• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masih belum diketahui secara pasti. Catatan penting VOC dimulai tahun 1677

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masih belum diketahui secara pasti. Catatan penting VOC dimulai tahun 1677"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum VOC datang candu sudah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional di Jawa. Pedagang Arab dikenal menyebarkan opium1 ke penjuru Asia. Sementara itu, kapan dan siapa yang membawa opium ke Jawa masih belum diketahui secara pasti. Catatan penting VOC dimulai tahun 1677 ketika mereka berhasil mendapatkan hak monopoli dari Amangkurat II untuk mengimpor opium di Mataram. Semenjak itu monopoli perdagangan opium di Jawa dimulai.2 Setelah perjanjian itu, JC Baud seorang Gubernur Hindia Belanda memperhitungkan bahwa sejak tahun 1619 hingga 1799 VOC mengimpor 56.000 kilogram opium mentah ke Jawa bahkan menurut James Rush kemungkinan lebih dari itu.3 Menurut James Rush, pasar-pasar yang ramai memperdagangkan opium terletak di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kedua wilayah Jawa ini terdapat

1

Selanjutnya penggunaan kata opium disamakan artinya dengan candu dan sebaliknya.

2

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman

Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910, (Yogyakarta: Mata Bangsa,

2000), hlm.53-54. 3

(2)

2

banyak penghisap opium dan memberikan sumbangan yang cukup besar bagi ekonomi pemerintahan Hindia Belanda.4

Di dalam menjalankan monopoli opium, Belanda menggunakan sistem-sistem tertentu.5 Belanda menunjuk Bandar-bandar opium resmi yang banyak dipercayakan kepada orang Cina. Penentuan Bandar ini hasil dari persaingan Bandar dalam memberikan pajak tertinggi bagi Belanda melalui lelang. Sistem perdagangan opium melalui orang Cina ini mendapatkan kritikan dari Anti Opium

Bond yang memaksa pemerintah Belanda menghapuskan sistem Bandar menjadi

sistem Opium Regie. Penggantian sistem ini bertujuan untuk menekan penyelundupan candu gelap yang tidak dapat dikontrol selama pemakaian sistem Bandar.6

Menghisap opium adalah ciri umum kehidupan masyarakat desa dan kota Jawa abad 19. Penghisap opium tidak hanya bagi orang Cina, tetapi juga kaum Belanda, rakyat pribumi dan priyayi. Opium biasanya digunakan sebagai obat sakit kepala, demam, lesu, gelisah dan mengobati perasaan tidak enak badan.

4

Narti, “Perdagangan Candu di Jawa 1920-1930”, Lembaran Sejarah, Vol. 2 No. 1.(1999), hlm. 49.

5

Pada awalnya masa VOC menggunakan sistem Amfioen Societeit yang berfungsi sebagai perantara VOC. Setelah itu menggunakan sistem Amfioen

Directie. Karena dianggap tidak membawa keuntungan banyak, setelah VOC

bubar dan diambil alih pemerintah Hindia Belanda, kemdian digantikan sistem

Opiumpacht. Kelemahan sistem ini pun muncul yang disebabkan para pemborong

(pachter) mengkorupsi dan terlibat perdagangan gelap. Kritik terhadap sistem ini muncul dari Anti Opium Bond dan memutuskan untuk membubarkannya. Kemudian dibentuk sistem Opiumregie yang kemudian bertahan sampai akhir pemerintahan Belanda.

