Ruth Rodded seorang pengamat yang punya perhatian khusus terhadap kehidupan perempuan masa nabi sampai masa Abbasiyah mengungkapkan ada sekitar 1.200 ulama perempuan meriwayatkan hadis yang bertemu langsung dengan nabi. Menurut Ruth pada masa Abbasiyah dan masa akhir Umayyah, ulama-ulama perempuan
tersebut sama sekali tidak muncul. Mengapa ulama perempuan seakan-akan “mangkir” dalam sejarah kebudayaan Islam? Apakah memang mereka tiada atau sebenarnya ditiadakan? Bagaimana sebenarnya dunia keulaman perempuan ini? Berikut wawancara
dengan Hj. Evi Sofia Inayati, Ketua Umum PIMPINAN PUSAT NASYIATUL AISYIYAH - organisasi pemudi Muhammadiyah Periode 2004-2008.
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini, memiliki sejumlah pengalaman dalam berorganisasi, diantaranya pernah menjabat sebagai Pimpinan Ranting Nasyiatul Aisyiyah dan Anggota Majelis Tarjih & Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Adapun kesibukan sehari-hari perempuan kelahiran Yogyakarta 31 Maret 1971 selain menjadi konselor psikologi ia juga Sekretaris Divisi Sosbud & Keluarga Mejelis Tarjih &
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammdiyah (2005-sekarang).
Hj. Evi Sofia Inayati,
Ketua Umum PIMPINAN PUSAT (PP) NASYIATUL AISYIYAH
Menyiapkan Ulama Perempuan,
Hukumnya Fardlu Kifaya
h
Ada banyak pendapat yang menjelaskan istilah ulama, menurut Anda definisi ulama
itu seperti apa?
Secara umum istilah ulama sebenarnya dapat diartikan sebagai seseorang yang ahli/pakar di bidangnya di semua disiplin ilmu atau kata lain cendiekiawan. Namun, di masyarakat istilah ulama
mendapat pengkhususan makna yang
menurut hemat saya mereduksi dan mempersempit arti ulama itu sendiri dengan hanya membatasinya sebagai orang yang tafaqquh fi ad-din orang yang mendalam kepakaran dan keahlian di bidang keagamaan baik di bidang tafsir, hadis, dan fiqh.
Apakah ada persyaratan khusus bagi seseorang untuk menjadi atau disebut ulama?
Semua ulama dalam arti pakar/ahli di bidang ilmunya mensyaratkan adanya kualifikasi
tertentu dan hal itu merupakan pemenuhan kode etiknya. Demikian pula halnya dengan ulama yang
dimaknai sebagai kelompok yang tafaqquh fi ad-din dan perikehidupannya dapat dijadikan referensi perilaku dan sikap bagi umat, maka saya kira memang ada kualifikasi tertentu yang perlu dimiliki. Seorang ulama yang seperti itu mesti memiliki kemampuan berbahasa Arab dan perlu penguasaan bahasa asing lainnya, membaca kitab
klasik/kuning, memahami ushul, tafsir, sarah hadis, ushul fiqh sebagai ilmu alatnya. Selain itu, ulama juga harus memahami dan peka dalam
menganalisis perkembangan sosial
masyarakat yang cenderung terus mengalami perubahan.
Banyak orang berpendapat ulama itu identik dengan laki-laki yang menguasai kitab kuning, fiqh, tasawuf, tafsir, hadis, punya massa, memiliki pesantren, dan menjadi panutan masyarakat. Apa yang menyebabkan istilah ulama hanya dilekatkan pada laki-laki saja?
Saya kira hingga saat ini kebanyakan
masyarakat masih memandang perempuan memiliki kekurangan dalam agamanya, bahwa
laki-lakilah pendidik keluarga. Hal ini terkait misalnya dengan adanya hadis Rasulullah
saw. yang terkesan “misoginis” yang kemudian dipahami tanpa mempertimbangkan konteks sosial saat itu. Menurut hemat saya hal ini tidak terlepas dari pengaruh atmosfir maskulinitas dalam menafsir teks agama.
Menurut Anda boleh tidak perempuan menjadi ulama?
Sangat boleh. Bahkan menurut saya untuk saat ini sudah menjadi fardlu kifayah.
Maksudnya?
Fardlu kifayah tidak hanya diartikan telah gugur kewajiban jika ada yang telah
mengerjakan akan tetapi menjadi kewajiban kolektif umat Islam untuk menyiapkan perempuan yang
tafaqquh fi ad-din. Padahal jika diperhatikan tidak sedikit perempuan yang mengelola
pondok pesantren menjadi Nyai, memiliki latar belakang pendidikan agama yang memadai.
Tadi Anda mengatakan perempuan bisa menjadi ulama lalu apa yang menjadi hambatan sehingga perempuan dianggap tidak pantas menjadi ulama?
