• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN: : SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN: : SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan Bambang Budi Sasmito

Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, THP-FPIK UB Email : niabbs@ub.ac.id

Pokok Bahasan : SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan B. Diskripsi Singkat : Modul membahas pengawetan ikan sebagai

bagian dari Sistem Perikanan secara keseluruhan. Modul ini diberikan setelah sistem perikanan tangkap dan sistem perikanan budidaya. Aspek utama yang dibahas ialah jenis-jenis pengawetan ikan yang pada akhirnya merugikan manusia.

C. Tujuan Instruksional Khusus:

1. Peserta bisa menjelaskan (dengan kalimat sendiri) definisi dari sistem pengawetan ikan sebagai bagian dari sistem perikanan secara keseluruhan;

2. Peserta bisa menyebutkan komponen utama pada sistem pengawetan ikan

3. Peserta bisa menyebutkan 5 (lima) tipe pengawetan ikan;

4. Peserta mampu menjelaskan jenis-jenis manipulasi terhadap sistem yang dilakukan manusia dalam usaha mengawetkan ikan 5. Peserta bisa menyelesaikan projek tentang pilihan pengawetan

ikan

D. Isi Pokok Bahasan: 1. Pendahuluan

Sejarah pengolahan ikan sudah dimulai sejak dahulu kala, ribuan tahun sebelum masehi. Kapan mulainya orang-orang mengenal cara-cara pengolahan ikan tidak diketahui secara-cara pasti. Namun bukti-bukti menunjukan bahwa ketika masih jaman batupun telah diketahiu adanya cara-cara pengolahan ikan secara sederhana. Diduga pengeringan merupakan metode pengawetan dan pengolahan ikan yang pertama-tama dikerjakan orang. Kemudian peralatan dari logam mulai digunakan kira-kira 3500 sebelum masehi (Hadiwiyoto, 1993).

MODUL

8

(2)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

2012 University of Brawijaya

Dengan semakin berkembangnya pasar dan teknologi pengolahan hasil perikanan, maka setiap pengolah ikan dituntut agar dapat menerapkan tehnik-teknik baru atau yang lebih memadai. Tujuan pengolahan ikan pada dasarnya adalah memperpanjang daya awet, meningkatkan nilai tambah produk dan memanfaatkan secara efisien komponen-komponennya. Produk perikanan sangat mudah busuk atau kehilangan kesegarannya, sehingga sangat diperlukan cara atau proses pengolahan yang dapat memperpanjang daya awet produk tersebut. Dengan demikian produk tersebut dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama dan dapat didistribusikan ke lokasi-lokasi yang jauh dari lokasi penangkapannya. (Ariani, 2002).

Usaha mencegah proses pembusukan agar ikan-ikan yang melimpah dapat memanfaatkan, perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang cepat serta tepat. Memang dalam masalah cita rasa akan memiliki perbedaan antara ikan yang masih segar dengan yang sudah diawetkan. Bahkan dari semua cara pengawetan ikan akan menyebabkan perubahan sifat-sifat yang terdapat pada ikan segar, baik dalam hal bau, rasa, bentuk, maupun struktur dagingnya. Pengawetan cara tradisional merupakan cara yang umum dilakukan oleh para nelayan dengan menggunakan peralatan dan bahan-bahan yang sangat sederhana. Cara yang biasa dilakukan adalah pengeringan, pengasapan, penggaraman, dan fermentasi (Irawan, 1997).

Protein ialah komponen terpenting pada makanan. Berdasarkan sumbernya, protein bisa dibedakan ke dalam protein nabati (tumbuhan) dan protein hewani (berasal dari hewan). Selanjutnya, protein hewani pada dasarnya dibedakan lagi dalam dua kelompok, ialah: hewan ternak di darat dan protein yang berasal dari ikan atau binatang air lainnya. Pengetahuan tentang ternak di darat sudah banyak diketahui dibandingkan dengan ikan. Namun ikan mengandung beberapa bahan penting yang tidak terdapat pada hewan ternak di darat. Selain itu, beberapa jenis ikan mempunyai rasa yang sangat khas dan enak menurut selera kebanyakan masyarakat. Hal ini menempatkan ikan sebagai salah satu komponen sumber makanan yang penting bagi manusia. Masalah utama pada ikan ialah dia lebih cepat mengalami pembusukan dibandingkan daging dari hewan ternak di darat sehingga membutuhkan penanganan khusus.

