• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedaruratan Endodontik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kedaruratan Endodontik"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KONSERVASI GIGI IV

PERAWATAN EMERGENSI ENDODONTIK

KARENA TRAUMA

Disusun oleh : Dessy Suastini 8861 Navilatul Ula 8863 Lastry Padang 8865 Lingga Kusumawardhany 8869 Ihdatul Aini A. 8873 Stefany Elan S. 8875 Hadziq Pohan 8877 Mentari Salma N. 8881 Wandita Swasti A. 8883 Gabriella M. O. 8895

Putri Wulan Sari 8899 Djati Yudhaningtyas 8901 Felicia Stephanie H. 8907

Suci Kurniawati 8911

Risa Widyasanti 8915

Fitria Nuraini 8917

Isti Noor Masita 8929

Failasofia 8931

Paschalia M. A. 8933

(2)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2014

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan – tindakan fisik dengan hilangnya kontinuitas normal suatu struktur jaringan. Trauma juga dapat diartikan sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab sakit, karena kontak yang keras dengan suatu benda. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka trauma gigi merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena sebab mekanis seperti kontak yang keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi, baik pada rahang atas maupun rahang bawah atau keduanya (Wei, 1988; Dorland, 2002).

Penyebab trauma gigi dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan atau tekanan besar yang tiba-tiba (Wei, 1988). Sebagian besar trauma pada gigi decidui dan permanen terjadi pada gigi anterior, khusunya gigi incisivus sentral rahang atas (Welbury dkk., 2012). Berbagai macam kondisi yang mengakibatkan terjadinya trauma pada gigi anterior adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan saat berolahraga, terjatuh saat bermain, tindakan kriminalitas, serta kecelakaan saat bekerja (Cameron, 2003). Selain kondisi-kondisi tersebut, terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya trauma gigi anterior yaitu posisi dan keadaan gigi tertentu misalnya kelainan dentofasial seperti maloklusi kelas I tipe 2, kelas II divisi 1 atau yang mengalami overjet lebih dari 3 mm, keadaan yang memperlemah gigi seperti hipoplasia email, kelompok anak penderita

cerebral palsy, dan anak dengan kebiasaan mengisap ibu jari yang menyebabkan gigi anterior protrusif (Finn, 2003).

Adanya trauma pada gigi decidui dapat mengakibatkan konkusi, subluksasi, dan luksasi, sedangkan trauma pada gigi permanen biasanya akan mengakibatkan fraktur mahkota (Welbury dkk., 2012). Pada kondisi-kondisi tersebut, gigi dapat mengalami injuri pulpa, dengan atau tanpa kerusakan mahkota atau akar, atau pemindahan gigi dari soketnya. Injuri pada pulpa mengakibatkan pulpa terbuka, sehingga dapat menyebabkan pulpitis ireversibel, atau mengalami

(4)

nekrosis bahkan menimbulkan lesi periapikal (Grossman, 1995). Kondisi-kondisi tersebut memerlukan perawatan emergensi endodontik untuk meminimalisir kerusakan dan infeksi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi trauma pada gigi

Klasifikasi trauma pada gigi yang direkomendasikan dari World Health Organization

(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology diterapkan baik gigi decidui dan permanen, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut yaitu sebagai berikut.

1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa.

a.Retak mahkota (enamel infraction) (N 502.50), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.

b. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (N 502.50), yaitu suatu fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.

c.Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture) (N 502.51), yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.

d. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture) (N 502.52), yaitu fraktur yang mengenai email, dentin, dan pulpa.

2. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar.

a. Fraktur mahkota-akar (N 502.53), yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin, dan sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root fracture (N 502.54)) dan fraktur mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture (N 502.54)).

b. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa tanpa melibatkan lapisan email.

c. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket. d. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris

(5)

e. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus mandibula atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

3. Kerusakan pada jaringan periodontal.

a.Konkusi (N 503.20), yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.

b. Subluksasi(N 503.20), yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.

c.Luksasi ekstrusi (partial displacement) (N 503.20), yaitu pelepasan sebagian gigi ke luar dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih panjang. d. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke

arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut. Trauma gigi yang menyebabkan luksasi lateral menyebabkan mahkota bergerak ke arah palatal.

e.Luksasi intrusi (N 503.21), yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.

f. Avulsi (hilang atau ekstrartikulasi) (N 503.22) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar dari soket.

4. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut

a.Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

b. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

c.Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet. Andreasen (1981) juga mengklasifikasikan trauma terhadap gigi berdasarkan gambaran klinis yaitu sebagai berikut.

a. Perubahan warna enamel menjadi lebih putih atau kuning hingga kecokelatan. b. Perubahan warna enamel yang mengalami hipoplasia, menjadi lebih putih atau

(6)

c. Dilaserasi mahkota. d. Malformasi gigi. e. Dilaserasi akar.

f. Gangguan pada erupsi. B. Dampak trauma pada gigi

Fraktur mahkota, fraktur akar, atau pemindahan akar dapat mengakibatkan pulpitis ireversibel, nekrosis atau penyakit periapikal. Selain itu trauma dapat menimbulkan poket periodontal yang dalam. Perubahan seluler pada pulpa atau periodonsium akan menimbulkan resorpsi internal atau eksternal akibat perforasi pada akar.

C. Kedaruratan endodontik

Kedaruratan endodontik didefinisikan sebagai kondisi-kondisi yang berhubungan dengan nyeri dan atau pembengkakan dimana membutuhkan diagnosis dan penanganan secepatnya. Faktor penyebab utama terjadinya kedaruratan endodontik adalah adanya patosis pada pulpa dan jaringan periradikular, serta adanya luka trauma. Sebelum menangani kedaruratan endodontik, harus dapat dibedakan antara kondisi true emergencies dan less critical urgency. True emergencies adalah kondisi yang membutuhkan kunjungan tak terencana dengan diagnosis dan treatment saat itu juga. Less critical urgency

mengindikasikan masalah yang lebih tidak parah dimana visit selanjutnya dapat direncanakan untuk kenyaman pasien dan juga dokter gigi. Endodontic emergencies dikategorikan menjadi 3 tipe yaitu pretreatment, intraappointment, dan postobturation (Garg, 2014).

