ekonomi mampu menunjang kehidupan masyarakat, secara budaya mampu meningkatkan taraf kehidupan, perkembangan dan martabat manusia dan secara sosial ciptaan yang dihasilkan oleh pencipta bukan hanya milik pereorangan saja melainkan ciptaa tersebut dapat memenuhi seluruh kepentingan masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organitation (Pesetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia), selanjutnya disingkat

(15)

WTO Indonesia telah menjadi peserta dari Organisasi Perdangan Dunia dengan meratifikasinya. Konvensi ini berpengaruh besar terhadap berbagai sistem hukum nasional berbagai negara pada umumnya termasuk Indonesia dan hukum hak cipta khusunya.

Sebelum membicarakan implikasi TRIPs-WTO terhadap hukum hak cipta, untuk itu penulis terlebih dahulu akan menjelaskan garis-garis besar ketentuan substantif yang diatur dalam perjanjian pembentukan WTO.

Sebagaimana diketahuai bawha persetujuan pembentukan WTO terdiri dari pasal I sampai pasal XVI, beserta lampiran (Annexes) 1A, 1B, 1C, 2 dan 3. Dalam lampiran 1A ditetapkan bahwa General Agreement on Tarrifs and Trade 1994 berbeda dengan GATT 1947 yang terlampir dalam final act sebagaimana berkali-kali telah diralat, ditambah dan diubah.

Persetujuan tentang WTO baru mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 sesuai dengan kesepakatan yang telah ditandatangan oleh menteri luar negeri di Marakesh, Maroko adalah salah satu perundingan dalam kerangka perundingan-perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay, yang merupakan putaran kedelapan dalam sejarah GATT.

Sebagaimana telah di jelaskan pada bab sebelumnya bahwa selama berlangsung Putaran Uruguway terdapat 15 topik yang diterima menjadi agenda perundingan, salah satu diantaranya adalah mengenai pengaturan perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual termasuk perdagangan barang palsu yang dituangkan dalam ketentuan TRIPs (Trade Related Aspecects of Intellectual Property Right Including Trade in Counterfeit Goods) .

Adapun tujuan perundingan perdagangan dalam bidang ini adalah untuk: a. Meningkatkan perlindungan terhadap Hak Keayaan Intelektual dari

produk-produk yang diperdagangkan

b. Menjamin prosedur pelaksanaan Hak Kekayaan Intelektual yang tidak menghambat perdagangan.

c. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual

(16)

d. Mengembangkan prinsip, aturan serta mekanisme kerja sama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan Hak Kekayaan Intelaktual.14

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa untuk mewujdkan tercapainya perlindungan perdagangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan perdagangan barang palsu maka dari itu kesemua ketentuan tersebut harus tetap meperhatikan upaya yang telah dilakukan oleh World Intellectual Propery Organization (WIPO) sebagai Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia.

Dengan dilakukanya pengesahan atas persetujuan WTO ini, maka dari itu secara tidak langsung Indonesia telah memenuhi kesepakatan yang tercantum dalam Final Act Emboding the Results of the Uruguay of Multilateral Trade Ngotiations yang tercantum dalam butir tiga.

Sehubungan dengan ini keberadaan Hak Kekayaan Intelektual menimbulkan pertanyaan mendasar yaitu mengapa diperlukan perjanjian Intellectual Rights in the Global economy yang mengacu pada sistem standar Hak Kekayaan Intelektual internasional yang luas dalam dalam perjanjian WIPO. Hal inilah yang membawa kepada bebrapa persoalan mendasar tentang peranan isu Hak Kekayaan Intelektual dalam hubungan internasional serta harapan negara-negara terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

TRIPs merupakan tonggak penting dalam perkembangan standar-standar internasional Hak Kekayaan Intelektual yang universal, karena TRIPs memiliki karakter yang berbeda, antara lain:

1. Pengertian bahwa perlidungan yang seimbang dan efektif merupakan suatu masalah perdagangan, dan untuk itu diarahkan kedalam sebuah sistem aturan perdagangan multilateral yang lebih luas.

