BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Standar Jumlah dan Perletakan Pos Pemadam Kebakaran
Standar perletakan pos pemadam kebakaran dalam skala kota: 1.Berdasarkan Kepmen PU No.11/KPTS/2000
Ketentuan teknis manajemen penanggulaan kebakaran di perkotaan, yaitu: a. Daerah yang sudah terbangun harus mendapat perlindungan oleh mobil
kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari sektor.
b. 1 (satu) pos pemadam melayani maksimum 3 kelurahan. 2. Berdasarkan standar ISO (Insurance Service Office)
Ketentuan aman untuk perlindungan kebakaran yaitu: a. Mobil Pemadam berjarak 2,4 Km dari bangunan b. Mobil Tangga berjarak 4 Km dari bangunan
c. Untuk setiap bangunan terjauh berjarak 8 km dari Pos Kebakaran 3. Berdasarkan standar Pd M-01-2004-C
Berdasarkan standar Pd M-01-2004-C yang telah dilakukan pengujian di kota Bandung dapat disimpulkan bahwa daerah yang sudah terbangun harus mendapat perlindungan oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 1,5 km.
2.2 Perencanaan Pos Pemadam Kebakaran
2.2.1 Waktu tanggap
Berdasarkan Kepmen PU No.11/KPTS/2000 tentang ketentuan teknis manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan, waktu tanggap adalah waktu mulai menerima pemberitahuan kebakaran disuatu lokasi, waktu perjalanan dan waktu gelar peralatan dilokasi sampai dengan siap operasi penyemprotan.
waktu tanggap dapat juga diartikan waktu pemanggilan + waktu pengecekan + waktu tempuh + waktu siap penyemprotan.
Waktu tanggap adalah:
a. Faktor waktu merupakan faktor yang paling menentukan dalam hubungan antara waktu pertumbuhan kebakaran yang eksponensial dengan operasi pemadaman kebakaran dan penyelamatan yang efektif.
b. Waktu tanggap ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya kebakaran dan waktu pencapaian unit pemadam kebakaran pertama tiba di lokasi kebakaran. c. Waktu tanggap merupakan waktu yang ditetapkan untuk merespon setiap
kejadian yang mungkin terjadi.
Waktu tanggap meliputi penggalan waktu sebagai berikut: a. Waktu proses laporan
b. Waktu pemberangkatan c. Waktu tempuh
e. Waktu penyiapan peralatan f. Waktu penyemprotan
Perincian dari penggalan waktu tanggap adalah sebagai berikut:
a. Waktu proses laporan yaitu jumlah waktu dari penerimaan berita insiden dan proses selanjutnya yang meliputi penerimaan berita, penentuan macam insiden, verifikasi lokasi kejadian, menentukan sumber daya yang akan
menangani insiden, dan memberitahukan unit - unit yang akan merespon (5 Menit).
b. Waktu pemberangkatan yaitu jumlah waktu yang dibutuhkan petugas untuk bereaksi setelah menerima informasi pemberangkatan dan persiapan untuk meninggalkan stasiun/pos kebakaran (5 Menit).
c. Waktu tempuh yaitu jumlah waktu perjalanan dari sebuah kendaraan IPK dari stasiun/pos kebakaran sampai ke tempat kejadian (5 Menit).
2.2.2 Kecepatan kendaraan
Berdasarkan NFPA 1231 Standard on Water Supplies for Suburban and Rural Fire Fighting edisi 1993, kecepatan normal dan kecepatan aman kendaraan adalah 35 mil/jam atau 56,4 Km/Jam.
