• Tidak ada hasil yang ditemukan

Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di Kabupaten Bantul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di Kabupaten Bantul"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

191

Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di Kabupaten Bantul

Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Mahasiswa Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan SPs UGM Jurusan Ilmu Komunikasi dan Sosiologi Fisipol UGM

Email: titiantin@yahoo.co.id

Abstract

Waste has become a national problem especially in big cities in Indonesia. Waste in large quantities not only causes environmental problems but also social problems, horizontal conflicts are often emerged due to waste. This encourages the need for a development communication approach to encourage the community to participate in managing waste properly from the source which is household. This research aims to know and analyze development communication approach developed by Bantul Local Government and Independent Waste Management Network (JPSM) “AMOR” in the activity of waste management literacy in order to make Bantul Clean from waste 2019 and Indonesia Free from waste 2020. Theory used is Communication Theory Development and Eco-literacy of the Fritjof Capra. The method used is descriptive qualitative with data collection method of; Interviews, observations, and focus group discussions. The result of the research shows that waste literacy based on formal and informal development communication approach synergizes between top-down and bottom-up which is dominated by interpersonal communication form. The level of literacy in the community varies from the low to the level of literate (waste-literate).

Keywords: waste literacy, development communication, JPSM

Abstrak

Sampah telah menjadi permasalahan nasional terutama di kota-kota besar di Indonesia. Timbulan sampah dalam jumlah besar tidak saja menimbulkan masalah lingkungan tetapi juga permasalahan sosial, konflik sosial sering terjadi akibat sampah. Hal tersebut mendorong perlunya pendekatan komunikasi pembangunan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi mengelola sampah dengan baik sejak dari sumbernya yaitu rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pendekatan komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dan Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) “AMOR” dalam aktivitas literasi pengelolaan sampah menuju Bantul Bersih Sampah 2019 dan Indonesia Bebas Sampah 2020. Teori yang digunakan adalah Teori Komunikasi Pembangunan dan Ekoliterasi dari Fritjof Capra. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data; wawancara, observasi, dan focus group discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa literasi sampah yang dilakukan berbasis pada pendekatan komunikasi pembangunan secara formal dan informal, mensinergikan antara top-down dan bottom-up yang didominasi oleh bentuk komunikasi antarpribadi. Tingkat literasi dalam masyarakat bervariasi dari yang rendah hingga ke level literate (melek sampah).

(3)

Pendahuluan

Keberadaan sampah oleh sebagian besar orang masih dipandang sebagai barang sisa yang harus dibuang dan tidak mempunyai nilai manfaat. Rendahnya tingkat kesadaran dan budaya masyarakat dalam pengelolaan sampah, penegakan regulasi tentang persampahan oleh pemerintah yang dirasa belum optimal, terbatasnya lahan untuk tempat pembuangan akhir serta paradigma masyarakat dalam memandang sampah sebagai barang sisa yang “bukan menjadi urusan saya” atau anggapan bahwa “alam dapat menyelesaikan dengan sendirinya” menjadi akar permasalahan belum terkelolanya sampah dengan baik. Volume sampah akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk. Sucipto (2012:11) menyebutkan bahwa jumlah timbulan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat pada tahun 2020, yaitu menjadi 2,1 kg per orang/hari dari sebelumnya pada tahun 2000, dan 0,8 kg perorang / hari di tahun tahun 2000 .

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Sampah dalam jumlah besar dan berada pada area terbuka, jika dibiarkan begitu saja akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan. Sampah juga melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (global warming). Secara sosial, keberadaan tempat pembuangan akhir sampah pun sering menjadi penyebab munculnya konflik. Keberadaan TPA sering ditolak warga karena menjadi penyebab pencemaran lingkungan dan menurunkan harga jual tanah atau perumahan di daerah yang dekat dengan TPA, sehingga untuk mencari lahan memerlukan tanah yang luas dan jauh dari permukiman warga.

Penanganan masalah sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, tetapi harus melibatkan semua elemen yaitu; masyarakat, pemerintah maupun swasta. Keberadaan kelompok-kelompok pengelolaan sampah berbasis masyarakat, maupun stakeholder lainnya diharapkan menjadi pendorong tercapainya

Indonesia Bebas Sampah di tahun 2020. Prinsip utama mengelola sampah yang benar adalah mencegah timbulan sampah, mengguna ulang sampah, dan mendaur ulang sampah, merupakan prinsip 3R yaitu reduce, reuse, dan recycle (http://www.menlh.go.id.).

Payung hukum tentang pengelolaan sampah sebenarnya sudah ada, namun sebagian besar masyarakat belum mengetahuinya apalagi mengimplementasikannya. Oleh karena itu sosialisasi tentang regulasi pengelolaan sampah menjadi penting untuk tercapainya masyarakat melek sampah, adapun regulasi terkait pengelolaan sampah tertuang dalam perangkat aturan berikut;

1) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

3) Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

4) Kabupaten Bantul tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah.

Untuk kondisi Kabupaten Bantul saat ini dengan jumlah penduduk 913.312 jiwa dan luas wilayah 506,85 km2, volume sampah yang dihasilkan per hari sebanyak 1.937,26 m3. Dari jumlah ini hanya sekitar 11,44 % atau 221,68 m3 saja yang dapat terangkut ke TPST Piyungan sebagai tempat pembuangan akhir sampah untuk wilayah Bantul, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sedangkan sampah yang tertinggal volumenya mencapai 1.715,58 atau 88,56 %. Dari sekian banyak sampah yang tidak terangkut, sebagian sampah-sampah tersebut dibuang secara ilegal di berbagai wilayah di Kabupaten Bantul. Hal ini menimbulkan masalah bagi pengelolaan sampah, karena selain mengganggu

(4)

193

kenyamanan juga dapat menimbulkan berbagai

dampak negatif bagi masyarakat di sekitar lokasi pembuangan (BLH, 2016).

Kondisi seperti ini sebenarnya telah menjadi perhatian para penggiat lingkungan di Kabupaten Bantul dengan mendirikan kelompok-kelompok pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat. Keberadaan kelompok-kelompok pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat seperti Bank Sampah, Sedekah Sampah, dan TPS3R ini menjadi alternatif pengelolaan sampah. Kelompok-kelompok pengelolaan sampah di Kabupaten Bantul tergabung dalam Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) “AMOR” atau Anggayuh Muyaning Wargo, saat ini JPSM telah berkontribusi mengurangi sampah di Kabupaten Bantul 20 – 30 %. Sampah organik diolah menjadi kompos sedangkan sampah anorganik seperti sampah plastik, botol, kertas, selain dijual ke pengepul juga didaur ulang menjadi barang-barang kerajinan seperti tas, dompet, taplak meja, bunga plastik, kap lampu, dan barang lainnya yang mempunyai nilai jual.

Keberadaan JPSM selain sebagai wadah untuk transfer informasi dan pengetahuan, juga sebagai motor penggerak perubahan paradigma masyarakat tentang sampah. Literasi sampah merupakan kegiatan komunikasi dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kecakapan seseorang dalam kegiatan mengelola sampah berdasarkan prinsip 3R secara sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah sejak dari sumbernya (rumah tangga), memilah dan mendaur ulang sampah yang dilakukan secara mandiri dan melibatkan peran serta masyarakat.

Terkait dengan pengelolaan sampah mandiri di Kabupaten Bantul, ada hal menarik yang menjadikan Bantul sebagai lokasi penelitian ini. Keberadaan kelompok pengelolaan sampah berbasis masyarakat mulai dirintis sejak tahun 2006 pasca peristiwa bencana alam gempa bumi yang melanda DIY. Bencana gempa bumi tersebut memporakporandakan sebagian besar wilayah Kabupaten Bantul, tidak hanya menimbulkan

banyak korban jiwa dan kerusakan bangunan, namun juga banyak meninggalkan sampah seperti sampah-sampah bekas reruntuhan bangunan, sampah plastik, kertas, styrifoam, serta sampah rumah tangga lainnya yang berserakan di mana-mana menimbulkan lingkungan kotor. Warga yang peduli lingkungan tergerak bangkit secara bergotong royong mencari solusi mengatasi sampah dengan cara mengumpulkan, memilah dan mendaur ulang sampah anorganik menjadi barang-barang yang dapat dipergunakan kembali. Selain peristiwa bencana alam, Kabupaten Bantul merupakan perintis berdirinya bank sampah di Indonesia. Bank Sampah pertama kali di rintis pada tahun 2008 oleh Bapak Bambang Suwerda di Dusun Badegan Bantul dengan nama Bank Sampah Gemah Ripah. Replika bank sampah ini kemudian menjadi percontohan nasional berdirinya bank sampah di Indonesia.