Kedaruratan endodontik biasanya dikaitkan dengan rasa nyeri atau pembengkakan dan memerlukan penegakan diagnosis serta perawatan segera. Keadaan darurat pada gigi adalah keadaan yang tidak direncanakan, namun dokter gigi harus memberikan pertolongan dengan cepat dan efektif. Kedaruratan endodontik memerlukan ketepatan dalam penegakan diagnosis maupun penatalaksanaannya. Para klinisi hendaknya memiliki pengetahuan mengenai mekanisme nyeri, penatalaksanaan pasien, diagnosis, anastesi, cara-cara pengobatan terapeutik dan perawatan yang tepat, baik untuk jaringan lunak maupun jaringan keras. Hal tersebut diperlukan karena penegakan diagnosis yang salah dan ketidakpahaman

(7)

terhadap penatalaksanaan perawatan dapat memperparah keadaan pasien. (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).

D. Indikasi penanganan kedaruratan endodontik

Menurut Grossman dan Oliet (1981) kondisi yang dapat dikategorikan sebagai kondisi emergensi akibat trauma untuk diberikan penanganan endodontik adalah sebagai berikut.

1. Pulpitis reversibe akut, ditandai dengan inflamasi terlokalisasi di pulpa dan respon berlebihan tak menetap terhadap rangsangan

2. Pulpitis irreversible akut, adanya rasa nyeri spontan dan reaksi berlebihan terhadap rangsang panas dan dingin serta menetap setelah stimulus dihilangkan 3. Abses alveolar akut, kumpulan dari eksudat purulen

4. Periodontitis apikal akut, inflamasi ligament periodontal karena kerusakan jaringan, perluasan dari patosis pulpa atau trauma oklusal

5. Emergensi saat perawatan 6. Fraktur mahkota

7. Fraktur akar

8. Gigi avulsi, lepasnya gigi dari dalam soketnya

9. Referred pain, rasa nyeri daerah orofasial pada umumnya akibat inflamasi dari pulpa ataustruktur penyangga gigi

(8)

BAB III PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan subjektif

Pada penatalaksanaan tindakan gawat darurat, klinisi tetap memerlukan informasi dari pesien melalui anamnesis. Namun biasanya saat keadaan gawat darurat, pasien cenderung dalam kondisi cemas, kurang sadar, dan menahan rasa sakit, sehingga memerlukan ketrampilan komunikasi oleh dokter dalam menggali informasi secara efisien dengan pasien atau pengantar pasien, yang sekiranya cukup diperlukan untuk menentukan tindakan.

Komponen pemeriksaan subjektif yang perlu dilakukan dalam menggali informasi pasien yang mengalami trauma dalam kondisi gawat darurat adalah sebagai berikut.

1. Keluhan utama

Pasien harus memberikan keterangan tentang sakit yang dirasakan dan gejala-gejala yang muncul setelah trauma.

2. Riwayat sakit yang dialami saat ini

Klinisi juga perlu mengetahui apakah trauma pernah terjadi pada area yang sama sebelumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan seperti :

a. Kapan dan dimana terjadi trauma? b. Bagaimana trauma tersebut terjadi?

c. Sebelum datang ke klinik ini apakah sudah pernah dilakukan penanganan? d. Apakah pernah mengalami luka trauma sebelumnya?

e. Apakah ada gejala lain yang muncul? 3. Riwayat kesehatan umum

a. Reaksi alergi terhadap obat-obatan. Hal ini perlu ditanyakan karena pasien trauma biasanya mendapatkan perawatan obat antibiotik dan analgesik.

b. Kelainan tertentu seperti kelainan perdarahan, diabetes dan epilepsi.

c. Pengobatan yang sedang dilakukan. Hal ini penting untuk ditanyakan untuk mempertimbangkan interaksi obat untuk trauma dengan obat-obatan yang sedang dikonsumsi.

B. Pemeriksaan objektif

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, diperlukan pemeriksan objektif secara komprehensif meliputi seluruh aspek jaringan disekitar area yang mengalami trauma dengan prosedur pemeriksaan yang dilakukan secara cepat dan efektif.

(9)

1. Jaringan lunak : Pemeriksaan dilakukan pada beberapa area seperti bibir, pipi, dan lidah dengan cara palpasi.

2. Tulang wajah : Maksila, mandibula, dan sendi temporomandibula perlu dipalpasi dan diperiksa apakah terdapat distorsi, perubahan posisi atau indikasi fraktur. Untuk indikasi fraktur perlu dilakukan rontgen foto.

3. Gigi : Pemeriksaan obyektif pada gigi yang bersangkutan meliputi pemeriksaan secara visual, palpasi, perkusi, tes vitalitas, Gigi harus diperiksa dalam hal fraktur, mobilitas, perpindahan tempat, kerusakan ligament periodontal dan tulang, serta trauma pada pulpa. 4. Pemeriksaan radiografi : Radiografi sangat penting dalam pemeriksaan trauma dental

untuk mendeteksi dislokasi, fraktur akar, dan fraktur rahang. Melalui radiografi ekstraoral dapat diketahui adanya fraktur kondilus, sedangkan pada radiografi intraoral dapat diketahui ukuran kamar pulpa, saluran akar, perkembangan apeks akar, dan ruang ligament periodontal (Andreasen et al., 2003).

C. Pertimbangan perawatan endodontik pada penatalaksanaan trauma 1. Umur

Pasien anak cenderung belum dapat mengontrol tingkah laku, tetapi jika pada indikasi perawatan endodontik ada kerja sama yang baik, perawatan ini dapat berhasil dengan baik. Pasien yang lebih tua umumnya lebih mudah untuk dirawat.

2. Kesehatan umum pasien

Kesehatan umum yang buruk merupakan kontraindikasi perawatan. Namun pada kenyataannya, perawatan saluran akar lebih sering dipilih dibandingkan pencabutan untuk pasien seperti ini. Beberapa penyakit kronis harus diperhatikan untuk menetapkan indikasi atau kontraindikasi perawatan endodonti, misalnya penyakit jantung, diabetes, dan sebagainya.

3. Keadaan ekonomi

Tentunya perawatan saluran akar tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak sanggup membayar biaya perawatan.

(10)

Untuk beberapa kasus trauma yang menyebabkan gigi non vital, penanganan yang diperlukan adalah perawatan saluran akar. Meskipun demikian, terdapat kontraindikasi perawatan tersebut untuk beberapa kondisi sebagai berikut.

1. Bila kerusakan luas jaringan periapikal yang melibatkan lebih dari sepertiga panjang akar. Semakin besar kerusakan tulang, semakin sulit penyembuhannya.

