• Tidak ada hasil yang ditemukan

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI REGIONAL: KERJA SAMA ORGANISASI MELALUI

PENDEKATAN BUDAYA (STUDI KASUS DI YOGYAKARTA)

REGIONAL INTEGRATION: ORGANIZATIONAL COOPERATION THROUGH

A CULTURAL APPROACH (CASE STUDY IN YOGYAKARTA)

Anwar

Departemen Antropologi, Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10, Kota Makassar, 90245

Pos-el: Anwar.kartodiningrat@gmail.com ABSTRACT

This research focuses on Human Rights in Yogyakarta. Seeing ASEAN in cooperation in promoting and protecting Human Rights with Non Government Organizations (NGOs) at the regional level. This research is a research in the discipline of international relations, but this research uses qualitative methods with data collection techniques, namely observation and interviews. The results of the study indicate that this form of cooperation does not occur formally but occurs informally. Each organization has a special mechanism for promoting and protecting human rights. These findings constitute a long process of interpretive analysis so as to answer research questions and discover new findings. Cultural factors influence the process of socialization and cooperation in upholding each person’s human rights.

Keywords: human rights, cooperation, cultural factors. ABSTRAK

Penelitian ini fokus pada Hak Asasi Manusia di Yogyakarta. Melihat ASEAN dalam melakukan kerja sama dalam melakukan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia bersama Non Government Organization (NGO) di tingkat regional. Penelitian ini merupakan penelitian disiplin Hubungan Internasional, tetapi penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu pengamatan dan wawancara. Adapun hasil penelitian menunjukkan bentuk kerja sama tidak terjadi secara formal namun terjadi secara non formal. Setiap organisasi memiliki mekanisme khusus dalam melakukan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Hasil-hasil temuan ini merupakan proses analisis interpretatif cukup panjang sehingga menjawab pertanyaan penelitian dan menemukan berbagai temuan baru. Faktor budaya mempengaruhi proses sosialisasi dan kerja sama dalam menegakkan hak asasi setiap orang.

Kata Kunci: HAM, Kerja sama, faktor budaya. PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan konsep yang cukup elit dan menjadi pembahasan panjang sejak berakhirnya Perang Dunia II. HAM diperkirakan muncul pertama kali di Eropa pada abad ke-18. Saat ini, HAM sangat berkembang, perkembangannya tidak hanya melingkupi dataran Eropa saja tetapi sampai di Asia-Pasifik. Terutama di konteks ASEAN, seperti misalnya Indonesia dan wilayah regional Yogyakarta.

HAM menjadi sangat penting di negara ASEAN. Beberapa

negara-negara ASEAN merupakan negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Tentunya ini adalah tantangan besar penegakan HAM dengan kondisi latar belakang negara yang demikian. Kondisi ini juga menjadi tantangan dalam kerja sama ASEAN dengan berbagai Non Goverment Organization (NGO) HAM di Indonesia khususnya di Yogyakarta.

Proses promosi dan perlindungan HAM juga merupakan bagian penting dalam kerja sama ASEAN dan NGO di Yogyakarta. Secara teknis setiap NGO memiliki mekanisme

(2)

pada dunia sosial. Menurut para penganut konstruktivis, dunia sosial merupakan dunia yang dikonstruksikan oleh manusia dan merupakan wilayah intersubjektif. Asumsi dasar yang kedua, menekankan pada upaya konstruktivis untuk menjembatani strukturalis dan lembaga-lembaga atau agen yang berpusat pada teori, sebab mereka beranggapan bahwa struktur dan lembaga memiliki hubungan ketergantungan. Selanjutnya, pada asumsi dasar yang ketiga yakni pendapat social constructivism di mana kita dapat menyimpulkan bahwa stuktur itu nyata eksistensinya, melihat dari efek atau dampak yang timbul akibat pengaruh struktur tersebut. Akan tetapi hal itu tidak selalu menentukan. Asumsi dasar keempat, penekanan terhadap peranan norma dalam perilaku masyarakat. Misalnya saja kebijakan asing yang tidak hanya penting dalam mencapai kepentingan nasional, namun juga harus dapat diterima oleh seluruh masyarakat internasional. Asumsi dasar yang kelima, penekanan terhadap peran institusi, baik formal maupun informal. Kemudian asumsi dasar yang keenam, masih berkaitan dengan institusi, yaitu konstruktivis menganalisis apa saja yang terkait dengan proses institusionalisasi, seperti pengembangan pola sosialisasinya, dan lain-lain. Dalam asumsi dasar ketujuh, konstruktivis menyatakan bahwa mereka tidak mengabaikan peranan kepentingan, sebab mereka memposisikan diri sebagai middle ground. Konstruktivis lantas menganalisis lebih jauh mengenai bagaimana kepentingan dibuat, apa peran institusi, norma, dan ide-ide dalam proses pembentukan suatu kepentingan. Asumsi dasar yang terakhir menyatakan bahwa konstruktivis menjadikan wacana sebagai alat komunikasi yang utama, termasuk dalam memahami tentang identitas dan kepentingan, serta pembuatan kembali lembaga-lembaga yang disertai norma-norma yang berlaku. Dengan seluruh asumsi dasar tersebut, maka konstruktivis berkembang dan menjadi teori baru, namun lebih dianggap sebagai suatu pendekatan (Steans, 2005: 185-188).

tersendiri dalam melakukan promosi dan perlindungan. Kondisi sosial-budaya setiap wilayah berbeda-beda, menjadikan setiap NGO regional memiliki variasi metode dalam melakukan promosi dan perlindungan HAM. Mengenai implementasinya akan menuai banyak pertentangan.