Kajian tentang pengelolaan sampah sebenarnya telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu seperti: Ilmu Lingkungan, Sosiologi, Tata Ruang Kota, Ilmu Kesehatan, dan lainnya. Namun, penelitian tentang pengelolaan sampah dengan pendekatan ilmu komunikasi sepanjang pengetahuan penulis belum ditemukan. Oleh karenanya penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang literasi pengelolaan sampah dari perspektif komunikasi pembangunan. Literasi pengelolaan sampah dibatasi pada bagaimana tingkat kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah. Komunikasi pembangunan dalam penelitian ini meliputi bentuk komunikasi dan media yang digunakan.

Literasi sampah pada dasarnya adalah pemberdayaan masyarakat melalui sampah. Masyarakat yang melek sampah atau paham tentang bahaya dan manfaat sampah, secara tidak langsung telah membangun masyarakat berkelanjutan. Masyarakat berkelanjutan adalah masyarakat yang membangun dan menata hidupnya secara bersama dengan bertumpu pada kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup, hidup selaras dengan alam sehingga akan melahirkan perilaku yang ramah lingkungan. Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini, Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di

(5)

Kesadaran ini oleh Capra disebut sebagai ekoliterasi atau melek ekologi (Keraf, 2014:125). Merujuk pada pemikiran Fritjof Capra (2003) tentang ekoliterasi (ecoliteracy) atau melek ekologi, bahwa melek ekologi merupakan sebutan yang digunakan untuk menggambarkan manusia yang sudah mencapai tingkatan kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup. Orang yang mencapai pada taraf ecolitercy merupakan orang yang sudah sangat menyadari betapa pentingnya lingkungan hidup, pentingnya menjaga dan merawat bumi, ekosistem, alam sebagai tempat tinggal dan berkembangnya kehidupan. Atas dasar dan digerakkan oleh inilah manusia menata pola dan gaya hidupnya menjadi pola dan gaya hidup yang selaras dengan lingkungan hidup (Keraf 2104:126-127).

Sebenarnya makna awal literasi berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis, atau disebut juga melek aksara, melek huruf, atau keberaksaraan. Menurut Rahardjo (2012:12) literasi berkaitan dengan upaya pengembangan kecakapan, peningkatan pengetahuan, dan perpaduan antara pengembangan kecakapan dengan peningkatan pengetahuan. Dalam lingkup pengembangan kecakapan, Adams & Potter yang dikutip Rahardjo (2012:13) mengatakan bahwa literasi dipahami sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, berpikir, dan menonton. Literasi merupakan suatu proses, kepekaan, dalam arti literasi seseorang tidak muncul begitu saja. Seorang dikatakan literate jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.

Berbicara tentang literasi tidak terbatas pada kemampuan baca tulis saja, tetapi telah berkembang semakin luas sehingga keberaksaraan tidak lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies), ada bermacam-macam literasi seperti; literasi media, literasi informasi, literasi keuangan, literasi teknologi, literasi komputer, dan sebagainya. Gudchinsky (dalam Bhola, 1994:30) menyebutkan bahwa

seseorang dikatakan literate apabila dia mampu membaca dan memahami segala sesuatu yang disampaikannya, dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. National Assessment of Educational Progress (NAEP) mendefinisikan literasi sebagai kemampuan menggunakan informasi baik yang tertulis atau tercetak di dalam masyarakat, untuk mencapai tujuan dan mengembangkan potensi seseorang.

Berkaitan dengan kondisi lingkungan saat ini, literasi lingkungan khususnya literasi sampah menjadi penting, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sampah. Volume timbulan sampah yang besar di lokasi pembuangan sampah, dapat merusak ekosistem alam. Literasi lingkungan/melek lingkungan atau sadar lingkungan adalah kemampuan individu untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki pemahaman yang luas tentang bagaimana individu ataupun masyarakat saling berhubungan antar sesamanya dan berhubungan dengan sistem alam, dan bagaimana melakukannya secara berkelanjutan (Campaign for Environmental Literacy:2007).

Melek ekologi harus dihayati dan dipraktekkan sebagai sebuah pola hidup atau budaya bersama seluruh anggota masyarakat. Melek ekologi harus merasuki kehidupan semua anggota masyarakat menjadi sebuah cara baru masyarakat modern. Melek ekologi sesungguhnya diinspirasi dan bersumber dari apa yang disebut Capra sebagai kearifan alam. Kearifan alam inilah yang merupakan hakikat dari ekoliterasi atau melek lingkungan hidup (Keraf, 2014:128).

Selanjutnya Capra juga menjelaskan bahwa paham ekologi atau ecoliteracy harus menjadi keahlian penting bagi para politikus, pemimpin bisnis, dan professional di segala bidang, dan harus menjadi bagian terpenting pendidikan pada semua tingkat, dari sekolah dasar sampai ke tingkat yang lebih tinggi (Capra, 2003:252). Untuk mewujudkan ekoliterasi, menurut Capra diperlukan suatu Ekodesain. Ekodesain adalah proses di mana tujuan kita

(6)

195

hubungkan dengan seksama dalam pola-pola

yang lebih besar dan aliran-aliran yang ada dalam dunia alami. Ekodesain memperkenalkan suatu era yang tidak didasarkan pada apa yang kita bisa ambil dari alam, tetapi pada apa yang bisa kita pelajari dari alam (Capra, 2003:252-254).

Peran semua pihak sangat diharapkan untuk dapat berkontribusi dan bersinergi mengkampanyekan isu-isu lingkungan, pentingnya kombinasi antara kesadaran dan perilaku melek lingkungan dari semua pemangku kepentingan di satu pihak, ditunjang dengan kebijakan publik yang memaksa di pihak lain. Hal ini penting mengingat kondisi masyarakat modern saat ini yang cenderung konsumtif, serba instan dan eksploitatif tanpa memperhatikan pentingnya lingkungan hidup. Melek lingkungan menjadi penting untuk dilakukan secara luas. Berikut ini adalah komponen dalam literasi lingkungan (Lopez, 2013):

Namun, sebagaimana model pada umumnya terkadang langkah-langkah tersebut tumpang tindih dalam kehidupan sehari-hari, yang perlu dipahami adalah bahwa melek lingkungan (sadar lingkungan) tidak dapat dicapai tanpa semua langkah dari tangga tersebut, satu langkah saja tidak cukup untuk mencapai keberaksaraan lingkungan.

Melihat beberapa definisi tentang literasi pada kajian ini, maka penulis memfokuskan pada literasi tentang sampah. Untuk tercapainya masyarakat Indonesia “melek sampah” perlu dilakukan upaya yang signifikan untuk mengatasi permasalahan sampah. Literasi sampah dapat diartikan sebagai kemampuan atau kecakapan seseorang dalam kegiatan mengelola sampah secara sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah yang dilakukan secara mandiri dan melibatkan peran serta masyarakat.

Tumbuhnya kesadaran dan partisipasi

Capacity for personal and collective action and civic participation

Problem soving and critical thinking skills

Attitudes of appreciation and concern for the environment

Knowledge and understanding of human and natural systems and processes

General awareness of the relationship between the environment and human life Gambar 1. Climbing The Environmental Literacy Ladder

Hirarki tersebut menggambarkan tentang lima komponen dalam literasi lingkungan, ini merupakan sebuah hirarki lepas dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks.

masyarakat dalam mengelola sampah tentunya tidak terlepas dari upaya komunikasi yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Komunikasi merupakan instrument Sumber: (Lopez, 2013)

Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini, Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di Kabupaten Bantul

(7)

untuk mencapai tujuan pembangunan, melalui komunikasi masalah dan tantangan pembangunan dapat terselesaikan secara bersama. Dalam penelitian ini lingkup komunikasi terfokus pada komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan dalam arti luas meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dan pemerintah. Sedangkan komunikasi pembangunan dalam pengertian sempit merupakan serangkaian usaha mengkomunikasikan pembangunan kepada masyarakat, agar mereka ikut serta dan memperoleh manfaat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu bangsa (Nasution, 1992:62).

