• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif deskiptif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif deskiptif"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif deskiptif yang dilakukan di RS. Panti Wilasa Citarum Semarang pada tanggal 19 Agustus – 31 Agustus 2013. Yang menjadi sampel pada penelitian ini yaitu seluruh pasien yang berusia ≥ 45 tahun yang menjalani rawat inap di ruang Anggrek dan Ruang cempaka. Total sampel yang diperoleh sebanyak 30 pasien namun 10 antaranya sudah terdiagnosa dengan PJK.

Tabel 4.1 Distribusi pasien rawat inap usia ≥45 tahun di RS Panti Wilasa Citarum Semarang

PJK Pasien rawat inap

Jumlah % Terdiagnosa PJK 10 33.33 Tidak Terdiagnosa PJK 20 66.67 Jumlah 20 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner, data yang didapat adalah data primer yakni dengan melakukan wawancara pada pasien dan keluarga pasien dan data sekunder dengan melakukan pencatatan hasil rekam medik yang terdapat di ruang Anggrek dan Cempaka RS Panti Wilasa Citarum Semarang.

(2)

4.2 Hasil Penelitian Dan Pembahasan 4.2.1 Analisa Univariat

1. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka

Jenis Kelamin

Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumla

h % Laki-Laki 10 50.00 8 80.00 18 60.00 Perempua n 10 50.00 2 20.00 12 40.00 Jumlah 20 100.0 0 10 100.0 0 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan jenis kelamin di RS Panti Wilasa Citarum semarang Ruang Anggrek dan Cempaka yaitu laki-laki total sebanyak 18 orang (60,00%), sedangkan perempuan sebanyak 12 orang (40,00%).

Pasien ≥ 45 tahun tidak menderita PJK sebanyak 20 pasien dengan jumlah laki-laki sebanyak 10 orang (50,00%) dan perempuan sebanyak 10 orang (50,00%) sedangkan pasien yang menderita PJK terdapat 10 pasien dengan jumlah laki-laki sebanyak 8 orang (80,00%) dan perempuan 2 orang (20,00%).

(3)

b. Usia

Tabel 4.3 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Variabel Usia di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka. Usia Tidak Menderita

PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumla h % Jumlah % Jumlah % 45-55 8 40.00 8 80.00 16 53.33 56-65 8 40.00 1 10.00 9 30.00 66-75 3 15.00 1 10.00 3 10.00 >75 1 5.00 - - 2 6.67 Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Usia di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 8 orang (80,00%) diantaranya berusia 45-55 tahun 1 pasien (10,00%) berusia 56-65, dan 1 pasien (10,00%) berusia 66-75 Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK sebanyak 8 orang (40,00%) berusia 45-55 tahun , 8 orang (40,00%) berusia 56-65 tahun, 3 orang (15,00%) berusia 66-75 dan 1 orang (5,00%) yang berusia >75 tahun.

Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 16 orang (53,33%) berusia 45-55 tahun, 9 orang (30,00%) berusia 56-65 tahun, 3 orang (10,00%) berusia 66-75 tahun, dan 2 orang (6,67%) berusia >75 tahun.

(4)

c. Riwayat Keluarga

Tabel 4.4 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Riwayat Keluarga di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka

Riwayat Keluarga

Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 9 45.00 6 60.00 15 50.00 Tidak 11 55.00 3 30.00 14 46.67 Tidak ada Keterangan - 1 10.00 1 3.33 Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Riwayat keluarga yang memiliki PJK di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat keluarga dengan PJK dan 3 orang (30,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat keluarga dengan PJK dan 1 orang (10,00%) tidak memiliki keterangan tentang riwayat keluarga atau tidak mengetahui tentang hal ini.

Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat keluarga dengan PJK sebanyak 11 orang (55,00%), 9 orang (45,00%) lainnya tidak menderita PJK dan juga tidak memiliki keluarga. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 15 kasus (50,00%) mempunyai riwayat keluarga dengan PJK, 14 kasus (46,67%) tidak memiliki riwayat keluarga dengan PJK sedangkan 1 kasus (33,33%) yang

(5)

lainnya tidak memiliki keterangan atau tidak mengetahui apakah keluarganya memiliki riwayat PJK.

2. Faktor-Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi a. Merokok

Tabel 4.5 Faktor Risiko PJK Berdasarkan Kebiasaan Merokok di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka.

Merokok Tidak Menderita PJK Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 12 60.00 8 80.00 20 77.67

Tidak 8 40.00 2 20.00 10 33.33

Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Riwayat Merokok di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 8 orang (80,00%) merokok dan 2 pasien (20,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat merokok. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat merokok sebanyak 12 orang (60,00%) dan 8 orang (40,00%) yang tidak memiliki riwayat merokok. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 20 kasus (66,67 %) mempunyai riwayat merokok, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat merokok sebanyak 10 kasus (33,33 %).