Masalahnya, budaya patriarkhal masih sangat kental mempengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat termasuk mempengaruhi cara memahami teks agama, memandang dan
penerimaan masyarakat kepada ulama perempuan
masih setengah hati. Pemahaman yang bias gender ini tercermin misalnya, pada produk kebijakan pendidikan ulama yang mensyaratkan calon mahasiswa atau peserta adalah laki-laki.
Pada zaman Nabi, perempuan menempati peran yang sangat istimewa, diberikan
peluang begitu besar, seperti diberi kebebasan untuk belajar, mencari ilmu dan terlibat di dalam pengambilan keputusan. Lalu apa yang menyebabkan sejarah ulama perempuan pasca Nabi dan sahabat terkubur atau tidak banyak dimunculkan dalam sejarah Islam?.
Saya kira, sekali lagi, budaya patriarkhi yang kental sangat mempengaruhi konstruksi
pemikiran masyarakat dalam memandang eksistensi dan peran perempuan dalam segala hal
khususnya dalam konteks keulamaan. Masyarakat Islam memandang perempuan adalah
second community, kaum yang dalam posisi dididik bukan mendidik. Ruang dan iklim yang terbangun dari kebijakan pemerintahan, media, sistem pendidikan keulamaan tidak banyak membuka kesempatan bagi kader ulama perempuan
Dalam upaya membentuk ulama
perempuan, Nasyiatul Aisyiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan yang demikian kompleks baik masa sekarang maupun masa datang. Sebagai organisasi yang berhaluan reformis, Nasyiatul Aisyiyah tentu saja punya strategi untuk menghadapi itu semua. Dapatkah Anda jelaskan strategi dan kendala dari upaya tersebut?
Tantangan ke depan saya kira masih berkisar pada faktor internal dan eksternal. Internal terkait dengan beragamnya persepsi tentang perempuan dan keulamaan terutama di kalangan
perempuan itu sendiri, sarana prasarana, fasilitas, dan jaringan. Saya kira penguatan agama penting dilakukan untuk mengubah pola pikir perempuan dan masyarakat Indonesia yang religius ini tentang perlunya lahir ulama
perempuan untuk berperan bersama dengan ulama
laki-laki menyelesaikan persoalan umat yang terkait masalah sosial keagamaan. Hal ini
dilakukan dengan sosialisasi dan pendidikan masyarakat termasuk di kalangan ormas keagamaan.
Selain itu, perlu dipahamkan kepada semua pihak terutama organisasi keagamaan bahwa melahirkan
ulama perempuan sebenarnya merupakan keniscayaan bagi gerakan dakwah. Untuk itu, sangat penting menyiapkan fasilitas, sarana dan prasarana agar perempuan lebih mudah untuk menjadi ulama.
Apakah Nasyiatul Aisyiyah optimis mampu mengatasinya?
Sebagai aktivis dan gerakan perempuan muda tentunya harus selalu menumbuhkan
optimisme sebagai motivator berjuang bagi Nasyiah. Hanya saja ini memerlukan proses dan waktu yang tidak sebentar. Pendidikan masyarakat
termasuk dalam keluarga, saya kira masih sangat penting dilakukan sebagai upaya penyadaran akan pentingnya me”wakaf”kan anggota perempuannya untuk tafaqquh fi ad-din.
Upaya apa yang telah dilakukan dalam
menyiapkan fasilitas, sarana dan prasarana agar perempuan lebih mudah untuk menjadi ulama?
Sebagai upaya membangun jaringan dan fasilitas, pada periode 2004-2008 PP
kerjasama pendidikan ulama tarjih perempuan dengan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah meskipun sebagai langkah awalnya masih
berbentuk short course dan target minimal sebelum menjadi kader ulama adalah lahirnya muballighat yang sensitif dan berperspektif adil gender serta mampu menjadi pendamping
masyarakat terkait dengan persoalan agama. Hal ini dilakukan agar persoalan ulama perempuan
menjadi kepedulian dan perhatian banyak pihak, bukan hanya ormas perempuan saja. Harapan ke depan adalah adalah program ini menjadi embrio pendidikan ulama perempuan dengan sistem pendidikan dan pembinaan yang lebih terprogram, terencana, dan sistematis. Selain itu,
Muhammadiyah memiliki beberapa pesantren yang dapat menjadi bank kader ulama,
misalnya, Madrasah Muallimaat Muhammadiyah di
Yogyakarta yang notabene santrinya berasal dari berbagai daerah di tanah air. Selama ini, PP Nasyiatul Aisyiyah telah merintis kerjasama dengan pihak Madrasah terkait kaderisasi
kepemimpinan perempuan. Ke depan akan ditingkatkan pada penguatan keulamaan yang
berperspektif kesetaraan perempuan dan
laki-laki. Kurikulum madrasah sudah semestinya juga mendukung terbangunnya pemahaman yang tidak
bias kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Seterusnya, ada upaya peningkatan kapasitas terutama di pendidikan formalnya dengan pemberian
beasiswa oleh Muhammadiyah. Dan ini juga sudah dilakukan.