Quebral dan Gomez (dalam Nasution, 1992:82) mengatakan bahwa komunikasi pembangunan adalah komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan rencana pembangunan suatu negara. Tujuan komunikasi pembangunan menurut Quebral adalah mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan menginginkan bahwa sekelompok massa orang-orang dengan tingkat literasi dan penghasilan yang rendah, dan atribut-atribut sosio-ekonomi bahwa mereka harus berubah, pertama-tama semua menjadi terbuka tentang informasi dan dimotivasi untuk menerima dan menggunakan secara besar-besaran ide-ide dan keterampilan-keterampilan yang tidak familiar dalam waktu singkat dibanding proses yang diambil dalam keadaan normal. Secara singkat tujuan komunikasi pembangunan adalah untuk menemukan gagasan-gagasan, sikap mental, dan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh suatu negara berkembang.

Menurut Schramm, tugas pokok komunikasi dalam suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional, yaitu; 1) menyampaikan kepada masyarakat informasi tentang pembangunan nasional, agar mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan cara mengadakan perubahan, sarana-sarana perubahan dan

membangkitkan aspirasi nasional, 2) memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan, mendidik tenaga kerja yang diperlukan pembangunan (Nasution, 1992:55).

Keberhasilan pembangunan tidak terlepas dari peran komunikasi. Komunikasi merupakan unsur penting dalam perubahan sosial. Rogers (dalam Dahnke, 1990:260) mendefinisikan perubahan sosial merupakan proses perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Proses perubahan adalah proses belajar, sehingga belajar harus dilihat bukan saja sebagai alat pendidikan tetapi juga sebagai pengubah kebudayaan.

Penelitian ini memfokuskan pada pendekatan komunikasi pembangunan di dalam kegiatan literasi pengelolaan sampah di Kabupaten Bantul, yang diupayakan oleh pemerintah daerah beserta jejaring kelompok pengelolaaan sampah mandiri (JPSM), JPSM sendiri dibentuk pada tahun 2009. Dalam komunikasi pembangunan ada lima gagasan penting menurut Waisbord (2013), yaitu;

1) Fokus pada individu dan faktor-faktor kontekstual dalam perubahan perilaku; pendekatan komprehensif yang ditujukan kepada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku, diantaranya yaitu fokus pada individu, keluarga, masyarakat, dan pada tingkat kebijakan.

2) Mengintegrasikan top-down dan bottom-up; merupakan tindakan gabungan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, serta menggabungkan beberapa strategi komunikasi di berbagai tingkatan.

3) Menggunakan pendekatan perangkat komunikasi; menggunakan beberapa teknik komunikasi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks permasalahannya, skala prioritas, maupun pada kelompok sasarannya. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan seperti;

(8)

197

konvensional; media dapat digunakan

untuk menjangkau sasaran dalam jumlah besar, khususnya dalam keadaan darurat.

• Pemasaran sosial (social marketing); hak ini dilakukan untuk segmentasi sasaran, mengidentifikasi manfaat yang dapat dirasakan sasaran, menyusun program maupun kebutuhan sasaran.

• Mobilisasi sosial; untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dan memperluas daya jangkaunya.

• Advokasi media; untuk membangun dukungan dari pemerintah, swasta, dan masyarakat.

• Memanfaatkan media populer atau media tradisional untuk mengaktifkan dialog dan membangun jaringan sosial.

4) Menggabungkan antara media dan komunikasi interpersonal;

• Penggunaan media penting dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran sasaran dalam jumlah besar.

• Merangsang terbentuknya jejaring sosial.

• Komunikasi interpersonal dilakukan untuk tujuan perubahan perilaku.

5) Pemberdayaan masyarakat; merupakan tujuan yang akan dicapai. Selain beberapa pendekatan yang telah dijelaskan, menurut Tufte (2009:12-13) strategi yang baik dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat adalah dengan penggunaan media yang memungkinkan lebih banyak dialog seperti media berbasis masyarakat atau media komunitas. Tufte menguraikan tentang pentingnya kombinasi antara komunikasi monologis dan komunikasi dialogis dalam komunikasi pembangunan yang tergambar dalam Multi-Track Model. Model ini berawal dari adanya kebutuhan untuk menggabungkan kekayaan dan kompleksitas dalam pendekatan operasional dan tantangan pembangunan dalam kerangka metodologi komunikasi yang konsisten.

Model ini dianggap fleksibel di dalam berbagai situasi, pendekatan komunikasinya dibagi menjadi dua kategori, yaitu pendekatan komunikasi monologis dan komunikasi dialogis. Komunikasi monologis terdiri dari pendekatan komunikasi satu arah seperti diseminasi informasi, kampanye media, dan pendekatan difusi lainnya. Pendekatan komunikasi dialogis mengacu pada komunikasi dua arah, di mana proses dan hasil serta ruang lingkupnya terbuka untuk membahas masalah, menghasilkan pengetahun dan mencari solusi baru, bukan sekedar mentransmisikan informasi. Sebagaimana dalam tabel berikut:

MONOLOGIC

(One-way communication) (Two-way communication)DIALOGIC Communication Communication

to Inform to Persuade Communication Communication to Explore to Empower Main

purpose

Raise awareness, Promote attitude

increase and behavior knowledge change

Assess, probe and Built capacities, ananlyzes issues, involve prevent conflicts stakeholders Main model

of reference One –way One-way (monologic) (monologic) Two-way Two-way (dialogic) (dialogic) Tabel 1. The Main Features of Communication Modes

(Sumber: Tufte, 2009:13)

Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini, Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di Kabupaten Bantul

(9)

Keberhasilan komunikasi pembangunan menuju masyarakat melek sampah, tentunya tidak terlepas dari peran aktor pada subsistem-subsistem yang ada, subsistem-subsistem tersebut harus mampu bertahan untuk dapat menjalankan fungsinya demi menopang keberlanjutan kelompok-kelompok pengelolaan sampah tersebut. Oleh karenanya tujuan penelitian ini selain untuk mengetahui pendekatan komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dan JPSM juga untuk mengetahui tingkat literasi masyarakat dalam mengelola sampah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu; 1) Bagaimana pendekatan komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul bersama Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) AMOR menuju Bantul Bebas Sampah 2019 dan Indonesia Bebas Sampah 2020? 2) Bagaimana tingkat literasi

masyarakat dalam mengelola sampah?

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis tentang:

1) Pendekatan komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul bersama Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) AMOR menuju Bantul Bebas Sampah 2019

dan Indonesia Bebas Sampah 2020. 2) Tingkat literasi masyatakat dalam

mengelola sampah. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan pengamatan observasi berperanserta, wawancara mendalam, focus group discussion serta studi kepustakaan. Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperanserta, namun peran peneliti itulah yang akan menentukan keseluruhan skenarionya (Moleong, 2004:117).

Wawancara dilakukan kepada para informan baik dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul, maupun dari Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) “AMOR”. Observasi dilakukan untuk mendukung hasil wawancara, peneliti dapat melibatkan diri secara langsung dengan obyek penelitian. Focus Group Discussion adalah metode pengumpulan data atau riset untuk memahami sikap dan perilaku khalayak. Peneliti memilih orang-orang yang dianggap mewakili sejumlah publik atau populasi yang berbeda, biasanya terdiri dari sejumlah orang (antara 6-12 orang), yang secara bersamaan dikumpulkan dan diwawancarai dengan dipandu oleh seorang moderator (Kriyantono, 2008: 118). FGD yang dilakukan dalam penelitian ini melibatkan 6 orang informan per kelompok yang homogen, dari 17 orang informan terbagi Gambar 2. Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif

Sumber: (Miles & Huberman, 1992:20). Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan / verifikasi

(10)

199

menjadi tiga kelompok.

Analisis data dilakukan dengan melalui proses reduksi data, penyajian data, dan melakukan verifikasi. Ketiga komponen tersebut terlibat dalam proses dan saling berkaitan serta menentukan hasil akhir analisa (Sutopo, 1996). Tahap verifikasi dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dalam interpretasi dari hasil wawancara dengan informan. Ketiga komponen tersebut, meliputi langkah-langkah analisis sebagaimana dalam Model Interaktif yang menggambarkan komponen-komponen analisis data berikut ini;

Hasil dan Pembahasan

Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 506,85 km2 dengan jumlah penduduk 913.312 jiwa, merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar kedua di DIY setelah Kota Yogyakarta. Luas wilayah tersebut terbagi menjadi 17 Kecamatan, 75 desa dan pedukuhan sebanyak 933. Dengan jumlah penduduk tersebut, akumulasi volume total sampah per hari tercatat pada bulan Oktober 2016 sebanyak 1.937,26 m3 (DPU, 2016:13).

