DI BAKI, SUKOHARJO
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Wawasan Budaya Nusantara (MKK00102)
Program Studi Televisi dan Film Jurusan Seni Media Rekam
Disusun oleh :
RANGGA WIJAYA NIM. 14148117
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2015
i kasih-Nya, sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan bagi kami dalam penyusunan makalah mengenai kesenian tradisi macapat. Penulisan makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas tengah semester tiga pada mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara. Kami menyadari keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca, terutama pembimbing, yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami, laporan ini membawa manfaat, agar keseniaan tradisi macapat ini bisa berkembang seperti zamannya.
Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn selaku pembimbing dan pengampu matakuliah Wawasan Budaya Nusantara yang selalu bijaksana memberikan bimbingan, nasehat serta waktunya selama penelitian dan penulisan laporan penelitian ini.
2. Bapak Wariyo selaku pengurus kelompok macapat yang telah meluangkan waktu dan bersedia untuk wawancara serta memberikan penjelasan mengenai macapat.
3. Bapak Aryo Eko Sasmito selaku anggota macapat yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bersedia menjelaskan mengenai macapat secara sistematika.
4. Bapak Sutono selaku anggota dan orangtua saya yang telah memberikan jalan untuk meneliti dan mendokumentasikan mengenai kelompok macapatannya. 5. Saudara – saudara yang telah meberikan dorongan dan bantuan baik secara
iv kecil.
7. Teman-teman Semut Nakal atas kebersamaan dan bantuan yang berarti bagi penulis.
8. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya, hanya Allah SWT penulis serahkan segalanya mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi kita semua.
Surakarta, Desember 2015 Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 3 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Tinjauan Teori ... 6 1.5 Metode Penelitian ... 8
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Budaya Ide/Konsep ... 11
2.1.1 Nilai – Nilai yang ada di Tembang Macapat ... 11
2.2 Budaya Tindakan/Aktivitas ... 14
2.2.1 Macapatan ... 14
2.3 Budaya Artefak ... 16
2.3.1 Pakaian ... 16
2.3.2 Pedoman atau Kitab... 17
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ... 19
3.2 Saran ... 19
DAFTAR ACUAN ... 20
iv
Gambar 01. Macapatan ... 14
Gambar 02. Pakaian Macapatan ... 16
Gambar 03. Serat Wulang Reh ... 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebudayaan Jawa sangat beragam. Kebudaayaan di Jawa meliputi kesenian dan kasusastraan. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memiliki macam – macam jenis, antara lain seni rupa,
seni murni, seni pedalangan, seni tari, seni musik, dan lain – lain. Kasusastraan adalah berupa sastra lisan dan sastra tulis yang memiliki
peran penting bagi masyarakat Jawa.
Zaman sekarang, masyarakat Jawa banyak yang lupa mengenai tradisi yang telah turun – temurun dari nenek moyang ini. Karena, umumnya hanya turun – temurun dalam pembelajaran. Mereka kurang memahami sumber yang jelas. Bahkan ada juga yang sering melakukannya, tetapi tidak mengerti maksud atau makna dari tradisi tersebut. Jawa memiliki banyak tradisi, contohnya upacara manten,
sepasaran, tata krama, sungkem, dan lain-lain. Tetapi itu semua masih
bertahan sampai hari ini.
Di Jawa terdapat tradisi yang berupa sastra lisan yaitu tradisi
Macapatan. Macapatan adalah suatu tradisi zaman dahulu yang sampai
sekarang masih ada. Macapatan sendiri yaitu sebuah kegiatan kidung (menyanyi) yang didalam setiap lagu tersebut mengandung arti ataupun
nilai magis bagi yang menjalankannya.
Di kota Surakarta tradisi Macapatan sampai sekarang masih terjaga di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun tradisi Macapatan tidak banyak yang menyelenggarakan. Tradisi Macapatan masih dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakata dan Keraton Mangkunegaran, serta masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan Jawa (kejawen).
