• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESULITAN MENULIS PADA ANAK DISABILITAS: STUDI KASUS ANAK GANGGUAN DISLEKSIA USIA 8 TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESULITAN MENULIS PADA ANAK DISABILITAS: STUDI KASUS ANAK GANGGUAN DISLEKSIA USIA 8 TAHUN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Rai Bagus Triadi1, Frilia Shantika Regina2

1Universitas Pamulang, 2Universitas Pasundan 1molikejora12@gmail.com

2friliashantikaregina@unpas.ac.id

Abstrak

Kompetensi menulis merupakan salah satu kemampuan produktif yang berbarengan dengan kompentensi berbicara. Kedua bentuk kemampuan produktif tersebut merupakan hasil implementasi dari kemampuan reseptif yang berbentuk kompetensi membaca dan menyimak. Pada proses pembentukan kompetensi menulis terjadi berdasarkan beberapa tahap, dimulai dari tahap mencoret, tarik garis, hingga coretan yang membentuk huruf. Tahapan tersebut biasa dilewati oleh semua anak, tetapi berbeda dengan anak disabilitas dengan kekhususan disleksia yang mempunyai perbedaan dalam memahami bentuk hingga merangkai bentuk-bentuk tersebut menjadi sebuah kata. Pada penelitian ini peneliti mencoba mendeskripsikan kesulitan menulis pada anak disabilitas usia delapan tahun dengan studi kasus disleksia. Kesulitan tersebut didasari oleh beberapa faktor, antara lain faktor pola pembelajaran, pola pendekatan, lingkungan, dan kompetensi subjek penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, artinya penelitian ini berupaya mendeskripsikan keadaan kompetensi menulis subjek penelitian saat ini apa adanya, tanpa dilakukan sebuah interverensi. Selain itu, penelitian ini juga berupaya mendeskripsikan bentuk kesulitan yang dihadapi subjek penelitian dalam peningkatan kemampuan menulis. Berdasarkan hasil observasi dan analisis data yang dilakukan kemampuan subjek penelitian dalam kompetensi menulis dapat dikatakan tidak sesuai dengan anak seusianya, artinya kemampuan subjek penelitian itu berada di bawah kemampuan anak usia 8 tahun pada umumnya, faktor-faktor yang dikriteriakan kurang meliputi pengenalan huruf, penyusunan huruf , penulisan huruf pada rangkaian kata yang panjang dan kesulitan menuliskan beberapa huruf konsonan. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi sebuah kriteria yang permanen apabila pola pembelajarannya tidak diubah. Dapat dinyatakan demikian karena peneliti mengamati pola pembelajaran menulis yang dilakukan kepada subjek penelitian sedikit keliru karena disamaratakan dengan siswa yang lainnya.

Kata kunci: kemampuan menulis, anak disabilitas, kekhususan disleksia

Abstract

Writing competence is one of the productive abilities along with speaking competence. Both forms of productive abilities are the result of the implementation of receptive abilities in the form of reading and listening competencies. In the writing competency formation process occurs based on several stages, starting from the stage of scribbling, drawing lines, to scribbles that form letters. This stage is usually passed by all children, but it is different from children with disabilities with dyslexia who have differences in understanding shapes to assemble these forms into a word. In this study, researchers tried to describe the difficulty of writing in children with disabilities aged eight years with a case study of dyslexia. This difficulty is based on several factors, including factors of learning patterns, approach patterns, environment, and the competence of the research subject. This study uses a qualitative descriptive research method, meaning that this research seeks to describe the current state of the writing competence of the research subject as it is, without any intervention. In addition, this study also seeks to describe the form of difficulties faced by research subjects in improving writing skills. Based on the results of observations and data analysis carried out, the ability of the research subject in writing competence can be said to be incompatible with children of his age, meaning that the ability of the research subject is below the ability of children aged 8 years in general, the factors that are believed to be lacking include letter recognition, lettering , writing letters in long series of words and difficulty writing some consonants. These factors can become a permanent criterion if the learning pattern is not changed. It can be stated that because the researcher observes the writing learning pattern carried out on the research subject is slightly wrong because it is generalized with other students.

(2)

A. PENDAHULUAN

Kemampuan berbahasa secara umum terbagi menjadi empat kompetensi yaitu kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan menyimak, dan kemampuan berbicara. Keempat kompetensi ini terbagi ke dalam dua bagian bagaimana kemampuan itu diaplikasikan, yaitu kemampuan reseptif dan kemampuan produktif. Masing-masing kompetensi tersebut, menjadi sebuah kesatuan yang saling terkait sehingga peningkatan kemampuan berbahasa tidak bisa menonjol atau sebaliknya menurun pada satu kemampuan saja. Berdasarkan pendekatan keilmuan yang telah dilaksanakan kemampuan produktif selalu berbarengan dengan kemampuan reseptif, terkecuali pada anak yang mempunyai kekhususan tertentu, artinya anak yang memiliki kekhususan disabilitas.