Ikan yang kita makan sehari-hari bisa berasal dari dua sumber kegiatan, ialah penangkapan dan/atau budidaya. Ikan mempunyai kandungan air yang relatif tinggi dibanding hewan ternak. Hal ini membuat ikan sebagai media yang optimal untuk pertumbuhan organisme pengurai protein maupun organisme patogen. Hal ini membuat ikan akan cepat mengalami proses pembusukan. Proses pembusukan secara mudah bisa kita ketahui dari warna alminya yang berubah dan baunya yang menyengat. Proses pembusukan berdampak pada penolakan komoditas untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Pembusukan akan merugikan nelayan atau petani ikan. Kita sudah sering mendengar dari nelayan yang membuang ikan ke laut pada saat musim panen karena tidak laku dijual. Sebaliknya, harga ikan menjadi mahal pada saat musim paceklik (low fishing season).

(3)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

Page 3 of 9

2012 University of Brawijaya

Gambar 1 Diagram hipotetik nomenklatur sumber protein dan proses pembusukan dari berbagai sumber protein hewani.

Ikan yang sedang mengalami proses pembusukan bisa dibedakan dari ikan yang masih segar dengan karakteristik sebagai berikut:

1) Karakteristik ikan segar:  Daging kenyal;

 Mata jernih dan menonjol;  Sisik kuat dan mengkilap;

 Warna cemerlang secara keseluruhan;  Insang berwarna merah;

 Dinding perut masih kuat (tidak lembek)  ikan berbau tapi tidak anyir

2) Karakteristik ikan yang sudah mengalami pembusukan:  Daging lembek;

 Mata suram dan tenggelam ke dalam  Sisik suram dan mudah lepas;

 Warna tubuh suram dan didominasi lendir;

 Insang berwarna kelabu dengan lendir yang tebal  Dinding perut lembek

 Ikan berbau anyir atau busuk

2 Pengawetan ikan sebagai sistem

Pasar hanya mau menerima ikan dalam kondisi segar atau, paling tidak, ikan yang belum mengalami pembusukan. Ikan yang sedang atau sudah mengalami pembusukan tidak bisa diterima oleh konsumen untuk kebutuhan konsumsi. Bahkan, ikan yang sudah busuk juga sangat sulit diterima untuk kebutuhan non-konsumsi, seperti untuk bahan tepung ikan. Oleh karena itu penjual akan memasarkan ikan dalam bentuk segar atau ikan yang belum mengalami pembusukan.

Sebelum dijual, ikan sering kali harus mengalami paket perjalanan sebelum mencapai konsumen. Proses perjalanan (transportasi) untuk mencapai pasar atau distribusi memerlukan waktu yang sering kali relatif lama. Selama perjalanan ini, ikan sering kali menjadi busuk dan tidak diterima oleh pasar atau distribusi. Untuk itu, manusia melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kualitas ikan tetap terjaga sebelum dikonsumsi oleh konsumen. Jenis manipulasi teknologi pengawetan ini akan bervariasi sesuai dengan ketersediaan bahan, kemampuannya dalam mempertahankan kualitas ikan, biaya yang dubutuhkan dibandingkan nilai tambah yang didapat dan dampak yang ditimbulkan dari penambahan pengawet (additive).

(4)

2012 University of Brawijaya

Pengawetan ikan, dengan demikian, bisa dikatakan sebagai usaha (manipulasi) teknologi) oleh manusia untuk mempertahankan kualitas ikan seperti pada kondisi segar dengan memberikan suatu bentuk perlakuan terhadap ikan (hasil tangkap maupun budidaya). Kondisi ikan dibandingkan dengan pada saat masih segar ialah indikator dari kualitas ikan tersebut. Gambar 2 menunjukkan salah satu skenario tingkat kesegaran (kualitas) berdasarkan perubahan waktu, antara ikan tanpa perlakuan dan setelah mengalami perlakuan pengawetan oleh manusia. Pada kondisi normal (alami), ikan mulai mengalami penurunan kualitas setelah 2 jam. Sedangkan perlakuan pengawetan bisa mempertahankan kesegaran ikan sampai 5 jam. Namun setelah 18 jam, kualitas ikan hampir tidak berbeda yang menunjukkan bahwa perlakuan pengawetan sudah tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap kualitas ikan.