Salah satunya kelompok Macapatan yang pimpin oleh Bapak Wariyo. Kelompok ini sering menyelenggarakan kegiatan Macapatan dengan menggilir atau bergantian tempat dari pengurus satu ke pengurus yang lainnya. Jadi, tempat Macapatan ini tidak menetap dan sering berpindah. Di dalam kelompok ini juga tidak memiliki syarat. Siapapun itu, tua, muda, wanita, dan laki – laki semua boleh bergabung. Di dalam tradisi Macapat sendiri tidak membatasi orang yang ingin belajar dan melestarikan tradisi Macapatan.
Macapat terkenal dengan patokannya atau aturan dalam menyanyikan tembang. Dalam tembang terdapat guru lagu (persajakan),
guru wilangan (jumlah suku kata dalam setiap bait) dan guru gatra
(baris). Pada umunya setiap baris terdiri dari empat suku kata dan saat menyanyikan tembang setiap empat suku kata berhenti, untuk pernapasan.
1.2. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini untuk mengetahui wujud budaya pada tradisi macapatan di kota Surakarta, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana wujud budaya konsep/ide pada tradisi Macapatan? 1.2.2. Bagaimana wujud budaya tindakan/kegiatan pada tradisi
Macapatan?
1.2.3. Bagaimana wujud budaya artefak/fisik pada tradisi Macapatan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud budaya yang terdapat pada tradisi Macapatan yang ada di wilayah kota Surakarta.
1.4. Tinjauan Teori
1.4.1. Pengertian Tradisi
Pengertian tradisi menurut para ahli secara garis besar adalah suatu budaya dan adat istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (duniapelajar.com).
Tradisi yaitu suatu kebiasaan turun – temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat, atau anggapan bahwa cara – cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1483)
Menurut Rendra (1984:3), tradisi ialah kebiasaan turun temurun dalam sebuah masyarakat. Tradisi merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Sifatnya luas sekali, meliputi segala komplek kehidupan, sehingga sukar disisihkan dengan pemerincian yang tetap dan pasti. Terutama sulit sekali diperlakukan serupa itu karena tradisi itu bukan obyek mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia hidup pula. Tradisi bisa disederhanakan, tapi kenyataannya tidak sederhana.
1.4.2. Pengertian Kesenian Jawa
Suatu kesenian biasanya mencerminkan kepribadian masyarakat tertentu atau ciri khas dari suatu daerah, wilayah, bahkan bangsa. Kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan. (Umar Kayam, 1981 : 15)
1.4.3. Pengertian Tembang
Pengertian tembang menurut beberapa para ahli. Menurut Soekotja (1960:25) mengatakan bahwa tembang adalah karangan atau rangkaian bahasa yang menggunakan patokan tertentu yang cara membacanya dilagukan dengan menggunakan seni suara. Tembang yang terdapat di macapat berjumlah 11 :
Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pucung.
1.4.4. Pengertian Macapat
Setiap orang atau masyarakat Jawa mendefinisikan Macapat berbeda-beda, sehingga macapat mempunyai banyak definisi.
Macapat merupakan karya sastra Jawa yang berbentuk puisi yang
menggunakan bahasa Jawa (Widodo, 2006:80).
Menurut Widodo (2006:82), Biasanya masyarakat luas pada umumnya mengartikan Macapat sebagai maca papat-papat. Pengertian seperti ini lebih mendasarkan pada teknik menyanyikan tembang macapatnya. Pada umunya setiap baris terdiri dari empat suku kata dan setiap empat suku kata dipenggal untuk pernapasan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 853), macapat merupakan bentuk puisi Jawa tradisional, setiap baitnya mempunyai jumlah suku kata (gatra) tertentu, setiap gatra mempunyai suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir (guru lagu).
