• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN BERBASIS EKOREGION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN BERBASIS EKOREGION"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

140 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERBASIS EKOREGION

Sukarman

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian berbasis ekoregion adalah pembangunan pertanian dengan pendekatan terpadu dalam suatu wilayah yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi. Ekoregion mulai dikenal sejak diundangkannya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memandatkan bahwa untuk menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus berbasis ekoregion yang mempertimbangkan karakteristik wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion merupakan geografi ekosistem yang mempunyai pola susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang terikat dalam suatu satuan geografis. Sesuai dengan definisi tersebut, maka penetapan batas ekoregion tidak berdasarkan pada batas wilayah administrasi. Pada dasarnya dalam penetapan Ekoregion Nasional Indonesia dilakukan pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan berdasarkan karakteristik fisik yang terbentuk oleh sejarah geologi yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan pada karakteristik biotiknya yang saling berinteraksi baik di wilayah darat maupun laut.

Pembangunan berbasis ekoregion dengan demikian merupakan suatu konsep perencanaan tata ruang (spatial planning) dengan mempertimbangkan jasa tata ruang pada suatu wilayah dan masyarakat yang tinggal didalamnya. UNECD dengan Agenda di Rio De Janeiro menekankan pentingnya koherensi antara pengelolaan sumber daya alam, ekologi, ekonomi, kehidupan sosial yang berlanjut, dan kebijakan pembangunan. Perkembangan ekonomi yang pesat dalam suatu wilayah telah menyebabkan terjadinya pergeseran pemanfaatan sumber daya alam dalam suatu wilayah yang menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem yang menyebabkan tidak saja penurunan produktifitas pertanian tetapi juga menurunnya kemampuan jasa ekosistem yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja produksi pertanian (Pasandaran, et al., 2011).

Dalam perencanaan pembangunan pertanian faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya banyak ditentukan oleh pengelolaan sumber daya lahan yang terdiri dari tanah, air, iklim dan lingkungan pertanian. Kekeliruan terhadap pengelolaan sumber daya lahan dapat menyebabkan degradasi sumber daya lahan yang pada akhir akan menurunkan produksi dan produktivitas lahan. Dengan demikian lahan perlu dikelola secara baik agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dan tidak merusak lingkungan. Salah satu konsep perencanaan pemanfaatan sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian adalah konsep evaluasi lahan.

Berkaitan dengan konsep tersebut di atas, maka pengembangan pertanian pada suatu wilayah tidak boleh lagi hanya didasarkan kepada wilayah administratif tetapi harus berdasarkan konsep pembangunan pertanian berbasis ekoregion. Di bidang sumber daya lahan konsep pengembangan wilayah pertanian didasarkan kepada konsep evaluasi lahan. Dengan konsep ini maka memanfaatkan sumber daya lahan ini dapat dilakukan secara optimal, terarah, efisien dan berkelanjutan. Dengan menggunakan konsep evaluasi lahan, maka akan diperoleh suatu penilaian yang memberikan informasi potensi dan atau penggunaan lahan serta harapan produksi yang mungkin diperoleh.

(2)

141 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas, dan menelaah kegunaan evaluasi lahan dalam mendukung pembangunan pertanian berbasis ekoregion.

DAMPAK AKTIVITAS PERTANIAN TAK RAMAH LINGKUNGAN

Pembangunan pertanian konvensional yang dilakukan pada masa lalu nampaknya belum menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian yang ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan salah satunya adalah pengembangan pembangunan pertanian tidak dirancang berbasis ekoregion dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah. Beberapa indikator yang menandakan belum terjaminnya keberlanjutan tersebut diantaranya : (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan lahan merosot, (3) konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas, (5) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, (6) daya dukung likungan merosot. Dari evaluasi tersebut degradasi lahan yang berupa penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian nampaknya menjadi ancaman yang serius yang harus perlu kita hindari.

Ancaman Degradasi Lahan

Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang akan berakibat terhadap luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering menyebabkan degradasi lahan. Misalnya lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi lahan yang sangat dominan. Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan) menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi deforesterisasi atau penebangan hutan liar baik di hutan produksi ataupun dihutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha, sedangkan tahun 2002 mengindikasikan berkembang menjadi 94,17 juta ha, atau meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan di musim kemarau (Sukarman dan Suryani, 2013).

Salah satu ciri dari pertanian ramah lingkungan adalah rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Tingginya emisi GRK umumnya terjadi pada pertanian di lahan gambut. Konversi tanah gambut dari hutan menjadi lahan pertanian dapat merubah stabilitas tanah gambut dan mempercepat dekomposisi. Dalam proses dekomposisi tanah gambut dihasilkan gas metan dan karbon dioksida yang diemisikan sebagai gas rumah kaca, yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global (Global Warming).

