• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. bentuk kesimpulan dan dilanjutkan dengan saran-saran. Berdasarkan rumusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. bentuk kesimpulan dan dilanjutkan dengan saran-saran. Berdasarkan rumusan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

298 BAB V PENUTUP

J. Kesimpulan

Dalam bagian akhir tesis ini ditulis hasil ringkasan penelitian dalam bentuk kesimpulan dan dilanjutkan dengan saran-saran. Berdasarkan rumusan masalah dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dan perannya sebagai pemersatu atas keberagaman suku bangsa, bahasa, budaya, dan adat istiadat, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling mendasar telah berhasil diwujudakn dan diwadahi dalam Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Dalam sejarahnya, Pancasila tidak terlahir dengan seketika pada tahun 1945, tetapi membutuhkan proses penemuan yang lama, dengan dilandasi oleh perjuangan bangsa dan berasal dari gagasan dan kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri.

Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan bukan meniru dari bangsa lain, tetapi sudah berurat berakar dalam sifat dan tingkah laku masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila itu secara historis dapat dilihat pada awal abad V, yaitu dengan berdirinya Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur), Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat). Unsur-unsur dasar negara mulai tampak sejak abad VII dalam kehidupan Kerajaan Sriwijaya di Palembang

(2)

299

dan puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit di sekitar Mojokerto, Jawa Timur.

Para pujangga dan penguasa kerajaan pada masa itu juga telah memikirkan untuk membangun kesadaran pentingnya mewujudkan kehidupan aman, damai, dan sejahtera di bumi Nusantara ini. Mahaguru, Mpu Tantular sangat brilian menggambarkan kesatuan Nusantara kala itu berhasil dibangun karena semangat “Bhineka Tunggal Ika”, yang bunyi lengkapnya Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa, yang menjunjung tinggi warga bangsa, menghargai keragaman kultur dan etnis, atau pluralisme, dalam kesatuan bangsa, dalam semangat menghagai perbedaan, “berbeda-beda tetapi tetap satu”, karena yang terpenting adalah pengabdian, atau dharmanya, yang terbaik bagi nusa, bangsa, negara, dan kemanusiaan.

Kehendak para pendiri negara untuk hidup bersama dalam permbedaan akhirnya melahirkan karya besar bernama Pancasila. Secara historis konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang tiga fase; “pembuahan”, “perumusan” dan “pengesahan”. Fase “pembuahan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan, seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Setiap fase, melibatkan partisipasi berbagai unsur dan

(3)

300

golongan, sehingga Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai karya bersama milik bangsa.

Sementara fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK (1 29 Mei-1 Juni 1945). BPUPK yang didirikan pada 29 April 1945, yang beranggotakan 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang, menyusul pernyataan Perdana Menteri Kuniaki Koiso saat berpidato di depan Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.

Fase “Pengesahan” Pancasila dimulai sejak tanggal 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara. Semenjak itu, lima sila yang termaktub dalam Pancasila adalah; Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Pancasila.

2. Indonesia adalah Negara hukum Pancasila. Negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Konsepsi negara hukum Pancasila di Indonesia dengan konsep negara hukum yang digunakan di negara lain memiliki perbedaan. Identitas negara hukum Indonesia bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara.

Konsep negara hukum Pancasila, mengandung lima macam karakteristik. Pertama, negara hukum Pancasila berasas kekeluargaan: mengakui

(4)

hak-301

hak individu tapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kedua, berkepastian hukum dan berkeadilan. Ketiga, berlandaskan nilai-nilai keagamaan (religious nation-state). Keempat, memadukan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dan hukum sebagai cerminan budaya masyarakat. Kelima, basis pembentukan hukum mestilah pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal.

Berdasarkan konsepsi negara hukum Pancasila serta ciri-ciri yang terkandung di dalamnya, maka dapat dipahami bahwa negara Indonesia tidaklah menganut konsep negara hukum Rechtstaat yang berlaku di Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem hukum civil law atau modern Roman law, dan bukan pula menganut konsep the rule of law dari Anglo Saxon, melainkan menganut konsep Negara Hukum Pancasila berciri khas Indonesia.