2. Lingkup aturan hukum yang lebih menyeluruh mencakup hak cipta, hak terkait dan kekayaan industri dalam suatu perjanjian internasional 3. Pengaturan-pengaturan yang lebih rinci mengenai penegakan dan

administrasi Hak Kekayaan Intelektual dalam sistem hukum nasional 4. Penggunaan mekanisme penyelesaian WTO

14

(17)

5. Pembuatan proses-proses yang transparan serta terstruktur untuk mendorong pemahaman yang lebih rinci dari hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional negara-negara anggota WTO.15

Sehubungan dengan itu pengaruh TRIPs bagi Indonesia telah dapat dirasakan serta tidak dapat diragukan lagi telah menjadi pendorong utama dibalik aktifnya kegiatan pembuatan peraturan perundang-undangan saat ini serta perkembangan mekanisme administrasi dan penegakan bidang Hak Kekayaan Intelektual.

Dalam hal ini TRIPs telah menetapkan bahwa negara-negara berkembang anggota WTO diberi waktu hingga tahun 2000 untuk menyesuaikan sistem hukum nsionalnya berdasarkan standar TRIPs. Beberapa kewajiban mulai berlaku lebih awal bagi seluruh negara peserta, termasuk negara berkembang. Demikian halnya dengan kegiatan administratif dan legislatif dibidang Hak kekayaan Intelektual yang dilaksanakan oleh Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh standar TRIPs.

Adapun mengenai pelaksanaan dan penetapan persetujuan TRIPs tersebut, secara prinsip dapat ditentukan, yaitu:

1. Dalam satu tahun setelah persetujuan berlaku efetktif, negara-negara peserta tidak diwajibakan untuk memulai menerapkan persetujuan tersebut. Ini berarti bila ada yang telah siap bisa saja segera menerapkan dan melakukanya, tetapi tidak dapat meminta negara lain melakukan hal yang sama.

2. Setiap negara berkembang dapat menunda persetujuan tersebut untuk jangka waktu empat tahun setelah selesainya maa satu tahun yang berlaku umum tadi.

3. Selain neara berkembanga setiap negara peserta yang melakukan pembenahan atau melakukan perubahan sistem ekonomi mereka dari sistem ekonomi terpusat mejadi sistem ekonomi pasar, dan menghadapai masalah dalam penyesuaiaan peraturan

15

(18)

undangan Hak Kekayaan Intelektual-nya, dapat pula mengikuti jangka waktu penundaan tersebut

4. Negara berkembang yang berdasarkan persetujuan TRIPs, diwajibkan pula memberikan perlidungan paten terhadap penemu teknologi tertentu yang semula tidak diberikan, dapat memperoleh penundaan tambahan selama lima tahun setelah berakhirnya masa penundaan untuk negara berkembang.

5. Negara yang paling terbelakang dapat menunda penerapan persetujuan TRIPs denga jangka waktu sepuluh tahun setelah masa penundaan umum tersebut dan apabila perlu penundaan tesebut dapat diperpanjang.

Secara keseluruhan TRIPs telah mempengaruhi dan membantu terciptanya suatu kecendrungan yang umum kearah penyempurnaan Undang-Undang dan perluasan ruang lingkup sistem Hak Kekayanan Intelektual dibanyak negara berkembang.

Hal ini melahirkan suatu kecendrungan adanya opini internasional yang menilai TRIPs sebagai pemberian konsesi besar-besaran oleh negara-negara berkembang kepada kepentingan neara-negaa industri, dengan artian bahwa TRIPs merupakan beban bagi negara-negara berkembang yang harus dihadapai dengan serangakaian prioritas pembaharuan perundang-undangan dan pengembangan infrastruktur.

Karena pada dasarnya kelahiran TRIPs merupakan dampak dari perdagangan internasional yang dirasakan lebih luas dan tidak mengenal batas-batas negara, dimana pada saat itu negara yang pertama kali mengusulkan masalah perdaganngan diatur dalam kerangka TRIPs adalah Amerika karena Amerika merasa berkepentingan untuk melindungi produk perdaganganya yang berada dinegara lain agar tidak dibajak dan dapat terlindungi melalui kerangka hukum internasional yang tersedia.

Demikian pula halnya dengan hak cipta, sebelum di atur dalam TRIPs, Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki Undang-Undang mengenai hak cipta yaitu Auteurswet 1912 pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, selanjutnya

(19)

pada tahun 1982 Indonesia mencoba memiliki Undang-undang HakCipta yang pertama kali yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982, dalam hal ini Indonesia telah berusaha menunjukan kepedulian terhadap perlindungan hak cipta dengan membuat regulasi yang berfungsi sebagi payung hukum pada masa itu.

