• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Ular Sanca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Ular Sanca"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Ular Sanca

Klasifikasi dan Morfologi. Ular sanca batik dengan nama ilmiah Python reticulatus, memiliki banyak nama sebutan dari berbagai daerah di Indonesia. Umumnya disebut ular sanca kembang yang didasarkan pada keunikan corak dan warna sisiknya. Di Pulau Jawa disebut ular puspo kajang sedangkan di Ambon disebut ular petola (Soespandi, 2004). Di Inggris disebut dengan nama reticulated python, di Perancis disebut python reticule dan di Jerman disebut netzpython (Moris, 1975). Ular sanca darah merah dengan nama ilmiah Python brongersmai, memiliki sebutan umum yang lain yaitu ular sanca gendang, disebut juga dengan nama ular dipong. Nama inggrisnya adalah blood python (Erdelen, 1998) atau disebut juga short tail python. Ular sanca batik dan sanca darah merah merupakan satu genus yaitu genus Python. Klasifikasi ular sanca batik dan sanca darah merah sebagai berikut (Iskandar dan Colijn, 2002) :

Domain : Eukarya Kingdom : Animalia Subkingdom : Eumetazoa Superphylum : Deuterostomia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Reptilia Subclass : Lepidosauria Ordo : Squamata Subordo : Serpentes Infraordo : Alethinophidia Family : Pythonidae Subfamily : Pythoninae Genus : Python

Species : Python reticulatus Python brongersmai

(2)

Ular sanca batik dan sanca darah merah memiliki corak sisik yang indah dan unik. Corak sisik ular sanca batik merupakan perpaduan warna coklat, emas, hitam dan putih, sedangkan corak sisik ular sanca darah merah didominasi warna merah atau oranye atau kuning dengan motif totol berwarna abu-abu, hitam dan putih (Gambar 1). Ular sanca batik merupakan ular terpanjang di dunia dan termasuk predator bertubuh besar (Abel, 1998). Selama masa hidupnya, panjang tubuh ular sanca batik dapat mencapai 11 meter (Mehrtens, 1987) dengan bobot badan mampu mencapai 158 kg (Mexico, 2000 dalam Matswapati, 2009). Hingga saat ini Indonesia masih memegang rekor sebagai negara tempat penemuan ular terpanjang sedunia, yaitu ular sanca batik yang ditemukan di Pulau Sulawesi dengan panjang 10 meter. Ular sanca darah merah memiliki ukuran panjang maksimal berkisar 1,5-1,6 meter.

Habitat dan Penyebaran. Ular sanca batik hidup di habitat hutan tropis yang lebat rumputnya, ditemukan di dekat sungai dan area-area yang dekat dengan sungai-sungai kecil maupun danau (Mehrtens, 1987), dan di hutan-hutan sekunder serta di area yang berbatasan langsung dengan kebun/sawah. Ular sanca batik mempunyai wilayah penyebaran yang luas, menyebar dari Bangladesh hingga pulau-pulau di timur Indonesia dan Tanimbar bagian timur (Stimson 1969, Groombridge and Luxmoore 1991 dalam Riquier, 1998). Ular sanca batik juga dapat ditemukan di beberapa pulau-pulau kecil dalam teritorinya seperti yang sering terlihat oleh penduduk di sungai atau dermaga di urban area (Mehrtens, 1987). Ular sanca darah merah (Python brongersmai) hidup di lahan-lahan dataran rendah di timur Sumatera (Groombridge dan Luxmoore, 1991 dalam Erdelen, 1998). Ular sanca darah merah tidak berasosiasi kuat dengan habitat air sebagaimana ular sanca batik (Riquier, 1998). Lahan-lahan perkebunan kelapa sawit tampaknya mampu memberikan tempat yang optimal bagi ular sanca darah merah untuk bersarang/bersembunyi. Kerapatan populasi tikus yang tinggi pada perkebunan kelapa sawit telah menyediakan makanan dan tempat-tempat bersarang/bersembunyi untuk ular tersebut. Ular sanca darah merah bersarang/bersembunyi di lubang-lubang di tanah (bekas lubang tikus), di pohon-pohon atau batang-batang pohon-pohon tumbang. Lubang di tanah yang terdalam, yang pernah terukur, sebagai tempat bersarang/bersembunyi adalah 170 cm (Abel,

(3)

1998). Ular sanca darah merah (Python brongersmai) terdapat di Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura hingga pulau Sumatera dan juga Bangka. (David dan Vogel, 1996 dalam Erdelen, 1998). Sedangkan menurut Welch (1988) dalam Erdelen (1998), Python brongersmai hanya ada di Sumatera Bagian Timur dan Bangka.