(6)

b. Dislipidemia

Tabel 4.6 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Riwayat Dislipidemia di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka.

Dislipidemia Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 16 80.00 7 70.00 23 76.67

Tidak 4 20.00 3 30.00 7 23.33

Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Riwayat Dislipidemia di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 7 orang (70,00%) memiliki riwayat dislipidemia dan 3 pasien (30,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat dislipidemia. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat dislipidemia sebanyak 16 orang (80,00%) dan 4 orang (30,00%) yang tidak memiliki riwayat dislipidemia. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 23 kasus (76,67%) mempunyai riwayat hipertensi, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat hipertensi sebanyak 7 kasus (23,33%).

(7)

c. Diabetes melitus

Tabel 4.7 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Riwayat Diabetes Melitus di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka.

Diabetes Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 13 65.00 6 60.00 19 63.33

Tidak 7 35.00 4 40.00 11 36.67

Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Riwayat Diabetes Melitus di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat Diabetes Melitus dan 4 pasien (40,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat Diabetes Melitus sebanyak 13 orang (65,00%) dan 7 orang (35,00%) yang tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 19 kasus (63,33%) mempunyai riwayat hipertensi, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat hipertensi sebanyak 11 kasus (37,67%).

(8)

d. Obesitas

Tabel 4.8 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Obesitas di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka.

Obesitas Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 12 60.00 4 40.00 16 53.33

Tidak 8 40.00 6 60.00 14 46.67

Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel dan gambar di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Indeks massa tubuh pasien yang tergolong obesitas di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 4 orang (40,00%) tergolong obesitas dan 6 orang (60,00%) penderita PJK namun tidak tergolong obesitas. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun tergolong dalam obesitas sebanyak 12 orang (60,00%) dan 8 orang (40,00%) yang tidak tergolong obesitas dan tidak menderita PJK. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 16 kasus (53,33%) tergolong obesitas, sedangkan yang tidak tergolong obesitas sebanyak 14 kasus (46,67%)

e. Hipertensi

Tabel 4.9 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Riwayat Hipertensi di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka.

Hipertensi Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 14 70.00 6 60.00 20 66.67

Tidak 6 30.00 4 40.00 10 33.33

Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

(9)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan Riwayat Hipertensi di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat Hipertensi dan 4 pasien (40,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat hipertensi. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat hipertensi sebanyak 14 orang (70,00%) dan 6 orang (30,00%) yang tidak memiliki riwayat Hipertensi. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 20 kasus (66,67 %) mempunyai riwayat hipertensi, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat hipertensi sebanyak 10 kasus (33,33%).

f. Inaktivitas fisik

Tabel 4.10 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Inaktivitas fisik di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka.

Inaktivitas Tidak Menderita PJK

Menderita PJK Jumlah Total

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Ya 13 65.00 7 70.00 20 66.7

Tidak 7 35.00 3 30.00 10 33.3

Jumlah 20 100.00 10 100.00 30 100.00

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada tabel di atas dapat dilihat distribusi faktor-faktor risiko PJK berdasarkan inaktivitas fisik (berolahraga) di RS Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK 7 (70,00%) orang diantaranya tidak (inaktivitas) dan 3 (30,00%) lainnya berolahraga. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun dan tidak pernah berolahraga sebanyak 13

(10)

orang (65,00%) dan 7 orang (35,00,00%) lainnya yang tidak menderita PJK namun juga tidak pernah berolahraga.

Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 20 kasus (66,67%) tidak pernah berolahraga dan 10 kasus (33,33%) saja yang berolahraga.

4.2.2 Uji Normalitas

Analisis pengujian normalitas data pada hasil penelitian ini menggunakan teknik uji Kolmogorov Smirnov test (uji K-S). Dikatakan data berdistribusi normal jika nilai signifikansinya > 0,05. Hasil analisis uji normalitas variabel jenis kelamin, riwayat merokok, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat keluarga, usia, obeistas, dan inaktivitas fisik dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 4.11 Hasil Uji Normalitas Data Variabel sex, riwayat

merokok,hipertensi,dislipidemia, diabetes, riwayat keluarga, obesitas, usia, dan inaktivitas Variabel Uji Kolmogorov

-Smirnov Uji Shapiro-Wilk Df P value Df P value Sex Rokok Hipertensi Dislipidemia Diabetes Keluarga Obesitas Usia Inaktivitas 30 30 30 30 30 30 30 30 30 0.389 0.423 0.423 0.473 0.406 0.325 0.354 0.311 0.423 30 30 30 30 30 30 30 30 30 0.624 0.597 0.597 0.526 0.612 0.717 0.637 0.750 0.597 Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Dalam uji normalitas pada tabel 4.2.2.1dengan menggunakan kolmogorov smirnov test (uji K-S), diperoleh signifikansi untuk variabel sex dengan P > α = P (0,389) > α (0,05)

