• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kementerian Keuangan dalam Penyediaan Infrastruktur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Kementerian Keuangan dalam Penyediaan Infrastruktur"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Peranan Kementerian Keuangan dalam Penyediaan Infrastruktur

Oleh : Akhmad Mahrus, Pegawai Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

Toni Ruttiman, Seorang Warga Negara Swiss, selama 3 tahun terakhir telah memberikan sumbangsihnya untuk membangun negeri Indonesia. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan jikalau kita telah membaca dan mengamati berita atas kiprahnya di pelosok daerah di Indonesia di berbagai media cetak maupun elektronik. Toni Ruttiman, secara nyata telah membangun jembatan gantung sebagai infrastruktur dasar di berbagai pelosok negeri ini, atas usaha sendiri tanpa bantuan dari Pemerintah Indonesia. Keluar masuk kampung di Indonesia menjadi menu sehari-hari Toni Ruttiman dalam upayanya memperbaiki kualitas hidup penduduk wilayah terpencil Indonesia. Tidak hanya dia, ada juga Tri Mumpuni Wiyatno, seorang warga Semarang, Jawa Tengah, pemberdaya listrik di lebih dari 60 lokasi terpencil di Indonesia yang mendapat penghargaan Ashden Awards 2012. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan kemandirian masyarakat di kawasan terpencil melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ketahui pula kiprah Bpk H Selamat Sahak yang telah menjadikan wilayah Ijobalit, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang dulunya gersang dan tandus kini menjadi lahan yang subur dengan sarana irigasi yang cukup, tentunya dengan jerih payah usaha sendiri. Selain daripada itu, Saya yakin masih terdapat ratusan maupun ribuan orang lain yang peduli untuk memberikan kontribusinya dalam pembangunan wilayahnya baik infrastruktur, pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Berbagai kisah tokoh inspiratif tersebut tentulah sangat menginspirasi kita sebagai Warga Negara Indonesia untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan di wilayah masing-masing. Kita akui bahwa pembangunan tidak semata-mata hanya domain dari pemerintah. Kita sebagai warga negara yang baik tentunya juga mempunyai tanggung jawab atas kondisi di lingkungan kita masing-masing. Mungkin tidak sedikit dari kita yang masih menemui di daerah masing-masing berupa gedung sekolah SD yang hampir roboh, orang desa yang kesulitan untuk menyeberangi sungai untuk pergi ke desa lainnya mengingat tidak adanya jembatan, infrastruktur sanitasi yang buruk, sarana irigasi persawahan yang tidak memadai dsb. Hal itulah yang mendorong kita untuk tidak berlama-lama menunggu bantuan atau program pemerintah untuk mengatasinya. Memang, apa yang kita cita-citakan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita butuh dukungan kerja sama dari warga dan aparatur pemerintah setempat, komitmen yang kuat, maupun dana yang cukup. Terkait dana ini, menjadi satu dari sekian faktor yang pelik untuk diatasi. Tidak semua orang rela untuk memberikan sebagian uangnya mewujudkan program ini, dan memang seharusnya bukan kewajiban warga untuk menyisihkan sebagian dananya untuk pembangunan wilayahnya. Apalagi mereka telah dibebani membayar pajak yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan tersebut.

Menjadi pertanyaan kita adalah kemana saja uang penerimaan negara yang di alokasikan untuk pembangunan setiap tahunnya itu? Untuk apa saja dana APBN yang begitu besar yang seharusnya dibuat untuk membangun irigasi yang bagus, jalan yang mulus, jembatan yang kuat, gedung sekolah yang representatif tanpa harus berpuluh-puluh tahun menunggu untuk meminta atau bergerak sendiri? kapan kita dapat merasakan secara adil kue pembangunan ini?

Dari uraian tersebut, nyata bahwa kebutuhan yang sangat dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat luas antara lain adalah terdapatnya infrastruktur yang sangat memadai, harga bahan pokok yang terjangkau, biaya pendidikan dan kesehatan yang murah, maupun mudahnya lapangan kerja.

Sebagai nahkoda perekonomian negara, maka Kementerian Keuangan seharusnya mewujudkan perannya dalam menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut bahkan sebisa mungkin berupaya agar jangan sampai pertanyaan tersebut muncul kembali. Hal yang sangat

(2)

menantang adalah Kementerian Keuangan harus mampu untuk memberikan kontribusinya dalam peningkatan pendapatan negara yang kemudian disalurkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terutama melalui pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur dipandang penting karena memiliki multiplier effect yang besar dan berkelanjutan terhadap perekonomian nasional. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga diharapkan menjadi trigger percepatan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia sehingga berdampak terhadap, antara lain bertambahnya lapangan pekerjaan di berbagai wilayah yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan serta kesenjangan antar wilayah.