Kondisi di lapangan menggambarkan realitas di mana NGO (seluruhnya) relatif terbatas dalam upaya menyampaikan pemikiran dan partisipasi mereka pada proses pembuatan kebijakan oleh ASEAN. Akses mereka terhadap ASEAN Government sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada sama sekali. Penelitian ini memiliki pertanyaan penelitian utama (central question of research): Bagaimana NGO HAM di Yogyakarta beroprasi dalam konteks regional ASEAN dan apa persepsi mereka terhadap ASEAN sebagai institusional yang memberikan cara pandang (framework) untuk promosi dan perlindungan HAM saat ini dan ke depan? Pertama, perspektif NGO terhadap HAM dan ASEAN menjadi pokok pembahasan awal dalam artikel penelitian ini. Mencoba melihat dan menganalisa pandangan-pandangan NGO mengenai konsep HAM dan pandangan mengenai ASEAN kaitannya dengan mekanisme HAM. Kedua, kerja sama menjadi konsep penting dalam penelitian ini. Mencoba melihat peran ASEAN dalam melakukan kerja sama dengan NGO HAM yang ada di Yogyakarta. Tidak hanya itu, penelitian ini juga mencoba melihat kerja sama NGO di konteks ASEAN. Kerja sama yang dimaksud adalah mengenai masalah promosi dan perlindungan HAM.

Tulisan ini mejelaskan kerangka teoritik atau pendekatan constructivist (konstruktivis). Pendekatan ini merupakan salah satu yang cukup populer dalam banyak studi sosial politik. Pendekatan ini memiliki asumsi-asumsi dalam menganalisa masalah sosial tertentu. Asumsi dasar yang pertama, konstruktivis adalah pemahaman terhadap motivasi dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor yang merupakan faktor penting serta berpengaruh

(3)

Pendekatan yang digunakan adalah konstruktivis dalam menulis hasil penelitan ini menggunkan metode penulisan etnografi. Ditinjau secara harfiah sebagai tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama beberapa bulan atau tahun. Penelitian antropologis menghasilkan laporan begitu khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut (Marzali dalam Spradley, 2007).

Etnografi merupakan pekerjaan men-deskripsikan suatu kebudayaan. Malinowski (1922:25 dalam Spradley, 2007:4) menyatakan bahwa tujuan etnografi memahami sudut pandang penduduk asli hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berfikir dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat.

Etnografi di awal banyak digunakan dalam penelitian masyarakat, maka dalam perkem-bangannya digunakan dalam menggambarkan berbagai kebudayaan. Metode etnografi ini digunakan dalam menggambarkan sebuah organisasi mayarakat sipil. Mengenai NGO Hak Asasi Manusia, prespektif, dan budaya kerja sama.

Teori mengenai hak pada abad pertengahan berpusat pada ide mengenai hukum alam. Standar moral universal ada atas hak yang dimiliki oleh individu yang aplikasinya tidak terbatas pada sistem legal, komunitas, negara, ras, keyakinan, atau masyarakat tertentu. Hukum alam memberikan teori, tetapi dalam praktek politik abad pertengahan yang sebenarnya, hak memiliki konotasi yang berbeda. Hak merupakan kelonggaran yang diambil dari golongan superior, jika perlu dengan paksaan. Di sini terlihat bahwa terdapat hak dan kewajiban universal dalam hukum

alam, sementara perjanjian hanya memberi kebebasan tertentu saja (Brown, 2008: 511).

Hak menurut ahli hukum Amerika, Wesley Hofeld, bisa dibedakan menjadi empat jenis, yaitu hak menyatakan (claim-rights). Ini merupakan hak yang paling dasar, dan merupakan hak yang sebenarnya. Salah satu contohnya adalah hak yang muncul karena kontrak, dan diikuti oleh kewajiban-kewajiban terkait. Selanjutnya, adalah hak kebebasan, yaitu seseorang berhak melakukan sesuatu yang dia tidak terikat kewajiban untuk melakukan hal itu. Terkadang hak menyertakan penggunaan kekuasaan, dan yang terakhir hak terkadang diartikan sebagai imunitas (immunity-right), intinya adalah orang lain tidak bisa menuntut seseorang dalam keadaan tertentu.

HAM selalu diklasifikasikan sebagai hak sipil, politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya, mengusulkan bahwa masing-masing kategori ini mungkin butuh pemisahan dan dasar pembenaran tertentu (Winston, 2007:283). Sehingga dari pemikiran ini, mencoba mencari dan mengelompokkan beberapa NGO HAM di Yogyakarta dalam tiga kelompok yaitu: (1) Ekonomi-Sosial-Budaya (Ekososbud); (2) Sosial Politik (Sipol); dan (3) Wanita, anak, dan difabel.

Ketiga kelompok di atas kemudian mendasari pemilihan LBH Yogyakarta (Lembaga Bantuan Hukum) yang fokus pada Ekososbud, Satunama yang fokus pada Sipol, dan Rifka Anisa WWC yang fokus pada wanita, anak, dan difabel. Masing-masing NGO sejak awal memang telah fokus pada bidang masing-masing tetapi pada perkembangannya ada yang juga menangani masalah di luar bidang mereka.

Tulisan ini mencoba untuk melihat ASEAN dalam kerja sama dengan tiga NGO dan menjelaskan proses promosi dan proteksi HAM yang dilakukan. Untuk mendapatkan gambaran awal mengenai masalah di atas dilakukan studi referensi dari beberapa buku, artikel (jurnal), dan diskusi rencana penelitian. Mereka yang berlatar belakang ilmu politik dan hubungan internasional tentunya memiliki banyak pengetahuan

(4)

mengenai masalah HAM, ASEAN, dan NGO lebih baik. Penjelasan mengenai konsep HAM, konsep teori atau pendekatan constructivist yang dipakai. Dari sini pandangan awal atau pedoman awal penyusunan sistematika dan arah penelitian diperoleh.