Perilaku dan Makanan. Ular sanca batik dan ular sanca darah merupakan satwa ektotermik, yaitu satwa dengan produksi panas tubuh yang sangat terbatas dan mekanisme kontrol pengembalian produksi panas sangat rendah, sehingga untuk mencukupi kebutuhan panasnya harus mengambil panas dari lingkungannya (Aiello, 1998 dalam Matswapati, 2009). Pengambilan panas dari lingkungannya dilakukan dengan berjemur di bawah sinar matahari langsung (basking). Panas tubuh dibutuhkan ular untuk proses metabolisme dalam mencerna makanan. Suhu yang dibutuhkan ular sanca untuk dapat beraktivitas antara 26,7o-30,0oC, dengan suhu optimal pada 30oC (Stoops dan Wright, 1996 dalam Matswapati, 2009). Di luar suhu tersebut, ular lebih banyak diam untuk meminimalisasi energi yang terpakai dari hasil proses pencernaan makanannya (Moris dan Moris, 1965). Satwa buruan ular sanca batik sangat beragam mulai dari mamalia (kecil hingga besar) hingga burung/unggas, serta biawak (Mehrtens, 1987). Ular sanca darah merah dengan ukuran panjang tubuh yang lebih pendek, memangsa tikus sebagai sumber makanannya. Ular sanca batik merupakan hewan dengan perilaku yang misteri, aktif di malam hari dan memiliki kemampuan berkamuflase yang sangat baik (Groombridge dan Luxmoore, 1991 dalam Riquier, 1998). Demikian juga dengan ular sanca darah merah, mampu berkamuflase dengan baik, tidak aktif sepanjang hari dan tempat persembunyiannya di beragam tempat (Riquier, 1998). Cara ular sanca batik membunuh mangsanya adalah dengan melilit dan melumpuhkan mangsa hingga tidak dapat bergerak dan kesulitan bernafas, lalu menyantapnya dimulai dari kepala lebih dahulu agar lebih mudah dalam proses menelan.

Reproduksi. Dewasa kelamin pada ular sanca batik pada umur antara 2-4 tahun dengan panjang tubuh pada jantan antara 2,1-2,7 meter dan betina 3,4 meter (Mexico, 2000 dalam Matswapati, 2009). Namun, umur pubertas ular tersebut tergantung dari asupan makanan. Umur pubertas ular yang kurang asupan

(4)

makanan akan lebih terlambat (Matswapati, 2009). Ular sanca bunting selama 4,5 bulan. Selama masa kebuntingan, induk ular akan mencari lokasi sarang yang cocok dan optimal untuk perkembangan telur-telurnya dan selanjutnya mengeraminya (Matswapati, 2009). Ular sanca batik dan ular sanca darah merah termasuk ovipar, dimana reproduksinya dengan bertelur. Ular betina memiliki fleksibilitas yang mengesankan dan beragam dalam cara-cara mereka bereproduksi. Selain memilih pasangan kawin, melakukan mekanisme kompetisi sperma yang akan menentukan genotip anakannya, ular betina juga memperlihatkan pemilihan dalam membuat sarang bertelur, fisiologi dan regulasi suhu dan perilaku pada masa kebuntingan dan pengeraman yang dapat menentukan fenotip dari anakannya (Shine, 2003 dalam Matswapati, 2009). Ular betina yang sedang bereproduksi akan berpuasa sejak dari awal perkawinan hingga telur-telurnya menetas, sehingga dalam fase ini ular betina rentan mengalami kematian karena faktor kelaparan atau pemangsaan predator, di samping juga stress secara fisiologis karena pengaruh lingkungan yang suboptimal (Shine, 2003 dalam Matswapati, 2009). Oleh karena itu, untuk mempersiapkan masa kebuntingan dan pengeraman serta untuk mengatur suhu tubuh selama masa kebuntingan dan pengeraman tersebut berlangsung, ular betina harus memiliki cadangan lemak yang cukup dan mendapatkan asupan sebelum perkawinan berlangsung. Di habitatnya, ular sanca yang bunting dapat puasa selama 6-8 bulan. Dapat disimpulkan bahwa di habitatnya, ular yang kurang mendapatkan asupan makanan tidak dapat bereproduksi dan yang beruntung masih dapat bereproduksi walaupun hanya memiliki satu kali kesempatan mendapatkan musim yang baik dimana saat mangsa melimpah maka ular dapat menumpuk lemak dan kembali dapat bereproduksi. Oleh karenanya pada habitat dimana melimpah makanannya, populasi kelompok ular akan sangat tinggi dan pada habitat dimana populasi predator rendah akan menyebabkan jumlah telur dan anakan yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan habitat yang populasi predatornya masih tinggi, walaupun sumber makanan rendah (Sun et al, 2002 dalam Matswapati, 2009). Umumnya, perkawinan ditentukan oleh betina dengan adanya sekresi feromon yang dapat dideteksi oleh jantan. Secara normal, ular sanca dapat bereproduksi setahun sekali. Lama waktu kebuntingan antara 65-105