C. Penutup 1. Kesimpulan

Setelah dikemukakan hal-hal sebagaimana dapat dilihat pada beberapa bab yang lalu, maka ditariklah 2 (dua) buah kesimpulan sebagai berikut:

a) Pengaturan mengenai hak cipta di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta masih terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan yang mana di antaranya, adalah pengakuan terhadap ciptaan tidak cukup hanya dengan pengakuan ciptaan yang sifatnya otomatis, karena dalam konteks hukum untuk memberikan kepastian hukum diperlukannya adanya suatu upaya pendaftaran terhadap ciptaan yang telah dilahirkan bersifat kewajiban dan bukannya bersifat deklaratif.

b) Implikasi yuridis diaturnya regulasi TRIPs-WTO di dalam peraturan perudang-undangan yang sendiri, ada tentang hak cipta di Indonesia tanpa dibarengi dengan dibentukya peraturan pemerintah yang dapat menjamin eksistensi dari peraturan perundang-undangan itu yang sesungguhnya justru berbenturan dengan apa yang diinginkan oleh regulasi TRIPs-WTO sehingga hanya terkesan tak memiliki akibat hukum yang cukup berarti.

2. Saran

a) Perlu adanya perubahan mengenai delik aduan menjadi delik biasa di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta di Indonesia dan diaturnya mengenai pendaftaran bersifat wajib.

a. Diharapkan adanya keseriusan dari pihak Pemerintah untuk terus berusaha memperbaharui Peraturan Pemerintah semenjak diratifikasinya ketentuan

(20)

yang berlaku secara universal (TRIPs-WTO) memiliki implikasi yang positif dalam bidang penlindungan hak cipta melalui penegakan hukum.

(21)

Daftar Pustaka

Buku-buku

Afrillyanna Purba dkk. 2005. TRIPs-WTO dan Hukum Haki Indonesia : Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta.

Adrian Sutedi 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektua. Sinar Grafika, Jakarta.

Agus Sardjono, 2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Alumni, Bandung.

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Rajawali Press, Jakarta.

Direktorat Perdagangan, Perindustrian dan Investasi dan HKI, Sekilas World Trade Organization, Edisi Keempat.

E. Saefullah Wiradipradja, 2002. “Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia Dalam WTO-GATS dan Pengaruhnya Terhadap Industri dan Perdagangan Jasa”, dalam Jurnal Hukum Internasional Vol. 1. Unpad, Bandung.

Eddy Damian. 2009. Hukum Hak Cipta. Alumni, Bandung.

Huala Adolf. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Otto Hasibuan. 2008. Hak Cipta Di Indoensia : Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neigbouring Rights, dan Collecting Society. Alumni, Bandung. Prajudi Setiadharma. 2000. Mari Mengenal HKI. Goodtaith, Bandung.

Tim Lindsey dkk (Editor). 2006. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan Kelima. Alumni, Bandung.

Philipus M. Hadjon dan tatiek Sri Djatmiati2005. Argumentasi Hukum. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Pengantar ilimu Hukum. Edisi I. Cetakan Kesatu. Kencana, Jakarta.

---. 2007. Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. Kencana, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

(22)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001Ttentang Merk.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI

Nomor M.03.PR.07 10 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Resmi Istilah Hak Kekayaan Intelektual.

Dokumen GATT 1944 Dokumen Trips-WTO 1995.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove yang mengacu pada Adrianto (2006) yaitu: (1) Nilai manfaat langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions ( STAD ) terhadap keaktifan dan hasil belajar

Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam. Pajak penghasilan terkait pos-pos yang

nuclei CCN on the development of precipitation in mixed-phase convective clouds. The results show that the strongest effects of introducing giant CCN occur when the

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Utami dkk (2013) yang berjudul “ Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dismenorea Pada Remaja Putri Di Sman 1 Kahu

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis pengaruh kualitas website (WebQual) terhadap kepuasan pengguna bukalapak di kota bandung.. Penelitian

issue memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan kurs rupiah terhadap harga saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Ramya & Right issue Event study, t Right issue Bhuvaneshwari dan Harga

Selain itu, hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya komposisi dewan komisaris dengan aspek keahlian akuntansi maupun perpajakan yang memadai untuk