Sebagian besar sampah belum terkelola dengan baik, sehingga sampah yang belum terangkut masih dibuang secara ilegal di sembarang tempat. Jika permasalahan sampah hanya menjadi tanggungjawab pemerintah maka tidak akan terselesaikan, karena volume sampah terus meningkat melebihi kemampuan pemerintah untuk mengelolanya. Oleh karenanya peran serta masyarakat dan pemberdayaan melalui kelompok-kelompok pengelolaan sampah mandiri dirasa perlu keberadaannya untuk membantu pemerintah. Mengembangkan jejaring pengelolaan sampah mandiri menjadi salah satu alternatifnya.

Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) AMOR Kabupaten Bantul merupakan organisasi yang beranggotakan kelompok-kelompok pengelolaan sampah dan pengelolaan lingkungan, berdirinya jejaring ini sejak tahun 2009. Hakikat jejaring ini adalah bagaimana merubah cara pandang dan meningkatkan

kapasitas masyarakat sehingga mampu secara mandiri mengelola sampah mereka secara benar dan berwawasan lingkungan.

JPSM merupakan binaan dari Dinas Lingkungan Hidup yang bersinergi mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat untuk berpartisipasi memilah dan mengolah sampah dari sumbernya yaitu individu itu sendiri dan dari rumah tangga masing-masing, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yg berwawasan lingkungan.

Saat ini JPSM memiliki anggota sebanyak 127 kelompok pengelolaan sampah mandiri yang tersebar di 17 kecamatan. Tujuan dibentuknya jejaring adalah mewujudkan masyarakat yang peduli dan berdaya dalam mengelola sampah. Anggota JPSM terdiri dari kelompok pengelolaan sampah seperti: bank sampah, sedekah sampah, daur ulang sampah, dan TPS3R. Dalam pembahasan tentang komunikasi, peneliti membahasnya melalui pendekatan komunikasi pembangunan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Pendekatan Komunikasi Pembangunan dalam Pengelolaan Sampah

Misi Kabupaten Bantul berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah meningkatkan kualitas dan kapasitas sarana dan prasarana umum, memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara terpadu dan berkelanjutan (BLH, 2016). Secara khusus, misi ini terkait dengan pencapaian Bantul Bebas Sampah 2019 dan menuju Indonesia Bebas sampah 2020. Tujuan yang ingin dicapai dari misi tersebut adalah; a) agar Kabupaten Bantul bebas sampah pada tahun 2019, b) mengajak peran serta masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan yang salah satunya adalah mengatasi permasalahan persampahan yang menjadi tanggung jawab bersama, c) menjadikan Bantul Kota Bersih Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini, Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di

(11)

dikarenakan Bantul merupakan salah satu destinasi wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta d) mendapatkan Adipura (BLH, 2016).

Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan membangun komunikasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholders lainnya. Pendekatan komunikasi pembangunan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul dan Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri JPSM) dalam kegiatan literasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat untuk tercapainya misi Bantul Bebas Sampah 2019. Ada beberapa pendekatan komunikasi pembangunan dalam kegiatan literasi sampah di Kabupaten Bantul, yaitu:

1. Pendekatan komunikasi pembangunan dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu secara formal dan informal;

a. Secara formal; Komunikasi pembangunan secara formal dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul sebagai SKPD yang membidangi masalah persampahan. Komunikasi formal biasanya dilakukan dalam bentuk rapat pertemuan dan pembinaan yang dilakukan secara berkala tiga bulan sekali atau empat kali pertemuan untuk satu tahun yang diinisiai oleh DLH. Konten pesan dari pertemuan biasanya berupa sosialisasi kebijakan, maupun program pemerintah daerah terkait dengan kebijakan di bidang lingkungan hidup untuk mewujudkan Bantul Bebas Sampah 2019. Sebagai sumber informasi dalam pertemuan ini adalah DLH Kabupaten maupun DLH propinsi serta instansi terkait lainnya. b. Secara Informal; dalam konteks

pendekatan komunikasi secara informal yaitu sosialisasi dan pembinaan dilakukan secara informal berdasarkan pada kebutuhan dari anggota kelompok jejaring ataupun dari masyarakat yang belum menjadi anggota kelompok.

Pertemuan berlangsung secara informal dalam pertemuan arisan maupun rembugan. Aspirasi untuk mengadakan pertemuan atau pembinaan datang dari warga masyarakat maupun dari kelompok pengelola sampah terkait dengan permasalahan yang dihadapi, dan biasanya pertemuan berlangsung secara informal di rumah warga. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul juga memfasilitasi kelompok-kelompok pengelolaan sampah mandiri dengan memberikan bantuan peralatan seperti; kendaran bermotor roda tiga untuk mengangkut sampah, tong sampah, gerobak, alat/mesin pencacah untuk pengomposan, dan lain-lain.

Jika dianalisis lebih lanjut, pola komunikasi yang dilakukan secara formal lebih bersifat top-down dikarenakan paket program-program sudah dirancang dan direncanakan dari pemerintah maupun institusi, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Soetomo (2008: 69-70) menyebutkan bahwa alasan penggunaan pola top-down adalah pada efisiensi, kemudahan dalam kontrol pelaksanaan serta adanya kepastian program. Faktor positif dari pendekatan ini adalah; pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan akan lebih cepat terwujud jika dilihat dari teknis pelaksanaannya dikarenakan desain dan perencanaan program sudah ada. Selain sisi positif, maka sisi negatif dari pola top-down adalah program-program akan memiliki tingkat relevansi yang rendah dilihat dari skala prioritas lokal disebabkan karena program-program dirancang dari pusat.

Sedangkan untuk pola komunikasi secara informal, lebih bersifat bottom-up. Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan yang berbasis komunitas sehingga lebih fleksibel disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal, karena pada dasarnya masing-masing masyarakat lokal memiliki kondisi, persoalan dan potensi yang berbeda, sehingga program-program yang diputuskan akan lebih relevan dan mampu

(12)

201

mengakomodasikan persoalan dan kebutuhan

lokal (Soetomo, 2008:398). Oleh karenanya sinergi antara kedua pola tersebut antara top-down dengan bottom-up menjadi penting dilakukan untuk tercapainya tujuan tersebut. 2. Mengintegrasikan komunikasi antarpribadi

dan penggunaan media

Berdasarkan hasil analisa data, komunikasi yang dilakukan oleh anggota Jejaring Pengeloaan Sampah Mandiri (JPSM) dalam memberikan pemahaman tentang pengelolaan sampah dan mempersuasi warga untuk mau memilah sampah dari sumbernya yaitu rumah tangga lebih menekankan pada komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal ataupun nonverbal (Mulyana, 2000:73).

Pola komunikasi antarpribadi atau pola gethok tular dirasakan lebih efektif untuk memberikan pemahaman dan mengajak warga tentang pentingnya mengelola sampah dan menjaga lingkungan, jika lingkungan bersih maka yang akan mendapat manfaatnya adalah warga masyarakat itu sendiri. Seorang narasumber, Ibu Umi menyebutkan bahwa lebih sering menyampaikan atau mengajak warga untuk memilah sampah biasanya dengan cara komunikasi langsung, gethok tular mengajak warga, pas ada acara arisan-arisan atau pertemuan-pertemuan.

Selain memaksimalkan komunikasi interpersonal, pemanfaatan media baik itu melalui media massa seperti radio, televisi, maupun surat kabar juga dimanfaatkan untuk sosialisasi tentang sampah, namun intensitasnya masih relative kecil. Seperti halnya media radio, menurut narasumber dari BLH DIY bahwa slot waktu yang disediakan tidak selalu harus diisi dengan materi tentang pengelolaan sampah tetapi diisi dengan konten tentang lingkungan hidup secara umum.

Media televisi baik lokal maupun nasional pernah meliput kegiatan daur ulang sampah seperti pada tayangan Laptop Si Unyil yang menayangkan tentang daur ulang kertas semen yang dibuat menjadi tas wanita yang layak jual di kelompok pengelolaan sampah “45” Argorejo Sedayu Bantul pada 2016, Kick Andy Metro TV yang meliput tentang Bank Sampah Gemah Ripah, Taman Gabusan TVRI Stasiun Yogyakarta, bahkan Bank Sampah Gemah Ripah juga pernah diliput oleh Televisi NHK Jepang. Surat kabar lokal maupun nasional juga beberapa kali memuat berita tentang pengelolaan sampah di Kabupaten Bantul. Penggunaan media sosial seperti whatsapp dan facebook, juga dimanfaatkan oleh para anggota untuk saling bertukar informasi.