(11)

dan untuk variable rokok dengan P > α = P (0,423) > α (0,05) untuk variabel hipertensi P > α = P (0,423) > α (0,05) untuk variable dislipidemia dengan P > α = P (0,473) > α (0,05), untuk variable diabetes dengan P > α = P (0,406) > α (0,05), untuk variable keluarga dengan P > α = P (0,325) > α (0,05), untuk variable obesitas dengan P > α = P (0,354) > α (0,05), untuk variable usia dengan P > α = P (0,311) > α (0,05) dan untuk variabel inaktivitas dengan P > α = P (0,423) > α (0,05) dengan ketentuan jika signifikansi < 0,05 maka distribusi normal ditolak dan apabila signifikansi > 0,05 maka distribusi normal diterima. Oleh karena itu data variabel sex, riwayat merokok, hipertensi, dislipidemia, diabetes, riwayat keluarga, obesitas, usia, dan inaktivitas merupakan data yang normal karena signifikansi > 0,05.

4.2.3 Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat (Notoatmodjo, 2002).

Berdasarkan presentase data univariat diatas dapat dilihat bahwa dari 9 variabel yang diteliti terdapat 4 variabel memiliki jumlah tertinggi, yaitu sebesar 80%, untuk itu 4 variabel tersebut yang akan digunakan untuk dilihat korelasinya dengan angka kejadian PJK. Adapun analisa ini akan menggunakan korelasi ini akan menggunakan korelasi Spearman’s Rho dan Kendall’s tau-b.

(12)

Tabel 4.12 Hasil Korelasi Kendall antara variable PJK dengan jenis kelamin, merokok, dislipidemia, dan usia.

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Tabel 4.13 Hasil Korelasi Spearman’s rho antara variable PJK dengan jenis kelamin, merokok, dislipidemia, dan usia.

Sumber : Data statistic primer dan sekunder (2013)

Pada analisis korelasi Kedall’s didapati nilai koefisien PJK dengan Jenis kelamin sebesar 0,289. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan

(13)

antara Variabel PJK dengan Sex adalah tidak erat namun menunjukkan hubungan positif karena angka koefisien positif.

Nilai koefisien PJK dengan Merokok sebesar 0,200. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Variabel PJK dengan Merokok adalah tidak erat namun menunjukkan hubungan positif karena angka koefisien positif.

Nilai koefisien PJK dengan dislipidemia sebesar -0,111 Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel PJK dengan diabetes adalah tidak erat dan menunjukkan hubungan negatif karena angka koefisien negatif.

Dan nilai koefisien PJK dengan Usia sebesar 0,311. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Variabel PJK dengan Sex adalah tidak erat namun menunjukkan hubungan positif karena angka koefisien positif.

Sedangkan menurut hasil korelasi dengan Spearman Rho didapati nilai koefisien PJK dengan Jenis kelamin sebesar 0,289. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Variabel PJK dengan Sex adalah tidak erat namun menunjukkan hubungan positif karena angka koefisien positif.

(14)

Nilai koefisien PJK dengan Merokok sebesar 0,200. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Variabel PJK dengan Merokok adalah tidak erat namun menunjukkan hubungan positif karena angka koefisien positif.

Nilai koefisien PJK dengan Diabetes sebesar -0,111. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Variabel PJK dengan diabetes adalah tidak erat dan menunjukkan hubungan negatif karena angka koefisien negatif.

Dan nilai koefisien PJK dengan Usia sebesar 0,329. Karena koefisien tidak mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Variabel PJK dengan Sex adalah tidak erat namun menunjukkan hubungan positif karena angka koefisien positif.

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh mengenai distribusi faktor-faktor risiko pada penyakit jantung koroner di RS Panti Wilasa Citarum Semarang, maka akan dibahas sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.3.1 Faktor-Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Diubah A. Jenis Kelamin

Berdasarkan faktor-faktor risiko PJK menurut jenis kelamin, didapatkan bahwa proporsi pada laki-laki lebih besar yaitu laki-laki total sebanyak 18 orang (60,00%),

(15)

sedangkan perempuan sebanyak 12 orang (40,00%). Pasien ≥ 45 tahun tidak menderita PJK sebanyak 20 pasien dengan jumlah laki-laki sebanyak 10 orang (50,00%) dan perempuan sebanyak 10 orang (50,00%) sedangkan pasien yang menderita PJK terdapat 10 pasien dengan jumlah laki-laki sebanyak 8 orang (80,00%) dan perempuan 2 orang (20,00%). Hasil ini sesuai dengan sumber kepustakaan yang menyatakan bahwa mortalitas akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki lebih besar dibandingkan pada perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki daripada perempuan. Diduga faktor hormonal seperti estrogen endogen bersifat protektif terhadap perempuan, namun setelah menopause insidensi penyakit jantung koroner meningkat dengan cepat dan sebanding dengan insidens pada laki-laki seperti pada penelitian Tomaszewski (2008) dari University of Leicester, meneliti sebanyak 933 laki-laki dengan usia rata-rata 19 tahun yang berpartisipasi dalam studi Young Men Cardiovascular Association.