Anak disabilitas dapat dikriteriakan dari berbagai hal, misal dari perbedaan struktur tubuh, penglihatan, perbedaan mental, dan perbedaan kemampuan berbahasa. Berdasarkan hal tersebut disleksia adalah salah satu bentuk gangguan dalam kemampuan memperoleh dan memproses bahasa. Seorang anak dapat dikatakan disleksia jika anak tersebut mengalami sebuah gangguan fungsi neurologi otak. Mengapa dikatakan anak, karena gangguan disleksia ini rentang menyerang anak usia dini, dan akan berkurang, bahkan hilang ketika anak tersebut tumbuh dewasa. Gangguan ini membuat penderitanya mengalami ketidakmampuan dalam melakukan pengkodean huruf atau mengenali huruf. Sejalan dengan definisi Orton “Dyslexia is one of

several distinct learning disabilities. It is a specific language-based disorder of constitutional origin characterised by difficulties in singleword decoding, usually reflecting insufficient phonological processing abilities.”, (Suk- et al., 1994). Selanjutnya Subyantoro berpendapat bahwa

“disleksia adalah ketidakmampuan

atau kesulitan anak mengenal huruf dan suku kata dalam bentuk

tertulis.”, (Utami & Irawati, 2017). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa anak dengan gangguan disleksia hanya tidak mampu mengenali huruf dengan baik apabila huruf tersebut berupa bahasa tulis. Apabila huruf tersebut berbentuk bahasa lisan maka anak disleksia dapat tetap mengenali atau menguasainya dengan baik.

Pernyataan tersebut dapat dijadikan sebuah tolok ukur untuk mengkriteriakan perbedaan antara anak disleksia dengan anak kekhususan lainnya, misal apasia atau autis, karena anak disabilitas kekhususan seperti itu mengalami tidak hanya mengalami kesulitan memahami huruf dan kata lalu merangkainya dalam bentuk tulisan, tetapi dalam bentuk lisan pun anak disabilitas dengan kekhususan autis mengalami kesulitan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kemampuan menulis merupakan aspek produktif dari hasil stimulus aspek reseptif membaca. Proses awal menulis dapat dimulai dari proses pengenalan huruf dari kegiatan membaca.

Pemaparkan tentang suatu kemampuan membaca permulaan anak disabilitas dengan kekhususan disleksia sebagai berikut found that children with ASD decode words by

(3)

relying on the same phonological and orthographic mapping processes as typical readers. Unlike in typically developing readers, however, in children with hyperlexia, the more abstract skills of reading comprehension do not develop along with their word recognition skills. The authors and others (e.g., Nation 1999) suggest that word recognition may develop in children with ASD at an

early age because of these children’s

preoccupation and hence intensive practice with reading words, (Randi et al., 2010).

Uraian di atas menjadi pertimbangan bahwa penelitian ini harus memperhatikan bentuk kesulitan yang dialami oleh anak disleksia dalam proses pembelajaran membaca dan menulis. Setelah menemukan bentuk kesulitan lalu mencari solusi untuk mengatasinya. Kekhususan disleksia pada anak bukan terjadi baru-baru ini, tetapi kesulitan belajar ini sudah muncul 100 tahun yang lalu. Hanya baru 5 tahun ke belakang analisis kesulitan ini, mulai dianalisis dan menemukan berbagai cara alternatif mengatasinya. Oswald Berkhan pertama kali mengidentifikasi disleksia pada tahun 1881 dan selanjutya mucul terminologi disleksia diajukan pertama kali oleh Rudolf Berlin, seorang ophthalmologist di Jerman, tahun 1887. Kemudian pada tahun 1896, Pringle Morgan menerbitkan tulisan

tentang “Congenital Word Blindness”

di British Medical Journal. Pada tahun 1890-1900-an, James Hinshelwood, menerbitkan berbagai jurnal kedokteran mengenai

“Congenital Word Blindness”.

Selanjutnya, berbagai penelitian

dilaporkan terkait disleksia, sebut saja Samuel T. Orton, Anna Gillingham dengan teori multisensorisnya. Kemudian, penelitian tentang phonological awareness, dan Galaburda dan Kemper dengan pembahasan tentang neuroanatomi dari disleksia.

Berkaitan dengan kemampuan menulis Bryan dan Bryan (Ramadhan et al., 2007), menyatakan bahwa disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. Adapun Hornsby (Oktafiani et al., 2018) mentakrifkan disleksia sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja (mengujar) secara betul dan mengungkapkan pikiran secara tertulis, dan ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak perlu memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran lainnya.