Dalam APBN kurun waktu 2014 s.d. 2017, anggaran infrastruktur mengalami tren kenaikan. Pada tahun 2014, alokasi APBN untuk infrastruktur sebesar Rp 138 triliun, terus menaik hingga 213 triliun pada tahun 2015, cenderung stagnan pada tahun 2016, yakni sebesar 213 triliun, dan selanjutnya pada tahun 2017, dana infrastruktur dianggarkan naik menjadi kurang lebih 346,6 triliun1.

Apabila kita cermati bahwa kenaikan anggaran infrastruktur dari tahun 2014 ke 2017 mengalami kenaikan sekitar 200%. Hal tersebut tentunya sangat diapresiasi dimana mencerminkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Anggaran infrastruktur dalam APBN disalurkan melalui beberapa Kementerian/Lembaga, antara lain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Dalam Negeri, yang disalurkan berdasarkan sasaran pembangunan, meliputi antara lain pembangunan jembatan, jalan, rel kereta, bandara, rumah sakit, dan gedung sekolah.

Adapun sasaran pembangunan infrastruktur dalam RAPBN tahun 20172 dapat dijelaskan sebagai

berikut:

 Bidang konektivitas: (1) pembangunan 815 km ruas jalan

baru dan 9.399 m jembatan, (2) pembangunan jalur kereta api sepanjang 550 km, (3) pembangunan/pengembangan fasilitas pelabuhan laut di 55 lokasi, dan (4) pembangunan 14 bandara baru.

 Bidang kedaulatan pangan: rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi tersier untuk 200.000 ha areal sawah dan peningkatan luasan areal pertanian/cetak sawah seluas 144.613 ha.

 Bidang energi: pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga/jaringan gas kota sebanyak 64.200 sambungan rumah tangga dan pembangunan 128 unit pembangkit listrik dari aneka energi baru terbarukan (EBT).

 Bidang perumahan: pembangunan 11.400 unit sarusun, peningkatan kualitas rumah swadaya untuk 113.300 unit rumah, serta 491.520 sambungan rumah (SR) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Perdesaan.

Sektor infrastruktur menjadi salah satu hal yang harus digalakkan oleh Pemerintah, selain untuk memacu pertumbuhan ekonomi, infrastruktur yang memadai dapat pula meningkatkan kualitas hidup masyarakat terutama daerah terpencil. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan dana APBN khususnya untuk dana infrastruktur selalu menjadi kendala Pemerintah, sehingga peran swasta harus ditingkatkan untuk mencapai akselerasi pembangunan infrastruktur. Peran swasta untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur sangat penting.

Kendala keterbatasan dana pun menjadi salah satu pemicu beberapa orang di seluruh daerah di Indonesia untuk ikut ambil bagian membangun wilayahnya secara mandiri. Meskipun secara kapasitas, kontribusi yang diberikan tidak serta merta mengatasi persoalan yang mendasar. Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan harus mewadahi ide, gagasan, konsep,

1Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2017http://www.anggaran.kemenkeu.go.id

(3)

maupun kontribusi nyata dari swasta maupun individu yang memiliki kemauan untuk melakukan akselerasi pembangunan wilayahnya.

Dana infrastruktur dalam APBN yang semakin naik tiap tahunnya seharusnya menjadi kabar yang menggembirakan bagi masyarakat bahwa naiknya dana infrastruktur akan membuka gerbang kemajuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Namun, visi yang ingin dicapai tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diinginkan. Masih banyaknya daerah yang jumlah dan kualitas infrastrukturnya rendah mencerminkan bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJNM) belum sepenuhnya berhasil. Banyak faktor yang mempengaruhi masih minimnya jumlah dan kualitas infrastruktur yang terbangun di Indonesia, antara lain : korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan kurangnya inovasi.

Kita tahu bahwa korupsi selalu menjadi batu sandungan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kejahatan extraordinary crime ini memang mempunyai implikasi yang luar biasa bagi kualitas peradaban suatu bangsa. Indeks korupsi yang tinggi menggambarkan bahwa negara tersebut memiliki kualitas hidup yang rendah, dan sebaliknya indeks korupsi yang rendah mencerminkan kualitas masyarakat suatu negara yang adil dan makmur. Dana infrastruktur yang begitu besar baik yang dialokasikan dalam APBN maupun APBD dalam kenyataannya hanya sekitar kurang lebih 40% yang diimplementasikan secara efektif. Besarnya dana infrastruktur belum menjamin pembangunan di suatu wilayah akan maju. Kita harus melihat dan mencermati pula seberapa jauh kualitas birokrasi di suatu daerah. Birokrasi yang bersih akan menghasilkan perkembangan daerah yang maju, dan sebaliknya birokrasi yang korup semakin membuat daerah tersebut berada di kubangan keterbelakangan. Kita bisa lihat di beberapa media, dimana akibat korupsi beberapa oknum kepala daerah, kepala SKPD, pengusaha, maupun sampai kepala desa sekalipun ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Selain korupsi, birokrasi yang tidak efisien menjadi penyumbang kedua belum tingginya tingkat daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain. prosedur birokrasi yang panjang, kurangnya transparansi, biaya perizinan yang tinggi sampai dengan kurang profesionalnya birokrat menjadi penghambat pembangunan infrastruktur. Banyak investor yang mengurungkan niatnya untuk membangun pabrik, pembangkit listrik, kilang minyak maupun infrastruktur lainnya akibat dari kondisi tersebut. Reformasi birokrasi yang telah dimulai sejak tahun 2009 sepertinya masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan penataan terhadap manajemen pemerintahan khususnya di Pemerintah Daerah.