Peneliti menyelediki adanya interaksi antara kadar hormon hormon seksual estradiol, estron, testosteron, dan androstenedion, dengan 3 faktor risiko mayor penyakit jantung (kolesterol, tekanan darah dan berat badan). Dalam

(16)

studi ini diteliti hubungan antara estrogen dalam darah (estradiol dan estron) maupun androgen (testosteron dan androstenedion) dengan faktor risiko mayor kardiovaskular (kadar lipid, tekanan darah, dan indeks massa tubuh) pada 933 laki-laki muda sehat dengan median usia 19 tahun (Tomaszewski, 2008)

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa 2 jenis hormon seksual (yaitu estradiol dan estron, yang secara bersama disebut estrogen) berhubungan dengan meningkatnya kadar kolesterol-LDL dan menurunnya kadar koleterol-HDL pada laki-laki (Tomaszewski, 2008).

Dan pada penelitian yang dilakukan Supriyono (2008) di RS Karyadi Semarang didapati bahwa jenis kelamin laki-laki lebih tinggi yaitu 71,8% sedangkan selebihnya yaitu 28,2% adalah wanita.

Tingginya risiko kematian akibat PJK pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan karena kebiasaan merokok pada laki-laki yang lebih sering dibandingkan perempuan dan juga dikarenakan pengaruh hormonal (Davidson, 2003). Oleh karena laki-laki memiliki resiko yang lebih besar terhadap angka kejadian PJK, sebaiknya menghindari kebiasaan merokok dan selalu menerapkan pola hidup sehat.

(17)

B. Umur

Hasil penelitian berdasarkan faktor risiko umur didapati kelompok berusia 45-55 tahun adalah kelompok usia yang paling rentan dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 8 orang (80,00%) diantaranya berusia 45-55 tahun 1 pasien (10,00%) berusia 56-65, dan 1 pasien (10,00%) berusia 66-75 Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK sebanyak 8 orang (40,00%) berusia 45-55 tahun , 8 orang (40,00%) berusia 56-65 tahun, 3 orang (15,00%) berusia 66-75 dan 1 orang (5,00%) yang berusia >66-75 tahun. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 16 orang (53,33%) berusia 45-55 tahun, 9 orang (30,00%) berusia 56-65 tahun, 3 orang (10,00%) berusia 66-75 tahun, dan 2 orang (6,67%) berusia >75 tahun.

Hal ini sesuai dengan sumber kepustakaan dinyatakan bahwa risiko penyakit jantung koroner meningkat sesuai dengan bertambahnya usia (Davidson,2003). Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Supriyono menunjukkan kelompok usia yang rentan terhadap angka kejadian PJK >45 tahun dengan jumlah 87,5% dibandingkan usia-usia <45 tahun.

Peningkatan usia menyebabkan perubahan anatomik dan fisiologik pada jantung dan pembuluh darah bahkan di

(18)

seluruh organ tubuh manusia. Perubahan anatomi tersebut meliputi perubahan dinding media aorta, penurunan jumlah inti sel jaringan fibrosa stroma katup, penumpukan lipid, perubahan miokardim akibat proses penuaan, penurunan berat jantungdan timbulnya lesi fibrotik diantara serat miokardium. Sedangkan perubahan fisiologik diantaranya berupa denyut jantung maksimum latihan berkurang, isi semenit jantung (cardiac output) dan daya cadangan jantung menurun (Gray,2005)

Pada pembuluh darah koroner ditemukan adanya penonjolan yang diikuti garis lemak (fatty streak) pada intima pembuluh yang timbul sejak umur dibawah 10 tahun. Garis lemak ini mula-mula timbul pada aorta dan arteri koroner. Pada usia 20 tahun keatas garis lemak ini dapat ditemukan pada hampir setiap orang. Saat mencapai usia 30 tahunan, garis lemak ini tumbuh lebih progresif menjadi fibrous plaque, yaitu suatu penonjolan jaringan kolagen dan sel-sel nekrosis dan dikenal dengan sebutan ateroma. Pada usia 40 tahun kemudian timbul lesi yang lebih kompleks dan timbul konsekuensi klinis suatu penyakit jantung koroner (Gray,2005). Untuk itu kontrol dalam mengkomsumsi makanan dan lakukan hidup sehat harus dilakukan sejak dini.