2. Bila bentuk saluan akar terlalu bengkok dan adanya pulp stone yang tidak dapat diambil atau dihindari, saluran akar yang mengalami kalsifikasi, serta gigi malformasi

3. Bila apeks belum tertutup sempurna. Sebaiknya sebelum dilakukan perawatan saluran akar hendaknya dilakukan apeksifikasi

4. Bila apeks akar terkena fraktur

E. Penatalaksanaan kedaruratan endodontik akibat trauma 1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa.

1) Enamel infraction / fraktur kelas 1 Ellis

a. Tanda : Fraktur tidak sempurna berupa retakan pada email tanpa adanya kehilangan struktur gigi.

b. Perawatan : Bila retakan email hanya pada area yang kecil, tepi email dihaluskan dan diberi aplikasi fluoride. Tetapi bila retakan melibatkan area yang lebih besar lebih dari satu garis retakan, harus diberi seal unfilled resin dengan teknik etsa asam untuk menghindari stain makanan atau minuman (Andreasen dkk., 2003). Jika disertai luksasi, maka diperlukan perawatan splinting.

2. Uncomplicated crown fracture / fraktur kelas 2 Ellis

a. Tanda : Fraktur yang mengenai mahkota dan dentin tetapi pulpanya tidak terbuka

(Walton dan Torabinejad, 2001). Dentin yang terbuka menimbulkan nyeri karena sensitif terhadap perubahan suhu, dan bila dentin yang tersisa tinggal sedikit maka akan tampak bayangan pulpa yang berwarna merah muda. Terbukanya tubulus dentinalis dapat menyebabkan jalan masuk bagi bakteri maupun iritan termal dan kimiawi sehingga dapat mengakibatkan inflamasi pulpa (Ingle dan Bakland, 2002).

b. Perawatan : Dentin yang terbuka sebaiknya dilindungi dengan semen zinc oxide

eugenol atau kalsium hidroksida. Pada email diberi bonding etsa asam dan tumpatan resin komposit. Jika disertai luksasi, maka diperlukan perawatan splinting. Kontrol vitalitas diperlukan 6 hingga 8 minggu setelah perawatan.

(11)

(Andreasen dkk, 2003; Grossman, dkk, 1995). Menurut Ingle dan Bakland (2002), jika fragmen patahan dari mahkota masih ada akan sangat menguntungkan jika fragmen tersebut dipasang kembali pada gigi melalui agen bonding dentin.

3. Complicated crown fracture / fraktur kelas 3 Ellis

Fraktur email dentin yang melibatkan pulpa. Biasanya ditandai dengan adanya kemerahan, sianotik, atau iskemik pada pulpa dengan perdarahan karena pembentukan jaringan granulasi, serta adanya sensitivitas terhadap perubahan suhu (Andreasen dkk., 2003). Pada fraktur jenis ini, kondisi gigi dapat vital atau non vital tergantung keterlibatan pulpa yang mengalami nekrosis. Pada complicated crown fracture terdapat lima pilihan perawatan, yaitu kaping pulpa, partial pulpotomy,

conventional pulpotomy, pulpektomi dan ekstraksi, tergantung vitalitas dan keterlibatan pulpa yang mengalami inflamasi atau bahkan nekrosis serta lama waktu keterpaparan pulpa sejak trauma. Indikasi setiap perawatan untuk complicated crown fracture adalah sebagai berikut.

1. Kaping pulpa

Perawatan untuk pulpa tertutup atau terbuka dengan kondisi vital. Jika kondisi pulpa terbuka, maka syaratnya adalah lama waktu keterpaparan pulpa < 24 jam, dengan kedalaman pulpa yang terlibat < 1 mm.

2. Pulpotomi parsial

Perawatan untuk pulpa terbuka dengan kondisi vital. Indikasi pulpotomi adalah lama waktu keterpaparan pulpa > 24 jam, dengan kedalaman pulpa yang terlibat > 1 mm dan inflamasi hanya terjadi pada daerah pulpa yang terbuka.

3. Pulpotomi konvensional

Perawatan untuk pulpa terbuka dengan kondisi vital. Indikasi pulpotomi adalah jika keterlibatan pulpa mencapai 50%, serta terdapat kegagalan pada perawatan pulpotomi parsial.

4. Pulpektomi

Perawatan untuk kondisi pulpa non vital, dan pada struktur gigi memungkinkan dilakukan restorasi pasca perawatan saluran akar. Namun jika ujuang akar gigi masih terbuka hendaknya dilakukan apeksifikasi terlebih dahulu. Indikasi perawatan pulpektomi pada anak adalah gigi yang dapat direstorasi, anak dengan

(12)

keadaan trauma pada gigi insisivus decidui dengan kondisi patologis, tidak ada gambaran patologis dengan resorpsi akar tidak lebih dari dua pertiga atau tiga perempat (Kennedy, 1992).

5. Ekstraksi gigi

Perawatan pada gigi non vital yang tidak memungkinkan dilakukan perawatan endodontik karena struktur gigi yang hilang terlalu banyak, untuk meminimalisir meluasnya infeksi ke jaringan periodontal, serta trauma telah melibatkan kerusakan jaringan periodontal.

Berikut penatalaksanaan complicated crown fracture berdasarkan vitalitas pulpa. 1. Complicated crown fracture dengan kondisi pulpa vital

a. Diagnosis : Observasi kondisi pulpa dengan tes vitalitas menunjukkan vitalitas pulpa positif (Ingle dan Bakland, 2002). Adanya hemoragi pada area dimana pulpa terbuka.

b. Perawatan : Pada pulpa terbuka harus segera dilakukan perawatan dengan bahan kaping untuk memacu pembentukan dentin barrier atau dentinal bridge. Bahan yang disarankan sebagai kaping kalsium hidroksida dan MTA (Mineral Trioxide Agregate). Menurut Grossman dkk. (1995) perawatan dengan pulpotomi lebih dianjurkan daripada kaping pulpa. Pulpotomi yang dipilih dalam perawatan pulpa vital adalah pulpotomi parsial, untuk menghidari pembuangan jaringan pulpa sehat terlalu ekstensif hingga servikal (Ingle dan Bakland, 2002). Pada dentin yang terbuka, diberi semen ionomer kaca atau kalsium hidroksida hard-setting. Pemeriksaan radiograf 6-12 bulan kemudian untuk melihat pertumbuhan dentinal bridge.

c. Prognosis : Jika gigi yang mengalami fraktur mahkota disertai luksasi gigi, kesembuhan pulpa akan terganggu. Semakin lama pulpa terbuka tanpa dilindungi maka prognosis vitalitas pulpa memburuk (Ingle dan Bakland, 2002).