Peneliti menanggapi dari pernyataan para pakar tersebut, bahwa anak dengan kekhususan disleksia mengalami kesulitan membaca dan menulis dari tahap yang paling dasar, yaitu dari pengenalan huruf, dilanjutkan mengalami kesulitan kembali ketika merangkaikan huruf, lalu setelah itu menghubungkan konteks kata perkata dalam kalimat juga mengalami kesulitan, oleh karena itu pengamatan yang harus dilakukan pada penelitian ini harus runut, mengetahui bentuk-bentuk kesulitan yang paling mendasar pada subjek

(4)

penelitian, oleh karena itu, berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian ini berupaya merumuskan beberapa fokus penelitian, yaitu 1) bagaimana kemampuan menulis pada anak disleksia studi kasus usia 8 tahun? 2) bagaimana pola asuh dan pola ajar keterampilan menulis pada anak disleksia, studi kasus usia 8 tahun? Kedua rumusan masalah pada penelitian ini bertujuan untuk menarik sebuah simpulan tentang bentuk-bentuk kesulitan yang dihadapi oleh anak disleksia, studi kasus usia 8 tahun.

1. Ikhwal Disleksia

Disleksia adalah suatu kondisi pengelolaan input atau masukan informasi yang berbeda dari anak normal yang seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, sehingga dapat mempengaruhi area kognisi seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi dan pengendalian gerak (Shaywitz & Shaywitz, 2008). Selain itu beberapa pakar mencoba mendeskripsikan bentuk kekhususan disleksia dilihat berdasarkan berbagai sudut pandang,

Pertama Menurut Benasich dan Thomas, disleksia adalah kesulitan yang dialami oleh seseorang dalam menguraikan, membaca, dan memahami teks sehingga mengalami penderitaan hebat di sebuah masyarakat yang sangat memprioritaskan terhadap kefasihan membaca (Fadli, 2013). Selain itu menurut Partowisastro (1986: 50) menyatakan disleksia adalah seorang anak yang mengalami gagal belajar membaca yang diakibatkan karena fungsi neurologis (susunan dan

hubungan saraf) tertentu, atau pusat saraf untuk membaca tidak berfungsi sebagaimana diharapkan (Mahilda Dea Komalasari, 2016), dan terakhir Bryan & Mercer, dalam (Loeziana, 2017) menyatakan disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara

historis menunjukkan

perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta kesulitan dalam mempelajari sistem representasional misalnya yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa.

Berdasarkan penjelasan tersebut dan dihubungkan dengan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa disleksia adalah sebuah kekhususan yang dialami anak penderita gangguan pada penglihatan dan pendengaran yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis yang disebabkan karena fungsi atau susunan neurologis tertentu untuk membaca tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Para pakar berpendapat bahwa disleksia sama sekali tidak ada hubungan dengan angka tingkat kecerdasan seseorang, meski demikian banyak gejala yang dialami oleh penderita disleksia yang berkaitan dengan tingkat kecerdasan, seperti kesulitan menyimak, kesulitan menjawab pertanyaan yang diberikan, kesulitan mengucapkan istilah, kesulitan mempelajari bahasa asing dan lain sebagainya. Tetapi hal tersebut terbantahkan ketika dilakukan sebuah uji coba klinis yang menghaslkan temuan bahwa disleksia tergolong gangguan saraf

(5)

pada bagian otak yang memroses bahasa, dan dapat dijumpai pada anak-anak atau orang dewasa. Meskipun individu dengan disleksia kesulitan dalam belajar, penyakit ini tidak memengaruhi tingkat kecerdasan seseorang.

2. Pola Asuh dan Pola

Pembelajaran Menulis pada Anak Disleksia

Pola asuh anak disleksia pasti memiliki perbedaan dengan pola asuh anak normal lainnya, Shaywitz & Shaywitz memaparkan data bahwa disleksia dapat terjadi pada 1 dari 10 anak di usia dekolah atau sekitar 10%-15% dari populasi (Aryani & Fauziah, 2020). Selanjutnya, menurut Biro Pusat Statistik Indonesia (2010) (Biro Pusat Statistik (BPS), 1987) anak-anak di usia 5 sampai 7 tahun berjumlah sekitar 24 juta. Usia 5 dan 7 tahun ini menjadi perhatian tersendiri karena di usia inilah anak-anak pertama kali dikenalkan dengan kemahiran membaca (Aryani & Fauziah, 2020). Disleksia ini dikatakan sulit untuk bisa disembuhkan, tetapi dapat membaik seiring perkembangan anak. Penelitian-penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukkan bahwa pendeteksian disleksia sejak dini diikuti dengan penanganan yang baik dan sesuai akan memberikan hasil yang baik pula (Tammasse & Jumraini, 2018). Hal ini dapat dilakukan melalui pengasuhan yang baik dan sesuai.