(19)

Mengenai hubungan antara jenis kelamin dan umur sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang dikaitkan dengan penyakit jantung koroner diungkapkan bahwa pada kedua kelompok jenis kelamin, peningkatan risiko penyakit jantung koroner makin bertambah seiring pertambahan usia seseorang. Keadaan ini dihubungakan dengan adanya peningkatan kadar kolesterol total seiring dengan pertambahan usia baik pada pria maupun pada wanita. Semakin bertambahnya umur maka angka kematian akibat PJK akan semakin besar pula. (Sumiati, 2010)

C. Riwayat Keluarga mengalami PJK

Mengenai distribusi faktor risiko PJK berdasarkan riwayat keluarga menderita PJK, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat keluarga dengan PJK dan 3 orang (30,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat keluarga dengan PJK dan 1 orang (10,00%) tidak memiliki keterangan tentang riwayat keluarga atau tidak mengetahui tentang hal ini. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat keluarga dengan PJK sebanyak 11 orang (55,00%), 9 orang (45,00%) lainnya tidak menderita PJK dan juga tidak memiliki keluarga. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 15 kasus (50,00%) mempunyai riwayat keluarga

(20)

dengan PJK, 14 kasus (46,67%) tidak memiliki riwayat keluarga dengan PJK sedangkan 1 kasus (33,33%) yang lainnya tidak memiliki keterangan atau tidak mengetahui apakah keluarganya memiliki riwayat PJK.

Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan yang ada, yang menyebutkan bahwa pasien dengan riwayat keluarga penyakit jantung koroner mempunyai risiko lebih besar menderita PJK. Pada keluarga (orangtua, paman, bibi) yang jika pria di bawah usia 55 tahun dan perempuan di bawah usia 65 tahun, dikatakan tergolong usia muda untuk sakit PJK. Oleh karena itu, anak-anaknya maupun keponakannya harus waspada karena 3-5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibanding keluarga yang jantungnya sehat (Sumiati, 2010)

Seperti pada penelitian Supriyono (2008) di RS Karyadi Semarang didapati adanya hubungan antara riwayat penyakit jantung keluarga dengan kejadian PJK (p=0,027).

Pria dan wanita dengan usia < 45 tahun dengan riwayat penyakit jantung keluarga mempunyai risiko 2,1 kali lebih besar untuk terjadinya PJK (OR=2,1 ; 95% CI=1,1-4,0).Hal ini disebabkan masih banyaknya rekam medik yang tidak memiliki keterangan mengenai riwayat keluarga mengalami PJK, sehingga angka kejadian PJK berdasarkan

(21)

faktor risiko riwayat keluarga mengalami PJK masih belum bisa dibandingkan dan juga dikarenakan ketika ditanyakan pada pasien atau keluarga secara langsung kebanyakan dari mereka menjawab tidak namun kurang yakin dengan jawaban itu sendiri.

4.3.2 Faktor-Faktor Risiko Yang Dapat Diubah A. Merokok

Berdasarkan faktor risiko merokok, diperoleh hasil penelitian didapati 10 kasus menderita PJK, 8 orang (80,00%) merokok dan 2 pasien (20,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat merokok. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat merokok sebanyak 12 orang (60,00%) dan 8 orang (40,00%) yang tidak memiliki riwayat merokok. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 20 kasus (66,67 %) mempunyai riwayat merokok, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat merokok sebanyak 10 kasus (33,33 %).

Hal ini tentu sangat sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama pada penderita PJK bahkan penelitian yang dilakukan oleh mendapatkan bahwa PJK pada laki-laki perokok 10 kali lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5 kali lebih dari pada bukan perokok dengan nilai

(22)

koefisiennya perokok sebesar (RR (RR 1,4, 95% CI, 1,1-1,6) (Fiscella, 2004)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Selim (2013) menunjukkan hubungan PJK tinggi, dimana perokok yang memiliki PJK 71,43 dengan nilai p = 0,008 . Kenyataan ini dapat dimungkinkan dikarenakan variabel perokok disini yang dapat dinilai hanya dari sisi apakah pasien aktif merokok atau aktif terpapar asap rokok sehari-harinya dan seperti pada penelitian Supriyono (2008) diperoleh signifikan dengan kejadian PJK (p=0,011) pada perokok, dan juga kebiasaan merokok berisiko untuk terjadinya PJK pada usia > 45 tahun sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan merokok (OR=2,4 ; 95% CI=1,3-4,5). Untuk itu sangat disarankan agar para perokok berhenti untuk merokok karena sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya maupun penelitian ini menunjukkan presentasi perokok yang memiliki PJK sangat besar dan pada para tenaga kesehatan meningkatkan pendidikan kesehatan dan kampanye anti rokok.