3. Kelompok radikalisme tumbuh berkembang karena faktor pemahaman terhadap doktrin agama secara tekstual, berlebihan, dan memaksakan ideologi. Kaum radikalis ini menganggap sistem negara Pancasila dan demokrasi itu haram hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah taghut (istilah bahasa arab merujuk pada “setan”), yang harus diganti dengan jalan syari’at Islam, yang sebagian dari mereka menjalankan aktifitas teror dengan melakukan aksi peledakan bom di tempat-tempat umum yang tak sedikit menimbulkan korban jiwa.

Fakta ini dapat kita tangkap bahwa NKRI yang berideologi Pancasila sedang berada dalam bayang-bayang radikalisme. Kelompok ini juga

(5)

302

seolah-olah merasa tidak kaffah—menjalankan syari’at Islam di negara Pancasila dan mereka muncul untuk menegakkan negara Islam atau Khilafah Islamiyah dengan membawa simbol mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena adanya agama lain.

4. Strategi pelembagaan nilai-nilai Pancasila pada Presiden Soekarno berasal dari Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang dirumuskan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang diembankan kepada Presiden sebagai Mandataris Majelis Permusyawratan Rakyat Sementara (yang bertindak selaku MPR) lebih berorientasi kepada wacana memasukkan Pancasila sebagai mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan perguruan tinggi (sekarang pendidikan dasar dan menengah dan perguruan tinggi), demi tegakknya nilai-nilai luhur Pancasila sebahai falsafah bangsa, ideologi maupun sebagai dasar negara.

Di era Orde Baru juga “berkomitmen” melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dimanifestasikan dalam Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Kemudian Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri,

(6)

303

dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 239 Tahun 1980, Nomor 163 Tahun 1981, dan Nomor 86 tahun 1982, tentang pembentukan BP-7 di Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II sehingga di setiap propinsi dan kabupaten dan kotamadya memiliki lembaga yang bernama BP-7 Daerah.

Langkah cepat pun dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengembalikan Pancasila posisi awalnya, dengan dilakukannya Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 yang mengaruskan pensosialisasian Pancasila di sekolah ataupun di masyarakat, pelajar, mahasiswa, organisasi sosial dan lembaga negara wajib mengikuti penataran ini dengan tujuan memberikan pengertian yang sama tentang Pancasila. Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila terjadi dalam beberapa pola, misalnya, di tingkat Sekolah Menengah Pertama 45 jam, Sekolah Menengah Atas 45 jam, dan di perguruan tinggi negeri diselenggarakan dalam pola 100 jam terpadu.

Semetara di masa reformasi ini, strategi memasyarakatkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) sebagaimana diamanatkan pasal 15 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR/DPD/DPR/DPRD. Demi memperlancar tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2005 yang berjudul tentang “Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Sosialisasi UUD Negara

(7)

304

Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR-RI” yang ditetapkan pada tanggal 15 April 2005.

5. Ide pembentukan lembaga baru yang bertugas melakukan upaya pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila dalam rangka menanggulangi gerakan radikalisme terus bergulir dan mendapat sambutan luas dari masyarakat. Pemerintah dalam hal ini harus segera melakukan langkah-langkah kongkrit agar masyarakat memiliki pemahaman mengenai Pancasila dengan baik dan benar. Pengalaman selama era Orde Baru menunjukkan bahwa pendekatan political intervention ini dilakukan secara penuh oleh negara. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah bukti proyek besar bagi ideologisasi Pancasila untuk masyarakat luas.

Dalam konteks ini, pemerintah juga perlu segara melakukan beberapa langkah, pertama, memasukkan kembali Pendidikan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan SD, SMP, SMA, hingga Universitas agar para generasi muda memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi sehingga dapat fokus membangun bangsa tidak mudah terjerat oleh paham radikalisme agama. Karena disinyalir kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi mengalami disorientasi terhadap ajaran-ajaran toleransi yang sudah termaktub di dalam Pancasila,—yang berkembang justru ajaran-ajaran radikalisme yang mengerikan.