Untuk menurunkan gas rumah kaca yang diemisikan ke udara, diperlukan upaya-upaya dari berbagai sektor. Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang ditargetkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca antara lain melalui kegiatan pengelolaan gambut di lahan pertanian tanaman pangan maupun perkebunan. Agar program penurunan emisi gas rumah kaca di lahan gambut dapat terlaksana dengan baik maka perlu dilakukan perencanaan

(3)

142 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

mitigasi lahan gambut secara benar. Kegiatan mitigasi gas rumah kaca di lahan gambut tersebut harus dilakukan melalui kegiatan yang dapat diukur (measureable), dilaporkan (reportable) dan diverifikasi (verifiable) atau disingkat MRV.

Dalam proses penilaian kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian yang berkaitan dengan gambut, terdapat dua karakteristik yang dinilai yaitu adalah ketebalan gambut dan kematangan gambut. Ketebalan gambut berkaitan dengan jumlah simpanan karbon dari gambut yang cukup tinggi, sedangkan tingkat dekomposisi berkaitan dengan besaran GRK yang dapat diemisikan dari gambut.

Berdasarkan tingkat kesesuaian lahannya untuk pengembangan pertanian, lahan-lahan yang mempunyai ketebalan gambut diatas 3 meter diketegorikan sebagai lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian. Demikian halnya dengan lahan-lahan yang mempunyai tingkat dekomposisi fibrik digolongkan sebagai lahan yang tidak sesuai. Hal ini didasarkan atas pertimbangan lingkungan bahwa lahan yang demikian jika diusahakan untuk pertanian akan memberikan emisi GRK yang sangat tinggi.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdapat satu karakteristik lain dari gambut yang sangat mempengaruhi emisi gas rumah kaca. Menurut Supiandi dan Sukarman (2012) kadar abu tanah gambut sangat mempengaruhi besarnya emisi yang terjadi. Semakin tinggi kadar abu dari tanah gambut, semakin rendah GRK yang diemisikan dari tanah gambut tersebut. Oleh karena itu dalam penilaian kesesuaian lahan, kadar abu perlu dimasukkan sebagai karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kelas, sub kelas maupun unit.

Dalam kesesuaian lahan, selain dilakukan penilaian juga diberikan saran dan rekomendasi agar lahan gambut jika digunakan untuk pertanian tidak menghasilkan emisi GRK yang tinggi. Lahan gambut merupakan lahan yang tergolong marjinal atau Kelas S3 baik untuk tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan. Subiksa, et al. (2011) telah memberikan saran dan rekomendasi berkaitan dengan pengelolaan lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas dan menjadikan lahan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Upaya meningkatkan produktivitas tersebut adalah: menerapkan teknologi pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan serta pemilihan komoditas yang tepat.

Perubahan iklim merupakan suatu keadaan yang tidak hanya perkiraan atau dugaan tetapi sudah merupakan kejadian yang sebenarnya terjadi di permukaan bumi. Pertanian ramah lingkungan harus adaptif terhadap perubahan iklim, yaitu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan iklim yang sekarang sudah berubah. Dampak dari perubahan ini selain menyebabkan terjadinya kejadian-kejadian iklim yag ekstrim, tetapi juga menyebabkan perubahan pola cuaca baik berupa hujan maupun suhu udara. Dalam penilaian kesesuaian lahan, karakteristik lahan yang dinilai adalah unsur suhu udara dan curah hujan. Data yang digunakan untuk penilaian ini haruslah data mutakhir sehingga sudah mengikuti perkiraan perubahan iklim. Oleh karena pemilihan komoditas yang akan dikembangkan sudah disesuaikan dengan kemungkinan perubahan iklim yang terjadi. Dengan demikian maka penilaian kesesuaian lahan memberikan pilihan tanaman adaptif terhadap perubahan iklim.

Penerapan pengendalian hama terpadu merupakan salah satu ciri dari pertanian ramah lingkungan. Dalam penilaian kesesuaian lahan, tidak ada karakteristik lahan yang dinilai dan secara langsung berhubungan dengan pengendalian hama terpadu. Tetapi dengan memilih jenis komoditas yang sesuai, diharapkan hama dan penyakit yang menyerang tidak akan terjadi secara endemik. Untuk kelengkapan penilaian kesesuaian lahan, maka dalam rekomendasi penggunaan lahan, isyarat-isyarat tentang kemungkinan adanya serangan hama dan penyakit endemik yang didasarkan kepada pengalaman dan kondisi iklim dan perubahannya perlu dilakukan. Hal tersebut, dalam penilaian kesesuaian lahan pada saat ini jarang dilakukan.