B. Hipertensi

Mengenai distribusi faktor risiko PJK menurut penyakit penyerta hipertensi, didapatkan bahwa proporsi pasien PJK lebih besar pada kelompok dengan penyakit penyerta

(23)

Hipertensi yaitu dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat Hipertensi dan 4 pasien (40,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat hipertensi. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat hipertensi sebanyak 14 orang (70,00%) dan 6 orang (30,00%) yang tidak memiliki riwayat Hipertensi. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 20 kasus (66,67 %) mempunyai riwayat hipertensi, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat hipertensi sebanyak 10 kasus (33,33%)

Kenyataan ini sesuai teori yang menyatakan bahwa pasien dengan hipertensi memiliki tingkat mortalitas akibat PJK lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa hipertensi. Pada penelitian Supriyono (2008) di RS Karyadi Semarang diperoleh signifikansi faktor risiko riwayat merokok pada angka kejadian PJK adalah sebesar (p=0,869).

Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Fiscella (2004) menunjukan pasien yang terdiagnosa PJK memiliki tekanan darah sistolik 130 - 139 mm Hg tinggi (RR 1,6, 95% CI, 1,0-2,4).

Pada penderita hipertensi terjadi trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor

(24)

koroner) dan hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding dengan orang normotensi dan sekaligus lebih memperbesar risiko kematian pada penderita dengan PJK (Davidson, 2003). Kebanyakan penderita Hipertensi tidak menyadari dirinya terkena hipertensi karena kurangnya edukasi tentang hipertensi. Selain menjaga pola hidup, pemeriksaan tekan darah secara berkata sangat penting sehingga dapat mencegah terjadinya hipertensi dan resiko PJK.

C. Diabetes Meliltus

Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor risiko PJK berdasarkan panyakit penyerta diabetes melitus, didapatkan hasil bahwa proporsi pasien PJK lebih besar pada pasien diabetes melitus yaitu dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat Diabetes Melitus dan 4 pasien (40,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat Diabetes Melitus sebanyak 13 orang (65,00%) dan 7 orang (35,00%) yang tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 19 kasus (63,33%)

(25)

mempunyai riwayat hipertensi, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat hipertensi sebanyak 11 kasus (37,67%).

Kenyataan ini menggambarkan faktor risiko diabetes melitus sebagai salah satu faktor risiko pada penderita PJK, berdasarkan teori yang ada disebutkan bahwa pada penderita diabetes melitus, pembentukan trombus akan meningkat disebabkan karena adanya peningkatan agregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Faktor-faktor ini berperan pada pembentukan plak dan trombus, pada koyaknya plak yang berakibat semakin mudahnya terjadi sindrom koroner akut maupun serangan otak iskemik (Rohman, 2007)

Hasil penelitian Supriyono (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar gula darah puasa dengan kejadian PJK (p=0,0001). Kenaikan kadar gula darah puasa >126 mg/dl meningkatkan risiko untuk terjadinya PJK pada kelompok usia < 45 tahun sebanyak 4,1 kali dibandingkan dengan kadar gula darah puasa < 126 mg/dl pada kelompok usia yang sama (OR=4,1 ; 95% CI = 2,1-7,9).

Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Saito tahun 2000 yang mendapatan bahwa penderita PJK yang menderita diabetes melitus berisiko 2,63 kali untuk meninggal daripada yang tidak menderita PJK. Dalam

(26)

penelitiannya didapati hubungan yang bermakna antara diabetes melitus dengan PJK.

D. Dislipidemia

Berdasarkan distribusi faktor risiko PJK berdasarkan dislipidemia, diperoleh hasil bahwa proporsi PJK pada penderita dengan dislipidemia yaitu 27 kasus (90,00%), sedangkan penderita dengan tanpadislipidemia sebanyak 3 kasus (10,00%). Kenyataan ini sesuai dengan kepustakaan yang ada yang menyebutkan bahwa P dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 7 orang (70,00%) memiliki riwayat dislipidemia dan 3 pasien (30,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat dislipidemia. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat dislipidemia sebanyak 16 orang (80,00%) dan 4 orang (30,00%) yang tidak memiliki riwayat dislipidemia. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 23 kasus (76,67%) mempunyai riwayat dislipidemia, sedangkan yang tidak mempunyai riwayat dislipidemia sebanyak 7 kasus (23,33%) . PJK memiliki korelasi positif dengan asupan kolesterol / dislipidemia seseorang, semakin tinggi kadar kolesterol seseorang, semakin tinggi pula kematian akibat penyakit jantung koroner.