(8)

305

Kedua, pemerintah harus segera mengontrol organisasi massa radikal yang berpotensi melakukan makar terhadap ideologi Pancasila. Dalam hal ini termasuk pula organisasi yang anarkis dan tidak sejalan tujuan organisasinya dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga, ormas Islam moderat harus mampu menguatkan andilnya dengan menolak segala macam bentuk radikalisme dan fundamentalisme. Hal itu bisa dilakukan dengan berperan aktif membantu pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial-budaya, dan lain sebagainya.

K. Saran-saran

Dalam penulisan penelitian tesis ini, dapat disampaikan saran-saran berkenaan dengan hasil pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah, hendaknya segara mendirikan lembaga independen yang khusus mengawal Pancasila. Hal ini dimaksudkan untuk membudayakan nila-nilai Pancasila agar dapat mematahkan, meredam dan mematikan mata tantai gerakan fundamentalisme, radikalisme, terorisme, dan aksi-aksi bom bunuh diri di bumi pertiwi ini.

2. Kepada masyarakat luas; kaum akademik; mahasiswa, dosen, pelajar, peneliti, dan para birokrat, hendaknya menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup bersama, common platform, kalimatin sawa—common ground, titik temu, kontrak sosial atau civil religion. Dan tak kalah

(9)

306

pentingnya juga adalah jangan sampai terjebak dengan ide-ide dan gerakan yang diusung oleh kelompok radikalisme meskipun mengatasnamakan agama tertentu, yang secara tidak langsung justru mencoreng keindahan dan kebajikan agama (Islam) di pentas peradaban umat manusia dan keutuhan negara-bangsa dalam bentuk NKRI juga menjadi terancam. 3. Kepada Univesitas Gadjah Mada, yang secara tegas menyatakan dirinya

sebagai “Universitas Pancasila”, yaitu universitas yang menjadi tempat pelestarian dan pengembangan nilai-nilai Pancasila, hendaknya ke depan lebih memperbanyak lagi penelitian dan kajian-kajian baik berupa skripsi, tesis maupun disertasi yang terkait langsung dengan Pancasila dalam perspektif multidisiplin.

4. Terakhir, penulis mengakui bahwa penelitian yang dilakukan ini sangat kurang dari kata “sempurna”. Namun dari kekurangsempurnaan tersebut, justru diharapkan dapat ditemukan arus lain dari kajian ini dan oleh peneliti lain. Karena itu, atas kekuarangan dan kesalahan, penulis mengharap masukan dan kritik dari pihak manapun demi perbaikan kualitas penelitian dan penyusunan tesis ini.

Referensi

Dokumen terkait

Pendeteksian outlier pada regresi nonlinier dengan metode statistik likelihood displacement (LD) dilakukan dengan cara menghilangkan pengamatan yang diduga mengandung

Kendala menghasilkan karya tulis ilmiah banyak dihadapi guru karena sejak awal guru kurang melakukan pembiasaan untuk menuangkan ide atau gagasan mereka dalam

2 Menunjukan kejujurannya dengan menggunakan data hasil pengamatan (data apa adanya), namun kurang menunjukan kerjasama kelompok dalam menyelesaikan masalah yang

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: sekolah perlu melakukan penempatan ruang khusus untuk laboratorium biologi

The present study concludes that the risk of breast cancer increases with earlier age at menarche, delayed age at first pregnancy, delayed age at menopause,

dan seorang pemain sepak bola harus memiliki kelincahan yang baik agar dapat melakukan akselerasi, merebut bola dengan. cepat, melewati hadangan lawan dengan baik

Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi Pendidikan Agama Islam melalui proses penanaman nilai-nilai agama Islam di lingkungan informal atau dalam keluarga

Objek penelitian adalah Perguruan Tinggi Komputer di pulau Jawa dengan tujuan ingin mendapatkan deskripsi tentang struktur industri jasa pedidikan tinggi komputer di Pulau