(4)

143 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Cemaran logam berat di lahan pertanian dapat terjadi karena bahan cemaran berasal dari luar wilayah pertanian atau dapat juga berasal dari penggunaan berbagai input pertanian saat ini. Tinggi rendahnya cemaran logam berat dapat ditetapkan dari kandungan berbagai logam berat yang ada di dalam tanah atau dalam air yang terbawa dari tempat lain ke lahan pertanian. Kandungan logam berat ini seharusnya dapat dijadikan salah satu karakeristik lahan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan. Dalam daftar karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kesesuaian lahan seperti yang dikemukakan oleh Ritung, et al. (2011), dari dua puluh lima karakteristik lahan, logam berat belum termasuk dalam daftar karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kesesuaian lahan. Untuk kedepan, kandungan logam berat agar dimasukkan sebagai karakteristik lahan yang dinilai.

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP EVALUASI LAHAN Pengertian Evaluasi Lahan

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu, baik di bidang pertanian maupun non pertanian dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji (Mulyani dan Nur, 2011). Evaluasi lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching) antara kualitas/karakteristik lahan (LQ/LC) dengan persyaratan penggunaan lahan (LUR) yang diinginkan oleh penggunaan lahan tertentu (LUT). LUR memiliki 3 syarat:

1) persyaratan tumbuh tanaman,

2) persyaratan pengelolaan (management requirement),

3) persyaratan konservasi/lingkungan (conservation/environment requirement). Dalam evaluasi lahan diperlukan informasi berupa data sifat-sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah, yang dirinci kedalam kualitas lahan (land qualities). Informasi tersebut berasal dari data dasar sumber daya lahan baik bersifat tabular maupun yang bersifat spasial. Dalam pembuatan data spasial, delineasi satuan peta selain didasarkan kepada karateristik tanah sebagai tempat media tumbuh tanaman juga didasarkan kepada unsur geologi yang menyangkut bahan induk tanah dan landform atau satuan fisograf dan lerengi. Oleh karena itu dalam delineasi satuan peta, karakteristik wilayah suatu daerah merupakan unsur utama penentuan satuan peta.

Setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas beberapa karakteristik lahan (land characteristics). Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi baik secara langsung di lapangan ataupun hasil analisis di laboratorium. Sebagai contoh kualitas lahan yang menyangkut persyaratan tumbuh tanaman adalah media perakaran yang terdiri atas beberapa karakteristik lahan yaitu tekstur, kandungan bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan dan kematangan gambut. Kelima karakteristik lahan tersebut dapat ditentukan atau diestimasi di lapangan. Sedangkan karakteristik lahan lainnya seperti kandungan P2O5, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), kandungan N, kandungan C-organik harus ditetapkan di laboratorium. Karakteristik lahan yang merupakan persyaratan konservasi/lingkungan adalah bentuk wilayah/lereng, iklim, keadaan gambut. Unsur lereng menyangkut kemiringan lereng yang berkaitan dengan tingkat bahaya erosi, dan bahaya longsor. Unsur iklim meliputi temperatur udara, kelembaban udara dan curah hujan. Sedangkan keadaan gambut meliputi ketebalan gambut, tingkat dekomposisi gambut dan jenis landform gambut (misal dome).

Salah satu cara evaluasi lahan adalah melalui penilaian kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah dilakukan perbaikan (kesesuaian lahan potensial)

(5)

144 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Klasifikasi kesesuaian lahan

Klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya kedalam empat tingkat, yaitu ordo, kelas, subkelas dan unit. Ordo adalah menggambarkan kesesuaian lahan secara umum. Pada kategori ini kesesuaian lahan dibedakan atas lahan tergolong sesuai (S) dan lahan tergolong tidak sesuai (N). Kelas menggambarkan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dipilah lagi menjadi lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3). Sedangkan lahan yang tidak sesuai (N) tidak dibedakan. Subkelas menggambarkan tingkat kesesuaian lahan dalam setiap kelas. Subkelas kesesuaian lahan dibedakan berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan unit menggambarkan tingkat kesesuaian lahan dalam sub kelas yang didasarkan kepada sifat tambahan yang berpengaruh terhadap pengelolaannya. Dengan diketahuinya pembatas pada tingkat unit, maka akan memudahkan penafsiran secara detail dalam perencanaan usaha tani.

Agro Ecological Zone (AEZ)

Konsep AEZ diperkenalkan oleh FAO (1978) untuk evaluasi lahan di Afrika yang menggunakan peta tanah FAO 1974, skala 1 : 5.000.000 dengan parameter panjang periode tumbuh dan suhu. Selanjutnya FAO merekomendasikan penggunaan AEZ pada tingkat nasional dan provinsi pada skala 1 : 1.000.000 - 1 : 500.000. AEZ didefinisikan sebagai pembagian wilayah ke dalam zona-zona berdasarkan kemiripan karakteristik iklim, terrain dan tanah yang memberikan keragaman tanaman tidak berbeda secara nyata. Tiga parameter yang digunakan dalam penyusunan peta AEZ tersebut adalah iklim, terrain dan tanah (FAO, 1996).