(27)

Kolesterol adalah jenis lipid yang relative mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengn aterogenesis. Data dari penelitian intervensi faktor risiko majemuk menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kadar kolesterol diatas 180mg/dl risiko penyakit arteri koronaria meningkat juga, dan peningkatan akan lebih cepat jika kadarnya melebihi 240mg/dl. Bukti-bukti epidemiologis terbaru menunjukkan adanya hubungan antara aterogenesis dengan pola-pola peningkatan kolesterol tertentu (Gray, 2005).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yusnidar (2008) di RS Karyadi Semarang didapati 97 sampel 73,5% yang memiliki kadar kolesterol total tinggi. Kenaikan kadar kolesterol dalam darah > 200 mg/dl meningkatkan risiko untuk terjadinya PJK sebesar 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar kolesterol darah < 200 mg/dl. Kadar kolesterol yang tinggi sangat dipengaruhi asupan makanan yang dimakan,untuk itu pengontrolan dalam makanan sangat penting. Kadar kolesterol dan lemak yang tinggi dapat menyebabkan resistensi insulin yang pada akhirnya menyebabkan diabetes, sehingga semakin meningkatkan resiko angka kejadian PJK (Ridwan, 2011; Defronzo, 1991)

(28)

Mengenai distribusi faktor risiko PJK berdasarkan obesitas, diperoleh hasil dimana terdapat 10 pasien menderita PJK, 6 orang (60,00%) memiliki riwayat keluarga dengan PJK dan 3 orang (30,00%) penderita PJK namun tidak memiliki riwayat keluarga dengan PJK dan 1 orang (10,00%) tidak memiliki keterangan tentang riwayat keluarga atau tidak mengetahui tentang hal ini. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun memiliki riwayat keluarga dengan PJK sebanyak 11 orang (55,00%), 9 orang (45,00%) lainnya tidak menderita PJK dan juga tidak memiliki keluarga. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 15 kasus (50,00%) mempunyai riwayat keluarga dengan PJK, 14 kasus (46,67%) tidak memiliki riwayat keluarga dengan PJK sedangkan 1 kasus (33,33%) yang lainnya tidak memiliki keterangan atau tidak mengetahui apakah keluarganya memiliki riwayat PJK.

Obesitas terjadi dikarenakan pola makan yang tidak sehat, pada penelitian Supriyono (2008) didapati 43,7% pasien PJK memiliki pola makan yang tidak sehat dan termasuk dalam obesitas sebesar 28,7%.

.Obesitas akan mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah sekitar 10 - 20 %, bahkan sebagian ahli menyatakan dapat mencapai 30 %. Hal ini

(29)

tentu merupakan beban tambahan bagi jantung, otot jantung akan mengalami perubahan struktur berupa hipertropi atau hiperplasi yang keduanya dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pompa jantung atau lazim disebut sebagai gagal jantung atau lemah jantung, dimana penderita akan merasakan lekas capek, sesak napas bila melakukan aktifitas ringan, sedang, ataupun berat (tergantung dari derajat lemah jantung) (Gray, 2005).

F. Inaktivitas Fisik

Mengenai distribusi faktor risiko PJK berdasarkan Inaktivitas fisik, diperoleh hasil, dimana terdapat 10 pasien menderita PJK 7 (70,00%) orang diantaranya tidak (inaktivitas) dan 3 (30,00%) lainnya berolahraga. Sedangkan 20 lainnya yang tidak menderita PJK namun dan tidak pernah berolahraga sebanyak 13 orang (65,00%) dan 7 orang (35,00%) lainnya yang tidak menderita PJK namun juga tidak pernah berolahraga. Dari total pasien usia ≥45 yang di rawat inap di RS citarum di dapati 20 kasus (66,67%) tidak pernah berolahraga dan 10 kasus (33,33%) saja yang berolahraga. Inaktivitas fisik meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung dan meningkatkan risiko hipertensi hingga 30%. Inaktivitas fisik juga melipat duakan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke. Suatu meta-analisis

(30)

besar memperlihatkan bahwa orang-orang yang aktif secara fisik adalah 50-70% lebih kecil probalitasnya dibandingkan orang-orang inaktif. Mengubah gaya hidup dari yang kurang sehat menjadi gaya hidup yang sehat dilakukan dengan melakukan kegiatan olahraga 20-30 menit, dengan melakukan olaraga terutama olahraga aerobic dapat menurunkan kadar kolesterol.

Berdasarkan hasil analisa bivariat menggunakan korelasi kendall’s dan Spearman’s di dapati 4 variabel yang paling dominan dari 9 variabel yang diteliti. 4 variabel tersebut dikorelasikan dengan angka kejadian PJK pada pasien rawat inap kelompok usia ≥45 tahun, didapati 3 variabel memiliki hubungan positif yaitu variabel jenis kelamin, usia dan merokok. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Supriyono (2008) dan Yusdinar (2007) yang menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko tersebut berpengaruh terhadap angka kejadian PJK meskipun hubungan keeratannya kurang atau tidak erat. Sedangkan pada variabel dislipidemia tidak didapati hubungan antara dislipidemia dengan PJK dengan nilai koefien -0,111, hal ini tidak sesuai dengan pustakaan yang menyatakan dengan adanya peningkatan dislipidemia maka akan semakin meningkat pula resiko angka kejadian PJK (Gray, 2005).