6

(3)

3

Selain itu opium diyakini sebagai stimulan untuk menambah energi bagi buruh perkebunan dan opium juga menjadi perjamuan bagi kalangan priyayi Jawa.7

Opium masuk ke Yogyakarta pada tahun 1802 tetapi jumlah pendapatan yang diraih saat itu belum begitu banyak seperti setelah sepuluh tahun berikutnya.8 Seperti daerah Jawa tengah dan Jawa Timur, Yogyakara cukup terbuka dalam hal praktik perdagangan candu.Berbicara tentang opium di Yogyakarta juga terkait dengan bandar tol. Melalui kerjasama keraton dan orang Cina yang memiliki hak bandar, dengan pajak yang diterapkan telah menghidupi keraton masa itu. Bandar tol juga sebagai ajang tempat beredarnya candu masa itu melalui orang Cina.9 Bandar Cina yang menguasai Yogyakarta yang terkenal adalah Ho Yam lo, seorang bandar besar yang menguasai Semarang. Selain itu ada penyewa tempat opium ternama lain seperti Beh Intjoe, Ho Tjiauw Soen, Oei Tiong Ham dan Oei Tjie Sien.

Adapun pemakaian candu memberikan dampak sosial bagi masyarakat Yogyakarta. Buruh pasar dan pedagang kecil banyak menghabiskan waktu menjadi penikmat candu. Pada masa perang Jawa, Residen Yogya Nahuys van Burgst memerintahkan untuk menangkap ribuan buruh dan gelandangan pengangguran di sekitar keraton yang tak lagi bekerja akibat minum candu.

7

James Rush,ibid., hlm. 71 8

http://www.beritajogja.co.id/2013/12/keraton-dikelilingi-candu-di-abad-ke-19, diakses pada 23 Febuari 2015 Pukul 20.30 WIB.

9

Lihat Peter Carey, Orang Cina Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa:

Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, (Jakarta: Komunitas Bambu,

(4)

4

Banyak masyarakat Jawa menjadi pengonsumsi opium yang karena pada masa Kolonial diperbolehkan atau legal maka hampir semua golongan mudah mendapatkan candu termasuk golongan priyayi. Meski tidak semua golongan priyayi menyukai candu, akan tetapi ditengarai terdapat pangeran Yogyakarta yang menyukai menghisap candu.10

Candu atau opium dalam bahasa latin disebut apion , ada juga yang menyebutnya apiun dan orang Arab menyebutnya apian. Candu merupakan bahan minuman dari tanaman papaver somniferum. Apabila dalam pemasakan dicampuri daun kecubung, awar-awar atau lengkeng orang Jawa menyebutnya tike. Orang Jawa juga mengkonsumsi candu sebagai bahan tambahan dalam tembakau lalu untuk dihirup.11 Aktivitas menghisap candu bagi orang Jawa disebut nyeret dan pemadat adalah sebutan bagi penghisap candu.

Pada masa berakhirnya pemerintahan Belanda, opium dikuasai pihak Jepang melalui cara monopoli. Sistem opium Regi peninggalan masa Belanda masih berlanjut pada masa Jepang. Akan tetapi, dengan kesibukan perang, Jepang tidak dapat mempertahankan angka distribusi opium bahkan dalam hal produksi dan konsumsi mengalami penurunan.12

10

Peter Carey, Ibid., hlm. 7. 11

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman

Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910, (Yogyakarta: Mata Bangsa,

2000), hlm. 84-85

12Robert Cribb, ”Opium and Indonesian Revolution”, Modern Asian

(5)

5

Pada tahun 1945 saat Indonesia meraih kemerdekaan, Sultan sebagai pemimpin tertinggi di Yogyakarta mendukung sepenuhnya kesatuan Republik Indonesia. Beliau menyatakan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Republik. Sejak kemerdekaan diraih, Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia semakin lama dirasa sudah tidak aman akibat dari dorongan serangan dan teror dari Belanda. Maka saat itu Sultan mengijinkan Yogyakarta dijadikan sebagai ibukota Republik Indonesia yang secara resmi ditetapkan sejak Januari 1946.13 Pada masa revolusi di Yogyakarta mulai tumbuh subur badan-badan perjuangan, baik itu diikuti oleh pemuda, pelajar, dan wanita. Turut serta pula relawan tentara mantan Heiho dan PETA bentukan Jepang. Di Yogyakarta juga muncul laskar-laskar perjuangan.14