METODE

Teknik pengumpulan data dalam peneli-tian ini menggunakan partisipasi observasi (participant observation) wawancara men-dalam (depth interview), evaluasi dokumen (evaluation of writen document), dan Focus Group Discussion (FGD). Pintu masuk awal penelitian (enter of research) dimulai dari Pusat Studi ASEAN di UGM dan Universitas Islam Indonesia (UII). Langkah awal ini dimaksudkan untuk mencari daftar referensi NGO-NGO HAM yang ada di Yogyakarta.

Hasil dari wawancara semi-struktur (semi-structure interview) bersama Pusat Studi HAM UII memperoleh data daftar NGO HAM di Yogyakarta. Sekurang-kurangnya terdapat 10 nama NGO HAM di Yogyakarta yang kemudian diseleksi secara purposive. Di antaranya NGO yang terpilih adalah Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Satunama, Rifka Anisa WWC, dan LBH Yogyakarta.

Sesi akhir adalah analisis dan interpretasi data. Pada penelitian ini menggunakan analisis dan interpretatif kualitatif dari Creswell (2009: 274-284). Tahap-tahapnya meliputi: (1) Mempersiapkan data dari data field note, emotion book, transkrip wawancara, dan document analysis; (2) Membaca keseluruhan data secara seksama, teliti, dan diulang-ulang; (3) Coding data, yaitu memberi code-code pada data; (4) Mengumpulkan topik-topik dari setiap code yang dibuat; (5) Menganalisa semua topik-topik yang telah dikelompokkan kemudian membuat tema-tema. Ini yang kemudian dijadikan sub bahasan hasil penelitian; (6) Pendekatan naratif, menggambarkan keseluruhan data dan interpretasi peneliti dalam bentuk narasi. Dilengkapi dengan referensi kutipan dan konsep atau teori terkait dengan hasil penelitian.

PEMBAHASAN

Perspektif NGO terhadap ASEAN dan HAM Asia Tenggara merupakan sebuah kawasan yang terletak di benua Asia bagian tenggara. Kawasan ini mencakup kawasan Indochina, dan Semenanjung Malaysia, serta pulau-pulau di sekitarnya. Kawasan ini mempunyai suatu institusi regional yang dikenal dengan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang resmi berdiri melalui Deklarasi Bangkok pada 8 Agustus 1967. Organisasi ini dirintis oleh lima negara yang terdapat di kawasan Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Negara-negara Asia Tenggara adalah negara-negara yang terkenal sangat otoriter. Sehingga pembahasan HAM di Asia Tenggara cukup rumit dan perlu waktu yang sangat panjang. Indonesia misalnya, merupakan negara yang benar-benar utuh dalam menganut HAM setelah revolusi tahun 1998. Sebelum itu, HAM tidak pernah menjadi konsep yang penting untuk dibahas. Wacana bahwa HAM adalah produk barat juga menguat masa itu. Ini adalah konstruksi masa pemerintahan Orde Baru. Namun saat ini berbeda, konsep HAM sudah berkembang sangat pesat.

Menjadikan ASEAN sebagai asosiasi yang berdasar atas hukum dan menjadi subjek hukum, telah ditandatangani pada Piagam ASEAN (ASEAN Charter) tahun 2007. Piagam ASEAN berfungsi sebagai landasan yang kuat dalam mencapai Komunitas ASEAN dengan memberikan status hukum dan kerangka kelembagaan untuk ASEAN. Hal ini juga mengkodifikasi norma, aturan dan nilai-nilai di ASEAN; menetapkan target yang jelas untuk ASEAN; dan menyajikan akuntabilitas dan kepatuhan. Dalam Piagam ASEAN Bab I Pasal 1 Ayat 7 yang dikatakan sebagai Komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas yang ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Salah satu implementasi yang sangat penting berkaitan dengan persoalan di atas adalah pembentukan

(5)

Badan Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR), sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 ASEAN Charter. Dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN dan dibentuknya AICHR memiliki implikasi terhadap hubungan kerja sama inter-regional (Eccleston, Michael, McNamara, 1998 ).

Konsep ASEAN dan AICHR yang ada tentunya mekanisme HAM ASEAN sudah diatur sangat jelas. Mengenai tujuan, prinsip, fungsi, dan implikasi dari seluruh aturan yang dibuat dan diterapkan. Bahkan pembuatan kebijakan di tingkat regional masih sangat dipengaruhi oleh mekanisme ASEAN di mana diketahui menuai banyak masalah (Collins, 2013). Proses pembuatan keputusan didasarkana atas kerja sama dengan berbagai institusi regional seperti NGO.

Seiring dengan hadirnya berbagai kesepakatan di bidang HAM, bermunculan juga berbagai organisasi non-pemerintah, dan kelompok kepentingan baik yang bersifat nasional maupun internasional yang bekerja untuk memastikan pelaksanaan dari kesepakatan itu, dan mengembangkan konsep tentang HAM ke seluruh dunia. Lebih jauh, pemerintah dan organisasi pemerintahan internasional (International Government Organization) seperti IMF dan Commonwealth dianggap sebagai halangan dalam pengembangan HAM (Brown, 2008: 508).

Konsep HAM juga mendapat tentangan dari tiga kelompok utama. Pertama dari kalangan akademisi tradisi pemikiran liberal Barat, tentangan ini dianggap sebagai tantangan internal, karena konsep HAM dipercaya bersumber dari pemikiran liberal. Tantangan kedua datang dari pemerintahan otoriter Timur, yang lebih dikenal sebagai Blok-Asia dan juga pemerintahan Islam di kawasan Timur Tengah. HAM dianggap tidak sejalan dengan tradisi budaya dan juga hukum domestik mereka. Tantangan ketiga datang dari pada akademisi, aktivis HAM, feminis, dan NGO dari kawasan Selatan dan Timur yang beranggapan bahwa

konsep HAM sekarang ini bersifat Eurosentris, sehingga tidak bisa diterapkan pada masyarakat non-Barat. Mereka meminta konsep HAM direvisi, agar bisa diterapkan pada budaya yang berbeda (lihat Winston, 2007).