Aryani menyatakan bahwa kesulitan belajar seperti disleksia membutuhkan perhatian khusus dari orangtua (Aryani & Fauziah, 2020). Pola asuh orangtua yang konsisten dalam menjaga dan membimbing

anak serta memberikan perhatian ekstra akan sangat bermanfaat untuk perkembangannya terutama dalam belajar. Untuk itu, selain mengetahui bagaimana karakteristik yang dimiliki oleh anak, orangtua memiliki peran futuristic dalam membantu memenuhi kebutuhan dasar, menstimulasi, mendukung, mengajari dan memberikan panduan kepada anak agar dapat melakukan aktivitas atau kegiatan. Disinilah kepedulian orangtua sebagai guru yang pertama dan utama bagi anak-anak, sehingga tujuannya adalah agar kelak anak mampu bertanggungjawab, mandiri, dan bersikap sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Hasibuan menyatakan bahwa disleksia terjadi pada individu dengan potensi kecerdasan normal, bahkan banyak di antara mereka yang mempunyai tingkat kecerdasan jauh di atas rata-rata (Hasibuan, 2019). Itulah sebabnya, maka disleksia disebut sebagai kesulitan belajar spesifik, sebab kesulitan belajar yang dihadapinya tidak terjadi pada seluruh area melainkan hanya terjadi pada satu atau beberapa area spesifik saja, diantaranya terjadi pada area membaca, menulis dan berhitung. Selain itu, faktor-faktor yang menyebabkan anak mengalami kesulitan membaca, seperti faktor internal anak tersebut.

Lerner dalam (Suhartono, 2016) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan anak untuk menulis, yaitu: motorik; perilaku; persepsi; memori; kemampuan melaksanakan cross modal; penggunaan tangan yang

(6)

dominan dan kemampuan memahami instruksi. Sejalan dengan hal tersebut, Mulyanti dalam (Hajani, 2014) menyebutkan 2 (dua) hal penting yang harus diperhatikan sebelum anak diajarkan menulis, yaitu: (1) Kematangan dan kesiapan fungsi motorik: apabila kemampuan memegang benda di antara ibu jari dan jari-jari tangan lain sudah meningkat, maka anak dapat diajarkan menulis huruf A-B-C; dan (2) Pemahaman atau penguasaan anak terhadap konsep bahasa atau simbol-simbol: anak siap dilatih untuk menulis apabila sudah bisa membedakan mana huruf B dan P.

Merujuk kepada pendapat para pakar tersebut, peneliti beranggapan bahwa anak disleksia harus diidentifikasi terlebih dahulu, diobservasi dan dianalisis perkembangan kemampuannya di berbagai bidang, khususnya di bidang bahasa. Baik itu kemampuan produktif maupun reseptif. Identifikasi tersebut dimulai ketika orang tua maupun guru merasa anak tersebut terdapat perbedaan kemampuan di bidang bahasa. Selain itu kegunaan identifikasi kopetensi adalah dapat ditentukannya pola pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak disleksia tersebut.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Sudaryanto dalam (Bagus & Yanti, 2019) memaparkan istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup para

penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa penelitian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti apa adanya tanpa ada sebuah interverensi.

Berkaitan dengan penjelasan tersebut peneliti dalam proses pengambilan data berusaha mendeskripsikan mengenai perkembangan kemampuan berbahasa khususnya keterampilan menulis pada subjek penelitian. Keterampilan menulis tersebut meliputi pada tataran penulisan satu huruf, penulisan beberapa huruf pada sebuah kata, hingga penulisan kata pada sebuah kalimat atau wacana.

Peneliti mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan tanpa mempertimbangkan benar-salahnya penulisan dan penggunaan bahasa oleh subjek penelitian. Salah-benarnya atau ketidakmampuan menulis subjek penelitian, peneliti gunakan sebagai dasar pengamatan mencari berbagai informasi letak kesulitan atau kegagalan subjek penelitian dalam membangun kemampuan menulis, Berdasarkan uraian di atas, peneliti berusaha mengamati subjek penelitian dengan teliti. Proses pengamatan tersebut dilakukan dalam waktu 4-6 bulan. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh bersifat pengulangan kesulitan. Proses pengulangan kesulitan data dalam penelitian ini menjadi salah satu faktor validnya data yang nantinya akan dianalisis.

Subjek penelitian pada penelitian ini adalah seorang anak dengan kekhususan disleksia berusia 8 tahun. Faktor usia pada penelitian ini dijadikan sebuah variabel yang

(7)

penting, karena pada usia inilah anak sudah mulai menguasai kemampuan berbahasa. Hal ini sejalan dengan pemaparan Julia menyatakan bahwa usia enam anak-anak ini akan semakin baik mengucapkan berbagai huruf (Hasanah, 2018). Juga untuk huruf-huruf yang sulit seperti s dan Ia juga semakin membaik dengan aturan pembuatan kalimat, termasuk juga penggunaan kata penghubung: dan, tapi, karena, sebab, dan lain sebagainya. Dalam usia ini anak juga mulai menyampaikan pemikiran dari abstraksinya.