Gambar 2 Grafik hipotetik skenario penurunan kualitas ikan yang terjadi secara alami () dan ketika dilakukan usaha pengawetan ().

3 Teknologi Pengawetan

Seperti telah dijelaskan, manipulasi teknologi yang digunakan untuk mempertahankan kualitas ikan sangat beragam. Namun pada dasarnya, tipe pengawetan tersebut bisa dipisahkan ke dalam kategori: (1) perlakuan suhu; (2) perlakuan biologis; (3) perlakuan kimia dan (4) perlakuan kombinasi.

3.1 Perlakuan suhu A Suhu Dingin

Bakteri pengurai protein, dekomposer maupun patogen biasanya aktif pada suhu antara 0 – 30 °C. Pada suhu diturunkan secara cepat, aktifitas bakteri akan melambat atau bahkan bisa berhenti selama beberapa saat. Pengetahuan ini digunakan sebagai dasar untuk memberikan perlakuan es pada ikan. Ikan biasanya dibersihkan dengan air bersih untuk mengurangi jumlah bakteri awal. Setelah itu,

(5)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

Page 5 of 9

2012 University of Brawijaya

ikan dicelupkan ke dalam air es selama beberapa saat. Selanjutnya ikan dipindahkan, dan digabungkan bersama es. Ikan disimpan bersama es pada ruang yang terisolasi dari suhu di luar yang panas. Stereo-foam ialah tipe box yang sering digunakan untuk menyimpan ikan ketika diberi es. Setelah beberapa lama, seluruh es akan mencair dan suhu meningkat. Pada saat itu ikan dicelupkan kembali ke dalam larutan es dan disimpan bersama es. Dengan cara ini, ikan bisa disimpan mungkin sekitar 20 hari dan masih dinyatakan sebagai produk ikan segar.

Proses distribusi ikan untuk mencapai pasar sering memerlukan waktu lebih lama dari kemampuan es untuk mempertahankan kesegaran ikan. Pada kondisi ini, ikan disimpan pada suhu – 40 °C atau sampai – 80 °C pada ruangan yang terisolasi. Ikan sering kali bisa disimpan sampai 6 – 12 bulan dan bisa diterima oleh pasar. Ketika dijual produk ikan ini disebut sebagai kategori beku. Sedangkan kualitas seperti tersebut di atas masih disebut ikan segar.

B Suhu Tinggi

Aktifitas bakteri pembusuk juga bisa dihambat atau dihentikan sementara pada suhu tinggi, 80 – 90 °C. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan suhu daging ikan secara cepat sampai batas yang diinginkan. Ikan produk kaleng misalnya, sudah sering menggunakan suhu tinggi untuk menghentikan aktifitas bakteri pengurai.

Proses pemanasan ikan sering kali dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan asap panas. Selain untuk meningkatkan suhu, pengeringan juga bertujuan untuk menurunkan kandungan air pada ikan (air ialah media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk). Pengeringan juga menyebabkan koagolasi protein dan menjadikan bagian luar ikan keras dan kompak. Kondisi ini akan menyulitkan mikroorganisme untuk menembus daging dari luar.

Proses pengeringan yang paling sering kita lihat ialah dengan menggunakan sinar matahari (sun drying). Pengeringan juga bisa dilakukan melalui proses pengasapan. Asap pembakaran kayu pada proses pengeringan, selain membawa udara panas, juga mengandung senyawa atau bahan-bahan anti-mikroba (seperti aldehide, alkohol, keton). Pengasapan bisa menyebabkan permukaan ikan lebih mengkilat dan menjadi daya tarik untuk konsumen. Namun teknologi asap menyebabkan permukaan luar ikan menjadi sangat keras. Pengawetan ikan melalui proses pengasapan sering kali disebut sebagai kombinasi antara tipe suhu panas dan kimia. Ikan kaleng juga menggunakan kombinasi antara suhu tinggi dan vakum untuk untuk menghambat proses pembusukan oleh mikro-organisme.

Gambar 3 kombinasi penggunaan suhu tinggi dan pengeringan dalam pengawetan ikan. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar atau

(6)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

2012 University of Brawijaya

kandungan air pada ikan. Pengeringan juga menyebabkan bagian luar ikan menjadi keras dan kompak sehingga daging bagian dalam akan sulit ditembus oleh mikro-organisme.