(5)

hari sedangkan lama waktu kebuntingan ular betina di penangkaran antara 2,0-4,5 bulan (Matswapati, 2009). Induk yang bunting akan lebih sering berjemur/ basking. Perilaku basking ini dapat mempengaruhi lama periode kebuntingan induk ular. Ukuran dan banyaknya telur yang dihasilkan induk ditentukan dari luasan/volume tubuh induk. Semakin besar volume induk, maka lebih banyak dan besar telur yang akan dihasilkan (Weiguo et al, 2005 dalam Matswapati, 2009). Jumlah telur yang dapat dihasilkan induk ular sanca batik di penangkaran dalam satu kali reproduksi antara 15-50 butir, ukurannya tergantung kapasitas induk dan jumlah telur yang akan dihasilkan (Matswapati, 2009). Lama pengeraman antara 86-95 hari dengan suhu inkubasi telur antara 31-33oC (Ross dan Marzec, 1990 dalam Matswapati, 2009). Di penangkaran, suhu inkubator diatur pada 30o

Manusia memanfaatkan ular sanca dan bagian-bagiannya mulai dari kulit, daging, empedu, lemak hingga darahnya. Daging ular dimanfaatkan sebagai bahan makanan (sumber protein hewani), empedu dan darahnya dimanfaatkan sebagai obat tradisional, kulitnya dimanfaatkan untuk bahan pembuatan aksesoris seperti tas, jaket, sepatu, ikat pinggang maupun produk olahan lainnya. Bahkan bagian lemak organ dalamnya juga turut dimanfaatkan sebagai minyak yang digunakan untuk menggoreng makanan. Selain itu, ular juga dimanfaatkan manusia sebagai hewan peliharaan (pet animal) atau sebagai koleksi kebun binatang yang berguna dalam tujuan pendidikan masyarakat dan juga untuk atraksi-atraksi lainnya. Ular sanca batik dan sanca darah merah berdasarkan Undang-Undang di Indonesia tidak termasuk dalam jenis satwa yang dilindungi. Akan tetapi sejak tahun 1975, CITES telah memasukkannya dalam kategori satwa Appendiks II. Kategori Appendiks II adalah daftar jenis tumbuhan dan satwaliar C dengan lama inkubasi 2,5 bulan. Beberapa spesies meninggalkan sarang telurnya untuk minum dan istirahat sejenak. Kira-kira seminggu sebelum telur-telur tersebut menetas, para induk meninggalkan sarang telurnya. Ini menunjukkan sifat soliter yang dimiliki ular secara umum. Pada ular sanca darah, tercatat di penangkaran, apabila terdapat lebih dari satu pejantan pada kandang perkawinan, maka betina dapat siap dikawini oleh pejantan tersebut/multiple mating (DeNardo dan Auntumn, 2001 dalam Matswapati, 2009).

(6)

yang belum mendekati kepunahan, namun perdagangan internasional dari jenis ini memerlukan perizinan (ekspor dan impor) juga terdapat kuota perdagangannya.