Subjek penelitian pada penelitian ini adalah seorang anak yang mempunyai kekhususan disleksia. Subjek tersebut dapat dipastikan memiliki kekhususan disleksia karena sudah mengalami tes dan memiliki rekam medis. Subjek penelitian ini berusia 8 tahun dan berada di kelas 3 sekolah dasar, Artinya subjek penelitian mendapatkan pendidikan sejajar dengan siswa normal lainnya, tetapi mendapatkan perhatian khusus dari gurunya. Subjek penelitian memiliki latar belakang ekonomi dan juga lingkungan sosial yang cukup baik, artinya berasal dari keluarga menengah ke atas atau dapat dikatakan mampu dan memiliki orang tua yang lengkap, artinya mendapatkan pola asuh dari bapak dan ibunya.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kemampuan Menulis Subjek

Penelitian

Anak usia dini mulai mengasah kemampuan menulisnya sejak masuk ke sekolah dasar atau bahkan bisa lebih awal. Kemampuan dasar tersebut sebagai pondasi ketika anak

tersebut berupaya berkomunikasi atau menyampaikan gagasan serta ekspresi dalam bentuk nonverbal. Keterampilan menulis adalah ciri dari keberhasilan seorang anak mengkoordinasikan antara tangan, mata dan konsep dalam pikiran. Proses tersebut dapat diawali dari mencoret, menyalin lalu akhirnya merangkai.

Berdasarkan pemaparan teori pada bab sebelumnya, tahapan menulis pada anak pada umumnya memiliki beberapa tahap, yaitu mencoret, menarik garis, meniru, membuat dengan perintah, dan akhirnya membuat berdasarkan gagasan. Pada penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan sudah sampai tahap mana subjek penelitian menguasai keterampilan menulis tersebut.

Pada pengenalan huruf subjek penelitian dapat dikatakan kurang baik, terlihat ketika peneliti mengobservasi proses keterampilan membaca terlihat kesulitan, kadang pada saat membaca satu kalimat subjek penelitian terlihat beberapa kali berhenti dan disertai dengan proses mengeja. Hal ini terlihat tidak wajar, karena jika dibandingkan anak seusianya yang sudah harus lancar dalam proses membaca lantang.

Jeda atau berhenti dalam proses membaca terlihat ketika kata yang jumlah hurufnya terdiri lebih dari lima, misal pada teks terdapat kata /kemarin/, /jendela/, dan /terjatuh/. Hal ini berbeda ketika kata yang terdiri dari empat huruf atau kurang dari empat, misal pada kata /aku/, /lari/, /ban/ dan /roda/ subjek penelitian dapat membaca lancar dan lantang.

(8)

Berdasarkan observasi awal tersebut, peneliti melanjutkan ke proses pemahaman teks yang telah dibaca oleh subjek penelitian. Hal ini harus dideskripsikan dan dianalisis untuk menjadi dasar dalam proses keterampilan menggambarkan gagasan dalam bentuk tulisan atau nonverbal. Pada penjaringan data keterpahaman, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan isi dari teks yang telah dibaca oleh subjek penelitian. Hasil dari tes tersebut, peneliti dapat menyimpulkan subjek penelitian kurang dapat memahami isi dari teks tersebut, terlihat beberapa pertanyaan mendasar tidak dapat dijawab dengan tepat oleh subjek penelitian.

Tahapan observasi selanjutnya adalah melihat kemampuan menulis subjek penelitian, observasi ini sekaligus akan menjawab tentang bentuk kesulitan yang dihadapi subjek penelitian dalam proses mengembangkan keterampilan menulis. Beberapa tahapan peneliti lewati, seperti mencoret dan menarik garis lurus, hal tersebut dikarenakan peneliti meyakini subjek penelitian dapat melakukan tahapan itu.

Pada tahapan meniru bentuk huruf, dapat dikatakan subjek penelitian mampu melakukan hal tersebut dengan baik, Terlihat keseluruhan huruf vokal dan konsonan dapat ditiru oleh subjek penelitian, kriteria mampu meniru dengan baik dilihat dari beberapa variabel, antara lain kesesuaian bentuk, kesesuaian dimensi pada masing-masing huruf, dan ketepatan garis. Variabel kesesuaian bentuk terlihat dari kemiripan peniruan

bentuk masing-masing huruf, Peniruan huruf dilakukan dengan cara satu kali menarik garis tanpa melakukan pengulangan.