Di tengah blokade-blokade Belanda atas ekspor Indonesia seperti karet, tembakau, gula dan hasil pertanian lainnya, Indonesia mengalami krisis keuangan akut. Republik membutuhkan biaya banyak untuk perang dan tentu saja membiayai segala kebutuhan Republik yang baru berdiri. Akibat situasi yang mendesak ini pemerintah akhirnya mengambil jalan menjual opium. Keberadaan opium ini diperkirakan sejumlah 22 ton yaitu sisa dari masa kolonial. Upaya mencari dana perjuangan ditempuh melalui menyelundupkan candu ke Singapura

13

Depdikbud, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di Daerah

Istimewa Yogyakarta, (Jakarta, 1991), hlm. 58

14

(6)

6

dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.15 Selain opium, pemerintah juga menyelundupkan emas yang ditukar dengan kebutuhan Republik saat itu.

Menurut Julianto Ibrahim, Yogyakarta dalam hal ini berkedudukan sebagai gudang penyimpanan candu bagi Republik.16 Di tempat ini disimpan „mutiara hitam‟ setelah ditransfer dari Jakarta dengan pengamanan ketat pada akhir-akhir tahun 1946. Selain itu, Yogyakarta adalah tempat para pejabat Republik bermukim dan keputusan-keputusan penting diambil di tempat ini.Yogyakarta adalah rumah besar sekaligus “dapur” bagi Republik. Opium menjadi sumber penting bagi pendanaan Republik yang saat itu beribukota Yogyakarta. Berbagai keputusan, seperti menjual candu misalnya, tidak jarang para utusan membawa candu sekaligus meminta restu dari pemimpin Republik agar mendapat dorongan mental agar misi berjalan sukses. Sekembalinya dari penyelundupan para utusan ini juga kembali ke Yogyakarta untuk memberikan laporan terhadap kesuksesan misi yang dilaksanakan.

Dalam struktur kelembagaan opium, Yogyakarta secara hierarki berada dibawah kelembagaan Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta. Satu tingkat diatasnya yaitu Kementrian Keuangan dan Kementrian Pertahanan.Kedua

15Yong Mun Cheong, “Koneksi Indonesia di Singapura 1945-1948” dalam Taufik Abdullah (ed), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 296. Lihat Juga Yong Mun Cheong, The Indonesian

Revolution and Singapore Connection, (Leiden: KITLV Press, 2003).

16

Julianto Ibrahim, Opium dan Revolusi: Perdagangan Candu di

(7)

7

kementrian tersebut langsung di bawahi oleh Kantor Wakil Presiden sebagai pucuk tertinggi struktur kelembagaan kepengurusan candu.17

Di masa revolusi, Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat kekuatan tentara, tindakan menghisap candu juga tetap marak terjadi. Hal ini dilakukan sebagai kebiasaan para pecandu sejak masa Kolonial.Yogyakarta memang sebagai ibukota negara, tetapi candu yang saat ini sebagai barang ilegal, dimasa genting yaitu revolusi sebagai barang penting untuk diperjualbelikan oleh pemerintah.

B. RUMUSAN MASALAH DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, penulis merumuskan sebuah kajian sejarah sosial-ekonomi. Kajian tersebut didasarkan pada aktifitas perdagangan candu bertujuan untuk meraih keuntungan yang dalam hal ini memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi bagi Republik yang sifatnya penting. Akan tetapi, candu seperti dua koin yang berbeda disatu sisi membantu keuangan Republik disisi lain membawa dampak sosial bagi masyarakat khususnya Yogyakarta.

Permasalahan pokok yang akan ditekankan dalam penelitian ini adalah dinamika sosial ekonomi candu pada masa revolusi di Yogyakarta. Dalam hal ini Yogyakarta sebagai ibukota Republik tetapi juga memonopoli urusan candu yang terbentuk dalam satu jawatan bernama Jawatan Candu dan Garam. Melalui

17

(8)

8

perdagangan diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan bagi Republik.