2. Complicated crown fracture dengan kondisi pulpa non vital

a. Diagnosis : Hilangnya struktur mahkota gigi disertai pulpa gigi yang terbuka. Terdapat sedikit perdarahan karena pulpa yang terbuka. Proliferasi jaringan

(13)

lunak (pulp polyp) dapat terjadi ketika perawatan untuk gigi permanen muda terlambat dilakukan. Tes vitalitas pulpa menunjukkan vitalitas negatif.

b. Perawatan : Pada gigi non vital, harus perawatan yang dilakukan adalah pulpektomi kemudian dilanjutkan dengan pengisian saluran akar. Pada gigi dengan ujung akar masih terbuka, hendaknya dilakukan apeksifikasi terlebih dahulu (Ingle dkk., 2008).

2. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar. 1) Fraktur akar

Fraktur horizontal yang memanjang melibatkan enamel, dentin, sementum,

dan pulpa.

Fraktur akar akan menghasilkan bagian baru dari akar, yang disebut fragmen

(Tsukiboshi, 2000). Fraktur akar biasanya disebabkan oleh horizontal impact atau benturan dengan arah horizontal. Benturan yang keras akan menghasilkan gaya yang mendorong fragmen koronal ke arah palatal dan pada posisi sedikit ekstrusi. Pada kondisi seperti ini pulpa kemungkinan besar teregang, tapi kondisinya bisa parah maupun tidak tergantung dari sifat elastisitasnya (Andreasen, 2008).

Fraktur akar dapat disertai nekrosis pulpa maupun tidak disertai nekrosis pulpa. Pada fraktur akar yang disertai nekrosis pulpa, ada dua tipe dari nekrosis pulpa: 1) yang disebabkan karena keparahan pulpa diantara bagian akar yang patah (nekrosis pulpa hanya terjadi pada bagian koronal) dan 2) yang disebabkan karena kerusakan vaskular di daerah apikal (nekrosis pada seluruh pulpa) (Tsukiboshi, 2000). a. Diagnosis :

Selain dari penampakan klinis, diagnosis dari fraktur akar horizontal ditegakkan melalui pemeriksaan radiografis.

 Gejala :

Pada fraktur akar akan terjadi kegoyahan gigi atau perubahan posisi yang disertai rasa nyeri ketika menggigit. Pada umumnya gejalanya ringan, jika kegoyahan atau berubahnya letak mahkota gigi ringan saja atau tidak ada, pasien bisa tidak mengeluhkan apa-apa dan mungkin tidak mencari perawatan.

(14)

 Penampakan klinis :

Gigi dengan fraktur akar intraalveolar akan sedikit terlihat mengalami dislokasi. Garis fraktur cenderung lebih koronal pada aspek labial, lebih luas ke apikal pada aspek lingual, dengan fragmen koronal gigi biasanya berpindah lebih ke lingual. Apabila dilakukan tes perkusi, maka gigi akan menunjukkan sedikit mobilitas. Terkadang timbul perdarahan pada sulkus gingiva. Mahkota klinis terkadang mengalami diskolorisasi. Fraktur yang makin ke servikal, maka makin berubah letak segmen koronalnya dan makin besar kemungkinan adanya nekrosis pada segmen tersebut.

 Pemeriksaan radiografis :

Terdapat garis radiolusen antara segmen yang terpisah pada akar setelah trauma terjadi. Jika terjadi kontaminasi bakteri pada segmen koronal, akan terlihat periradikuler radiolusen pada tulang di daerah fraktur. Bila nantinya pasca perawatan yang berhasil, segmen koronal kembali vital, akan terlihat kalsifikasi secara radiografi.

b. Perawatan

Perawatan (pembuatan splint) pada fraktur akar merupakan indikasi apabila segmen koronalnya mengalami kegoyahan. Fraktur akar di daerah apeks dan sepertiga tengah pada umumnya tidak memerlukan perawatan segera tetapi harus diobservasi untuk waktu yang lama (Walton dan Torabinejad, 2003).  Fraktur akar horizontal dengan garis fraktur yang tidak berhubungan

dengan rongga mulut :

Semua kasus fraktur akar horizontal dengan garis fraktur yang tidak berhubungan dengan rongga mulut sebaiknya dirawat dengan asumsi pulpa tidak mengalami kerusakan irreversible. Perawatan endodontik sebaiknya tidak dilakukan pada waktu awal, bahkan apabila tidak ada respon positif tes sensitivitas pulpa sebagaimana biasa ditemui pada gigi yang mengalami fraktur akar.

 Fraktur akar horizontal dengan garis fraktur yang berhubungan dengan rongga mulut :

(15)

Pemeriksaan awal (initial assessment) harus dibuat untuk mengetahui apakah garis fraktur melibatkan rongga mulut sehingga menyebabkan gerakan gigi saat pengunyahan serta resesi gingiva. Apabila hal tersebut terjadi maka sebaiknya fragmen koronal dikeluarkan dan sisa akar dipertimbangkan, apabila gigi akan dipertahankan maka sebaiknya dilakukan perawatan endodontik.

Terapi awal untuk fraktur akar adalah dengan reposisi segmen korona di tempatnya semula jika terjadi perubahan letak gigi, dan menstabilkannya dengan pemasangan splint. Reposisi fraktur akar secara akurat pada awal penanganan dapat mengurangi kemungkinan nekrosis pulpa. Reposisi dapat dilakukan dengan hanya menggunakan tekanan jari dan mengembalikan ke lengkung yang benar atau bisa juga lebih rumit sehingga diperlukan perawatan ortodonsia. Ketika segmen korona telah kembali ke tempatnya semula, tindakan selanjutnya yaitu menstabilkannya agar jaringan periodontal dapat mengalami perbaikan. Pemasangan splint harus memadai sehingga terjadi kalsifikasi secara internal di rongga pulpa maupun eksternal melintasi garis fraktur. Pemasangan splint yang direkomendasikan adalah splint yang non rigid dan atraumatik yaitu sampai 4

minggu, kecuali pada fraktur molar ketiga yang membutuhkan splinting hingga 4 bulan. Jika terjadi perbaikan jaringan dan pulpanya tidak menjadi nekrosis, gigi yang mengalami fraktur akar tidak memerlukan perawatan saluran akar (Walton dan Torabinejad, 2003).