Variabel selanjutnya adalah kesesuaian dimensi, kesesuaian tersebut terlihat pada bentuk huruf yang mempunyai pengulangan bentuk , misal huruf /B/ kapital, antara lekuk atas dan bawah mempunyai dimensi yang sama. Selain itu, pada huruf vokal kapital /E/ penulisan ketiga garis lurus harus memiliki dimensi yang sama pula. Terakhir, adalah variabel ketepatan garis, beberapa huruf terdapat beberapa pertemuan garis yang ditarik secara bergantian, misal huruf /A/ kapital, /f/, /g/ dan sebagainya.

Tahapan selanjutnya adalah proses menulis dengan cara membuat huruf, membuat kata dengan perintah, pada tahapan ini subjek penelitian merespon stimulus baik itu dari gurunya atau orang tuanya. Pada tahapan ini subjek penelitian menghadapi kesulitan ketika proses menulis, subjek penelitian kadang menambahkan huruf yang tidak sesuai dengan apa yang diintruksikan. Misal ketika penulisan bunyi /b/, subjek penelitian menulis /b,e/, ketika bunyi /m/ ditulis menjadi /m,n/ atau pada saat bunyi /k/ ditulis /k,a,k/. Selain itu ada beberapa kekeliruan penulisan huruf, misal intruksi penulisan bunyi vokal /u/ ditulis menjadi /o/, bunyi /b/ ditulis menjadi huruf /p/, dan bunyi vokal /e/ ditulis menjadi angka /3/.

Berdasarkan temuan tersebut, peneliti dapat menarik simpulan bahwa subjek penelitian belum dapat mengaplikasikan pengkodean

(9)

bunyi atau transkripsi menjadi sebuah tulisan. Hal itu terlihat pada kegagalan subjek penelitian dalam mengenali huruf, atau seringkali proses menambahkan huruf lain dilakukan oleh subjek penelitian.

Tahapan Akhir dari penelitian ini adalah mengukur kemampuan subjek penelitian dalam menulis leksem berbentuk kata. Kata yang diintruksikan kepada subjek penelitian terdiri dari dua kriteria kesukaran. Kriteria pertama adalah kata dengan jumlah huruf tidak lebih dari 4 dan kriteria yang kedua adalah kata dengan jumlah huruf lebih dari 4. Kedua kriteria ini terdapat dalam dua kalimat yang peneliti tentukan. Adapun penjelasan kriteria kata tersebut peneliti paparkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Klasifikasi Kata No No data Kata Jumlah Huruf Konteks kalimat 1 D01 Merek a 6 Mereka bermain bola di lapanga n 2 D02 bermai n 4 Mereka bermain bola di lapanga n 3 D03 Bola 4 Mereka bermain bola di lapanga n 4 D04 Di 2 Mereka bermain bola di lapanga n 5 D05 Lapan gan 8 Mereka bermain bola di lapanga n 6 D06 Ibu 3 Ibu pergi ke pasar bersama kakak 7 D07 Pergi 5 Ibu pergi ke pasar bersama kakak 8 D08 Ke 2 Ibu pergi ke pasar bersama kakak 9 D09 Pasar 5 Ibu pergi ke pasar bersama kakak 10 D10 bersa ma 7 Ibu pergi ke pasar bersama kakak 11 D11 Kakak 5 Ibu pergi ke pasar bersama kakak

(10)

Berdasarkan table di atas terkait proses pengumpulan data dan analisis data peneliti menemukan jenis kesulitan yang dihadapi oleh subjek penelitian. Kesulitan tersebut terlihat pada konteks kalimat pertama mereka bermain bola di lapangan. Pada kalimat ini subjek penelitian mengalami tiga kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari berbagai jenis, dimulai dari penambahan huruf, kesalahan penulisan huruf, dan terakhir kekurangan penulisan huruf.

Kesalahan pertama terdapat pada D01, kata /mereka/ ditulis menjadi /merekang/, pada data ini subjek penelitian melakukan penambahan huruf /n/ dan/g/, selanjutnya pada data D02 terdapat kesalahan penulisan huruf, kata /bermain/ ditulis menjadi /b3rmain/, kesalahan tersebut terlihat ketika huruf /e/ ditulis menjadi angka /3/. Hal ini serupa dengan kesalahan pada saat subjek penelitian berada pada tahapan menulis huruf. Terakhir kekurangan penulisan huruf terjadi pada data D05. Kata /lapangan/ ditulis menjadi /lapaga/, pada data ini subjek penelitian kurang menuliskan huruf /n/ sebanyak dua kali.