Dari permasalahan pokok tersebut kemudian muncul beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana dinamika sosial politik di Yogyakarta masa revolusi?

2. Bagaimana bentuk-bentuk perdagangan candu di Yogyakarta masa revolusi?

3. Apa dampak perdagangan candu bagi masyarakat dan perjuangan?

Secara temporal penelitian ini mencakup masa revolusi yaitu tahun 1945-1949. Batasan awal tentu saja pada tahun 1945 sebagai awal tahun revolusi dimana Indonesia meraih kemerdekaan. Pada tahun 1949 diambil sebagai batasan akhir yang ditandai berakhir nya masa revolusi. Rentang waktu tersebut akan digali lebih jauh dinamika perdagangan candu di Yogyakarta. Pada masa ini republik sedang membutuhkan dana segar untuk perjuangan. Menjual candu baik di tingkat lokal maupun melalui penyelundupan ke luar negeri kerap dilakukan untuk menambah pundi-pundi finansial. Selain untuk kebutuhan sosial juga sebagai kebutuhan perang seperti pembelian senjata.

Yogyakarta yang dimaksudkan disini adalah wilayah swapraja atau secara administratif berpemerintahan sendiri semenjak masa Kolonial dan Jepang. Suatu keistimewaan disandang Yogyakarta pada masa revolusi menyandang sebagai ibukota Republik Indonesia.

(9)

9

Adapun alasan Yogyakarta diambil sebagai cakupan spasial dalam penelitian ini adalah wilayah ini memiliki jumlah penduduk yang padat dan sebagai salah satu wilayah pemakai candu tinggi selain kota-kota lain seperti Surakarta, Semarang dan Kediri semenjak masa kolonial. Pada masa revolusi wilayah ini dikenal sebagai gudang penyimpanan candu sisa dari masa kolonial. Selain itu Yogyakarta memiliki pabrik pengolahan candu yaitu di Patuk Wonosari yang mengolah bentuk mentah menjadi matang serta didistribusikan ke daerah-daerah strategis untuk dijual. Di tempat ini juga bermukim kantor-kantor pemerintahan terutama yang berurusan dalam perdagangan candu. Untuk itu pada masa revolusi Yogyakarta dijadikan sebagai ibukota Republik Indonesia, yang tentunya akan menjadi menarik untuk digali lebih jauh sejauh mana peran candu bagi Republik. Sejauh ini menurut pengamatan penulis belum ada penelitian yang membahas candu di wilayah ini masa revolusi. Untuk itu penulis melihatnya menjadi sebuah keharusan untuk mengkaji wilayah ini.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk menjelaskan dan memahami fenomena perdagangan candu di Yogyakarta masa revolusi. Penelitian ini juga diharapkan melengkapi khazanah tulisan mengenai topik candu masa revolusi, yang dalam hal ini di Yogyakarta belum pernah diteliti. Selain itu kedepan agar penelitian ini menjadi motor penggerak bagi penelitian-penelitian berikutnya.

(10)

10 D. TINJAUAN PUSTAKA

Tulisan sejarah membutuhkan literature untuk mengumpulkan fakta dan membentuk kerangka berpikir agar mempermudah bagi sejarawan dalam melakukan penelitian. Mengenai candu di Yogyakarta, beberapa tulisan yang penulis temukan tidak ada yang secara khusus membahas perdagangan candu masa revolusi.Candu hanya menjadi potongan bahasan dari literature yang penulis dapatkan. Salah satu buku yang patut ditinjau adalah karya James Rush dalam bukunya Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina

Indonesia Kolonial 1860-1910.18

Dalam buku ini Rush mengungkap perbandaran opium pada paro-akhir abad 19 hingga awal abad 20. Titik poin dari buku ini yaitu seperti mengungkapkan kinerja bandar-bandar di Jawa. Selain itu maraknya penyelundupan-penyelundupan dan kondisi sosial, politik dan ekonomi juga diungkap dalam buku ini. Yogyakarta memang tidak secara khusus dibahas disini, akan tetapi untuk memahami opium masa Kolonial di Jawa buku ini sangat patut dijadikan tinjauan. Selain itu, dalam buku ini disinggung pula penguasa Bandar Yogyakarta masa itu.