Dalam penyusunan AEZ, satuan-satuan peta didasarkan atas keadaan tanah, hidrologi, dan iklim yang dapat membantu dalam mencapai sasaran pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan melalui pemilihan komoditas yang sesuai (Amien et al., 1995). Selanjutnya Amien (1995) menyatakan bahwa pemilahan wilayah ke dalam zona-zona agroekologi ini juga akan banyak membantu dalam penerapan paket teknologi yang dirakit untuk kondisi fisik lingkungan tertentu. Peta AEZ skala 1 : 250.000 tersebut menyajikan zonasi potensi sumber daya lahan secara makro sehingga pemanfaatannya dibatasi pada tingkat perencanaan. Zona agroekologi tersebut membedakan wilayah untuk pengembangan wilayah pertanian dan non pertanian berdasarkan pengelompokkan ketinggian tempat dari permukaan laut, rejim suhu tanah, rejim kelembaban tanah, fisiografi dan lereng (Mulyani, 2001).

Untuk memanfaatkan peta AEZ skala 1 : 250.000 secara operasional, perlu ditindaklanjuti melalui penelitian lebih detail pada skala 1 :50.000 dengan mempertimbangkan sifat dan karakteristik tanah sebagai prasyarat utama. Faktor-faktor tanah dan fisik lingkungan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan adalah tanah (media perakaran, retensi hara, toksisitas), iklim (suhu udara, elevasi, curah hujan) terrain (lereng, singkapan batuan, batuan dipermukaan), bahaya banjir dan bahaya erosi. Hasil penilaian kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk penyusunan peta pewilayahan berbagai komoditas pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif pada berbagai zona agroekologi. Pada skala 1 : 50.000 data dan informasi yang disajikan akan mempunyai akurasi yang tinggi bersifat operasional. Oleh karena itu penilaian kesesuaian lahan pada berbagai zone agroekologi akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pemanfaatan peta AEZ yang telah disusun.

Pewilayahan komoditas pertanian adalah suatu bentuk usaha untuk membuat suatu wilayah atau kelompok komoditas dengan mempertimbangkan kualitas dan ketersediaan sumber daya lahan, manusia, dan infrastruktur yang tersedia agar diperoleh produk pertanian yang optimal dan berwawasan lingkungan dengan melalui pendekatan sistem dan usaha

(6)

145 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

agribisnis (Hartomi dan Suhardjo, 2001). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Puslitbangtanak ternyata terdapat beberapa komoditas yang sama yang dapat dikembangkan di berbagai provinsi. Hal ini menimbulkan permasalahan mengenai penentuan suatu komoditas di suatu provinsi. Oleh karena itu diperlukan penataan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut agar tidak terjadi persaingan antar daerah untuk pengembangan suatu komoditas. Penataan tersebut dapat dilakukan dengan melalui konsep “ Pewilayahan Komoditas Pertanian” : yang didasarkan pada kesesuaian lahan, agar dapat ditentukan suatu wilayah yang memungkinkan memberikan keuntungan biofisik dan sosial ekonomi tertinggi untuk suatu komoditas.

Data dan informasi mengenai komoditas yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sangat penting dalam perencanaan pengkajian teknologi untuk pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan sehingga pengembangan komoditas tersebut berkelanjutan (Sudaryanto dan Syafa’at, 2000). Dengan demikian jelas sekali bahwa informasi dan data AEZ merupakan informasi dan data dasar penting bagi perencanaan pengembangan sistem usaha pertanian komoditas unggulan spesifik lokasi.

KONDISI PETA EKOREGION

Untuk perencanaan pembangunan pertanian berbasis ekoregion diperlukan peta dalam berbagai skala tergantung dari kepentingannya. Untuk perencanaan nasional diperlukan peta dan deskripsi ekoregion pada skala 1 : 1.000.000 – 1 : 500.000 atau pada skala eksplorasi. Sedangkan untuk perencanaan pada tingkat regional atau provinsi diperlukan peta dan deskripsi ekoregion pada skala 1 : 250.000 atau skala tinjau dan untuk perencanaan di tingkat Kabupaten diperlukan pada skala 1 : 100.000 atau skala tinjau mendalam dan untuk perencanaan di tingkat Kota diperlukan pada skala 1 : 50.000 atau pada skala semi detail.

Pada saat ini, sudah disusun peta dan deskripsi ekoregion pulau/kepulauan dan laut dengan skala 1: 500.000 mencakup Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Kepulauan Bali Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku serta dikelilingi oleh 18 Ekoregion Laut seperti yang tercantum dalam Gambar 1. Peta tersebut di atas merupakan peta yang telah dibuat untuk perencanaan di tingkat nasional. Peta ini dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pada tingkat Regional/Provinsi dan pada tingkat Kabupaten Kota (Direktorat Kemitraan Lingkungan Hidup, 2013).