Selanjutnya pada konteks kalimat kedua yang berbentuk Ibu pergi ke pasar bersama kakak ,kesalahan terjadi sebanyak tiga kali, kesalahan pertama terjadi pada data D07 kata /pergi/ ditulis menjadi /pegi/ oleh subjek penelitian. Pada data tersebut kesalahan yang dilakukan oleh subjek penelitian berbentuk kekurangan penulisan huruf /r/. Kesalahan selanjutnya terlihat pada data D10, pada data ini kata /bersama/ ditulis menjadi /bersamang/, kesalahan pada data

ini terjadi karena terdapat penambahan huruf/n/ dan /g/. Bentuk kesalahan terakhir sama dengan bentuk kesalahan sebelumnya, yaitu berbentuk penambahan huruf. Hal ini terlihat kata /kakak/ ditulis menjadi /kakakak/, terjadi penambahan fonem /a/ dan /k/.

2. Pola Pembelajaran

Keterampilan Menulis Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara kepada orang tua dan guru, pola pembelajaran keterampilan menulis pada subjek penelitian dapat dideskripsikan berdasarkan tiga pola, yaitu pembelajaran di sekolah, di rumah, dan pembelajaran tambahan. Pola pembelajaran di rumah dilakukan dengan pendekatan individual, artinya orang tua secara langsung mengajarkan keterampilan menulis kepada subjek penelitian. Durasi proses pembelajaran menulis itu biasanya dilakukan selama 30 menit, dengan waktu 5 hari. Artinya hari sabtu dan minggu pembelajaran tidak dilakukan. Proses pembelajaran tersebut banyak dilakukan ketika subjek penelitian mempunyai pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh gurunya di sekolah.

Selanjutnya, pola pembelajaran di sekolah terdiri dari berbagai pola pendekatan. Antara lain, pendekatan kelas, pendekatan individual atau bahkan pendekatan teman sebaya. Berbagai pola ini digunakan dengan cara disesuaikan dengan situasi, materi dan tingkat kesulitan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, proses pembelajaran keterampilan menulis yang paling efektif bagi subjek

(11)

penelitian adalah pembelajaran dengan pendekatan individual dan teman sebaya. Hal ini dapat disimpulkan dengan melihat keterpahaman dan kenyamanan subjek penelitian pada saat proses pembelajaran.

Pola terakhir pembelajaran menulis pada subjek penelitian adalah pola pembelajaran tambahan di sebuah lembaga penanganan anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran di lembaga ini berbentuk shadow teacher. Pola pembelajaran ini berbentuk kerja sama dengan guru di sekolahnya dengan cara menanamkan tanggung jawab, mendorong kemandirian dan peningkatan motivasi subjek dalam belajar. Bentuk kerja sama pada proses ini yaitu pihak lembaga dan sekolah saling berbagi informasi mengenai kesulitan atau perkembangan subjek penelitian dalam pembelajaran keterampilan menulis.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini peneliti akan mencoba mendeskripsikan simpulan yang dihasilkan dari proses analisis data. Selain itu peneliti berupaya memberikan saran berupa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh para peneliti yang berminat mengkaji pembelajaran anak disleksia.

Pernyataan pertama yang dapat disimpulkan oleh peneliti adalah bentuk kesulitan yang dihadapi oleh anak disleksia dalam proses pembelajaran keterampilan menulis. Kesulitan pertama yang dihadapi oleh subjek penelitian adalah kesulitan mengalihkodekan bunyi menjadi bentuk tulisan, bentuk-bentuk kesalahan huruf, tertukarnya

penulisan huruf, hilangnya huruf, hingga penambahan huruf sering dilakukan oleh subjek penelitian.

Kesulitan kedua adalah proses menulis pada tahap menulis kalimat. Kesalahan pada tahap ini berbentuk kesalahan penulisan kata yang berjumlah lebih dari empat huruf, berbeda dengan kata yang berjumlah empat atau kurang dari empat subjek penelitian relatif dapat menulis dengan benar. Bentuk kesalahan penulisan pada tahap ini tidak jauh berbeda dengan tahap sebelumnya, yaitu seputar kesalahan penulisan huruf, tertukarnya penulisan huruf, kekurangan penulisan huruf dan penambahan penulisan huruf.

Penelitian ini telah berhasi mendeskripsikan kesulitan menulis pada anak disleksia usia delapan tahun. Oleh karena itu, peneliti memberikan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya berupa analisis kesulitan pada keterampilan yang lain, misal keterampilan berbicara, menyimak atau membaca.

DAFTAR PUSTAKA

Aryani, R., & Fauziah, P. Y. (2020). Analisis Pola Asuh Orangtua dalam Upaya Menangani Kesulitan Membaca pada Anak Disleksia. Jurnal Obsesi : Jurnal

Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 1128–1137.

https://doi.org/10.31004/obse si.v5i2.645

Bagus, R., & Yanti, D. (2019). Acquisition of Languages In Children of 5 Years (Case Study of Children Disabled With Authorized Speciality). 118–127.