Literasi sampah dapat diartikan sebagai kesadaran, kemampuan atau kecakapan seseorang dalam kegiatan mengelola sampah secara sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah yang dilakukan secara mandiri dan melibatkan peran serta masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, tingkat literasi masyarakat dapat diklasifikan sebagai berikut; a. Masyarakat yang tidak tahu dan tidak

menyadari bahwa sampah yang dibuang di sembarang tempat dapat merusak lingkungan, sehingga mereka membuang sampah di mana saja. Untuk warga yang mempunyai pekarangan luas, sampah akan ditimbun atau dibakar di jugangan.

b. Tingkatan masyarakat yang mengetahui bahwa sampah yang dibuang di sembarang tempat dapat menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, namun kesadaran ini tidak diikuti dengan tindakan nyata untuk mengumpulkan dan memilah sampahnya, sampah tetap dibuang di tepi jalan atau di sungai. Mereka seperti tidak peduli, yang terpenting adalah sampah tidak lagi ada di rumah mereka.

c. Masyarakat yang sadar akan lingkungan dengan membuang sampah pada tong sampah dan membayar retribusi pengangkutan Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini, Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di

(13)

sampah setiap bulannya kepada Pengurus RT/RW setempat, namun tanpa memilahnya terlebih dahulu. Sebagian besar masyarakat terutama di perumahan-perumahan lebih senang membayar retribusi.

d. Ada juga sebagian masyarakat yang mau memilah sampah dari rumah mereka sendiri. Sampah residu akan tetap dibuang oleh petugas pemungut sampah. Sampah yang masih mempunyai nilai jual akan dikumpulkan kemudian dijual ke pengepul (ngrosok).

e. Tingkatan berikutnya adalah kelompok masyarakat yang dengan kesadaran untuk mencari solusi mengatasi sampah secara mandiri tidak membebankan pada pemerintah, melibatkan peran serta masyarakat. Masyarakat yang sadar untuk memilah sampah biasanya tertarik untuk menjadi nasabah Bank Sampah, atau tergabung dengan kelompok sedekah sampah. Perbedaan antara bank sampah dan sedekah sampah adalah pada hasil penjualan. Jika pada bank sampah hasil penjualan untuk pribadi nasabah, namun pada sedekah sampah hasilnya digunakan untuk kepentingan warga masyarakat itu sendiri, misalnya untuk kas RT atau untuk kegiatan sosial lainnya.

f. Kemampuan personal dan partisipasi masyarakat; pada tingkatan ini adalah tipe inidividu atau kelompok yang sadar akan lingkungan dan mampu menggerakkan masyarakat untuk turut berpartisipasi melakukan tindakan sosial mengelola sampah, biasanya mereka merupakan ketua kelompok yang menjadi pelopor pengelolaan sampah di wilayah sekitar tempat tinggalnya. Simpulan

Kegiatan literasi sampah yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul dengan Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri AMOR terus dilakukan untuk mewujudkan Bantul Bebas Sampah 2019. Keberadaan JPSM berperan dalam pembentukan kelompok-kelompok pengelolaan sampah mandiri yang

baru, selain itu JPSM juga berkontribusi mengurangi volume sampah 30%. Pendekatan komunikasi pembangunan dalam kegiatan literasi yang dilakukan adalah pertemuan secara formal dan informal. Mensinergikan antara komunikasi antarpribadi dan media massa maupun media sosial, namun intensitasnya masih relatif kecil. Komunikasi antarpribadi lebih efektif untuk melakukan pendekatan dan mempersuasi masyarakat.

Tingkat literasi pengelolaan sampah di masyarakat beragam dari yang tidak tahu tentang pengelolaan sampah sampai pada tingkatan masyarakat yang sudah memiliki kesadaran dan berperilaku ramah lingkungan. Bahkan turut memberdayakan masyarakat melalui pengelolaan sampah, karena sampah jika dikelola dengan baik tidak saja membuat lingkungan menjadi bersih dan sehat, tetapi juga membawa ‘berkah’ secara ekonomi.

Beberapa saran dan rekomendasi yang perlu mendapat perhatian pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan sampah, yaitu;

a) Kegiatan literasi sampah yang dilakukan oleh individu-individu maupun kelompok harus terus digalakkan dan di support terutama oleh pemerintah daerah, dikarenakan kegiatan ini lebih bersifat sosial dan non profit sehingga sangat rentan tidak ada keberlanjutannya. b) Kegiatan sosialisasi perlu menyasar ke

kelompok masyarakat yang tidak tahu dan tidak peduli pada sampah, serta pada anak-anak usia sekolah perlu diperkenalkan sejak dini tentang bahaya dan manfaat sampah, mengelola sampah yang benar, atau dengan cara mengajak mereka menjadi nasabah bank sampah, sebagaimana yang dilakukan di Bank Sampah Gemah Ripah Badegan Bantul, yaitu dengan mencantumkan nama anak sebagai nasabah bank sampah. Meningkatkan kuantitas serta pembinaan pada sekolah-sekolah Adiwiyata atau sekolah-sekolah yang peduli lingkungan. Selain itu penegakan hukum perlu dilakukan dengan memberi sanksi pada orang yang

(14)

203

membuang sampah di sembarang tempat.

c) Pembinaan yang dilakukan secara formal akan lebih baik jika dibarengi dengan kunjungan atau penyuluhan lapangan secara langsung, sehingga pembinaan yang diberikan tidak terkesan seremonial saja. d) Literasi sampah melalui media massa maupun

media sosial perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Pemanfaatan media lokal dan media komunitas akan meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat. Selain itu budaya gotong royong di masyarakat dapat dikembangkan dan diarahkan untuk menjaga kebersihan lingkungan dengan mengelola sampah sesuai prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).

Daftar Pustaka

Bhola. H.S. 1994, A Source Book for Literacy Work Perspective From The Grassroots. United Kingdom: Unesco and Jessica Kingsley Publishers Ltd. Capra, Fritjof. 2009. The Hidden Connection:

Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Cetakan Ketiga diterjemahkan oleh Andya Primanda. Yogyakarta: Jalasutra. Dahnke, Gorden and Glenn W. Clatterbuck. 1990, Human Communication : Theory and Research. California: Wadsworth Publishing Company. Huberman, Miles A, Michael & Matthew

B. 1992,.Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Edisi Keempat. PT. Gramedia. Keraf, Sony. 2014, Filsafat Lingkungan Hidup,

Cetakan ke-7. Yogyakarta: Kanisius: Kriyantono, Rachmat. 2008., Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Cetakan ke 8. Kencana Prenada Media Group. Moleong, Lexy. J. 2004, Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2002, Ilmu

Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution, Zulkarimein. 1992, Komunikasi

Pembangunan, Pengenalan

Teori dan Penerapannya. Jakarta: PT. Rajawali Press. Rahardjo, Turnomo, 2012. Memahami Literasi Media (Perspektif Teoritis) dalam buku Literasi Media dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: United Board – ASPIKOM. Sucipto, Cecep Deni. 2012, Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah. Yogyakarta: Yogyakarta. Gosyen Publishing. Soetomo, 2008, Strategi-Strategi Pembangunan

Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutopo, Heribertus. B. 1996, Metodologi

Penelitian Kualitatif. Buku Pegangan Kuliah, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret: Surakarta. Suwerda, Bambang. 2012, Bank Sampah

(Kajian Teori dan Penerapannya). Pustaka Rihama: Yogyakarta. Sumber Lain:

Lopez, Antonio R. 2013, Greening the Media Literacy Ecosystem: Situating Media Literacy for Green Cultural Citizenship. Prescott College, ProQuest Dissertations Publishing, 2013. 3587572. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul. 2016, Paparan Pengelolaan Persampahan di Kabupaten Bantul: Menuju Bantul Bebas Sampah 2019. Makalah pada Workshop Menuju Bantul Bebas Sampah 2019. BLH: Bantul. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bantul, 2016. Laporan Bulanan Kegiatan Operasional UPT Kebersihan Pertamanan Persampahan dan Pemakaman 2016. Dinas PU: Bantul. Waisbord, Silvio. 2003, Fifty Years of Development Communication: What Works. Makalah IDB Forum on the Americas: United States of America. Titi Antin, Hermin Indah Wahyuni dan Partini, Literasi Sampah Berbasis Komunikasi Pembangunan di

(15)

http://www.menlh.go.id/peresmianbanks a m p a h p e n g e l o l a a n http://www.menlh.go.id/peresmianbanks a m p a h -dengan-sistem-3r-di-kantor-klh/ Kementerian Lingkungan Hidup 2012 http://blh.jogjaprov.go.id/2014/10/pengelolaans a m p a h b e r b a http://blh.jogjaprov.go.id/2014/10/pengelolaans i http://blh.jogjaprov.go.id/2014/10/pengelolaans m a http://blh.jogjaprov.go.id/2014/10/pengelolaans y a r a k a t -psbm/published tgl 07/10/2014. http://jrd.bantulkab.go.id/index.php/191p e n g e l o l a a n s a m http://jrd.bantulkab.go.id/index.php/191p a h b e r b a s i s -masyarakat kabupaten-bantul. Heru Susanto.published 13 Oktober 2014.