1.5. Metode Penelitian
Dalam mengungkap dan memecahkan permasalahan yang ada, maka perlu dilakukan serangkaian langkah – langkah metode penelitian, baik dengan objek kajian yang meliputi, nama penelitian atau grup, lokasi dan tanggal penelitian. Selain objek kajian ada juga metode pengumpulan data, yang meliputi observasi, wawancara, kajian pustaka, dan instrumennya, sehingga penyusunan laporan dapat dilakukan dengan lancar dan terencana. Beberapa hal yang terkait dengan langkah - langkah dalam penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.5.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat deskriprif. Dalam penelitian ini penulis berusaha menyajikan data deskriptif yang berupa wawancara dengan
pengurus kegiatan macapatan serta mengamati jalannya
macapatan. Sehingga akan dapat memahami tentang macapatan. 1.5.2. Objek Penelitian
Strategi penelitian yang digunakan yaitu observasional, wawancara narasumber dan kajian teori. Dimana penulis mengamati objek yang ada, mewawancarai narasumber yang terkait dan mengerti tentang subbab ini dan mengkaji ulang sumber-sumber dari buku dan jurnal. Objek yang dikaji meliputi tradisi macapatan. Serta mengkaji beberapa sumber buku mengenai tradisi macapatan.
1.5.3. Lokasi dan Tanggal Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang tradisi macapatan yang sudah ada sejak lama, khususnya di wilayah Surakarta yang menjadi sebuah saksi berkembangnya macapat. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Gedongan Rt 2/Rw4, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo pada hari Sabtu, tanggal 28 bulan November tahun 2015.
1.5.4. Metode Pengumpulan Data
1.5.4.1. Observasi
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi, dokumentasi dan wawancara. Observasi merupakan cara mendapatkan data – data dengan melakukan pengamatan secara langsung dengan alat indera terhadap objek yang diselidiki (Winarno Surachmand, 1987: 155) sebagaimana yang dikutip dalam Skripsi Asih Eko Widoto (2005) yang berjudul “Sentra Kriya Rancakan Gamelan Di Desa Jatibedug, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri”. Observasi dilakukan pada saat jalannya macapatan. Dalam observasi, pengamat diketahui oleh para anggota
macapatan, sedangkan para anggota dengan suka rela memberikan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati dan ikut berpartisipasi dalam jalannya macapatan.
1.5.4.2. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini ada dua narasumber yaitu, bapak Wariyo dan bapak Aryo Eko Sasmito. Bapak Wariyo adalah pemimpin macapatan, sedangkan bapak Aryo adalah sejarawan dan sekaligus anggota macapatan. Pemilihan narasumber berdasarkan pengetahuan dan pemahaman terhadap tradisi macapat. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian dikembangkan sesuai dengan permasalahan.
1.5.4.3. Kajian Pustaka
Kajian Pustaka dilakukan dengan mengumpulkan dan mengkaji secara mendalam mengenai uraian dan penjelasan yang berkaitan dengan macapat dari sumber data yang berupa tertulis. Sumber tersebut meliputi, jurnal, buku – buku, dan makalah. Data – data tersebut dapat berguna bagi panutan, pijakan atau landasan pemikiran untuk mendeskripsikan dan menyimpulkan penelitian ini.
1.5.4.4. Dokumentasi
Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah foto hasil dari pemotretan penulis. Objek yang didokumentasikan adalah suasana pada saat jalannya
macapatan, pakaian yang digunakan, serta buku pedoman
yang digunakan pada saat itu. Foto atau dokumentasi ini digunakan untuk mendukung materi dari isi makalah ini
dan sebagai bukti otentik dalam melakukan penelitian. Dalam melakukan observasi dan wawancara penulis menggunakan kamera Canon 60D dan smartphone Zenfone 4 untuk mengambil wawancara dan gambar saat jalannya macapatan.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Wujud Budaya Konsep
Dalam tradisi macapat wujud budaya konsep sangatlah melekat dalam salah satu kesenian jawa ini. Biasanya setiap tradisi mempunyai nilai, makna, atau ajaran yang baik bagi masyarakatnya.
2.1.1. Nilai – Nilai Dalam Tembang Macapat
Tembang macapat adalah salah satu kesenian jawa yang memiliki berbagai nilai – nilai, serta mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Aryo Eko Sasmito (Wawancara, 28 November 2015), Tembang macapat terdiri dari 11 yaitu,
Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pucung.