Last but not least, yakni kurangnya inovasi khususnya terhadap program pemerintah dalam

pembangunan infrastruktur dinilai memberikan kontribusi masih lambatnya ketersediaan infrastruktur. Kurangnya program akselerasi dari pimpinan daerah dalam memanfaatkan dana APBD maupun di luar APBD mengakibatkan perekonomian daerah tersebut berjalan stagnan. Pemerintah Pusat tidak dapat melakukan pengendalian pembangunan di daerah tanpa kerjasama dan peran aktif Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah harus melakukan terobosan atas keterbatasan dana pembangunan dalam APBDnya. Selain itu, penerapan efisiensi dalam penyusunan anggaran pun mutlak dilakukan melalui pengurangan alokasi belanja gaji pegawai, operasional kantor, perjalanan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, bantuan sosial, dll. Sehingga, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, maupun pendidikan dapat ditingkatkan. Pemerintah daerah juga tidak bisa terus menerus mengandalkan bantuan dan uluran tangan dari Pemerintah Pusat. Tidak bisa lagi mengandalkan DAU dan DAK untuk membangun wilayahnya. Disinilah diperlukan program atau skema pencarian sumber pendanaan untuk pembangunan tersebut. Program tersebut bisa dikoordinasikan antara badan perencana pembangunan daerah dengan Pemerintah Pusat untuk menerbitkan konsep terbaik bagi daerah maupun Pemerintah Pusat sekalipun dalam rangka melakukan akselerasi pembangunan. Inovasi tidak melulu domain anak muda maupun swasta, birokrat pun kalau ada kemauan, pasti ada sesuatu hal yang bisa dikembangkan. Pembangunan tidak

(4)

selamanya dijalankan dengan konsep yang kaku atau business as usul tetapi perlu gagasan atau ide yang baru di luar kebiasaan (out of the box). Dengan demikian, masyarakat yang telah lama menunggu kue pembangunan dapat segera menikmatinya.

Saat ini, kita tahu bahwa Pemerintah Pusat telah meluncurkan skema pembiayaan infrastruktur yang melibatkan badan usaha, baik BUMN, BUMD, maupun swasta. Skema ini lebih familiar disebut Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau dalam istilah asingnya disebut

Public Private Partnership (PPP). Skema pembiayaan infrastruktur ini merupakan kerjasama antara

pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya olehMenteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Skema tipe ini bisa berupa skema Build Operate Transfer (BOT) atau Build Operate Own (BOO). Dalam kedua skema, badan usaha biasanya bertanggungjawab atas desain, konstruksi, pembiayaan dan operasional dan pemeliharaan (O&M) dari fasilitas yang outputnya digunakan / dibeli oleh PJPK. Perbedaan diantara keduanya adalah, berlawanan dengan BOT, skema BOO tidak mengharuskan pihak swasta (badan usaha) untuk mengalihkan aset ke sektor publik setelah kontrak KPS berakhir. Saat ini skema KPBU telah diatur dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2015, dimana sebagai regulator skema KPBU ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).

Selain skema KPBU ini, perlu kiranya Kementerian Keuangan meluncurkan program lainnya yang sifatnya akselerasi dalam mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur maupun sarana dan prasarana lainnya di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kementerian Keuangan sebagai pemegang otoritas fiskal memiliki kewenangan salah satunya berupa pengadaan pembiayaan (utang dan non utang) dalam rangka membiayai APBN maupun membiayai proyek infrastruktur pemerintah. Pembiayaan APBN dimaksud salah satunya berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN Ritel) yang dilaksanakan setiap tahun. Penerbitan SBN Ritel yang berupa ORI, Saving Bond Ritel (SBR), Sukuk Ritel, maupun Sukuk Tabungan selalu disertai dengan kewajiban untuk melakukan corporate Social