(16)

205

Komunikasi Politik dan Partisipasi Warga dalam Arena Perencanaan dan

Penganggaran Dana Keistimewaan DIY

Iranda Yudhatama

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UNS Jl. Ir Sutami No 36 A Surakarta

Email: yudha_merapi@yahoo.com

Abstract

As specialty province, Yogyakarta was given fives specialty authorities from government that encompass as following as: (1) procedures of occupation and authorities requirement for governor and vice governor; (2) Province government institutions; (3) Culture; (4) Land and (5) Space Policy. To prevail these, DIY government get the expenditure aid ftom central government. Some of studies showed that decentralization give people’s participation more open. But on otherwise, some of studies also exposed that decentralization created democracy defisit. By qualitative approach, this research was aimed to elaborate political communication and people’s participation in creating a plan and expenditure for DIY government in 2015. The results pointed out as: (1) political communication that was formed between government and people tended more linear or top down; (2) people’s participation was a limited level; (3) people perception that the King will take step for people more responsible. These implied that all program was prevailing and initiating by government.

Keywords: political communication, planning, expenditure, participation and DIY Abstrak

Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta diberikan lima kewenangan khusus yang mencakup; (1) Tata cara pengisian jabatan, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (2) Kelembagaan Pemerintah Daerah; (3) Kebudayaan; (4) Pertanahan; dan (5) Tata Ruang. Untuk menjalankan lima kewenangan tersebut Pemerintah DIY mendapatkan pendanaan dari pemerintah pusat. Beberapa studi menunjukkan bahwa desentralisasi memberikan ruang dan partisipasi warga lebih besar. Namun di

sisi lain beberapa studi juga menunjukkan gejala terjadinya defisit demokrasi. Dengan menggunakan

metode kualitatif, penelitian ini bertujuan mengelaborasi komunikasi politik dan partisipasi warga dalam proses perencanaan dan penganggaran anggaran keistimewaan DIY tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan yakni: (1) Komunikasi politik yang terbangun antara pemerintah Propinsi dengan warga bersifat top down dan teknokratis; (2) Partisipasi warga relatif minim yang dikarenakan adanya kebijakan yang tidak membuka ruang partisipasi; (3) Persepsi bahwa warga tidak perlu berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran karena yakin dengan kearifan Sultan selaku gubernur DIY. Dampak dari hal tersebut adalah sebagian besar program yang bersumber dari APBN diinisiasi dan dipimpin Pemerintah DIY dan cenderung menegasikan aspirasi warga.

(17)

Pendahuluan

Desentralisasi dalam pandangan mazhab Anglo Saxon sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutoro Eko pada prinsipnya bertujuan untuk mendekatkan proses demokrasi ke aras lokal. Artinya proses desentralisasi tidak sekedar membagi dan menyerahkan kekuasaan, kewenangan dan keuangan pemerintah pusat kepada daerah tapi lebih dari itu adalah bagaimana mendorong proses demokratisasi pada aras lokal dan mendekatkan negara kepada rakyat sehingga berdampak bagi kesejahteraan masyarakat di daerah (Eko, 2013).

Namun sayangnya, dalam praktek desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan lebih dari satu dasawarsa di Indonesia ini, justru sebagian besar telah gagal memenuhi harapan terkait demokratisasi, mendekatkan pelayanan negara yang lebih baik kepada rakyat serta mewujudkan kesejahteraan rakyat pada aras lokal.

Banyak hasil riset dan kajian yang menunjukkan kegagalan sistem desentralisasi dan otonomi daerah dalam memenuhi harapan tersebut dan bahkan memunculkan fenomema

anti demokrasi atau defisit demokrasi dalam

bentuk patologi sosial yang akut dan kronis. Salah satu yang hasil studi yang paling populer dalam mengungkap kegagalan praktek desentralisasi dan otonomi daerah adalah studi Vedi Hadiz dalam Sutoro Eko. Hadiz memaparkan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah telah memunculkan elit predator yang memanfaatkan daerah sebagai lahan kekuasaan baru bagi praktek-praktek kotor untuk melakukan korupsi dan premanisme politik di tingkat daerah.

Konsep elit predator ini juga serupa dengan konsep “local boss”atau orang kuat lokal yang dikemukakan oleh John Sidel dalam Sutoro Eko. Menurut Sidel, bos lokal merupakan tokoh-tokoh individu yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk mengontrol atas sarana-sarana kekerasan, sumberdaya ekonomi dan mesin politik (Eko, 2013)

Demikian pula hasil studi yang dilakukan oleh Norholdt dan Haris (2004), Stokke dan

Tornuist (2004) dalam Pratikno yang menjelaskan bahwa terjadinya fenomena-fenomena non demokrasi dalam era desentralisasi dan otonomi daerah tersebut merupakan sesuatu yang telah berakar jauh di masa lalu dan diformulasikan oleh Nordholt sebagai fenomena “strong continuities of patrimonial patterns” atau meminjam terminologi Haris disebut sebagai”changing continuities” (Pratikno, 2010).

Pada perkembangannya kritik terhadap praktek-praktek desentralisasi dan otonomi daerah ini telah beranjak dari kritik terhadap implementasi (delivery sistem) beralih kepada kritik terhadap desain atau konsep desentralisasi yang bercorak simetris dan uniformitas yang selama ini diasumsikan paling ideal yang dituangkan dalam bentuk kebijakan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.

Cara pandang atau paradigma simetris atau uniformitas ini menegasikan fakta keberagaman (pluralitas) dari setiap daerah di Indonesia dan praktek penyebaran kekuasaan melalui desentralisasi diimplementasikan secara seragam bagi seluruh daerah tanpa mempertimbangkan perbedaan fundamental, karakter dan kekhususan setiap daerah.

Beranjak dari konteks tersebut, beberapa kalangan intelektual dan aktivis yang peduli dengan perkembangan demokrasi pada aras lokal, mencoba menawarkan gagasan atau paradigma baru yang berseberangan dengan paradigma simetris. Cara pandang yang menekankan pada pentingnya desentralisasi kekuasaan yang memperhatikan keberagaman dan keunikan setiap daerah atau yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymetrical desentralization) yang merupakan pemberlakuan kewenangan khusus atau otonomi khusus pada wilayah-wilayah tertentu dalam suatu negara (Pratikno, 2010) .

Hanya sayangnya, sejauh ini studi atau kajian terkait praktek desentralisasi asimetris relatif belumlah terlalu banyak dibandingkan dengan kajian tentang praktek-praktek desentralisasi simetris. Beberapa kajian atau studi desentralisasi asimetris yang adapun relatif

(18)

207

mengkaji dari aspek kewenangan, keuangan, kontrol dan kelembagaan dalam konteks relasi hubungan pusat dan daerah. Seperti studi yang dilakukan oleh Pratikno, dkk yang lebih membahas terkait kewenangan, keuangan dan kelembagaan dalam praktek dan proyeksi desentralisasi asimetris di Indonesia.

Sementara kajian atau studi terkait dengan bagaimana komunikasi politik yang terbangun antara pemerintah daerah dengan warga dan bagaimana partisipasi warga yang berjalan dalam arena formulasi kebijakan saat implementasi desentralisasi asimetris diterapkan relatif belum tersedia.