18

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman

Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia kolonial 1860-1910, (Yogyakarta: Mata Bangsa,

(11)

11

Literatur kedua yang digunakan sebagai tinjauan adalah tulisan Robert Cribb dengan judul Opium and Indonesian Revolution.19 Tulisan ini menarik karena menyajikan fakta-fakta seputar opium di masa revolusi. Poin penting yang penulis dapatkan dari tulisan ini adalah adanya penjelasan opium masa Jepang dan perputaran percanduan di kota-kota republik.

Literatur ketiga yang digunakan sebagai tinjauan adalah kumpulan tulisan yang disunting Kustiniyati Mochtar dengan judul Memoar Pejuang Republik

IndonesiaSeputar “Zaman Singapura” 1945-1949.20

Kisah revolusi bertalian erat dengan perjuangan Republik dalam merajut mimpi untuk mendapatkan dukungan dari negara lain dalam upaya menjadi negara yang bebas dari penjajahan. Salah satu upaya merajut hubungan tersebut yaitu dengan mendirikan kantorperhubungan di Singapura untuk membantu Republik dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah Republik Indonesia. Disaat blokade Belanda sangat kuat hubungan Indonesia dengan Singapura baik dalam skala pedagang dengan pedagang terjalin erat dan memberi manfaat sangat besar bagi Republik. Hubungan Indonesia dengan Singapura telah terjalin sebelum masa revolusi, meski demikian akibat blokade Belanda ekspor dari Indonesia mendapatkan jalan buntu. Pada situasi ini opium menjadi komoditas penting dari Republik Indonesia dalam misi mencari dana perjuangan demi kepentingan Republik dengan beragam cara seperti menyelundupkan opium ke

19Robert Cribb, “Opium and Indonesian Revolution” dalam jurnal Modern

Asian Studies, Vol. 22, No. 4, Cambridge University Press, (1988), pp. 701-722.

20

Kustiniyati Mochtar, Memoar Pejuang Republik IndonesiaSeputar

(12)

12

Singapura. Karya buku ini menjadi panduan untuk melihat perjuangan operasi-operasi rahasia dari utusan Indonesia untuk menempuh jalur menembus blokade ke Singapura.

Literatur keempat tulisan Langgeng Sulistyo Budi dengan judul

Permasalahan Sosial Perkotaan pada Periode Revolusi: Kriminalitas di Yogyakarta 1947-1948.21 Kriminalitas di Yogyakarta ternyata tidak hanya dilakukan oleh penjahat, begal atau kecu tetapi yang menarik dari tulisan ini adalah kriminalitas masa revolusi juga dilakukan oleh tentara. Perpindahan tentara divisi Siliwangi akibat perjanjian Renvile mengharuskan untuk pindah ke pendudukan Republik. Perpindahan ini memicu tindakan kriminalitas yang dipicu kondisi kebutuhan hidup tentara yang tidak terpenuhi. Karya ini dapat menjadi tinjauan karena menyinggung kondisi sosial di Yogyakarta masa revolusi.

Literatur keempat yang digunakan sebagai tinjauan adalah kumpulan tulisan Taufik Abdullah ed. dkk.dengan judul Denyut Nadi Revolusi Indonesia.22 Buku setebal 422 halaman ini merupakan kumpulan tulisan cetak hasil gagasan konferensi tentang “Revolusi Nasional: kenangan, kajian dan renungan”. Beberapa tulisan menjadi tinjauan seperti tulisan Mestika Zed dan Yong Mun Cheong. Secara garis besar kedua tulisan mereka mengungkapkan usaha-usaha

21Langgeng Sulistyo Budi, “Permasalahan Sosial Perkotaan pada Periode Revolusi: Kriminalitas di Yogyakarta 1947-1948”, Lembaran Sejarah Vol.1 No. 2 , (1997/1998).