(7)

146 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Peta Ekoregion dilengkapi dengan deskripsi yang berisi karakteristik geologi, flora dan fauna, kerentanan bencana, jasa ekosistem, potensi pencemaran, iklim, potensi sumber daya alam, tanah dan penggunaan lahan serta sosial budaya. Tabel 1 menyajikan deskripsi dari peta ekoregion skala 1 : 500.000.

Dalam Pasal 7 UU Nomor 32 tahun 2009 ditentukan bahwa terdapat 8 (delapan) pertimbangan untuk penetapan ekoregion, yaitu (a) karakteristik bentang alam; (b) daerah aliran sungai; (c) iklim; (d) flora dan fauna; (e) ekonomi, (f) kelembagaan masyarakat; (g) sosial budaya, dan (h) hasil inventarisasi lingkungan hidup. Berdasarkan analisis dan kesepakatan para ahli terhadap 8 faktor tersebut, proses penetapan ekoregion darat menggunakan parameter deliniator bentang alam, yaitu morfologi (bentuk muka bumi) dan morfogenesa (asal usul pembentukan bumi). Sedangkan proses penetapan ekoregion laut menggunakan parameter deliniator morfologi pesisir dan laut, keanekaragaman hayati yang sifatnya statis, seperti karang keras, oseanografi, pasang surut, dan batas NKRI. Parameter lainnya yang disebutkan di atas, terutama yang sifatnya dinamis digunakan sebagai atribut untuk mendeskripsikan karakter ekoregion tersebut

Tabel 1. Deskripsi Peta Ekoregion skala 1 : 500.000 No. Ekoregion Dikelilingi oleh

ekoregion laut

No. Ekoregion Dikelilingi oleh ekoregion laut

1. Sumatera Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera (EL 1)

5. Sulawesi Laut Sulawesi (EL 7)

Selat Malaka (EL 3) Selat Makassar (EL 8) Selat Karimata (EL 5) Teluk Tomini (EL 10) Samudera Hindia

Sebelah Selatan Jawa (EL 2)

Laut Banda Sebelah

Timur Sulawesi (EL 12)

Laut Jawa (EL 6) Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan

Teluk Bone (EL 13)

2 Jawa Laut Jawa (EL 6) 6 Maluku Laut Halmahera (EL 11) Samudera Hindia

sebelah Selatan Jawa (EL 2)

Laut Banda Sebelah

Timur Sulawesi (EL 12)

3 Kalimantan Selat Karimata (EL 5) Laut Banda (EL 15) Laut Sulawesi (EL 7) 7 Papua Laut Seram dan Teluk

Bintuni (EL 14)

Selat Makassar (EL 8) Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua

(EL 16)

Laut Natuna (EL 4) Teluk Cendrawasih (EL

17) 4 Bali Nusa

Tenggara

Perairan Bali dan Nusa Tenggara

Laut Arafura (EL 18)

Sumber : www.menlh.go.id.

Dalam menetapkan ekoregion darat, unsur-unsurnya terdiri dari: karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai (DAS), iklim dan hasil inventarisasi lingkungan hidup. Unsur-unsur yang berkaitan dengan pertanian adalah unsur ekoregion untuk ekoregion darat. Unsur karakteristik bentang lahan meliputi morfologi muka bumi dan morfogenesa. Unsur ini jika

(8)

147 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

dijabarkan untuk pertanian adalah bentuk wilayah atau lereng dan karakteristik lahannya/tanahnya.

Peta ekoregion yang sudah dibuat selain untuk tingkat nasional, juga sudah dibuat untuk tingkat regional (skala 1 : 250.000) tetapi baru terbatas untuk beberapa provinsi yaitu Jawa Timur, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.

PERKEMBANGAN PENYUSUNAN PETA AEZ SKALA 1:250.000

Pada periode awal 1990-an, penyusunan peta AEZ skala 1: 1.000.000 berbasis pulau Sumatera dan skala 1:250.000 berbasis provinsi telah disusun (Amien et al., 1993; Amien et al., 1994). Teknik penyusunan dilakukan secara manual dengan menggunakan peta dasar peta topografi Joint Operation Graphic (JOG) yang didijitasi. Sumber peta berasal dari Peta Tanah Tinjau atau Peta Satuan lahan dan Tanah Pulau Sumatera skala 1:250.000 (CSAR, 1990) yang sudah tersedia di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Sedangkan untuk daerah yang belum tersedia peta tanahnya menggunakan peta Land System skala 1:250.000 (RePProT 1988). Peta AEZ skala 1:250.000 menjadi peta pertama yang dimiliki oleh sebagian besar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).