3.2 Pengawetan Biologis

Pengawetan ikan kadang dilakukan dengan memberikan ragi. Ragi ialah sel-sel hidup yang diberikan pada ikan untuk merubah karbohidrat menjadi alkohol. Sel ragi akan menghasilkan enzim yang menjadi katalisator biologis dalam membantu berbagai reaksi biokimia, termasuk untuk merubah karbohidrat.

Pengawetan secara biologis ini relatif jarang dilakukan pada tatanan praktis. Walaupun kualitas ikan bisa dipertahankan, cita rasa ikan akan berubah dari kondisi aslinya. Bagi orang yang tidak terbiasa, hasil dari pengawetan biologis sering ditolak oleh konsumen.

Metode fermentasi yang paling umum digunakan ialah dengan menambahkan bakteri asam laktat. Pada media yang tepat, fermentasi bakteri akan bekerja menghasilkan asam-asam organik: asam laktat, asam asetat, asetaldehide dan senyawa anti-mikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri pembusukan. Media bakteri yang sering ditambahkan ialah gula dan tepung (tapioka). Bakteri ini bekerja pada kondisi anaerobik, sehingga ikan harus ditutup rapat dalam plastik atau stoples.

3.3 Pengawetan Kimiawi

Tipe pengawetan secara kimia yang paling umum dan mudah dilakukan ialah dengan pemberian garam dapur (NaCl). Teknik ini sering dikombinasi dengan pengeringan dan fermentasi sehingga menghasilkan ikan asin. Jika tidak menggunakan fermentasi biologis, produk yang dihasilkan ialah berupa ikan asin kering. Tipe pengawetan kimia sangat beragam. Sebagian besar pengawet tersebut menggunakan bahan non alami, sehingga bisa menimbulkan dampak sampingan yang relatif berbahaya bagi kesehatan manusia.

A. Asap Cair

Asap cair ialah suatu ekstrak dari bahan alami yang menghasilkan senyawa anti-bakteri, anti-jamur dan dapat memperlambat penurunan kualitas ikan. Asap cair pada dasarnya mengandung senyawa asam organik, karbonil, furan, alkohol, ester, lakton, fenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon. Gabungan senyawa ini secara bersama mempunyai pengaruh bakterisidal.

Ikan yang masih segar dimasukkan ke dalam larutan asap cair (konsentrasi 10%) selama 30 menit. Jika disimpan pada suhu kamar, kualitas ikan bisa dipertahankan sampai sekitar 24 jam. Namun jika dikombinasi dengan penyimpanan suhu dingin, kualitas bisa dipertahankan sampai beberapa hari. Namun senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) ternyata berbahaya untuk kesehatan, sehingga aplikasi asap cair harus dilakukan secara hati-hati.

B. Nitrit & Nitrat

Pengawet jenis Nitrit dan Nitrat banyak tersedia dalam bentuk garam kalium atau natrium nitrit. Kedua bahan ini berbentuk butiran dengan tingkat kelarutan yang tinggi (pada media air). Kedua bahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging ikan. Namun daya awet dari kedua bahan ini relatif rendah atau tidak

(7)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

Page 7 of 9

2012 University of Brawijaya

berlangsung lama. Jumlah nitrit yang ditambahkan biasanya tidak melebihi 0,1% atau 1 gram per kilogram ikan. Pemberian nitrat melebihi 2 gram per kg bahan bisa menyebabkan keracunan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Untuk mengatasi keracunan tersebut maka pemakaian nitrit biasanya dicampur dengan nitrat dalam jumlah yang sama. Nitrit tersebut akan diubah menjadi nitrat sedikit demi sedikit sehingga jumlah nitrit di dalam daging tidak berlebihan.

C. Pengawet dan pewarna alami

Penggunaan es sebagai pengawet sering kali tidak bisa dijangkau oleh nelayan dibandingkan dengan kompensasi dari harga ikan hasil produksi. Sebagai gantinya, nelayan kadang menggunakan bahan kimia alami yang dicampur dengan pewarna dalam proses pengawetan ikan. Bahan seperti jahe, sosor bebek, mahkota dewa dan lidah buaya diduga mengandung senyawa yang bisa menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan lain, seperti kunir, karamel dan pandan lebih banyak berfungsi sebagai pewarna alami untuk menambah daya tarik pada produk.