Responsibility (CSR) kepada masyarakat atau lingkungan hidup. CSR dilakukan dan dibiayai oleh Agen

Penjual yakni, lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank sebagai bagian kewajiban mereka dalam rangka membantu pemerintah menerbitkan dan memasarkan SBN Ritel tersebut. Selama ini, CSR yang dilakukan oleh stakeholders Pemerintah dalam penerbitan SBN Ritel dilakukan bekerja sama dengan lembaga Non Government Organization (NGO) yang bergerak di bidang lingkungan hidup, seperti Kehati, Terangi, dsb. Bentuk kerja sama antara Pemerintah, Agen Penjual, dan NGO tersebut berupa pelestarian lingkungan hidup, antara lain, pelestarian hutan mangrove, dan terumbu karang.

Selaras dengan semangat program CSR tersebut dalam mewujudkan program yang positif dan semangat pemerintah untuk mempercepat pnyediaan kualitas dan kuantitas infrastruktur maupun sarana dan prasarana yang memadai bagi masyarakat, maka alangkah baiknya program CSR untuk tahun mendatang dialihkan kepada program yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Program lain yang bisa dilaksanakan dalam kerangka CSR adalah pembiayaan usaha rakyat yang berimplikasi kepada pengadaan dan pembenahaan sarana dan prasarana di daerah. Skema ini berbentuk kredit usaha rakyat, dimana keuntungan dari usaha yang dilaksanakan oleh UMKM di daerah atau kewajiban mengembalikan pinjaman/kredit tersebut bukan berupa bunga, tapi diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur maupun pembenahan sarana dan prasarana masyarakat, antara lain, pembenahan rumah tidak layak huni, pembangunan MCK yang layak, memperbaiki tempat ibadah, membangun jalan desa, maupun bentuk lainnya. Program ini lebih mudahnya disebut Pembiayaan Usaha Rakyat Untuk Infrastruktur (PURUI).

(5)

Program/skema PURUI merupakan skema modifikasi dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah. Dana PURUI tidak berasal dari APBN atau APBD, namun diambil dari dana CSR Agen Penjual dalam rangka penerbitan SBN ritel, yang kemudian digelontorkan secara bertahap kepada koperasi desa, koperasi tani, koperasi nelayan, maupun disalurkan melalui dana kas desa. Warga maupun kelompok UMKM maupun koperasi dapat mengakses layanan kredit tersebut tentunya dengan persyaratan tertentu, untuk tujuan membiayai usaha mereka antara lain, pembuatan tas kulit, makanan, minuman, peternakan lele, budidaya udang, budidaya tanaman palawija, maupun usaha lainnya, dengan ketentuan bahwa kewajiban atas pinjaman/kredit usaha tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk bunga, namun diwujudkan dalam bentuk kewajiban untuk mendanai pengadaan dan/atau pembenahan sarana dan prasarana di lingkungannya. Dalam rangka menyukseskan program PURUI, Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dapat menggandeng Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, BI, OJK, dan instansi terkait lainnya. Dalam rangka menjaga dan meningkatkan efektifitas program ini, maka Agen Penjual selaku pemilik dana CSR yang disupervisi oleh Kementerian Keuangan c.q DJPPR melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Dengan demikian, adanya program PURUI tidak hanya bermanfaat bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, namun juga mempercepat penyediaan dan peningkatan kualitas infrastruktur atau sarana lainnya. Program PURUI juga berimplikasi pada meningkatnya peran serta masyarakat dalam membangun kesadaran untuk berusaha dan kesadaran untuk memiliki (sense of belonging) hasil pembangunan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penyelidik berharap hasil kajian terhadap tahap kefahaman pedagogi dan kandungan (PPK) dalam kalangan pelajar tahun 4 Sarjana Muda Sains Serta Pendidikan Fizik dapat

...,Penerapan Metode Group Investigation Untuk Meningkatkan Standar Kompetensi Mahasiswa Dalam Mata Kuliah Metode Penelitian I, Disampaikan dalam Seminar Hibah Pengajaran Due

Metode yang cara pengumpulan data dilakukan dengan wawancara atau tanya jawab langsung dengan pihak yang terkait yaitu bagian akuntansi mengenai perlakuan akuntansi

[r]

Variabel Manajemen Berbasis Sekolah dan metode pembelajaran memberikan kontribusi sebesar 40,3% terhadap motivasi mengajar guru SMP Negeri 1 Tigabinanga,

Berdarasarkan hasil penilitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai Pemanfaatan Daana Desa Dalam Pembangunan Desa Biring Ere Kecamatan Bungoro Kabupaten

Efek yang dirasakan oleh YW setelah mengikuti intervensi SEFT adalah: Sakit asam lambung sudah tidak sering kambuh, emosi lebih terkendali, lebih ikhlas dengan keadaan