Komunikasi politik merupakan sebuah studi yang multi disiplin ilmu, terutama dalam kaitannya antara proses komunikasi dan proses politik. Dalam konteks politik mengacu pada pendapat Graceau dalam Dan Nimmo, proses politik merupakan pola interaksi yang menghubungkan antara warga negara dengan pembuat keputusan baik dalam konteks, kesetaraan, kerjasama ataupun dalam konteks

konflik (Nimmo, 1993). Hal ini dapat dimaknai

bahwa pola interaksi antara warga negara dengan pemerintah dalam suatu arena kebijakan merupakan sebuah proses komunikasi dalam

konteks politik. Sedangkan menurut Alfian

dalam bukunya Komunikasi Politik dan Sistem

Politik (1993), komunikasi politik merupakan

bagian dari sistem politik yang mengkonversikan aspirasi dan kepentingan para pihak menjadi berbagai kebijakan.

Pola komunikasi politik sangat tergantung dari sistem politik yang dibangun dalam suatu masyarakat. Ada dua model pola komunikasi politik yang biasa dikenal dalam kajian komunikasi politik yakni, (1) Pola komunikasi politik horizontal, di mana posisi pelaku komunikasi yang terlibat dalam proses komunikasi politik relatif setara dan seimbang sehingga terjadi sharing atau saling berbagi informasi atau dialogis, bentuk atau pola komunikasi politik semacam ini hanya dapat terjadi dalam sebuah sistem politik yang demokratis; (2) Pola komunikasi politik yang

berbentuk vertikal atau top down dan arus komunikasi cenderung satu arah menujukkan

sistem politik yang merefleksikan nilai-nilai

budaya feodalistik dan pola kepeminpinan yang

totaliter (Panuju, 1994).

Berpijak dari teori dan konsep komunikasi politik tersebut, dapat diartikan bahwa komunikasi politik merupakan sebuah proses interaksi antara warga dengan negara (pemerintah) sebagai pelaku komunikasi pada suatu sistem politik baik dalam konteks agenda setting kebijakan, formulasi, implementasi maupun evaluasi kebijakan. Teori dan konsep inilah yang dijadikan perspektif dalam mengkaji pola komunikasi politik antara warga di satu sisi dan Pemerintah DIY di sisi lain sebagai pelaku atau aktor komunikasi politik dalam arena kebijakan perencanaan dan penganggaran anggaran keistimewaan DIY.

Demikian pula dengan tingkat partisipasi warga dalam sebuah sistem politik sangat ditentukan oleh pola komunikasi politik yang ada. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin horisontal pola komunikasi politik dalam sebuah sistem politik maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi warga. Sebaliknya semakin vertikal pola komunikasi politik dalam sebuah sistem politik maka akan semakin rendah tingkat partisipasi warga atau bahkan dapat menjadi apatis dan dapat menimbulkan feedback yang negatif dalam bentuk berkurangnya partisipasi politik formal dan merebaknya aktivitas politik “bawah tanah” atau aksi-aksi protes

(Panuju,1994).

Sementara itu, partisipasi sendiri tidak hanya dimaknai sekedar mengundang masyarakat (invited space) dalam sebuah proses formulasi kebijakan tapi lebih jauh dari itu yakni melibatkan masyarakat sipil dalam setiap tahapan

partisipasi mulai dari mengidentifikasikan

kebutuhan, perencanaan, implementasi sampai proses monitoring dan evaluasi sebuah kebijakan

pembangunan (Chambers, 1996).

Berangkat dari nalar tersebut penelitian ini diletakkan, di mana penelitian ini merupakan bagian dari program riset-advokasi terhadap

Iranda Yudhatama, Komunikasi Politik dan Partisipasi Warga dalam Arena Perencanaan dan Penganggaran Dana Keistimewaan DIY

(19)

kebijakan perencanaan dan penganggaran anggaran Keistimewaan DIY yang dilakukan peneliti yang di dukung oleh Swara Nusa Institute dan Yayasan Tifa pada tahun 2015. Berpijak dari hal tersebut di atas, penelitian ini meneliti bagaimana partisipasi warga dan pola komunikasi politik yang berjalan dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY sebagai sebuah arena formulasi kebijakan.

Pertanyaan kunci yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pola komunikasi politik antara warga dan Pemerintah DIY yang berjalan dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY tersebut?; (2)Bagaimana partisipasi warga dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY ?

Metode Penelitian

Berangkat dari kerangka pikir dan permasalahan di atas, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan proses perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY dimaknai sebagai proses interaksi dialektis antara aktor negara dan warga masyarakat. Interaksi dialektis adalah realitas kehidupan sosial yang dinamis, sehingga lebih tepat dikaji secara kualitatif dibandingkan secara kuantitatif dengan

mengandalkan angka statistik, (Giddens, 1984).

Metode penelitian kualitatif pun dapat memberi jalan bagi peneliti untuk mengeksplorasi secara mendalam terhadap perpektif, pengetahuan dan

praktik sosial para informannya (Flick,1998).

Metode kualitatif yang dipilih adalah studi kasus. Studi kasus dipilih karena relevan dengan tema kajian yang tengah menyelidiki suatu proses, aktivitas dan peristiwa yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas (Creswell, 2010), terkait pola komunikasi politik dan partisipasi warga dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keisitmewaan DIY tahun 2015.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Peraturan yang mengatur tentang Dana Keistimewaan bersumber dari Undang-undang

No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Secara prinsip pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Keistimewaan DIY dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan keuangan negara. Dana dalam rangka pelaksanaan Keistimewaan Pemerintahan Daerah DIY tersebut dibahas dan ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan pengajuan Pemerintah Daerah DIY .yang diperuntukkan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah DIY yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme transfer ke daerah.

Ada pun penjabaran dari undang-undang tersebut terkait dengan Dana Keistimewaan dituangkan dalam Peraturan Daerah Istimewa (Induk) No. 1 Tahun 20 tentang yang menyatakan dalam rangka pelaksanaan urusan Keistimewaan, Pemerintah Daerah wajib membuat rencana kebutuhan yang dituangkan dalam rencana program dan kegiatan tahunan dan 5 (lima) tahunan. Peraturan daerah ini diturunkan lagi dalam bentuk peraturan teknis berupa Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 37 tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Keisitmewaan yang tidak mengatur secara jelas dan detil terkait mekanisme partisipasi warga dalam proses formulasi kebijakan perencanaan dan penganggaran Keistimewaan DIY.

Hasil penelitian terkait pola komunikasi politik dan partisipasi warga dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY menemukan beberapa hal menarik, antara lain; (1) Pola komunikasi politik yang terbangun antara warga DIY di satu sisi dengan pemerintah DIY dalam arena kebijakan tersebut membentuk pola vertikal, top-down, satu arah dan cenderung teknokratis; (2) Pola komunikasi vertikal tersebut menjadikan tidak adanya partisipasi warga dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keisitimewaan DIY tersebut.

Beberapa forum perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY yang diikuti peneliti di tingkat Propinsi DIY yang

(20)

209

diselenggarakan oleh Bappeda DIY, meskipun mengundang perwakilan warga hanya cenderung untuk mensosialisasikan dan melegitimasi usulan agenda kegiatan yang telah disusun oleh pihak pemerintah DIY. Posisi warga hanya sebagai peserta forum tersebut.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya pola komunikasi politik vertikal, top-down, satu arah dan teknokratis tersebut, salah satunya adalah adanya kebijakan teknis dalam bentuk Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Keisitmewaan DIY yang tidak mencantumkan secara eksplisit ruang dan mekanisme partisipasi warga dalam arena perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY tersebut.

Hal ini sebagaimana pernyataaan dari pihak Pemerintah DIY melalui Bambang Wisnu Handoyo selaku Kepala DPPKA DIY (Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset) dan juga Sulistyo selaku Assisten tiga bidang kesejahteraan sosial Pemda DIY dalam sebuah wawancara dan fokus grup diskusi. Mereka berdua mengakui bahwa meskipun saat ini Pemerintah DIY tengah menuju kepada penggunaan paradigma governance dan bukan goverment dalam tata kelola pemerintahan, yang artinya pemerintah harus lebih responsif dan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai stake holder pembangunan tetapi dalam konteks implementasi Dana Keistimewaan diakuinya belum mampu menjalankan secara optimal. Persoalan ini dapat diartikan bahwa ada setting kebijakan yang dengan sengaja membuat pola komunikasi politik menjadi vertikal (top down) atau linier. Peraturan Gubernur No.37 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Keistimewaan tidak memberikan ruang bagi artikulasi politik warga.