Kritik dari mereka adalah HAM seharusnya lebih sensitif terhadap perbedaan tradisi budaya, lebih fokus pada hal-hal yang sebelumnya diabaikan oleh konsep HAM liberal, dan lebih menerima agar bisa benar-benar dilaksanakan pada berbagai kebudayaan. Bahkan dalam penelitian ini pandangan serupa diperoleh dari wawancara dengan Pusham UII :

“Ada hal yang cukup serius menjadi masalah HAM di ASEAN yaitu masalah adanya “relativisme budaya”. Relativisme budaya yang dimaksud adalah bagaimana nilai-nilai hak asasi manusia secara universal berbenturan dengan kondisi sosial budaya yang ada. Karena setiap negara memiliki budaya dan perspektif mengenai konsep hak asasi manusia. Sementara ASEAN juga punya nilai-nilai berkaitan dengan hak asasi manusia yang mereka sebut sebagai ASEAN Value”. Ada satu konsep yang perlu diperhatikan mengenai “relativisme budaya”. Kondisi sosial-budaya negera-negara ASEAN tentunya sangat berbeda-beda. Jika suatu nilai di negara tertentu dipahami secara ajeng, maka belum tentu pada negara lain. Ini yang kemudian disebut sebagai relativisme budaya. Contoh diungkapkan oleh Pusham UII adalah :

“Misalnya orang Sunda memiliki budaya menikahkan anaknya usia muda yaitu berkisar umur 15 tahun. Secara adat atau budaya bahkan kepercayaan mereka itu sah-sah saja. Tetapi jika ditinjau dari sisi HAM itu sangat menyalahi aturan HAM. Pelakunya juga bisa dikenakan sanksi negara, karena sebagian besar ketentuan HAM universal sudah teraplikasi pada perundang-undangan”.

Pandangan mengenai HAM dalam penelitian ini sangat variatif dari beberapa

(6)

NGO. Beberapa mengungkapkan bahwa saat ini banyak yang memandang HAM jauh dari konsep dasarnya. LKiS misalnya yang mengatakan bahwa “HAM adalah segala sesuatu terkait dengan hak-hak dasar yang diperoleh manusia sejak dia lahir. Perlu kiranya dipahami bahwa hak dasar ini yang penting sebelum membicarakan hak-hak lainnya”.

Salah satu pandangan mengenai HAM yang bersifat universal diungkapkan oleh Satunama. Bahwa HAM ketika masuk di suatu negara maka akan tunduk dengan hukum di negara tersebut. Dalam wawancara:

“Masing-masing negara nasional itukan ada hukum-hukum sendiri, jadikan gini, HAM itukan norma, norma universal tetapi ketika dia masuk ke negara tertentu dia tunduk atas dasar hukum yang berlaku di negara itu. Belum tentu apa yang menjadi norma universal itu dia menjadi norma hukum di negara itu. Ketika masuk ke ruang negara akan selalu berbenturan dengan undang-undang. Meskipun kita berteriak-teriak human right, tapi human right itu juga tunduk pada otoritas politik. Nah, artinya memang segalanya adalah negara dan aktivis harus bekerja di situ”. Rifka Anisa menambahkan bahwa “HAM dan penegakkannya saat ini sangat jauh dari kata baik”, sementara pandangan sebaliknya diungkapkan oleh LBH Yogyakarta. LBH Yogyakarta memandang HAM terutama di ASEAN sudah cukup baik dengan adanya komisi HAM ASEAN. Pandangan ini diungkapkan saat wawancara sebagai berikut :

“Kan ada dua, kalau melihat soal kasus hak asasi manusia itu. Pertama di aspek formilnya yang kedua di aspek materilnya. Saya lebih spesifik mungkin bicara konteks Indonesia karena bagian dari ASEAN. Di Indonesia sendiri memang secara formil sudah cukup lengkap, kita menilai konvensi internasional soal kasus hak asasi manusia itu telah diratifikasi. Secara formil dalam ruang lingkup lebih

kecil di Indonesia pemenuhan soal hak asasi manusia ini sudah cukup memadai. Ada banyak aturan main yang bisa jadi rujukan oleh pemerintah Indonesia dalam konteks kehidupan bernegara. Cuma memang problemnya di tingkat implementasi sekali lagi”.

Berbagai pandangan mengenai HAM di atas cukup representatif terhadap pandangan NGO di Indonesia. HAM adalah konsep mengenai hak dasar yang telah ada atau melekat pada diri manusia dan seiring perkembangannya hak-hak dasar tersebut berkembang menjadi hak-hak yang lebih kompleks. Dalam implementasinya, banyak yang kemudian menemui masalah, seperti hambatan budaya, hukum negara yang berlaku, asas non-intervensi dan lain-lain.

Kerja Sama ASEAN dan NGO Hak Asasi Manusia

Ilmu antropologi istilah kerja sama bukan lagi menjadi hal yang baru, karena definisi dan uraian tentang konsep kerja sama sudah cukup banyak. Di antaranya Koentjaraningrat selaku antropolog terkemuka di Indonesia dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (1974)” menjelaskan mendalam mengenai beberapa hal terkait kerja sama, gotong royong, dan tolong-menolong. Tetapi konsep kerja sama Koentjaraningrat ini belum cukup relevan untuk menggambarkan kerja sama sebuah organisasi. Ini membantahkan asusmsi awal mengenai pemakaian konsep kerja sama oleh Koentjaraningrat.