 Fraktur akar horizontal yang dangkal (shallow root fracture) :

Pada shallow root fracture, jika sisa akar dianggap cukup kuat untuk mendukung mahkota prostetik, maka akar harus diekstrusikan baik secara

(16)

bedah maupun secara ortodontik. Akar yang pendek merupakan indikasi dilakukan ekstraksi. Jika ekstraksi dipilih, maka pengembalian estetis dan fungsional dapat dilakukan dengan autotransplantasi, implan, gigi tiruan cekat ataupun penutupan celah secara ortodontik. Secara umum, semakin dekat fraktur akar ke arah servikal semakin lama waktu perawatan yang dibutuhkan.  Fraktur akar horizontal yang dalam (deep root fracture) :

Pada deep root fracture sebaiknya fragmen patahan direposisi dan dilakukan splinting dengan bantuan gigi sebelahnya. Untuk membantu penyembuhan pulpa dan ligamen periodontal, segmen koronal dan apikal di reposisi sedekat mungkin menggunakan splint rigid pada permukaan bukal. Posisi splint sebaiknya dievaluasi secara radiograf. Perawatan dengan splint bukal ini sebaiknya berlangsung selama 2 sampai 4 bulan. Namun apabila waktu injuri terlalu lama, akan lebih sulit mereposisi segmen koronal dengan segmen apikal.

 Fraktur akar dengan fragmen apikal yang mengalami nekrosis :

Pada kasus dengan fragmen apikal yang mengalami nekrosis dengan ditandai adanya radiolusen periapikal, perawatan dilakukan dengan root filling pada fracture site dan mengambil fragmen apikal, atau root filling dengan melibatkan fragmen apikal.

c. Follow-up

Selama 3 bulan apabila terlihat adanya tanda-tanda nekrosis pulpa maka prosedur perawatan endodontik harus segera dilakukan. (Tsukiboshi, 2000). Apabila nekrosis pulpa berkembang, dilakukan perawatan temporary root canal filling dengan kalsium hidroksida selama 4-6 bulan diikuti pengisian saluran akar dengan gutta percha atau MTA pada area fraktur tersebut.

3. Kerusakan pada jaringan periodontal. 1) Luksasi gigi

Luksasi gigi biasa terjadi karena trauma pada gigi dan struktur jaringan pendukungnya dan merusak suplai vaskular dan persarafan pada gigi tersebut.

(17)

Luksasi biasa dikenali karena adanya mobilisasi gigi dari soket. Berbagai tipe luksasi dapat diidentifikasi yaitu tipe konkusi, subluksasi, luksasi ekstrusif, luksasi lateral, dan luksasi intrusi (Walton, 2009).

a. Diagnosis

 Tes vitalitas :

Luksasi dapat didiagnosis dengan berbagai cara, terutama dengan tes vitalitas pulpa. Pada luksasi tipe konkusi gigi biasanya merespon dan masih dalam keadaan vital karena luka tidak terlalu merusak suplai darah dan persarafan pada ruang pulpa. Sedangkan pada tipe subluksasi, luksasi ekstrusif dan intrusi serta luksasi lateral, karena trauma yang terjadi lebih besar sehingga respon vitalitas biasanya absen dan gigi dalam keadaan non vital. Tetapi dalam kasus luksasi kontrol vitalitas pulpa tetap harus dijalankan dalam hitungan bulan untuk memonitoring perkembangan gigi pasca perawatan.  Penampakan klinis :

Perubahan warna pada gigi luksasi dapat terjadi pada awal terjadinya trauma, seperti cenderung berubah kemerahan. Apabila pulpa mengalami nekrosis gigi akan menjadi keabu-abuan. Atau apabila terjadi kalsifikasi maka akan menguning atau kecoklatan. Perubahan warna juga bersifat reversible, sesaat setelah trauma terjadi hingga setelah dilakukan perawatan, menandakan bahwa gigi masih vital.

 Pemeriksaan radiograf :

Penting dilakukan pemeriksaan dengan radiografi untuk melihat kondisi pulpa dan jaringan pendukung sekitar gigi, baik pada saat sebelum perawatan untuk menunjang diagnosis juga setelah perawatan dijalankan untuk memantau perbaikan jaringan. Pasca perawatan luksasi, pulpa gigi dipantau apabila terjadi penyempitan rongga saluran akar atau terjadi metamorfosis kalsifikasi atau obliterasi sebagai dampak dari trauma. Demikian dengan tulang pendukung, terdapat kecenderungan untuk terjadi resorpsi tulang pada daerah periradikular

(Walton, 2009). b. Perawatan

(18)

Semua luksasi dapat menyebabkan kerusakan pada ligament periodontal dan juga pulpa. Sehingga perawatan langsung yang dapat dilakukan adalah mencegah kerusakan jaringan periodontal dan mencegah resorpsi akar serta memungkinkan penyembuhan terbaik. Pada dasarnya, perawatan pada luksasi gigi terdiri dari:

1. Reposisi gigi jika diperlukan.

2. Menstabilkan gigi, jika gigi tersebut goyah dan membutuhkan perbaikan jaringan periodontal.

3. Evaluasi kondisi pulpa, dan lakukan perawatan endodontik jika terjadi pulpa nekrosis.

Ketika mediagnosis luksasi gigi, sangatlah penting mempertimbangkan perkembangan dari apeks. Jika apeks masih terbuka, ada kemungkinan bahwa pulpa dapat bertahan ketika mendapat trauma atau terjadi revaskularisasi sehingga memungkinkan berlanjutnya pertumbuhan gigi tersebut. Jika apeks gigi sudah menutup, maka gigi pasca terkena trauma perlu dilakukan perawatan endodontik. Dilakukan penempatan kalsium hidroksida selama dua sampai empat minggu sebelum dilakukan obturasi.