Penyusunan peta tersebut dibantu sepenuhnya oleh tenaga peneliti dan teknisi litkayasa Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan tujuan untuk memberikan modal dasar bagi BPTP untuk mengenal dan mempelajari lebih detail tentang potensi sumber daya lahan di provinsi masing-masing dan modal untuk melakukan diseminasi dan kerjasama pengkajian dan penelitian sumber daya lahan yang lebih detail dengan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten masing-masing.

Tahun 2002, peta AEZ skala 1:250.000 Pulau Sulawesi dan Maluku telah disusun oleh Badan Litbang Pertanian dengan metode penyusunan peta yang sama dengan sebelumnya. Tingkat informasi pada peta AEZ skala 1:250.000 masih bersifat umum dan diperuntukkan perencanaan tingkat provinsi.

Perkembangan selanjutnya pada tahun 2013, peta AEZ 1:250.000 telah diperbaharui kembali untuk seluruh wilayah provinsi di Indonesia dengan menggunakan data/peta tanah tinjau terbaru skala 1:250.000, digital Shuttle Radar Topographic Mission/ Digital Elevation Model (SRTM/DEM), dan peta dasar digital Rupabumi Indonesia (RBI) yang seragam bersumber dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta AEZ edisi 2013 telah diterbitkan dalam bentuk atlas yang dilengkapi dengan penjelasan karakteristik lahannya (Badan Litbang Pertanian, 2013). Contoh Peta AEZ skala 1:250.000 edisi 2013 disajikan pada Gambar 2.

(9)

148 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Gambar 2. Contoh peta AEZ Provinsi Sulawesi Barat skala 1:250.000, edisi 2013 (Sumber: Badan Litbang Pertanian, 2013)

Guna memenuhi permintaan informasi geospasial tematik skala besar yang makin meningkat, melengkapi basisdata tanah dan sekaligus mendukung program pemerintah menuju gerakan One Map Policy, maka peta AEZ skala 1:250.000 perlu didetilkan delineasinya menjadi peta skala 1:50.000 berbasis kabupaten, yang dikenal pula sebagai Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian. Peta ini mengandung informasi sumber daya lahan yang lebih rinci dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung perencanaan pertanian dan tata ruang tingkat kabupaten. Dalam penyusunan peta pewilayahan tersebut sebaiknya memasukkan informasi Peta Status Kawasan Hutan dan Peta Penggunaan Lahan Sekarang (seperti sawah, perkebunan, tegalan, tambang, pemukiman, dan lain-lain), sehingga dapat didelineasi lahan-lahan potensial untuk perencanaan intensifikasi dan perluasan areal pertanian.

Berdasarkan pengalaman dan kemajuan teknologi SIG, telah disusun model evaluasi lahan dalam program SPKL (Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan), yang secara langsung menilai kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian (Bachri 2012), yang merupakan penyempurnaan modul pewilayahan komoditas sebelumnya (Bachri et al., 2002). Dengan memasukkan data karakteristik lahan hasil pengamatan lapang dan analisis laboratorium dengan lengkap dan benar, maka akan diperoleh secara otomatis kelas kesesuaian lahan dengan faktor pembatasnya dan hasil pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan model yang dibangun. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1:50.000 secara sistematis berbasis kabupaten/kota masih dilanjutkan dan ditargetkan sudah dapat diselesaikan pada tahun 2016.

(10)

149 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Tabel 2. Perkembangan Penyelesaian Pemetaan Tanah di Indonesia

Jenis Peta (Skala Peta) Status Output (Utama dan turunan) Peta Tanah Eksplorasi

(Skala 1 : 1.000.000)

Selesai tahun 2000 - Peta Tanah.

- Peta Turunan: Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional, Arahan Tata Ruang Pertanian

Peta Tanah Tinjau (Skala 1 : 250.000)

Selesai tahun 2014 - Peta Tanah

- Peta Turunan: AEZ, Kesesuaian Lahan berbagai Komoditas Pertanian Peta Tanah Semi Detail

(Skala 1 : 50.000) - s/d 2014 telah SELESAI dipetakan 181 kab/kota - TA 2015 akan dipetakan 152 kab/kota - TA 2016: tersisa 125

kab/kota (Total kab/kota 458: BPS, 2011)Æ SELESAI

- Peta Tanah (utama)

- Peta Turunan: Peta AEZ, Peta Kesesuaian Lahan berbagai Komoditas, Peta Arahan/

Rekomendasi Penggunaan Lahan, (dll, semua jenis peta yang ingin dihasilkan)

- Mendukung Penyusunan/Revisi Peta Tata Ruang Wilayah Daerah

(RTRWD) Kabupaten/Kota Peta Tanah Detail

(Skala 1 : 10.000 atau lebih besar)

- Baru diselesaikan lebih kurang 5%

- Peta Tanah (utama)

- Peta Turunan: Peta Kesesuaian Lahan, Peta Rekomendasi Pemupukan, Perencanaan Kebun Percobaan, Perencanaan Penelitian, dll.