Dalam setiap tembang memiliki makna masing – masing yang menceritakan suatu tingkat atau proses kehidupan. Bila setiap tembang digabung, tembang tersebut bisa menceritakan awal kelahiran hingga kematian. Seperti yang diucapkan oleh Aryo Eko Sasmito (Wawancara, 28 November 2015), bahwa tembang macapat secara garis besar menggambarkan proses kehidupan dari janin, kelahiran sang bayi, bocah (anak kecil), remaja, kasmaran, pernikahan, pahit manisnya kehidupan, hingga kematian.
Urutan – urutan tembang dapat menjelaskan secara detail bahwa urutan tembang tersebut mengambarkan sebuah perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati. Adapun urutanya sebagai berikut ;
2.1.1.1. Maskumambang
Tembang maskumambang ini menggambarkan janin yang masih berada di dalam kandungan ibunya. 2.1.1.2. Mijil
Awal terlahirnya si jabang bayi atau bayi dari kandungan ibunya, tergambarkan dalam tembang Mijil. 2.1.1.3. Sinom
Tembang macapat sinom merupakan tembang macapat yang banyak membicarakan tentang anak muda yang sedang mengalami pertumbuhan. Biasanya anak muda masih dalam proses pencarian jati dirinya, sehingga remaja akan mencari sebuah panutan bagi dirinya.
2.1.1.4. Khinanti
Khinati banyak yang meyakini berasal dari kata
dikanthi – kanthi (diarahkan, dibimbing atau
didampingi). Maksudnya, seorang anak muda harus didampingi secara ekstra karena pada usianya ia mulai beriteraksi dengan banyak orang di lingkungannya. 2.1.1.5. Asmaradana
Dalam tembang ini menceritakan tentang anak muda yang sedang jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Pasti setiap anak muda manapun kalau sudah beranjak remaja, mereka akan mulai mengenal percintaan. 2.1.1.6. Gambuh
Tembang Gambuh memiliki makan cocok atau
sepaham. Tembang ini menggambarkan dua sejoli yang
sedang menikmati masa indah atau masa pernikahan. Pernikahan ini menjadi sebuah tanda persetujuan
(sarujuk) atas dua keluarga, sebagai obat (gambuh) atas
rasa cinta dari sepasang kekasih yang telah digambarkan dalam tembang macapat Asmarandana. 2.1.1.7. Dhandanggula
Dhandang berati pahit, sedangkan gula itu manis.
Maksudnya, dalam tembang Dhandanggula itu menggambar sebuah kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah pasangan atau suami istri dapat melewati pahi -
manis atau suka - dukanya dalam menjalani kehidupan
berumah tangga. 2.1.1.8. Durma
Tembang Durma menggambarkan kondisi ketika manusia telah menikmati segala kenikmatan dari Tuhan. Biasanya manusia yang sudah kecukupan atau sudah terpenuhi segala keinginannya mereka akan lupa dengan Tuhannya, sedangkan bila mereka menghadapi kesulitan mereka akan ingat kepada Tuhannya. Tembang Durma ini bisa dikatakan menggambarkan kemuduran etika (munduring tata krama).
2.1.1.9. Pangkur
Tembang pangkur yaitu melambangkan manusia yang telah berusia menginjak senja, dimana manusia tersebut mulai menyendiri atau menghindar dari hal – hal duniawi. Dalam tembang ini biasanya berisi nasihat tau pitutur bagi generasi muda, anak – anak dan teman. 2.1.1.10. Megatruh
Tembang Megatruh merupakan tembang yang menggambarkan proses kembalinya manusia ke asalnya atau sering dikenal sakaratul maut. Dalam bahasa Jawa
Megat itu berpisah, sedangkan ruh itu berarti jiwa. Jadi Megatruh artinya berpisahnya antara jiwa dan raga.