Perawatan yang paling penting untuk semua tipe luksasi adalah ”mengistirahatkan” gigi, dengan melakukan splinting dan menghindari gigi dari tekanan pengunyahan sehingga dapat membantu percepatan kesembuhan jaringan dan mengurangi rasa sakit. Untuk kasus dengan perpindahan gigi maka harus dilakukan reposisi, yaitu untuk ekstrusi dan intrusi. Perawatan kasus intrusi bervariasi bergantung pada perkembangan akar gigi dan beratnya intrusi yang terjadi. Ada 3 cara perawatan intrusi yaitu reposisi pasif, reposisi secara bedah dan reposisi dengan ortodontik yang disebut sebagai reposisi aktif. Indikasi reposisi pada gigi intrusi bergantung pada derajat keparahan intrusi yaitu sebagai berikut. Tabel 1. Derajat keparahan intrusi dan pertumbuhan akar

Derajat intrusi Apeks terbuka Apeks tertutup Ringan (<3mm) RP RP setelah 2-3minggu RO

Sedang(3-6mm) RP RB atau RO

Berat (>6mm) RP RB

(19)

Ketika gigi imature mengalami intrusi sebesar 7 mm, direkomendasikan untuk menunggu selama 3 minggu untuk melihat ada tanda – tanda re-erupsi. Jika tidak ada tanda – tanda yang muncul, maka dapat dimulai perawatan orthodontic repositioning. Untuk intrusi lebih dari 7 mm, dilakukan reposisi bedah atau ortodontik dalam 3 minggu.

Splinting gigi luksasi hanya direkomendasikan untuk gigi yang masih bergerak setelah reposisi. Dalam semua jenis kasus trauma, splinting harus memungkinkan pergerakan fisiologis. Waktu pemakaian splinting tergantung dari kerusakan yang diterima oleh gigi dan jaringan pendukung, untuk ekstrusi sekitar 2 minggu, sedangkan intrusi yang melibatkan fraktur tulang hingga 4 minggu.

Gigi luksasi dengan nekrosis pulpa menjadi indikasi perawatan saluran akar. Bersihkan saluran akar dan sterilkan untuk meminimalisir kemungkinan infeksi dari bakteri pada pulpa pasca terjadi trauma. Evaluasi dengan radiografis untuk melihat kondisi pulpa pasca perawatan saluran akar dan juga struktur jaringan pendukungnya.

(Walton, 2009; Punta & Manulang, 2013). 2) Avulsi gigi

Gigi avulsi adalah keadaan dimana terjadi kerusakana perlekatan gigi dengan jaringan periodontal, gigi terpisah dari soketnya karena robeknya ligament periodontal dengan menyisakan sedikit sel-sel ligamen periodontal yang masih hidup di permukaan akar. Pada gigi yang avulsi akan terjadi nekrosis pulpa. Tujuan penanganan avulsi gigi adalah mereplantasikan gigi serta meminimalisir kerusakan gigi dan memaksimalkan jumlah sel ligament periodontal yang memilliki potensi melakukan regenerasi pada permukaan akar (Trope, 2007).

I. Kunjungan pertama (penanganan emergensi) a. Diagnosis

 Pemeriksaan subjektif :

Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan kronologis kejadian dan keadaan pasien. Apabila pasien datang dengan gigi yang sudah dimasukkan kembali ke soket, gigi harus dikeluarkan kembali untuk persiapan perawatan yang dilakukan. Namun jika pasien datang dengan

(20)

gigi yang terlepas, media penyimpanan gigi harus dievaluasi dan dipindahkan ke media penyimpanan yang tepat.

 Pemeriksaan klinis :

Meliputi pemeriksaan soket apakah dapat dilakukan replantasi atau tidak, dipalpasi bagian fasial dan lingualnya. Soket dibersihkan dengan saline, jika sudah bersih dapat dilihat keadaan dinding soketnya. Palpasi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya frakur pada tulang alveolar. Pemeriksaan jaringan disekitar doket juga perlu dilakukan dan radiografi. b. Perawatan

1. Preparasi akar gigi

Preparasi akar gigi tergantung pada kematuran gigi (apeks terbuka atau tertutup) dan waktu kering dari gigi sebelum disimpan dalam media. a. Extraoral dry time < 60 menit

Gigi sudah mengalami extraoral dry time kurang dari 60 menit, diduga periodontal masih bertahan dan masih terdapat kesempatan untuk terjadi proses healing. Untuk gigi dengan apeks tertutup akar harus dibersihkan dari debris menggunakan air atau saline. Gigi dengan apeks tertutup setelah direplantasi tidak aka terjadi revaskularisasi. Sedangkan untuk gigi dengan apeks terbuka masih memungkinkan terjadinya revaskularisasi. Sebelum replantasi gigi apeks terbuka direndam dalam larutan doxycycline untuk meingkatkan terjadinya revaskularisasi dan dibersihkan dari debris menggunakan saline. b. Extraoral dry time > 60 menit

Gigi avulsi yang telah mengalami extraoral dry time lebih dari 60 menit, sel-sel periodontalnya tidak dapat bertahan. Oleh karena itu gigi avulsi yang akan direplantasi harus dipertahankan dari resorbsi. Sebelum dreplantasi gigi direndam dalam larutan asam untuk menghilangkan ligament periodontal dan jaringan yang dapat memicu terjadinya inflamasi. Setelah itu gigi direndam dalam larutan stannous flouride selama 5 menit dan direplantasi. Prosedur ini hanya dapat dilakukan pada gigi dengan apeks tertutup, sedangkan gigi dengan apeks terbuka tidak disarankan untuk dilakukan replantasi.

(21)

2. Preparasi soket

Soket harus dibebaskan dari hal-hal yang menghalangi dilakukannya replantasi, yaitu dibersihkan dari jendalan darah dan serpihan tulang alveolar akibat trauma.

3. Splinting

Teknik splinting yang dilakukan harus memungkinkan terjadinya pergerakan fisiologis dari gigi selama proses penyembuhan. Fiksasi semi rigid dilakukan selama 7-10 hari. Splint tidak boleh melukai gingiva. Splint dapat dilepas setelah 7-10 hari, tetapi apabila avulsi disertai fraktur, splint dilakukan selama 4-8 minggu.

4. Perawatan jaringan lunak

Avulsi gigi karena trauma dapat disertai luka pada

jaringan lunak seperti laserasi jaringan. Seluruh luka yang ada harus dibersihkan dan disuturing.

5. Perawatan tambahan

Perawatan setelah dilakukannya replantasi adalah pemberian antibiotik. Bertujuan untuk mencegah invasi bakteri pada pulpa yang nekrosis dan resorpsi karena inflamasi.

II. Kunjungan kedua

Kunjungan kedua sebaiknya dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah penanganan emergensi. Fokus pada kunjungan kedua ini adalah pencegahan atau eliminasi iritan yang berpoensi dari ruag saluran akar. Jika iritan ini ada, maka terdapat stimulus atau rangsangan untuk progresi dari respon inflamasi dan resorpsi akar

(22)

dan tulang. Pada kunjungan ini sudah cukup diberikan antibiotik sistemik, pemberian chlorhexidine dihentikan dan splint diambil.