Sumber : Sulaeman (2015)

KETERSEDIAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN

Data dan informasi sumber daya lahan hasil pemetaan tanah disertai dengan evaluasi lahannya, baru mencerminkan potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk pertanian dan belum menggambarkan tentang ketersediaan lahan yang sesunguhnya baik luasan maupun peyebaran lokasi tersebut. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian berdasarkan peta skala 1 : 250.000 telah menyusun peta ketersediaan lahan di Indonesia berdasarkan lahan potensial secara biofisik yang dapat dikembangkan untuk pertanian. Dalam pengertian tersebut lahan tersedia untuk pertanian adalah “lahan potensial (sesuai) secara biofisik untuk pertanian yang saat ini belum dimanfaatkan, baik untuk pertanian maupun non-pertanian”. Lahan tersedia dalam batasan ini sudah mempertimbangkan status kawasan hutan, namun belum mempertimbangkan status kepemilikannya, baik secara adat maupun undang-undang agraria (BBSDLP, 2014). Namun demikian angka-angka yang diperoleh dari BBSDLP (2014) menunjukkan angka yang sangat luas, misalnya lahan potensial tersedia di lahan kering pada kawasan yang statusnya sebagai APL seluas 18,08 juta ha, pada kawasa HPK (hutan yang dapat dikonversi) seluas 7,08 juta ha dan pada hutan produksi (HP) seluas 14,063 juta ha, dengan total seluas 39,79 juta ha.

Pada kenyataannya lahan tersebut sulit diperoleh di lapangan, karena meskipun tergolong sebagai lahan potensial tersedia, tetapi umumnya sudah dipunyai oleh para Investor dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha) atau masih dalam bentuk Izin Lokasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan angka dan lokasi yang lebih pasti tentang lahan tersedia adalah perlu ditumpang tempatkan dengan peta HGU atau peta Izin Lokasi. Gambar 3 memperlihatkan diagram alir penyempurnaan penyusunan peta ketersediaan lahan untuk pengembangan pertanian.

(11)

150 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Dari gambar 3 di atas menunjukkan bahwa meskipun secara biofisik data lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian sudah diketahui, tetapi untuk mendapatkan lahan tersebut di lapangan masih memerlukan prosedur yang panjang. Proses lanjutan tersebut banyak melibatkan aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek kepemilikan lahan di bidang keagrariaan, dan masalah hukum. Oleh karena itu diperlukan sinergi dan koordinasi dengan institusi terkait untuk mendapatkan lahan yang “clean and clear” untuk pengembangan pertanian di Indonesia.

KESIMPULAN

1. Perencanaan pengembangan pertanian di Indonesia berbasis ekoregion perlu dilakukan sebagai implemetasi dari pelaksanaan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Dalam proses perencanaan pengembangan pertanian, salah satu pendekatan yang menjadi acuan utama adalah melalui pendekatan evaluasi lahan, yaitu suatu penilaian yang memberikan informasi potensi dan atau penggunaan lahan serta harapan produksi yang mungkin diperoleh serta penggunaan lahan yang ramah lingkungan.

PETA LAHAN POTENSIAL TERSEDIAA .HOD\DNDQ 7HNQLV PETA PENGGUNAAN LAHAN (Present Land

Use)

.HOD\DNDQ(NRQRPL GDQ6RVLDO

Gambar 3. Diagram alir penyempurnaan penyusunan peta ketersediaan lahan untuk pengembangan pertanian

PETA HGU/Izin

Lokasi

PENENTUAN LOKASI (PETA KETERSEDIAAN LAHAN)

CETAK BIRU

PETA KETERSEDIAAN LAHAN UNTUK

(12)

151 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

3. Agro Ecological Zone (AEZ). Peta ini sudah dihasilkan dalam bentuk skala 1 : 250.000 untuk seluruh Indonesia dan sudah tersedia baik dalam bentuk peta hard copy maupun dalam bentuk digital.

4. Peta ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk perencanaan pembangunan pertanian berbasis ekoregion. Peta AEZ skala 1 : 250.000 sudah dapat diselesaikan pada tahun 2014. Peta ini dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan pertanian di tingkat provinsi.

5. Peta AEZ skala 1 : 50.000 akan dapat diselesaikan untuk seluruh untuk Indonesia pada tahun 2016. Peta ini dapat digunakan untuk dasar perencanaan di tingkat Kabupaten/kota.

6. Perlu dilakukan penyempurnaan prosedur penetapan lahan tersedia dengan menyertakan peta-peta HGU dan Izin lokasi yang sudah diberikan oleh Pemerintah Daerah serta instansi terkait lainnya diantaranya adalah di Bidang Agraria.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, I., H. Sosiawan, dan E. Susanti. 1993. Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di P. Jawa dan Madura. Hlm 127-149. Dalam Pros. Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku 3. Bidang Konservasi Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Amien, I. 1994. Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di Sumatera. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 13(1):1-8.