2.1.1.11. Pocung
Dalam tembang Pocung itu melambangkan seorang manusia dibungkus dengan kain mori atau pengkafanan jenazah. Sifat lagu ini adalah jenaka, teka teki, atau ringan. Meski ringan dan jenaka, namun dalam tembang ini membawa pesan yang berisi nasihat untuk membangung hubungan harmonis antara manusia, alam, lingkungan dan Tuhannya.
2.2. Wujud Budaya Tindakan
Sebuah tradisi, kebudayaan ataupun kesenian pasti memiliki wujud budaya tindakan yang berbeda serta mempunyai peran atau arti tersendiri. Salah satunya budaya tindakan yang terdapat dalam tradisi
macapat sangatlah sederhana, tetapi kesedehanaan ini sangat memiliki
peran yang besar bagi pencinta macapat.
2.2.1. Macapatan
Macapatan merupakan sebuah tradisi yang ada sejak
dulu. Macapat adalah sebuah lagu jawa yang berguna untuk membentuk karaktek masyarakatnya. Menurut Aryo Eko Sasmito dan Wariyo (Wawancara, 28 November 2015), Macapat itu mempunyai banyak definisi, tetapi arti dari semua definisi tersebut sama. Yaitu, merupakan tembang yang berperan membentuk sifat dan karakter bagi orang yang menjalankannya. Maka dari itu, macapatan merupakan suatu kegiatan kesenian dalam masyarakat budaya Jawa yang menyayikan (kidung) tembang atau lagu yang tidak diringi oleh alat musik dan hanya menggunakan vokal. Dalam macapatan tidak menggunakan musik gamelan atau iringan alat musik, tetapi lebih menggutamakan vokal dalam menyanyikan tembang. Jadi, bisa disimpulkan bahwa wujud tindakan atau kegiatan yang ada dalam
macapatan ini adalah kidung (menyanyi) atau sering disebut nembang.
Nembang yaitu menyanyikan lagu jawa atau tembang.
Menurut Wariyo (Wawancara, 28 November 2015), Nembang merupakan kegiatan dalam macapat yang menyanyikan tembang dengan patokan – patokan yang sudah ada. Kebanyakan orang menyebutnya nembang. Pada saat menembang kita harus dengan hati yang bersih.
Menurut Aryo Eko Sasmito dan Wariyo (2015), zaman dulu semua prasasti dan tulisan sansekerta itu dibaca dengan menggunakan patokan macapat atau menembang, serta orang yang bisa menembangkan hanya orang yang hatinya bersih atau dengan kata lain tidak sedang marah. Bila orang yang menembang sedang marah, pasti tembang yang dilantunkan tidak akan tepat dengan patokannya, serta makna yang terdapat dalam tembang menjadi tidak sesuai. Jadi zaman dulu orang yang sedang marah tidak dapat melantunkan tembang.
Gambar 01. Menembang ( Foto : Rangga Wijaya 2015 )
Kelompok macapatan ini dalam menembangkan lagu digilir atau bergantian, karena dalam kelompok ini metodenya pembelajaran. Metode ini berguna agar semua anggota dapat melantunkan tembang dengan benar atau dengan kata lainnya pelatihan. Hal tersebut sangat bagus, karena lebih membiasakan diri untuk menembang, serta hal tersebut sebagai upaya melestarikan tradisi macapatan yang sudah lama terjaga.
Hampir semua tradisi Jawa menyertakan macapatan untuk doa, mantra dan lainnya. Beberapa contoh tradisi yang menggunakan macapatan yaitu, bayen, mitoni, nikahan, nyewu dan lainnya.
2.3. Wujud Budaya Artefak
Artefak dalam tradisi macapatan sangatlah beragam. Di dalam macapatan sangat luas jika membahas artefaknya. Walaupun hanya dua buah saja, tetapi dalam sub pedoman itu sangatlah luas jika dibahas lebih dalam.