Konsep yang relatif lebih tepat dipakai adalah konsep kerja sama oleh Durkheim (1893) dalam gagasannya mengenai solidaritas organik dan mekanik juga menjelaskan mengenai konsep kerja sama. Walaupun tidak spesifik mengenai organisasi masyarakat, paling tidak formulasinya lebih luas dan tidak terbatas pada ruang lingkup tertentu.

Cooley (1964-1929) seorang sosiolog yang juga menyatakan bahwa kerja sama

(7)

timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerja sama yang berguna.

Ada tiga bentuk kerja sama menurut Soekanto (1986): Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang atau jasa antara dua organisasi lebih. Co-optation, suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi. Coalition, adalah kombinasi antara dua organisasi/ lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Coalition dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu oleh karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya; tetapi karena memiliki tujuan yang sama, maka dapat bersifat kooperatif. Coalition adalah konsep kerja sama paling relefan dalam penelitian ini. Kerja sama yang dilakukan melingkupi sebuah organisasi. NGO HAM memiliki struktur yang berbeda-beda tetapi saling memiliki tujuan yang sama dalam penegakan HAM.

Pertanyaan pertama saat interview adalah perspektif NGO mengenai ASEAN dan HAM, maka pertanyaan berikutnya adalah mengenai kerja sama. Keempat NGO pada wawancara pertama seluruhnya mengungkapkan bahwa “tidak pernah memiliki hubungan kerja sama terhadap ASEAN”. Saat itu penelitian ini menemui masalah baru, tidak berhenti sampai di situ, seluruh data dicoba analisis dan realitas dibaliknya NGO memiliki hubungan kerja sama terhadap ASEAN namun sifatnya non-struktural (non-structural). Kerja sama non-struktural ini adalah kerja sama tidak langsung antara ASEAN dan NGO. Beberapa NGO melakukan aktifitas advokasi, seperti pembuatan draft berkaitan isu HAM.

ASEAN negara-negara anggota berkomitment untuk melindungi HAM, mereka membuat deklarasi bersama yang kemudian diserahkan ke pemerintah (negara masing-masing). Peryataan setuju negara-negara peserta terhadap deklarasi tidak sesuai dengan praktiknya. Karena hanya bersifat deklarasi, maka tidak ada jaminan bahwa setiap negara wajib menjalankan kebijakan atau aturan tersebut. Seluruh kewenangan diserahkan sepenuhnya oleh negara masing-masing. Serta tidak ada sangsi bagi negera-negara yang tidak menerepkan aturan yang telah disepakati.

Peran ASEAN dalam menjadi fasilitator NGO sejauh ini belum pernah tercipta. Seminar, lokakarya, dan lainnya yang pernah dilakukan ASEAN sejauh ini tidak memiliki keberlanjutkan yang signifikan. Pembentukan AICHR baru-baru ini, justru menimbulkan berbagai pertanyaan oleh para NGO.

ASEAN sebagai kelembagaan belum memperlihatkan progress yang signifikan mengenai masalah Hak Asasi Manusia. Bahkan ketika beberapa NGO di Yogyakarta dikirimkan Term of Reference (TOR) oleh ASEAN Study Center di UGM untuk referensi tulisan, beberapa NGO menyatakan bahwa pernah ada konferensi yang menandai bermulanya komitmen negara-negara ASEAN. Konferensi itu dihadiri pihak kementerian yang secara asosiatif merujuk pada institusi negara. Keterangan lebih lanjut dari NGO menyatakan bahwa lagi-lagi kegiatan seperti ini hanya berujung utopis.

Salah satu NGO, yaitu Rifka Anisa menjelaskan bahwa meskipun tidak ada mekanisme kerja sama langsung dengan ASEAN tetapi kerja sama tidak langsung yang pernah dilakukan. Dalam beberapa kesempatan ,Rifka Anisa dengan beberapa NGO lain di Indonesia diminta untuk membuat laporan mengenai HAM di Indonesia. Laporan yang disusun ini kemudian nantinya akan dibawa ke konverensi ASEAN. Laporan ini sifatnya adalah alternative report atau shadow report1

1 Alternative Report atau Shadow Report istilah yang

dipakai oleh para NGO di ASEAN untuk memberikan keterangan mengenai HAM dalam bentuk laporan yang

(8)

yang disusun oleh para NGO guna menjelaskan kondisi HAM yang sebenarnya terjadi di bawah. Laporan ini sifatnya dapat menguatkan atau bahkan membantah laporan resmi yang dibuat negara dalam konverensi ASEAN.

Hal lain yang menjadi temuan penelitian adalah mengenai kerja sama NGO dengan para NGO lain dalam konteks ASEAN. Kerja sama ini ada yang bersifat langsung dan ada yang tidak. Langsung artinya NGO ini melakukan kontak mengenai advokasi, perlindungan, dan promosi HAM dengan NGO negara-negara ASEAN lain. Sementara tidak langsung artinya terikat kerja sama NGO ini memiliki penghubung seperti wadah organisasi tingkat nasional, misalnya di Indonesia diinisiasi Human Right Working Group (HRWG). Bahkan ada juga yang saling bekerja sama karena memiliki satu donor (funding) yang sama.

Kerja sama antar-NGO dalam konteks ASEAN ini pada dasarnya merupakan konsep networking2 atau patnership. Mereka bekerja sama lebih banyak atas alasan kesamaan isu yang dibahas. Misalnya mengenai isu Ekososbu (Ekonomi Sosial Budaya), Sipol (Sosial Politik), atau Perempuan dan Anak.

Donor (funding) merupakan salah satu faktor penting dalam proses terbentuknya networking. Program promosi dan perlindungan HAM oleh NGO membutuhkan pendanaan dalam aplikasinya. Pemerintah dalam negeri sangat kurang memberikan partisipasi bantuan pendanaan. Sumber dana berasal dari donor-donor luar negeri3.

disusun tanpa campur tangan pemerintah. Sifatnya menjelaskan secara faktual, dapat menguatkan laporan yang dibuat oleh pemerintah atau bahkan membantah.