D. Bahan kimia berbahaya

Penggunaan bahan pengawet kimia bisa dibedakan berdasarkan sumbernya, ialah bahan alami dan bahan sintetis yang dibuat melalui pabrik kimia. Secara praktis, bahan alami sulit bisa tersedia dalam jumlah dan kemasan yang mudah untuk aplikasi pada tingkat lapang. Bahan kimia alami juga tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan konsumen tentang warna dan mempertahankan kualitas ikan. Dengan pertimbangan ini, nelayan lebih sering memilih bahan kimia pengawet sintetis.

Pengawet kimia sintetis sering kali menimbulkan efek samping yang berbahaya pada kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan pengawet nitrit bisa meracuni darah. Pengolah ikan, seperti pemindang atau pengasin sering menggunakan bahan pengawet yang tidak direkomendasi atau bahkan dilarang oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Bahan tersebut, antara lain ialah formalin, baygon, dan sejenisnya. Namun bahan kimia ini sangat sulit untuk dideteksi secara visual maupun dalam penampilan produk secara fisik. Bahkan sering kali penggunaan bahan ini lebih memperlihatkan kondisi produk yang lebih higienis. Ikan yang diawetkan dengan formalin sering kali tidak dirubung lalat. Dengan demikian, konsumen secara cepat akan cenderung memilih produk yang justru seharusnya dihindari.

4. Teknologi pengawetan ikan yang ramah lingkungan

Tipe teknologi pengawetan ikan yang ramah lingkungan mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan pertama ialah pada kemampuan mempertahankan kualitas ikan relatif pendek. Jika bisa dilakukan dalam waktu lama, dia akan membutuhkan biaya yang relatif tinggi dibandingkan teknologi alternatif lainnya. Pengawetan dengan es mungkin termasuk yang paling ramah lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan. Tipe kedua ialah pembekuan (frozen). Namun kedua tipe pengawetan ini memerlukan energi dan sekaligus biaya yang tinggi. Sebaliknya, biaya yang dikeluarkan sering kali tidak sebanding dengan dengan penerimaan yang didapat dari harga ikan.

Ikan asin, jika prosesnya dilakukan secara higienis termasuk tipe pengawetan yang tidak berbahaya. Biaya untuk membuat ikan asin juga tidak terlalu mahal. Perlakuan yang diberikan ialah garam dapur yang dikombinasi dengan pengeringan

(8)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

2012 University of Brawijaya

pada kondisi sinar matahari. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan atau kadar air pada daging ikan. Penambahan garam ditujukan untuk menghambat pertumbuhan mikro-organisme patogen. Masalah dasar pada tipe pengawetan ini ialah rasa ikan yang sudah diawetkan dan jika tidak tersedia cukup sinar matahari untuk melakukan pengeringan. Ikan asin tidak termasuk jenis awetan yang disenangi konsumen. Jika tidak ada sinar matahari ketika melakukan pengeringan, ikan akan cepat mengalami kerusakan. Kondisi inilah yang menjadi pendorong utama nelayan menggunakan bahan kimia lain untuk memastikan ikannya lebih awet.

Kombinasi antara pemanasan, penggunaan kimia dari bahan alami (bumbu dan penyedap) dan kedap udara ialah teknik pengawetan yang sering digunakan untuk produk-produk ikan dalam kaleng. Perusahaan pengalengan biasanya termasuk kategori perusahaan besar dan keberadaannya mudah dilacak. Selain, bahan tersebut di atas, perusahaan tidak akan mau menambahkan bahan-bahan kimia lain yang berbahaya bagi kesehatan.

Ringkasan:

Setiap konsumen selalu memilih ikan yang paling segar untuk konsumsi keluarga. Penghasil ikan (nelayan) sering harus mengatasi faktor jarak dan waktu untuk bisa mencapai pasar dan distribusi. Kendala jarak dan waktu menyebabkan kualitas tidak bisa dipertahankan sesegar mungkin, dan produsen harus melakukan upaya pengawetan ikan untuk mempertahankan kualitas ikan ketika dijual.