Situasi dan kondisi ini semakin diperparah dengan masih adanya pandangan dari sebagian warga di DIY selaku informan penelitian yang hadir dalam suatu forum perencanaan dan penganggaran Dana Keisitmewaan DIY yang memandang bahwa permasalahan Dana Keistimewaan adalah kewenangan dari pihak

Pemerintah DIY dan bukan kewenangan mereka selaku warga negara sehingga mereka merasa tidak perlu ikut campur atau ribut-ribut untuk terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY. Hal ini terutama disebabkan oleh faktor nilai dan keyakinan serta latar belakang budaya informan tersebut.

Sebagaimana mengutip pendapat Nimmo, bahwa warga negara sebagai individu selalu membuat pilihan untuk berpartisipasi atau tidak dalam suatu aktivitas politik melalui proses intepretatif yang dipengaruhi oleh nilai-nilai, keyakinan dan latar belakang budaya yang membingkainya dalam suatu proses komunikasi

politik (Nimmo, 1993).

Pendapat Nimmo tersebut, sangat relevan jika dikontekstualisasikan dengan bagaimana warga Yogyakarta sebagai individu mengintepretasikan atau memaknai Kebijakan Keistimewaan DIY terutama dalam kaitannya dengan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY sebagai sebuah aktivitas politik. Proses pengintepretasian atau pemaknaan ini juga sangat mempengaruhi bagaimana perspektif atau cara pandang warga Yogyakarta dalam memaknai relasi politik antara mereka sebagai warga negara dan sekaligus bagian dari masyarakat sipil dengan pihak pemerintah DIY (negara) selaku pembuat kebijakan. Hal ini dapat diartikan, bahwa keputusan politik warga Yogyakarta untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan DIY sebagai proses politik sangat tergantung dari nilai-nilai, keyakinan dan latar belakang budaya mereka.

Pemaknaan atau intepretasi atas tersebut dapat tercermin dari ungkapan-ungkapan warga yang muncul dalam serangkaian aktivitas wawancara dan fokus grup diskusi selama penelitian berlangsung. Sebagai contoh, apa yang diungkapkan oleh seorang aktivis perempuan yang bernama Anik dari organisasi perempuan Srikandi Mataram yang hadir dalam sebuah forum perencanaan dan penganggaran

Iranda Yudhatama, Komunikasi Politik dan Partisipasi Warga dalam Arena Perencanaan dan Penganggaran Dana Keistimewaan DIY

(21)

Dana Keistimewaan yang menyatakan bahwa selaku warga Yogyakarta tidak akan menuntut apa-apa dari Dana Keistimewaan DIY, karena perjuangan mereka adalah ikhlas untuk mengusung penetapan Ngarso Dalem menjadi gubernur DIY dan yang penting bagi Anik dan organisasi Srikandi Mataram adalah dengan adanya Undang-undang Keistimewaan, Sultan memiliki posisi yang jelas selaku kepala daerah dan kepala pemerintahan DIY. Bagi Anik dan rekan-rekanya di Srikandi Mataram masalah Dana Keistimewaan DIY bukanlah kewenangan atau urusan mereka, tetapi merupakan urusan Pemerintah DIY dan mereka yakin betul bahwa pasti Ngarso Dalem selaku gubernur akan memikirkan yang terbaik bagi kesejahteraan rakyatnya.

Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Mangun selaku warga Kabupaten Kulon Progo dan aktif selaku penghayat kepercayaan. Menurutnya bagi orang Jawa khususnya warga Yogyakarta, percaya bahwa Ngarso Dalem sebagai seorang raja dan sekaligus gubernur pasti memiliki kearifan seorang raja dalam memikirkan rakyatnya. Lebih lanjut Mangun mengatakan bahwa masalah urusan terkait kebijakan Dana Keistimewaan merupakan urusan pihak Pemerintah DIY yang di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X pasti akan memikirkan secara bijaksana dan yang terbaik bagi rakyat atau kawulonya.

Hal yang sama juga diungkapkan beberapa informan lainnya, seperti Sukijan, Martadani, Sudarman, Supri Indrajit yang menyatakan bahwa keistimewaan DIY adalah terletak pada kepemimpinannya yang arif dan bijaksana yakni Sri Sultan HB X sehingga pastilah Sri Sultan HB X yang sekaligus Guburnur DIY akan membuat kebijakan anggaran keistimewaan dengan menggunakan kearifan dan kebijaksanaannya demi kesejahteraan warga DIY.

Secara substansi apa yang diungkapkan baik oleh Anik, Mangun, Sukijan, Sudarman, Supri Indrajit maupun Martadani mencerminkan

atau merefleksikan pemaknaan mereka terhadap

praktek desentralisasi asimetris DIY dalam

konteks perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan. Ungkapan-ungkapan ini dapat dimaknai bahwa, masih ada sebagian dari warga Yogyakarta baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, baik yang berpendidikan tinggi maupun tidak yang mengintepretasikan atau memaknai urusan atau kewenangan Keistimewaan DIY termasuk di dalamnya Dana Keistimewaan merupakan kewenangan dari Pemerintah DIY dan percaya bahwa dengan kearifan seorang raja yang dimanifestasikan

melalui personifikasi Sri Sultan Hamengku

Buwono X akan dapat memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebagai kawulo atau dengan kata lain mereka sebagai warga mengintepretasikan bahwa partisipasi dalam konteks perencanaan dan penganggaran Dana Keistimewaan tidaklah perlu dan bukan kewenangan mereka karena mereka percaya bahwa Kasultanan sebagai sebuah institusi yang merupakan sentral dari politik, ekonomi dan budaya akan mampu memikirkan yang terbaik untuk kesejahteraan rakyat.

Cara pandang demikian muncul karena memang secara sosio-psikologis dan sosio kultural masih ada sebagian corak masyarakat di DIY yang memiliki karakter patron-client yang kuat dan disertai dengan kepercayaan terhadap mitos dan hal-hal yang berbau mistis sebagaimana yang tertuang dalam studi Nur Azizah (2010). Menurutnya karakter ini dapat

diidentifikasi dari antusiasme masyarakat

Yogyakarta yang masih kuat terhadap acara-acara ritual yang diselenggarakan oleh pihak Kraton untuk mendapatkan keberkahan atau dalam bahasa jawa disebut Ngalap Berkah. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa masih relatif kuat posisi Kraton dan Pakualaman dalam ruang sosial budaya masyarakat yang diposisikan sebagai pusat budaya dan simbol pengayom.

Dukungan secara sosio psikologis dan sosio kultural terhadap Kraton yang direpresentasikan oleh raja Sri Sultan HB X ini sejatinya memiliki akar sosio historis yang kuat di Yogyakarta. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Selo Sumardjan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 4.1 Analisa Regresi
Tabel 1 Hasil Perhitungan Regresi Hipotesa 1
Tabel 3 Hasil Perhitungan Regresi Hipotesa 3 Model Unstandardized  Coefficients Standardized Coefficients t Sig

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Untuk membuka membuka file file dengan dengan tujuan tujuan output output kita kita harus harus mendeklarasikan.. mendeklarasikan stream stream pada pada class class

Masalah, solusi, metode dan desain penelitian, variable dan instrument yang digunakan, tehnik dan pengolahan data, serta kesimpulan yang disajikan sesuai dengan journal utama

Syarat pelanggan merupakan masukan yang harus diperhatikan untuk menetapkan proses dan mutu produk yang disediakan, manajemen harus mampu menjamin bahwa syarat

HAKIM DATUK ABDUL KARIM BIN ABDUL JALIL AKAN DISEBUT DI HADAPAN TIMBALAN PENDAFTAR (2). PUAN WAN NOR AKLIMA BINTI WAN SALLEH DALAM KAMAR TIMBALAN

Pentingnya guru dan pembina untuk menjadi motivator dalam memberikan ilmu dan binaan bagi anggota kepengurusan OSIS, meningkatkan pengawasan, memberikan arahan yang bisa

Semakin baik kontrol diri pada remaja laki-laki peminum miras, maka semakin rendah perilaku agresif, dan sebaliknya, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima

Setelah memperoleh data dari pre dan post tes, peneliti menganalisis data mengunakan metode t-test untuk mengetahui apakah ada atau tidak perbedaan yang