2 Jaringan sosial adalah sebagai suatu pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang, paling sedikit terdiri atas tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan masing-masing dihubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan sosial tersebut mereka dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial (Suparlan, 1982; Agusyanto, 2014).

3 Informasi mengenai donor menjadi informasi yang

cukup sensitif. Hal ini dibuktikan beberapa NGO yang diwawancarai sangat sulit terbuka mengenai informasi

Saat ASEAN membuat konverensi di beberapa negara maka seluruh networking NGO di ASEAN akan melakukan konverensi serupa di wilayah yang sama, namun sifatnya di luar dari mekanisme ASEAN. Uapaya ini sebagai kontrol dari proses konverensi berlangsung. Konstribusinya adalah dengan membuat rumusan gagasan yang kemudian dibawa ke konverensi resmi sebagai perwakilan organisasi masyarakat sipil. Dari sinilah berbagai kerja sama lahir, terutama untuk HAM di antara para NGO dengan isu yang sama dalam konteks ASEAN.

LBH Yogyakarta, Satunama, dan Rifka Anisa pada akhirnya memperlihatkan penegasan adanya patnersip bersama lembaga-lembaga HAM yang punya hubungan dengan ASEAN. Namun mengenai hubungan tersebut, sejauh ini tidak dapat ditelusuri dengan jelas. Para NGO ini pernah bekerja sama dengan NGO dari Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Filipina yang fokus mengenai isu tertentu. Beberapa kali juga melakukan riset bersama. Tetapi dengan ASEAN secara kelembagaan atau secara struktural belum pernah ada. Kerja sama ini yang kemudian disebut sebagai non-struktural seperti yang disinggung sebelumnya.

Akses komunikasi mereka (antar -NGO) lebih banyak menggunakan email. Meskipun sesekali mengadakan pertemuan di beberapa tempat. Mengadakan diskusi mengenai isu-isu HAM tertentu. Bahkan membicarakan mengenai perencanaan HAM di masa depan agar lebih baik lagi.

Kerja sama ini bertahan sangat relatif dan temporal berdasarkan kesamaan isu yang dibahas juga bergantung pada donor yang memberikan bantuan pendanaan. Pada beberapa kasus NGO, mereka kehilangan kontak dengan patner dari negara lain karena tidak adanya masukan dana atau berakhirnya masa kontrak dengan donor. Alasan lain juga keterbatasan akses teknologi dan informasi. Menurut mereka kemampuan NGO melakukan akses internet khususnya di wilayah Yogyakarta cukup sulit. Ini menjadikan

(9)

intensitas komunikasi dan interaksi semakin merenggang dan kemudian hilang.

Mekanisme Promosi dan Perlindungan HAM ASEAN dan NGO

“Mekanisme promosi dan perlindungan HAM oleh ASEAN masih sangat kurang”. Inilah ungkapan yang selalu disampaikan para NGO saat mereka menanggapi pertanyaan mengenai mekanisme HAM ASEAN. Bahkan mereka cenderung kritis dan emosional ketika menanggapi masalah yang satu ini.

Sejauh ini lembaga HAM ASEAN hanya melakukan deklarasi. Setiap negara tidak memiliki paksaan untuk mengikuti aturan dari deklarasi tersebut. Bahkan sanksi dari tidak menjalankan hasil deklarasi tersebut juga tidak ada. Sehingga banyak negara-negara anggota yang belum melakukan ratifikasi. Mekanisme HAM ASEAN masih bersifat 50:50 (fifty:fifty), artinya antara pelanggaran dan penegakan masih seimbang. Bahkan di beberapa tempat justru lebih banyak pelanggarannya dibanding penegakannya. Ini dipengaruhi oleh budaya ASEAN yang masih sangat paternalis, sehingga pelanggaran HAM masih sangat tinggi.

Faktor lain dalam masalah promosi dan perlindungan ASEAN adalah mengenai peran militer negara. Pandangan ideal mengenai peran militer bahwa menjadi instrumen penting dalam penegakan HAM. Tetapi realitasnya justru sebaliknya, rendahnya penegakan HAM di ASEAN dikarenakan HAM selalu dianggap bukan sebagai sebuah isu sentral. Pandangan ini didominasi muncul dari kalangan militer. Mereka memandang bahwa ‘keamanan negara’ adalah hal yang paling utama dan sentral. Asumsi yang mereka bangun jika terjadi perang, maka HAM juga tidak berlaku. Artinya HAM bukanlah masalah yang penting dalam negara, hal-hal seperti stabilitas politik dan ekonomi masih menjadi sorotan utama.

Pada dasarnya ASEAN lebih fokus hanya pada masalah stabilitas (ekonomi dan politik), begitu penekanannya para NGO saat diwawancara. Jika segala sesuatu tidak

mengganggu stabilitas negara maka tidak dianggap penting karena HAM adalah isu yang tidak secara signifikan mengganggu stabilitas negara. Ini sangat kontradiktif dengan konsep HAM Universal di mana semua pihak bertanggung jawab mengenai penegakan. Semua pihak wajib melakukan perlindungan HAM. Sementara ketika HAM universal diadopsi di kawasan timur maka diubah dan diadaptasikan dengan budaya masing-masing negara. Sehingga peran budaya negara menjadi dominasi utama.

Pandangan ini yang kemudian memunculkan topik menarik mengenai “HAM ASEAN VS Nilai Budaya”. Pertama kali disampaikan oleh Pusham UII mengenai konsep ‘relativisme budaya’ yang telah dijelaskan sebelumnya. Pandangan serupa diungkapkan oleh NGO Satunama, Rifka Anisa, dan LBH Yogyakarta. Mereka mengatakan bahwa susahnya HAM ASEAN melembaga di Indonesia karena adanya hambatan budaya. Beberapa nilai dalam konsep HAM ASEAN kontradiktif dengan nilai budaya yang ada.