22

Taufik Abdullah dkk.,Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997).

(13)

13

republik masa revolusi dalam mencari dana perjuangan. Dalam hal ini usaha yang dilakukan adalah penjualan opium ke luar negeri.

Literatur kelima yang digunakan sebagai tinjauan adalah tulisan Selo Soemarjan dengan judul Perubahan Sosial di Yogyakarta.23 Dalam buku ini Selo Soemarjan lebih menekankan perubahan sosial setelah masa kemerdekaan. Perubahan yang dimaksud dalam segi pemerintahan, politik dan sosial kemasyarakatan. Buku ini penting ditinjau, untuk melihat struktur pemerintahan Yogyakarta masa revolusi yang dijadikan ibukota Republik.

Literatur selanjutnya yaitu buku Opium dan Revolusi: Perdagangan dan

Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950) karya Julianto

Ibrahim.24 Dalam buku ini Julianto Ibrahim mengaitkan perdagangan candu dengan usaha mendapatkan dana perjuangan. Tidak hanya itu ia juga mengaitkan dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi masa revolusi di wilayah itu. Surakarta juga merupakan kota dengan pemakai candu terbanyak semenjak Kolonial. Hal ini terbukti dengan adanya penguasa Bandar seperti Tio Sion Mo, Ho Tjiaw Ing, Be Biauw Tjoan dan Tang Tong Haij. Pada masa revolusi ada seorang penjual candu terkenal bernama Nyah Gudir. Masih menurutnya, pada masa revolusi Surakarta menjadi kota pusat yang mengurusi candu.

23

Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986).

24

Julianto Ibrahim, Opium dan Revolusi: Perdagangan dan Penggunaan

Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(14)

14

Dalam buku ini disinggung bahwa Yogyakarta adalah sebagai gudang penyimpanan candu dengan nama Kantor Depot Candu dan Obat. Kantor Depot Candu dan Obat difungsikan sebagai tempat penyimpanan candu dengan faktor keamanan. Dengan pusat kekuatan TNI maka kontrol pemerintah sangat kuat termasuk dalam menjaga candu. Penelitian yang dilakukannya dalam buku ini cukup menarik utuk ditinjau dan menambah informasi tentang Yogyakarta.

E. METODE DAN SUMBER PENELITIAN

Untuk mengkaji penelitian ini penulis menggunakan metode sejarah.25 Metode yang dimaksud sebagaimana yang disampaikan oleh Kuntowijoyo melalui 5 tahapan yaitu, pemilihan topik, pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber (verification), penafsiran (interpretation) dan penulisan (writing)26. Diawali dengan penentuan topik, penulis tertarik mengkaji topik perdagangan candu masa revolusi karena masih belum ada yang meneliti. Penulis juga sama sekali bukan pemakai candu tetapi pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri orang yang sedang memakai narkoba. Adanya minat dalam penulisan tema ini selain alasan sebelumnya adalah saran dari seorang dosen.

Tahap berikutnya yaitu pengumpulan sumber.Sumber-sumber yang dipakai dalam penelitian ini terdiri atas sumber primer dan sekunder. Kedua

25

Metode sejarah dapat diartikan sebagai sebuah langkah-langkah yang bersifat sistematik yang membantu alur penelitian sejarah yang kritis. Metode sejarah berbeda dengan metodologi sejarah. Metodologi sejarah lebih diartikan sebagai ilmu yang didalamnya berisi metode sejarah.

26

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2001), hlm. 90.

(15)

15

sumber ini secara garis besar yang berhubungan dengan opium, masa revolusi dan Yogyakarta. Sumber primer didapatkan melalui penelusuran ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakara yang mencakup data seperti Jogja

Documenten, inventaris arsip kepolisian, kementrian pertahanan dan kementrian

kejaksaan. Selain itu memakai sumber tambahan dalam penelitian ini seperti koran-koran sezaman dan arsip-arsip yang didapatkan di Yogyakarta.