(12)

Fatmawati, F. D. (2013). Apa itu psikopatolog? 53(9), 1689–1699. Hajani, T. J. (2014). Kemampuan menulis anak usia dini. http://repository.unib.ac.id/84 77/2/I%2CII%2CIII%2CI-14-tri-FK.pdf

Hasanah. (2018). Kemampuan Berbahasa Anak Autistik Usia 6 Tahun (Studi Kasus di Sekolah Cita Buana dan TK Rigatrik YPK PLN, Jakarta Selatan). Qira’ah, 1(2), 22–32.

Hasibuan, M. H. F. (2019). Permasalahan Pada Otak (Disleksia) Berpengaruh Pada Kemampuan Berbahasa. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(2), 78–84. https://jurnal.uisu.ac.id/index.p hp/Bahastra/article/view/1142 Loeziana. (2017). Urgensi Mengenal Ciri Disleksia. Jurnal Pendidikan Keguruan, 3(2), 42–58. http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bunayya /article/download/1698/1235 Mahilda, D. K. (2016). Metode multisensori untuk meningkatkan kemampuan membaca pada peserta didik disleksia di sekolah dasar. Proseding Seminar Nasional PGSD UPY dengan Tema Strategi Mengatasi Kesulitan Belajar ketika Murid Anda seorang Disleksia., 97–110.

Oktafiani, W., Irdamurni, & Damri. (2018). Effectivieness Of Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC)

Learning Model To Increase Ability Reading. Journal of Education Scienties, 2(1), 21. Ramadhan, S. A., Nurhayati, E., &

Wulan, B. R. S. (2007). Analisis Kemampuan Membaca Puisi pada Anak Retardasi Mental Ringan.http://repository.stkipp

gri-sidoarjo.ac.id/889/1/16862060 69 - Artikel.pdf

Randi, J., Newman, T., & Grigorenko, E. L. (2010). Teaching children with autism to read for meaning: Challenges and possibilities. Journal of Autism and Developmental Disorders,

40(7), 890–902.

https://doi.org/10.1007/s1080 3-010-0938-6

Shaywitz, S. E., & Shaywitz, B. A. (2008). Paying attention to reading: The neurobiology of reading and dyslexia.

Development and Psychopathology, 20(4), 1329– 1349. https://doi.org/10.1017/S0954 579408000631 Suhartono. (2016). Pembelajaran Menulis untuk Anak Disgrafia di Sekolah Dasar. Transformatika,

12(1), 107–119.

https://jurnal.untidar.ac.id/inde x.php/transformatika/article/vi ew/204

Suk-, C., Ho, H., Wai, D., Chan, -Ock, Tsang, S.-M., & Lee, S.-H. (1994). The Cognitive Profile and Multiple-Deficit Hypothesis in Chinese Developmental Dyslexia

(13)

Administrative Region Government. Orton Dyslexia Society Research Committee and the National Institutes of Health Wright & Groner.

Tammasse, & Jumraini. (2018). Mengatasi Kesulitan Belajar

Disleksia (Studi

Neuropsikolinguistik). Studi Neuropsikologi, Universitas Hasanudin.

Utami, S. P., & Irawati, L. (2017). Bahasa tulis pada anak dengan gangguan disleksia (kajian psikolinguistik). Linguista: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 1(1), 23. https://doi.org/10.25273/ling uista.v1i1.1315

Referensi

Dokumen terkait

PERENCANAAN TIANG PANCANG ABUTMENT Berikut adalah hasil perhitungan jumlah tiang pancang pada kedua sisi abutmen dengan masing-masing diamater, Sketsa perencanaan tiang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) karakteristik pengunjung yang datang ke Taman Nasional Danau Sentarum (2) pendugaan nilai ekonomi ekowisata berdasarkan metode

Siti Zariah Tarigan (isteri) dan Hardisyah (anak). Demikian juga dengan teman-temannya dulu satu kantor yang diduga kuat cukup banyak mengenal beliau seperti Ir. Indra Harahap,

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan bubur buah black mulberry , sari buah lemon, bubur buah pepaya, dan pengaruh suhu

Total Biaya Pemasaran petani Saluran I dan Saluran II pada Setiap Lembaga yang Terlibat dalam Pemasaran Cengkeh di Desa Bonto Tallasa Kecamatan Ulu Ere Kabupaten Bantaeng

Kami bersepakat dengan pihak desa untuk menjadikan Karang Taruna lebih produktif terutama mereka yang dalam masa tunggu (belum cukup usia), dengan adanya

Berdasarkan hasil kesimpulan yang diperoleh dari penelitian pada SMA Islam Terpadu Yabis Bontang, maka kesimpulan yang diperoleh adalah Sistem penelusuran katalog