2.3.1. Pakaian
Setiap tradisi, pasti mempunyai pakaian khusus dan biasanya mencerminkan suatu tradisi tersebut. Kebanyakan orang berpendapat bahwa macapatan harus memakai baju batik, agar bisa mencerminkan orang jawa asli atau kejawen. Tetapi apapun pakaiannya dalam macapatan tidak berpengaruh.
Tradisi macapatan ini tidak harus berpakaian batik atau sebagainya. Menurut Wariyo (Wawancara, 28 November 2015),
Macapatan tidak mempunyai pakaian khusus dalam kegiatanya,
boleh memakai pakaian apapun asalkan sopan. Seperti halnya kita sembahyang, dari atas sampai bawah itu sopan.
Gambar 02. Pakaian Macapat ( Foto : Rangga Wijaya 2015 )
2.3.2. Kitab Atau Pedoman
Dalam tradisi macapat memiliki banyak pedoman untuk macapatan. Menurut Aryo Eko Sasmito (Wawancara, 28 November 2015), Kebanyakan dari tembang menggambarkan kehidupan, ada juga yang berisi mantra, doa, dan cerita maupun legenda. Pedoman dalam macapatan sangat banyak dan bila diteliti atau dikaji akan membutuhkan waktu yang lama karena sangat luas bila membahas pedomannya.
Pedoman atau kitab dalam macapatan sering disebut serat atau dalam bahasa indonesia adalah surat. Serat macapatan banyak jumlahnya serta banyak penciptanya. Kebanyakan pencipta serat macapatan berasal dari keraton khususnya raja-rajanya baik itu keraton Jogja dan Surakarta. Tetapi, ada juga serat yang diciptakan bukan dari orang keraton. Jadi, siapa saja bisa membuat serat macapat. Beberapa serat macapatan yaitu,
serat centhini, serat wulang reh, serat wedhatama, serat menak jingga dan lain sebagainya.
Gambar 03. Serat Wulang Reh ( Foto : Rangga Wijaya 2015 )
BAB III
PENUTUP
3.1. KesimpulanSebuah tradisi dapat bertahan bila masyarakat mampu menjaga serta melestarikan tradisi tersebut. Salah satunya Kota Surakarta, masyarakat surakarta masih menjaga salah satu budaya mereka yang bernama macapatan.
Macapatan merupakan sebuah tradisi jawa yang menembangkan atau
menyanyikan lagu (tembang) dengan hati yang bersih dan tidak boleh mengunakan amarah. Dalam macapatan terdapat sebuah patokan untuk menyanyikan tembang.
3.2. Saran
Saran ini lebih bersifat general, karena ini wejangan atau nasihat bagi semua masyarakat. Dalam melestarikan macapat sudah terwujud dalam kelompok macapatan dan studi atau pelajaran di tingkat Sekolah Dasar. Agar lebih terjaga, mungkin khususnya di kota Surakarta itu dibuat semacam UKM atau Ektrakulikuler bagi pelajar. Semoga saran dari penulis bisa terwujudkan.
DAFTAR ACUAN
Buku :
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta : Gramedia
Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta : Sinar Harapan.
Skripsi :
Asih Eko Widoto. 2015. Sentra Kriya Rancakan Gamelan di Desa Jatibedug,
Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Institut Seni Indonesia. Surakarta.
Jurnal :
Djarot Heru Santosa. 2001. Tradisi Macapatan Di Kabupaten Boyolali. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Widodo. 2006. Jurnal: Nuansa Laras Diatonik Dalam Macapat Semarangan. Univesitas Negeri Semarang.
Internet:
Dunia Pelajar. 2014. Pengertian Tradisi Menurut Para Ahli. Duniapelajar.Com. 06 Desember 2015.
Narasumber:
Wariyo, 50 tahun, Swasta, Jaten RT 01/RW VI Pandean, Ngemplak, Sawan, Boyolali. Aryo Eko Sasmito, 47 tahun, Swasta, Demalang RT 01/RW VI, Kudu, Baki, Sukoharjo.
LAMPIRAN
Gambar 04. Foto Besama Narasumber ( Foto : Rangga Wijaya 2015 )