Misalnya saja ketika mengadvokasi kasus di salah satu kabupaten di Jawa, Rifka Anisa menjelaskan pengalaman mengenai hambatan budaya. Misalnya ketika terjadi kekerasan fisik atau mental kepada istri, maka saat itu istri akan melaporkan perkara itu kepada kepolisian atau instansi terkait. Hambatannya adalah justru suami yang melaporkan kembali sang istri sebagai pencemaran nama baik. Secara kultural kekuatan suami tidak bisa dielakan karena Jawa secara kuat menganut patrilineal. Sangat berat ketika istri melakukan perlawanan hukum ketika kasus tersebut coba untuk diselesaikan. Menurut Rifka Anisa persoalan gender merupakan persoalan budaya.

Promosi dan perlindungan HAM oleh para NGO secara spesifik banyak memiliki kesamaan. Asumsinya adalah karena kesamaan wilayah, kesamaan budaya, kesamaan perspektif, dan lain-lain. Pada proses awal promosi HAM banyak metode variatif yang dilakukan beberapa NGO ini. Semua bergantung pada isu yang dibahas

(10)

dan objek mengenai isu tersebut. Misalnya anak-anak, remaja, suami istri, bahkan masyarakat, atau komunitas. Secara umum, ketiga NGO memiliki kesamaan mekanisme promosi HAM, misalnya dengan adanya seminar, focus group discussion, konseling psikologi, pendampingan untuk pengenalan hukum pada tingkat pelajar, sosialisasi ke instansi-instansi pendidikan, melakukan inisiasi dan kaderisasi. Sementara mengenai proteksi atau perlindungan misalnya advokasi, konseling hukum, konseling psikologi, membuka rumah aman, dan bantuan hukum.

Pada praktenya kemudian terdapat beberapa teknik yang berbeda. Pada anak-anak tingkat sekolah dasar misalnya, NGO seperti Rifka Anisa, LBH Yogyakarta, Satunama, memiliki metode yang berbeda-beda. Misalnya sosialisasi HAM sejak dini di sekolah-sekolah, konsling kekerasan, lomba menggambar bertemakan HAM atau anti kekerasan, lomba puisi bertemakan HAM, dan lain-lain. Sementara di tingkat remaja berbeda lagi, jika ada metode umum yang digunakan di seluruh lapisan maka terdapat juga metode khusus. Untuk remaja biasa pendekatannya lebih persuasif, dengan mengajak diskusi, konsling psikologi, percakapan mengenai pacaran, dan lain-lain.

Di Rifka Anisa terdapat satu konsep menarik mengenai objek remaja yaitu adanya konsep ‘Kekerasan Dalam Pacaran’ (KDP)4.

Rifka Anisa mengenalisa bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT5) faktornya

banyak dipengaruhi saat masa pacaran. Pelaku KDP memiliki potensi sangat besar melakukan KDRT. Pada banyak kasus KDRT sangatlah susah diselesaikan dan selalu mengalami peningkatan jumlah kasus. Sehingga Rifka Anisa menyatakan penting melakukan pencegahan kekerasan sejak dini pada tingkat remaja atau tingkat awal. Objek konslingnya 4 Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) adalah kekerasaan

yang ditimbulkan saat pacaran. Baik secara fisik maupun mental yang banyak menghambat perkembangan remaja.

5 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah

kekerasan yang ditimbulkan didalam ruang lingkup keluarga. Biasanya dilakukan oleh suami kepada istri atau sebaliknya. Kekerasannya lebih banyak pada kasus kekerasan fisik.

bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Mereka merumuskan tema “Menjadi Laki-laki Tidak Perlu Dengan Kekerasan – Semakin anda sabar, setia, perhatian, penuh cinta kasih, supportif, dan anti kekerasan, maka anda semakin laki-laki” (dalam sebuah poster di ruang tunggu kantor Rifka Anisa). Gagasan dan temuan menarik ini belum banyak dianalisa di beberapa NGO lain atau penelitian lain bahkan di konteks ASEAN.

LBH Yogyakarta juga memiliki salah satu program dalam promosi dan perlindungan HAM yang cukup menarik. Mereka melakukan pelatihan pada masyarakat sipil dengan diberikan bekal pengetahuan hukum. Mereka diajar cara-cara menganalisa pelanggaran atau masalah HAM, bahkan sampai pada tahap penyelesaian dasar. Mereka menyebutnya sebagai ‘paralegal’6 yaitu istilah untuk masyarakat sipil yang telah diinisiasi dan diberikan pengetahuan hukum. Sehingga LBH lebih mudah memperoleh informasi masalah yang terjadi di lapangan secara valid. Sehingga advokasi juga bisa lebih tepat sasaran.

Berbeda lagi di NGO Satunama yang memiliki beberapa motode khusus. Satunama membuka perpustakaan umum bagi siswa-siswi untuk melakukan aktifitas sepulang sekolah dan hari libur. Kegiatan yang dilakukan mulai dari diskusi, menggambar, menabung bersama, dan game ketangkasan. Sementara di tingkat lebih atas, seperti masyarakat mereka melakukan sosialisasi dan studi analisis langsung di lapangan. Mereka melakukan beberapa pelatihan mengenai penanggulangan HAM dan mengajak peserta turun langsung di masyarakat untuk menganalisa secara langsung masalah HAM yang terjadi. Menginisiasi beberapa orang sebagai ‘Agen Sipil Satunama’ yang tersebar di seluruh Indonesia.

6 Paralegal adalah masyarakat sipil yang telah

diberikan pengetahuan hukum dan cara-cara mengenalisa pelanggarannya. Tujuannya agar masalah-masalah pada masyarakat luas lebih mudah diidentifikasi dan diselesaika. Mereka juga merupakan mediator masyarakat dalam memperoleh bantuan hukum.