2.2.3 Hirarki layanan kebakaran
Secara hirarki organisasi pelayanan pemadam kebakaran, terdiri dari; 1. Pos pemadam kebakaran
2. Sektor pemadam kebakaran 3. Wilayah pemadam kebakaran
Adapun rincian dari organisasi pos pemadam kebakaran sebagai berikut; 1. Pos pemadam kebakaran
a. Pada pos kebakaran maksimal ditempatkan 2 regu jaga. b. Pos kebakaran dipimpin oleh seorang kepala pos. c. Mampu menampung 2 unit mobil pemadam. 2. Sektor pemadam kebakaran
a. Sektor pemadam kebakaran membawahi maksimal 6 pos kebakaran. b. Setiap sektor pemadam kebakaran dipimpin oleh seorang kepala sektor
pemadam kebakaran
c. Mampu untuk 2 mobil pompa, 1 mobil tangga, 2 mobil tangga > 30 meter, 2 mobil rescue/ambulans, 1 mobil pemadam khusus, 1 mobil alat bantu pernafasan, 2 perahu karet.
3. Wilayah pemadam kebakaran
a. Wilayah pemadam kebakaran, membawahi seluruh sektor pemadam kebakaran.
b. Garasi untuk 2 mobil pompa 4.000 liter, 1 mobil tangga 17 m, 3 mobil tangga > 30 m, 2 mobil rescue/ambulans, 2 mobil pemadam khusus, 2 mobil alat bantu pernafasan, 2 perahu karet.
2.3 Studi Banding
pos pemadam kebakaran yang ditinjau secara rural dan urban.
2.3.1 Secara rural
Calvert County, MD memiliki 5 pos pemadam kebakaran. Pelayanan kebakaran dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Letak Pos Pemadam Kebakaran di Calvert County, MD Sumber: Standar Pd M-01-2004-C Pos 1 Pos 5 Pos 4 Pos 2 Pos 3
Kondisi Calvert County:
a. Tidak ada hidran tapi ada tendon air b. Jalan lancar
c. Tidak ada pemukiman padat d. Ada alarm kebakaran
e. Jarak jangkauan pelayanan pos kebakaran 5 mil.
2.3.2 Secara urban
Arlington County memiliki 10 pos pemadam kebakaran. Pelayanan kebakaran dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Letak Pos Kebakaran Kota Arlington Sumber: Standar Pd M-01-2004-C Pos 1 Pos 6 Pos 7 Pos 2 Pos 8 Pos 3 Pos 4 Pos 5 Pos 9 Pos 10
Kondisi Arlington County: a. Ada hidran
b. Padat bangunan tapi teratur c. Tidak padat penduduk d. Ada alarm kebakaran
e. Jarak jangkauan pelayanan pos kebakaran 0,9 mil
2.4 Penyebab Masalah Lalu lintas
Perkembangan aktivitas di perkotaan mengakibatkan peningkatan beban jalan. Akibatnya berbagai macam jenis permasalahan lalu lintas terjadi, mulai dari penundaan, kemacetan, atau gangguan lainnya. Menurut Ogden (1978) menyatakan bahwa kemacetan, kecelakaan dan gangguan lalu lintas lainnya terjadi karena ketidak sesuaian diantara komponen sistem lalu lintas.
Manheim (1979) menyatakan bahwa sistem lalu lintas didefinisikan sebagai: a. Sistem transportasi.
b. Sistem aktifitas sosial ekonomi.
c. Pola pergerakan berupa sistem transportasi, asal, tujuan, rute, volume lalu lintas dan lain-lain.
Secara garis besar hubungan komponen lalu lintas dapat digambarkan sebagai berikut:
b. Pola pergerakan menyebabkan perubahan dalam selang waktu dan sistem kegiatan, melalui pola pelayanan lalu lintas dan melalui sumber yang dikonsumsi untuk pelayanan tersebut;
c. Pola pergerakan langsung menyebabkan perubahan dalam sistem transportasi.
2.5 Sirkulasi Kendaran
Sirkulasi kendaraan adalah suatu hal yang menggambarkan sebuah pola pergerakan disekitar tapak yang dapat mempengaruhi sirkulasi kendaraan terhadap lamanya dan beban puncak bagi lalu lintas. Sifat konfigurasi ialah mempengaruhi dan dipengaruhi pola organisasi ruang – ruang yang menghidupkannya. Konfigurasi sebuah jalan yang dapat memperkuat organisasi ruang dengan mensejajarkan polanya.