Data pendukung berupa sumber sekunder yaitu seperti buku-buku, artikel maupun jurnal-jurnal ilmiah. Sumber sekunder ini dapat mudah dijumpai di perpustakaan FIB, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Ignatius, media internet dan perpustakaan-perpustakaan di Yogyakarta. Data selanjutnya diolah melalui tahapan kritik agar mendapatkan hasil data yang valid dan kredibel. Setelah itu, data melalui tahapan penafsiran dan tahap akhir yaitu proses penulisan. Dalam proses terakhir ini kemudian diolah menjadi sebuah karya tulis ilmiah berupa skripsi.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah dalam menuliskan kajian ini agar dapat tersusun secara sistematis dan kronologis maka disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut. Penelitian ini dibagi atas 5 bab. Bab 1 sebagai pengantar yang berisi tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, metode dan sumber, serta sistematika penulisan. Pada bab pengantar ini lebih ditujukan sebagai fondasi dasar mengenai arah dan fokus penelitian.

(16)

16

Pada bab 2 dipaparkan tentang sistuasi Yogyakarta masa revolusi. Dalam bab ini akan dibahas bagaiamana situasi awal setelah pernyataan kemerdekaan seperti situasi sosial dan ekonomi masyarakat Yogyakarta. Berikut dibahas juga tentang badan-badan perjuangan yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta. Lalu, dijelaskan juga bagaimana perubahan struktur-struktur di masyarakat dan kondisi sosial ekonomi di masyarakat. Terakhir dibahas perkembangan candu sejak masa kolonial, Jepang dan revolusi.

Bab selanjutnya akan membahas distribusi candu masa revolusi. Bab ini secara khusus membahas seperti apa distribusi candu di masyarakat, baik yang diselundupkan ke luar negeri maupun dijual ke masyarakat. Dibahas juga pola yang dibangun dalam distribusi. Lalu juga dibahas siapa saja yang terlibat dalam misi perdagangan candu..

Dampak dari perdagangan candu masa revolusi menjadi bahasan pada bab 4. Pada dasarnya bab ini menyajikan apa saja hasil dari perdagangan candu yang pada masa itu „dapurnya‟ di Yogyakarta yang juga merupakan ibukota Republik. Bab ini mebahas tentang candu yang menjadi penyokong dana perjuangan. Bukan hanya hasil saja yang dibahas tetapi juga dampak sosial adanya candu bagi masyarakat Yogyakarta.

Pada bagian terakhir yaitu kesimpulan yang menguraikan temuan penelitian ini. Dalam kesimpulan ini berisi tentang jawaban atas pertanyaan penelitian dan hasil temuan yang didapatkan dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan pegangan oleh pemerintah, akademisi maupun produsen bahan bangunan untuk dapat memanfatkan bahan bangunan pengganti hasil penelitian

ƒ Diagenesis ketiga terjadi dalam lingkungan fresh water phreatic, yang ditandai oleh pelarutan butiran, matriks dan semen yang membentuk porositas vuggy dan moldic; pelarutan

BSDE merupakan salah satu perusahaan pengembang properti terbesar di Indonesia, dengan proyek andalan: kota mandiri BSD City.. BSDE adalah salah satu anak usaha dari

Buku kumpulan abstrak tesis ini memuat abstrak tesis/disertasi dari Program Studi Magister dan Doktor yang ada di lingkungan Sekolah Pascasarjana ITB, lulusan periode Wisuda

”SETIAP ORANG YANG DENGAN TUJUAN MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI, MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN, KESEMPATAN ATAU SARANA YANG ADA PADANYA

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang dibelajarkan menggunakan model

Sedangkan hasil nilai kreativitas siswa mengubah pecahan biasa ke bentuk persen dan desimal pada siklus II, dari 20 siswa 4 siswa atau 20% siswa memperoleh kriteria