(11)

PENUTUP

Tiga NGO yang diteliti diperoleh temuan-temuan yang kemudian coba diuraikan secara koperhensif. Mencoba menghubungkan dan membandingkan temuan-temuan dari tiga NGO terkait perspektif HAM dan ASEAN, mekanisme promosi dan perlindungan HAM di aras lokal. Pandangan mengenai HAM dan ASEAN yang diungkapkan NGO bertendensi negatif dan kritis. Mereka memandang bahwa HAM terutama di Asia perlu dilakukan pengkajian kembali. Formulasi HAM memiliki banyak benturan terutama benturan-benturan budaya dan implementasi. Saat ini banyak yang memandang HAM jauh dari konsep dasarnya. HAM adalah segala sesuatu terkait dengan hak-hak dasar yang diperoleh manusia sejak dia lahir. Perlu kiranya dipahami bahwa hak dasar inilah yang penting sebelum membicarakan hak-hak lainnya.

Ketiga NGO tidak memiliki hubungan kerja sama langsung terhadap ASEAN. Namun setelah dianalisa, para NGO ini memiliki hubungan kerja sama terhadap ASEAN sifatnya non-structural. Kerja sama non-structural ini adalah kerja sama tidak langsung antara ASEAN dan NGO. Beberapa NGO melakukan aktifitas advokasi, pembuatan draft, shadow report yang berakitan isu HAM. Mengenai kerja sama ASEAN menjadi fasilitator NGO sejauh ini belum pernah ada.

Kerja sama langsung ASEAN memang belum pernah ada, tetapi terdapat kerja sama dengan NGO lain dalam konteks ASEAN pernah terjadi. Kerja sama dengan para NGO di ASEAN bersifat networking atau patnership. Mereka melakukan kerja sama karena kesamaan isu. Alasan lain juga adalah karena donor (funding) yang sama. Komunikasi dilakukan menggunakan email dan beberapa kali pertemuan bersama.

Mekanisme promosi dan perlindungan HAM oleh ASEAN masih dianggap sangat kurang. Para NGO kritis dan emosional menanggapi masalah mekanisme HAM ASEAN. Lembaga HAM ASEAN hanya

sebatas melakukan deklarasi, negara-negara anggota tidak memiliki paksaan untuk menjalankan hasil deklarasi dan tidak ada sangsi.

Setiap NGO memiliki metode variatif dalam melakukan promosi dan perlindungan HAM. Metode yang digunakan lebih persuasif dan memiliki pendekatan budaya. Beberapa metode di antaranya seminar, focus group discussion, konseling psikologi, pendampingan untuk pengenalan hukum pada tingkat pelajar, sosialisasi, melakukan inisiasi dan kaderisasi. Sementara mengenai proteksi atau perlindungan misalnya advokasi, konseling hukum, konseling psikologi, membuka rumah aman, dan bantuan hukum secara intesif.

DAFTAR PUSTAKA

Agusyanto, Ruddy. 2014. Jaringan Sosial dalam Organisasi (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Press.

Brown, C. 2008. “Human Rights”. The Globalization of World Politics 4e. Oxford University Press.

Collins, Alan. 2013. Building a People-Oriented Security Community the ASEAN Way. New York: Routledge.

Creswell, John W. 2012. Research Design – Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Eccleston, Bernard, Deborah Michael, Dawson J. McNamara. 1998. The Asia-Pasific Profile. United Kingdom: Routledge

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi 2006). Jakarta: Rineka Cipta

Hamilton, Peter. 1990. Talcott Parsons dan Pemikirannya – Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Sanderson, Stephen K. 2010. Makro Sosiologi – Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Edisi kedua. Jakarta: Rajawali Press.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

(12)

Steans, Lloyd Pettiford, Thomas Ditz, Imad El-Anis. 2005. An Introduction International Relations Theory Prespectives dan Themes. Second Editions. New York: Routledge

Suparlan, Parsudi. 1982. “Jaringan Sosial”. Media IKA Februari, No. 8/X, hlm. 29-47. Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi Fakultas Sastra UI.

Winston, M. 2007. “Human Rights as Moral Rebellion and Social Construction”. Journal of Human Rights, Vol. 6.

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti akan meneliti yang berkaitan dengan pelaksanaan pembinaan akhlak pemuda dan kendala apa saja yang mempengaruhi pembinaan akhlak pemuda di lembaga pemasyarakatan kelas

Untuk memasukkan koordinat tersebut sebagai GCP, arahkan cross hair cursor pada citra ke posisi titik yang sama dengan peta (gunakan zoom agar lebih teliti), jika sudah yakin

Merujuk pada arsip Perjanjian 7 Januari 1681 17 , perjanjian yang telah dilakukan tiga Pangeran dari Cirebon dengan VOC berimplikasi pada ketaatan penuh Cirebon

Dengan tidak adanya segmentasi pasar, berakibat pada suatu perusahaan akan kesulitan untuk membidik konsumen mana yang akan dituju, karena kosumen mempunyai kebutuhan

 Wacana lengkap, unsur bahasa bervariasi dan menggunakan ungkapan yang menarik  Idea relevan, huraian jelas dan matang.. Baik 20-25  Menepati tema

Berdasarkan hasil analisis Tabel 12 dan Tabel 13 dapat dikatakan bahwa link korelasi juga mempengaruhi keefisienan model, hal ini terlihat dari nilai standard

Lembar tugas yang diselesaikan siswa secara individu, dimaksudkan untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam pemahaman matematis sebelum mendapatkan bantuan dari

Melakukan klasifikasi perusahaan yang terprediksi finansial distress dengan metode analisis diskriminan menggunakan variabelprediktor asli dan variabel prediktor yang