1. Observasi dan perawatan endodontik a. Ekstra oral <60 menit

 Apeks tertutup

Jika terapi ini dilakukan pada waktu yang optimum, ruang pulpa maka akan bebas dari infeksi atau paling banyak hanya terdapat infeksi minimal. Terapi ini dilakukan dengan mengambil kortiksteroid yang terdapat di saluran akar dan mengganti nya dengan campuran krim yang terdiri dari kasium hidroksida. Terapi dengan kalsium hidrosida dalam jangka waktu yang lama merupakan metode perawatan yang baik. Hal ini dapat memberikan manfaat bagi dokter gigi untuk dapat memberikan bahan pengisi saluran akar temporary hingga ruang ligamen periodontal dapat terisi penuh. Perawatan jangka panjang menggunakan kalsum hidrosida direkomendasikan ketika luka terjadi lebih dari 2 minggu sebelum dimulai perawatan endodontik atau jika pada hasil radiografi terlihat resorpsinya.

 Apeks tertutup, < 60 menit dry time

Gigi dengan apeks tebuka memiliki potensi untuk merevitalisasi dan melanjutkan perkembangan akar dan perawatan awal secara langsung diberikan untuk mengembalikan suplai pembuluh darah. Inisiasi perawatan endodontik dicegah jika ditemukan tanda nekrosis pulpa, seperti inflamasi peri radicular. Diagnosis vitalitas pulpa dapat secara ekstrim berubah pada kasus ini. Setelah trauma, diagnosis secara akurat, yaitu nekrosis pulpa sangat penting, karena kerusakan cemental mempengaruhi kerusakan trauma, infeksi pada gigi ini bisa semakin berbahaya. Inflamasi ekstenal resorpsi akar dapat secara ekstrim meningkat pada usia muda, karena tubulusnya masih lebar dan membuat iritan bergerak bebas ke arah permukaan eksternal akar. Pasien datang kembali seiap 3-4 kali untuk dilakukan uji sensitivitas

(23)

b. Ekstra oral <60 menit

 Apeks tertutup (<60 menit dry time)

Pada kondisi ini diberikan perawatan endodontik yang sama seperti gigi pada kasus ekstra oral dengan waktu <60 menit

 Apeks terbuka (jika direplantasi)

Prosedur apeksifikasi dilakukan jika ada kunjungan kedua perawatan saluran akar tidak dilakukan pada kunjungan. Jika endodontik telah dilakukan pada kunjungan emergensi, maka kunjungan kedua adalah kontrol untuk melihat dan mengecek proses penyembuhannya.

2. Restorasi sementara

Setelah dilakukan perawatan saluran akar, maka diberikan tumpatan sementara. Hasil ini nanti harus dicek pada hari ke 7-10

3. Root-filling visit

Pada hari ke 7-10 pasien kembali ke dokter gigi untuk dilihat terjadi iritasi atau tidak. Jika ditemukan adanya iritasi, maka harus dilakukan irigasi dan obturasi kembali.

4. Restorasi permanen

Setelah dilakukan irigasi dan obturasi, maka diberikan tumpatan permanen. 5. Managemen komplikasi

Follow-up evaluasi dilakukan 3 bulan, 6 bulan dan 5 tahun.

F. Penatalaksanaan flare up endodontik 1. Definisi flare up

Flare up adalah keadaan terjadinya rasa nyeri, pembengkakan, atau kombinasi keduanya selama rangkaian perawatan saluran akar. Rasa sakit mungkin terjadi segera setelah perawatan endodontik awal pada gigi yang asimtomatik atau tidak berapa lama setelah perawatan kegawatdaruratan endodontik awal atau selama rangkaian perawatan (Shetty, 2005).

Kedaruratan antar kunjungan disebut juga sebagai flare up yaitu suatu kedaruratan murni yang membahayakan sehingga memerlukan perawatan dengan segera. Kedaruratan antar kunjungan ini adalah peristiwa yang tidak diinginkan dan sangat mengganggu serta harus segera ditangani (Walton and Torabinejad, 2002). Keadaan darurat endodontik dapat

(24)

terjadi setelah dilakukan obturasi. Sekitar sepertiga pasien endodontic mengalami nyeri setelah obturasi.

2. Etiologi flare up

Ketidaknyamanan pasca obturasi diperkirakan disebabkan oleh iritasi periapikal akibat material obturasi, penambalan mahkota yang tidak baik, oklusi yang mengganjal (ada kontak prematur), semen saluran akar masuk ke jaringan periapikal dan pengisian saluran akar berlebih sehingga menyebabkan inflamasi jaringan periapikal (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).

3. Penanganan kedaruratan pasca obturasi

Jika timbul rasa tidak nyaman pada gigi setelah dilakukan obturasi, sebaiknya dilakukan pengecekan oklusinya dan pengisian saluran akar dievaluasi kembali. Pertolongan bagi kasus darurat adalah pemberian analgetik ringan untuk mengurangi rasa sakit dan tingkat kecemasan pasien. Bila terjadi komplikasi serius dan memerlukan tindak lanjut, perawatan ulang diindikasikan pada kasus nyeri persisten yang perawatan terdahulunya tidak memadai, misalnya pada saluran akar yang obturasinya berlebih atau tidak tepat atau pengisiannya tidak hermetis. Jika nyeri tidak kunjung reda tetapi tanpa pembengkakan, maka dilakukan bedah apikal. Pasien yang mendapat perawatan saluran akar yang baik tetapi mengalami pembengkakan setelah obturasi, hendaknya dirawat dengan insisi dan drainase kemudian diberi antibiotika dan analgetik, biasanya kasus ini pulih tanpa perlu perawatan lanjutan. Kadang-kadang pasien mengatakan adanya sakit yang hebat, tetapi tidak terlihat pembengkakan dan perawatan saluran akar diselesaikan dengan baik. Untuk pasien-pasien ini bisa dilakukan pemberian analgetik dan ditenangkan, sering gejala reda dengan sendirinya (Grossman, 1988; Walton dan Torabinejad, 2002).