Badan Litbang Pertanian. 2013. Atlas Zona Agro-Ekologi Provinsi Sulawesi Barat Skala 1:250.000. Edisi 2013. Kementerian Pertanian RI. Bogor.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2014. Sumber daya Lahan Pertanian Indonesia, Luas, Penyebaran dan Potensi Ketersediaan. Laporan Teknis No.1/2014. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 62 Hlm.

Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, dan Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas, versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Bachri, S. 2012. Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) Versi 1.2. Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

CSAR (Centre for Soil and Agroclimate Research). 1990. Land Unit and Soil Map of Sumatra, scale 1:250,000. LREP Project, Soil Data Base Management, CSAR, Bogor.

Direktorat Kemitraan Lingkungan Hidup

. 2013.

Kebijakan Ekoregion untuk memperkuat

Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

http://www.menlh.go.id/kebijakan-ekoregion-untuk-memperkuat-perencanaan-perlin-dungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup (Diakses tanggal 9 September 2015) FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. Soil Bulletin 73. Soil Resources, Management

and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Rome. http://www.menlh.go.id/Peta Ekoregion skala 1:500.000. Diakses 19 Oktober 2015.

Mulyani, A. 2001. Proposal Penelitian Pembinaan Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1 : 50.000. Bagian Proyek Penelitian Sumber daya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

(13)

152 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion

Pasandaran, E., M. Syam dan I. Las. 2011. Degradasi Sumber Daya Alam: Ancaman bagi kemandiran pangan Nasional. Dalam: Pasaribu, S.M., et al. (edt) Konversi dan Fragmentasi Lahan Ancaman Terhadap Kemandirian Pangan. Badan Litbang Pertanian. IPB Press hal: 34-53.

RePProT. 1988. Tinjauan Hasil-Hasil Tahap I Sumatra. Direktorat Bina Program, Ditjen Penyiapan Pemukiman, Dep. Transmigrasi. Jakarta.

Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E. Suryani. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Edisi Revisi). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 168 hlm.

Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Jurnal Sumber daya Lahan, Vol 6 No. 2. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian. Halaman 55-66.

Subiksa, I G.M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Dalam Nurida et al. (edt). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal 73 - 88.

Sudaryanto, T. dan N. Syafa’at. 2000. Prosfektif Sektor Pertanian dan Peranan Kegiatan ZAE dalam Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Komoditas Unggulan. Hal 21-40 dalam Prosiding Pemberdayaan Potensi Regional melalui Pendekatan Zone Agroekolog menunjang Gema Prima. Mataram, 8-9 Maret 1999.

Sukarman dan E. Suryani. 2013. Evaluasi lahan salah satu upaya menuju pertanian ramah lingkungan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan. Hal 735-745.

Sulaeman, Y. 2015. Soil Mapping In Indonseia : Its Status and Use For Agricultural Development. Paper In Workshop Soil Information to Support Sustainable Agriculturae and Foor Security in Indonesia. Bogor October 8th 2015.

Gambar

Gambar 1.  Peta ekoregion nasional skala 1 : 500.000 (Sumber: www.menlh.go.id)
Tabel 1. Deskripsi Peta Ekoregion skala 1 : 500.000  No. Ekoregion  Dikelilingi  oleh
Gambar 2.  Contoh  peta  AEZ  Provinsi  Sulawesi  Barat  skala 1:250.000, edisi 2013 (Sumber:  Badan Litbang  Pertanian, 2013)
Tabel 2.  Perkembangan Penyelesaian Pemetaan Tanah di Indonesia
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa konsep di muka dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah perencanaan dan pengelolaan pembelajaran, meliputi tujuan, materi ajar,

Keterampilan yang dimilki oleh para sopir juga merupakan tanggung jawab perusahaan, sehingga jelas para sopir taksi tersebut diberikan pembinaan dan pelatihan yang cukup sesuai

Hasil penelitian menunjukan bahwa panggung depan seorang mahasiswi bertato mereka hampir semuanya dapat memainkannya dengan baik, mulai daripresentasi diri mereka

Perusahaan mengharapkan agar hasil operasionalnya untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2014 pada umumnya sejalan dengan tren-tren yang dibahas pada

Sepanjang pernikahan komunikasi yang terjalin dengan kelima komponen tersebut akan membuat anak-anak yang patuh pada orang tua sekalipun dalam pernikahan beda budaya

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai hasil belajar Pendidikan Agama Islam siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Tamalatea kab.Jeneponto tahun ajaran

Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Jakarta: Depdikbud, 1994, hlm.. merupakan salah satu penyebar ajaran agama Islam di wilayah Kertapati. Skripsi ini juga secara

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas penulis tertarik untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani peserta kegiatan SL-PTT padi sawah ditinjau dari