Nilai Keanekaragaman Hayati bagi Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan yang berkelanjutan merupakan pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kunci apakah pembangunan yang dilaksanakan berkelanjutan (sustainable) atau tidak, terletak pada kemampuan sumberdaya alam untuk memberi nilai tambah pada sumber daya pendukung pembangunan, melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. (Brundfland, 1983 dalam Jamil, 1999). Pembangunan tidak mewariskan suatu keadaan kehidupan sosial ekonomi yang lebih buruk bagi generasi yang akan datang, namun demikian hal tersebut harus memenuhi persyaratan bahwa landasan dasar yang penting bagi upaya berkelanjutan itu yakni kualitas lingkungan hidup dan jasa-jasa yang bersifat publik (common resources) dari sumber daya alam yang ada harus benar-benar dapat terjaga. Jasa-jasa sumber daya alam (natural resources) merupakan jasa produktif sebagaimana jasa-jasa kapital lainnya, oleh karena itu jasa tersebut perlu dinilai secara ekonomis, yang apabila hal ini tidak dilakukan maka keberadaan sumber daya alam itu akan mengarah kepada degradasi (Anwar, 1997 dalam Jamil, 1999). Selanjutnya pengertian dari pembangunan berkelanjutan dari segi ekonomi maupun finansial adalah mampu melakukan pemeliharaan setiap kapital dan penggunaan kapital yang efisien serta investasinya. Tetapi dalam pengertian ini meliputi keharusan untuk memelihara integritas ekosistem, daya dukung dan konservasi sumber daya alam yang ada. Oleh karenanya hak-hak akses mereka harus dijamin oleh negara agar mereka mampu dan mau berpartisipasi dalam memelihara kelestarian sumber daya alam yang menjadi sumber nafkah dan mendukung kehidupannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Apabila hal ini tidak dilaksanakan maka akibatnya bukan hanya menyebabkan masyarakat komunal yang menanggung penderitaannya, tetapi keadaan tersebut dapat mengancam kehidupan masyarakat suatu bangsa secara keseluruhan (Jamil, 1999). Berdasarkan Tisdell (1999), konservasi keanekaragaman biologi diperlukan untuk mempertemukan kebutuhan generasi mendatang, memaksimalkan rentang eksistensi manusia, menyokong

(7)

stabilitas dan ketahanan banyak sistem ekonomi dan ekologi. Nilai dan makna keanekaragaman hayati sangat penting bagi kehidupan manusia dan pembangunan bangsa. Makna dan nilai penting ini tidak hanya untuk generasi kini, tetapi juga untuk generasi mendatang demi kelangsungan kehidupan umat manusia bagi pembangunan berkelanjutan. Nilai keanekaragaman hayati dapat dibedakan atas nilai eksistensi, nilai jasa lingkungan, nilai warisan, nilai pilihan, nilai konsumsi dan nilai produksi. Ketidakseimbangan dalam memandang nilai keanekaragaman hayati telah mengarah pada perusakan habitat alami, kepunahan spesies, erosi keanekaragaman hayati, erosi keanekaan budaya dan sistem pengetahuan yang melemah di tingkat lokal, nasional dan global (Bappenas, 2003). Di dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020 (Bappenas, 2003), telah disebutkan bahwa visi pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia pada tingkat nasional adalah : “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang peduli, berdaya, mandiri dan cerdas dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.” Sedangkan arah kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati diantaranya adalah “mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan berlandaskan pengetahuan lokal, yang didukung dengan akses terbuka pada informasi serta data yang akurat mengenai kemanfaatan sumber daya hayati, potensi keterbaharuan, lokasi dan habitat alami, dan sebagainya; serta dengan didukung oleh pengembangan sistem harga dan perniagaan yang adil dan menguntungkan, serta mencerminkan perlindungan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati serta kearifan tradisional masyarakat adat dan lokal, sehingga terwujud pemerataan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan secara berkeadilan.”

Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan sekaligus mempertahankan kelestarian hutan, maka tidak terlepas dari adanya interaksi sistem sosial dan ekosistem alam yang ada, karena memiliki ketergantungan yang bersifat sosio-ekonomi, maupun sosio-ekologis terhadap

(8)

sumberdaya hutan yang tidak dapat begitu saja diputuskan (Andajani, 1997 dalam Fazriyas, 1998). Oleh karena itu pendekatan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, disamping aspek biofisik wilayah dan aspek potensi sumberdaya hutannya (Andajani, 1997 dalam Fazriyas, 1998). Di negara berkembang, pemanfaatan sumberdaya alam hidupan liar oleh masyarakat pedesaan jarang merupakan suatu pilihan, akan tetapi merupakan suatu ekonomi yang penting sekali. Lebih jauh, pemanfaatannya dapat berupa ekstraktif atau non ekstraktif (Abensperg-Traun, 2009). Pemanfaatan ekstraktif sumberdaya alam hidupan lair dalam bentuk perdagangan hidupanliar di Indonesia, secara khas melibatkan sekelompok masyarakat yang dimulai dari orang-orang yang hidup di daerah miskin dan memiliki sangat sedikit pilihan untuk peningkatan ekonomi tetapi memiliki akses khusus kepada sumberdaya (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Apabila pertumbuhan ekonomi dan pembangunan tidak terjadi dalam kelompok masyarakat yang sangat miskin, hidup dalam suatu keadaan yang seimbang dengan alam, akan dapat menghasilkan pendapatan yang lestari (Tisdell, 1999).

Pemanfaatan Hidupanliar Secara Lestari

Pada perdagangan reptil menyangkut jutaan spesimen per tahun, juga merupakan sumber makanan dan nafkah untuk orang banyak, terutama dalam masyarakat pedesaan, dengan demikian menguntungkan orang banyak (Webb dan Vardon, 1998). Lebih lanjut, Webb dan Vardon (1998) mengatakan, apabila perdagangan didasarkan pada pemanfaatan secara lestari, maka hal ini dapat merupakan insentif bagi konservasi dan apabila tidak dilakukan secara lestari, maka akan lebih mengakibatkan kepunahan secara ekonomis daripada kepunahan biologi. Dalam konteks konservasi yang digerakkan oleh insentif, pemanfaatan lestari sebagaimana dalam Artikel 2 dari Convention on Biological Diversity (CBD), adalah “pemanfaatan komponen keanekaragaman biologi di satu cara dan pada cara apapun tidak mengarah pada penurunan keanekaragaman biologi jangka panjang, dengan demikian memelihara kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang dan yang akan datang.”

(9)

Rantai Perdagangan/Tataniaga

Menurut Kohls dan Uhl (1980) dalam Lumban Tobing (1989) bahwa sistem tataniaga komoditas tertentu merupakan bagian-bagian komponen yang saling berkaitan. Rantai perdagangan reptilia secara umum adalah penangkap (harvester) menjual satwa atau kulitnya ke kolektor (pengumpul) yang dikenal juga dengan sebutan “penyalur (dealer)”, dan penyalur (dealer) kembali menjual spesimen ke pengrajin kulit (tanneries) atau ke eksportir yang terdaftar. Namun terdapat juga keadaan dimana penangkap (harvester) bertransaksi secara langsung dengan tanneries atau eksportir (Mardiastuti dan Soehartono, 2002).

Pendapatan

Pendapatan didefinisikan sebagai total penghasilan dikurangi total biaya (Leones dan Rozelle, 1991 dalam Wollenberg dan Nawir, 1998). Pendapatan merupakan indikator penting bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Analisis porsi pendapatan masyarakat dari hutan dapat menyediakan pengertian yang mendalam tentang manajemen sumberdaya alam oleh masyarakat dan strategi mata pencaharian. Pendapatan baik dalam bentuk potensial ataupun ril, juga dapat digunakan untuk mengukur nilai sumberdaya hutan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya tersebut (Wollenber dan Nawir, 1998).

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak tnemilih hukum, inaka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan

Pertama. Profesionalisme prajurit sesuai dengan penjelasan UU nomor 34 tentang TNI adalah prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis,

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun petai cina (Leucaena glauca (L.) Benth.) memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas dengan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan gambaran histopatologi arteri spiralis alas plasenta yang dijumpai pada preeklampsia/eklampsia berupa trombosis, proliferasi

Asumsi dari hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan Strenght, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT) adalah mampu memberikan kontribusi yang positif

Setelah memperoleh informasi, benda tersebut dapat mengolah informasi itu sendiri, bahkan berkomunikasi dengan benda-benda lain yang memiliki alamat IP dan terkoneksi dengan

Guna meningkatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan ashitaba maka diformulasikan granul effervescent, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses koreksi terrain dan contoh penerapannya pada citra Landsat TM; Kemudian artikel tentang “Perbandingan Teknik Orthorektifikasi Citra