Bentuk-bentuk sirkulasi yang biasa terjadi diperkotaan (Ching, 1985) adalah: a. Linier
Semua jalan adalah linier, jalan yang lurus dapat menjadi unsure pembentuk untuk satu deretan ruang - ruang.
b. Radial
Bentuk radial memiliki jalan yang berkembang dari atau berhenti pada sebuah pusat, tidak sama.
c. Spiral
titik pusat, berputar mengelilinginya dan bergerak menjauhi titik pusat tersebut.
d. Grid
Bentuk grid terdiri dari dua set jalan-jalan sejajar yang saling berpotongan pada jarak yang sama dan menciptakan bujur sangkar atau kawasan-kawasan ruang yang berbentuk segi empat.
e. Net Work
Suatu bentuk jaringan yang terdiri dari beberapa jalan yang menghubungkan titik – titik tertentu dalam ruang.
f. Campuran
Pada kenyataannya, sebuah bangunan umumnya mempunyai suatu kombinas dari pola - pola tersebut.
2.6 Pemilihan Rute
Jaringan jalan di kota besar sering menghadapi permasalahan lalu lintas terutama pada saat jam – jam sibuk yang pada umumnya pada jam pagi, siang, dan sore. Kemacetan lalu lintas yang dihadapi di kota besar dapat mencapai tingkat yang sangat kritis. Kemacetan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh tingginya tingkat pergerakan kendaraan dari luar kota menuju pusat perkotaan. Selain itu penyebab kemacetan lalu lintas disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi, tingginya aktivitas sosial di perkotaan dan tingginya jumlah pemilik kendaraan, serta berbaurnya peranan fungsi jalan arteri, kolektor dan lokal sehingga jaringan jalan
tidak dapat berfungsi secara efisien. Ketidak lancaran arus lalu lintas ini menimbulkan tundaan kemacetan yang cukup tinggi. Untuk dapat menghindari kemacetan yang cukup tinggi diperlukan suatu pemilihan rute yang tepat dalam melakukan perjalanan dari asal tempat ke tempat tujuan, sehingga waktu tempuh yang diperlukan seminimal mungkin.
Empat faktor yang mempengaruhi pemilihan rute (Warpani, 1990): 1. Waktu perjalanan
2. Biaya perjalanan 3. Kenyamanan 4. Tingkat pelayanan
Rute terbaik bagi pemakai jalan dapat diartikan sebagai rute tercepat dalam
mencapai tempat tujuan dan membutuhkan biaya yang tidak terlalu mahal. Menurut (Hutchinson, 1974) menyatakan bahwa hambatan perjalanan adalah sebagai
faktor utama yang berpengaruh dalam pemilihan rute. Semakin tinggi hambatan yang terjadi di suatu ruas jalan mengakibatkan semakin sedikit jumlah lalu lintas kendaraan yang menggunakan ruas jalan tersebut dan sebaliknya, apabila hambatan yang terjadi di suatu ruas jalan yang cukup rendah maka semakin banyak jumlah lalu lintas yang menggunakan ruas jalan tersebut. Perjalanan biasanya dinyatakan dalam ukuran kuantitatif yang terdiri dari waktu perjalanan, jarak perjalanan, kecepatan perjalanan serta biaya perjalanan. Dari keempat ukuran kuantitatif tersebut, hambatan
perjalanan dan waktu perjalanan yang merupakan ukuran yang sangat mempengaruhi (Warpani, 1990). Pembebanan lalu lintas adalah suatu proses dimana permintaan perjalanan (yang didapat dari tahap distribusi) dibebankan ke rute jaringan jalan yang terdiri dari kumpulan ruas-ruas jalan.