Teknik pengawetan sangat beragam, dari yang paling sederhana dan murah sampai yang sangat kompleks dan mahal. Teknik sederhana dan murah biasanya tidak mampu mempertahankan kualitas ikan seperti keinginan konsumen. Ikan asin ialah salah satu produk pengawetan dengan cara yang mudah dan murah. Namun rasa ikan asin tidak disukai oleh kebanyakan konsumen.

Beberapa teknik pengawetan ikan memerlukan energi dan biaya yang terlalu tinggi untuk bisa dijangkau oleh nelayan atau penghasil ikan. Biaya pengawetan tidak bisa dikompensasi dari harga ikan di pasar. Namun tipe pengawetan ini bisa mempertahankan kualitas seperti yang diinginkan oleh konsumen.

Beberapa teknik pengawetan dengan menggunakan bahan kimia sering menjadi target sebagian besar produsen ikan. Penggunaan bahan kimia alami sering tidak praktis dan ketersediaannya tidak kontinyu. Oleh karena itu nelayan atau produsen ikan memilih bahan kimia sintetis yang sering berbahaya bagi konsumen. Bahan kimia sintetis ini sulit dideteksi secara visual sehinga kita tidak bisa melacak bahan pengawet yang digunakan. Hal ini memungkinkan penggunaan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan seperti formalin.

(9)

Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN

Page 9 of 9

2012 University of Brawijaya

Referensi:

Afrianto E., & E. Liviawati. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta, Kanisius.

Ariani, F. 2002. Jurnal Teknologi Pengolahan Ikan dan Rumput Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Blair A, P. Stewart, PA Hoover. 1987. Cancers of the nasopharynx and oropharynx and formaldehyde exposure. J. Natl. Cancer Inst. 78(1): 191-193.

Dwijitno, & R. Riyanto, 2006. Studi penggunaan asap cair untuk pengawetan ikan kembung (Rastrelliger neglectus) segar. Jurnal Pascapanen Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 1(2): 143-148

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.

Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. CV.Aneka. Solo.

Tugas membuat projek:

Madura (Jawa Timur) dan Kupang (Timor) ialah dua wilayah dengan karakteristik tingkat curah hujan sangat rendah dan suhu udara tinggi. Madura juga sangat khas dengan dengan produksi garam. Sedangkan Kupang mempunyai kayu-kayu kering, berukuran kecil dan daya api yang kuat. Buat suatu projek untuk menilai jenis prioritas jenis pengolahan ikan untuk daerah Madura dan Kupang. Analisis prioritas jenis pengawetan dilakukan berdasarkan indikator: ketersediaan bahan baku, kondisi lingkungan yang mendukung dan dampak produk pengawetan pada kesehatan konsumen serta lingkungan

Gambar

Gambar 1 Diagram  hipotetik  nomenklatur  sumber  protein  dan  proses  pembusukan  dari berbagai sumber protein hewani
Gambar 2 Grafik hipotetik skenario penurunan kualitas ikan yang terjadi secara alami  () dan ketika dilakukan usaha pengawetan ()
Gambar 3   kombinasi  penggunaan  suhu  tinggi  dan  pengeringan  dalam  pengawetan  ikan

Referensi

Dokumen terkait

Tugas dari gudang farmasi yaitu melaksanakan pengelolaan meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi dan peralatan kesehatan yang

Pola ini mem- punyai keuntungan yaitu dalam setahun dapat dilakukan panen hingga 4 kali dan mutu sarang yang dihasilkan pun baik karena sempurna dan tebal.. Ada- pun kelemahannya

Secara spektrografiknya, data-data spektrogram yang mewakili kata-kata seperti „naik‟, „kain‟ „laut‟ „kaut‟ dan „soal‟ pada posisi dan kategori urutan

Demikian gambaran kegiatan yang akan kami selenggarakan, maka dari itu “SANGGAR SENI BUDAYA LUSIDO AJIBATA” berusaha untuk menggali dan menampilkan kembali nilai

Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekonomis dengan menggunakan analisis tekno ekonomi dari implementasi teknologi fixed-WIMAX dan fiber-optic pada infrastruktur

Dalam penelitian ini, rumusan hipotesis yang digunakan peneliti adalah kemampuan sains anak dalam bidang perkembangan kognitif melalui kegiatan permainan eksperimen sains

Uji Autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu pengamatan

Pembayaran retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dibayar oleh Wajib Retribusi sesuai dengan Surat Ketetapan Retribusi Daerah dan Surat Tagihan