(25)

BAB IV KESIMPULAN

Trauma gigi merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena sebab mekanis seperti kontak yang keras dengan suatu benda secara tidak sengaja. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan fraktur fragmen gigi, yaitu mahkota, akar atau jaringan periodontal, kegoyahan gigi (luksasi) serta lepasnya gigi dari soketnya (avulsi). Fraktur pada gigi dapat menyebabkan masuknya iritan bakteri ke dalam gigi sehingga menyebabkan inflamasi bahkan infeksi yang menyebabkan rasa nyeri, sehingga merupakan indikasi perawatan kedaruratan endodontik untuk meminimalisir terjadinya kerusakan jaringan gigi yang lebih parah.

Pada perawatan kedaruratan endodontik, klinisi harus dapat menggali informasi dari pasien serta terampil dalam mendiagnosis secara efisien, sehingga dapat menentukan perawatan dengan tepat dan efektif. Pada kasus yang melibatkan kegoyahan gigi seperti luksasi, fraktur akar, dan avulsi, selain perawatan endodontik diperlukan tindakan splinting untuk imobilisasi gigi. Pada dasarnya, seluruh perawatan harus diobservasi mengani kondisi vitalitas gigi. Jika hasil observasi yang menunjukkan bahwa gigi non vital, maka diperlukan perawatan saluran akar. Meskipun demikian, perawatan saluran akar memiliki kontraindikasi pada gigi imatur dengan apeks terbuka, mengingat kasus trauma gigi memiliki insidensi yang tinggi pada gigi decidui, sehingga dibutuhkan perawatan apeksifikasi terlebih dahulu. Perawatan saluran akar pada penanganan kedaruratan dapat mengakibatkan flare up, sehingga diperlukan penanganan rasa nyeri dan observasi saluran akar untuk tindakan selanjutnya.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Andreasen et al, 2003, Conservative and Aesthetic Emergensi Management In SciELO. Int. J.Odontostomat. 6(1):27-32:107

Andreasen, J.O., Andreasen, F.M., Andersson, L., 2003, Textbook and Color Atlas of Traumatic Injuries to the Teeth, 4th ed., John Wiley & Sons, New Jersey

Berman dkk, 2006, Dental Traumatology, Mosby Elseiver, Philadelphia

Cameron, A.C. and Widmer, R. P., 2003, Handbook of pediatric dentistry. 2nd edition, Mosby, Philadelphia

Dorland, W. A. N., 2002, Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed., Terjemahan H. Hartanto dkk., EGC, Jakarta

Ekaneyake, L. and Parera, M., 2008, Pattern of Traumatic dental injuries in children attending the university dental hospital, Dental traumatology, 24: 471-474.

Ellis. R.G., 1960, The classification and treatment of injuries of the teeth of children, 4th ed, Year book Publisher, Chicago

Finn, S.B, 2003, Clinical pedodontics. 4th ed., W. B. Saunders Company, Philadelphia Garg, N., Garg, A., 2014, Textbook of Endodontic, Jaypee Brothers, New Delhi, hal.335 Grossman dkk, 1995, Skeletal Trauma, CRC Press, Boca Raton

Grossman, L.I., Oliet, S. and Del Rio, C.E., 1988, Endodontics Practice, 11th ed., Lea & Febiger, Philadelphia

Ingle dan Bakland, 2002, Preprosthetic and Maxillofacial Surgery, Woodhead, USA

Kennedy, D. B, 1992, Konservasi Gigi Anak. Diterjemahkan dari Paediatric Operative Dentistry oleh N. Sumawinata dan S. H. Sumartono. EGC, Jakarta.

Rao, Arathi., 2008, Principles and Practice of Pedodontics, Jaypee Brothers, New Delhi

Seymour, O., 1981, Diagnosis and treatment of endodontic emergencies, Quintessence, Chicago Trope, M., 2002, Clinical Management of the Avulsed Tooth: Present Strategies and Future

Directions, Dental Traumatology, 18: 1-11

Trope, Martin, 2011, Avulsion of permanent teeth: theory to practice, Dental Traumatology, 27: 281–294.

Tsukiboshi, M., 2000, Treatment Planning for Traumatized Teeth, Quintessence Publishing Company, Chicago

(27)

Walton, R. and Torabinejad, M., 2002. Principle and Practice of Endodontics. 2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders Co.

Walton, Richard E, 2009, Endodontics: Principles and Practice, Missouri, Sanders Elsevier. Wamsley dkk, 2007,Emergensi management, USA:PERI.

Wei, S. H. 1988. Pediatric dectistry: total patient care. Philadelphia: Lea & Febiger Welbury, R., dkk., 2012, Pediatric Dentistry, Oxford University Press, London

World Health Organization. Application of the International. Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology. (ICD-DA). Geneva: World Health Organization,1978:88-89. www.aae.org/uploadedfiles/publications_and_research/newsletters/endodontics_colleagues_for_

excellence_newsletter/ecfe_summer2014 final.pdf diakses pada tanggal 25 November 2014 pukul 21.30 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, variabel independen yang akan digunakan adalah profitabilitas, struktur aktiva, pertumbuhan penjualan, likuiditas, operating leverage dan

1) Mengembangkan rancangan konsep metode dan media baru yang akan dikembangkan berupa diari makanan untuk memantau dan menilai konsumsi makanan serta memberikan pendidikan gizi

Faktor Ukuran, Pertumbuhan, Risiko Keuangan, Struktur Aktiva dan Non Debt Taxes Shield Perusahaan Terhadap Struktur Modal Pada Bursa Efek Enam Negara Asean. 1.2

Ketika user masuk sebagai admin dan menekan login telah disetujui dari masuk pakar, maka akan tampil halaman yang berisi input penyakit, input gejala, input relasi, ubah

Berita Acara Pemeriksa-an yang ditandatanga ni oleh petugas kehutanan yang berwenang untuk penerimaan kayu bulat dari hutan negara, dilengkapi dengan dokumen angkutan hasil

Analisis kebutuhan dilakukan dengan observasi dan wawancara guru kelas X SMA Xaverius Pringsewu, yaitu dengan menga- nalisis persentase jumlah siswa tidak lulus pada

HUBUNGAN POLA AKTIVITAS FISIK DAN POLA MAKAN DENGAN STATUS GIZI PADA PELAJAR PUTRI SMA.. KELAS 1 DI

neužankęs visas šlapimo latakas; (B) Urachus sinusas – nuo šlapimo pūslės šlapimo latakas užanka, bet lieka neužakusi jo dalis, atsiverianti į bambą; (C) Urachus