(31)

Namun hasil penelitian variabel dislipidemia ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Supriyono (2008). Menurut DeFronzo (1991) peningkatan kolesterol dan lemak dalam tubuh terutama pasien dengan obesitas mempengaruhi kemampuan insulin dalam mengambil glukosa dalam jaringan yang sensitif pada insulin dan meningkatkan sekresi insulin plasma sehingga terjadi hiperinsulinemia, yang pada kelanjutannya akan menyebabkan akan diabetes mellitus.

Pada resistensi insulin terjadi peningkatan lipolisis, sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam plasma yang selanjutnya akan meningkatkan uptake asam lemak bebas kedalam liver.

Disamping itu terjadi peningkatan sintesis TG de novo di liver karena hiperinsulinemia merangsang ekspresi sterol regulation element binding protein (SREBP1c), protein ini berfungsi sebagai faktor transkripsi yang mengaktifasi gene yang terlibat lipogenesis di liver. Protein kolesterol ester transferase dan hepatic lipase juga meningkat, yang mengakibatkan peningkatan VLDL1 yang kemudian menjadi small dense LDL. Peningkatan kadar VLDL1 ini menyebabkan peningkatan katabolisme HDL sehingga HDL menjadi rendah. Beberapa mekanisme diatas menerangkan

(32)

rendahnya HDL, tingginya TG dan small dense LDL pada DM tipe2. Pola dislipidemi seperti ini sering disebut diabetic dyslipidemia atau tipe B yang berhubungan erat dengan penyakit kardiovaskular pada populasi umum (Rohman, 2007). Untuk diharapkan penelitian selanjutnya dapat meneliti lebih dalam lagi tentang hubungan dislipidemia dengan angka kejadian PJK.

1.3 Keterbatasan Penelitian

 Penelitian ini menjadi terbatas dan kurang memuaskan dengan jumlah responden yang sangat sedikit untuk itu peneliti mengharapkan dengan hormat agar penelitian selanjutnya meningkatkan jumlah responden.

 Dalam penelitian ini peneliti tidak memilah antara aktivitas ringan, sedang dan berat untuk itu, peneliti mengharapkan dengan kerendahan hati agar penlitian selanjutnya memilah antara aktivitas ringan, sedang dan berat.

 Dalam penelitian ini juga peneliti tidak memilah lama merokok dan jumlah merokok pada setiap pasien, untuk itu peneliti dengan kerendahan hati sangat mengharapkan agar penelitian selanjutnya memilah lama merokok dan jumlah rokok yang diisap perhari.

Gambar

Tabel 4.1 Distribusi pasien rawat inap usia ≥45 tahun   di RS Panti Wilasa Citarum Semarang
Tabel  4.2  Distribusi  Faktor  Risiko  PJK  Berdasarkan  Variabel  Jenis  Kelamin  di  RS  Panti  Wilasa  Citarum  Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka
Tabel 4.3 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Variabel Usia di RS  Panti Wilasa Citarum Semarang Ruang Anggrek dan Cempaka
Tabel 4.4 Distribusi Faktor Risiko PJK Berdasarkan Riwayat Keluarga  di RS  Panti Wilasa  Citarum Semarang Ruang  Anggrek dan  Cempaka
+4

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip yang ditawarkan oleh CEDAW jika direlasikan dengan praktek poligami dalam Komunitas Poligami di Indonesia, secara langsung terlihat bertentangan dengan nilai – nilai

Menimbang, mengenai petitum keempat yaitu : menyatakan secara hukum Para Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi kepada Penggugat karena tidak

Pola pergerakan kapal rawai tuna saat melakukan kegiatan alih muatan dapat diidenti- fikasi dari hasil tracking VMS dengan menandai hanya dua pola kecepatan kapal yang berbeda

Lagian saya seneng karena kalau guru saya ngajak saya maen bareng pasti menurut dia saya sudah cukup bagus, coz kalau baru belajar, maennya masih berhenti-henti,

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah

Dari pertemuan pada dua siklus penelitian tindakan kelas ini yang bisa di ambil yang dari proses pembelajaran yang dilaksanakan dua siklus dengan dua kali pertemuan (2

Sedangkan Sukandarrumidi (2002: 47) menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian baik terdiri dari benda yang nyata, abstrak, peristiwa ataupun gejala

Namun hal ini tidak menghalangi pihak pesantren untuk mulai membangun tanah yang telah ditukarkansebab bersamaan dengan itu pihak Pesantren sedang mengurusinya lagi