Dapatkah Anda ceritakan, upaya Nasyiatul Aisyiyah dalam “mencetak” ulama
perempuan baik di tingkat lokal maupun nasional?
Nasyiatul Aisyiyah adalah gerakan keagamaan selain organisasi sosial
kemasyarakatan dan keperempuanan. Sudah barang tentu kader ulama perempuan yang
berperspektif keadilan bagi perempuan dan laki-laki akan menjadi salah satu penggerak penting
dalam mewujudkan cita-cita organisasi. Upaya yang selama ini dilakukan adalah pembinan terhadap kader yang memiliki potensi keulamaan dengan latar belakang pendidikan agama. Pembinaan tersebut berupa up-grading, pelatihan, dan kursus ketarjihan. Meskipun demikian, upaya ini masih perlu ditingkatkan secara merata di semua wilayah Nasyiatul Aisyiyah mengingat tidak mudah kader yang tafaqquh fi ad-din.
Pembelaan terhadap hak perempuan dalam Islam diidentikkan sebagai sesuatu yang terpengaruh dari gerakan emansipasi liberal atau Barat, bagaimana komentar Anda?
Sebelum ada gerakan emansipasi liberal, Islam telah lebih dulu melakukan pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Sebagai
contoh, Islam secara berangsur mengharamkan perdagangan perempuan, melarang pembunuhan terhadap anak perempuan,
memperjuangkan hak belajar, berjihad,
penghargaan terhadap isteri. Jadi, pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika kemudian ada sedikit pengaruh hal tersebut hanya
memperkaya khazanah pemikiran dan perspektif saja.
Seberapa besar peranan ulama perempuan di Indonesia dalam memberikan kontribusi bagi penyelesaian persoalan bangsa, terutama dalam upaya mencapai relasi yang adil antara
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat?
Menurut hemat saya sudah ada beberapa
perempuan di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai ulama yang mengambil peran dalam upaya
mencapai relasi yang adil antara laki-laki dan
perempuan lewat diskursus keagamaan dan reinterpretasi teks agama. Ini cukup membanggakan. Dan sedikit demi sedikit telah membawa nuansa pencerahan pemikiran pada masyarakat.
Namun, peran ini juga perlu didukung oleh lahirnya banyak ulama perempuan yang memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya membangun relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.
Selama ini interpretasi agama selalu
dilakukan oleh ulama laki-laki, tak heran muncul hadis atau tafsiran Alquran yang cenderung merendahkan perempuan. Menurut Anda apa yang seharusnya dilakukan oleh ulama perempuan agar bisa mensejajarkan diri mereka
dengan ulama laki-laki?
Saya kira para ulama perempuan perlu lebih berani dan produktif lagi menampilkan
pemikiran Islam di banyak forum dan media. Masyarakat harus mulai dibiasakan berdialog dengan tafsir, fiqh, dan pemikiran Islam yang dikemukakan oleh ulama perempuan. Selain itu, peningkatan kapasitas diri penting terus menerus dilakukan.
Sejauhmana perkembangan ulama-ulama perempuan di dunia Islam lainnya selain di Indonesia?
Saya rasa dari sisi kuantitas perkembangan ulama perempuan belum seimbang dengan perkembangan ulama laki-laki meskipun secara kualitas para ulama perempuan tidak kalah faqihnya
dengan ulama laki-laki. Selain itu saya melihat belum adanya kesadaran dan penerimaan
yang sepenuhnya dari masyarakat untuk
mempromosikan kader ulama perempuan di ranah publik. Sekali lagi dalam hal ini ada kendala budaya yang menilai patut dan wajar perempuan
menjadi ulama.
Dimata para alumni Program Pengkaderan Ulama Perempuan wilayah Jawa Timur, perempuan kelahiran Kediri, 12 Mei 1964 itu dikenal sebagai pribadi yang gigih, tangguh, dan penuh strategi. Walau banyak mendapat
masalah dan tantangan saat memperjuangkan hak-hak perempuan, dia tak mengenal kata menyerah. Selain aktif di RMI (Rabithah Ma’ahid alIslami) cabang PC. Muslimat NU Kediri, beliau juga bagian dari
tim Daiyah Muslimat cabang Kediri dan
pengasuh pondok pesantren Darussalam.
Disamping itu beliau sering diundang untuk memberikan ceramah atau khotbah keagamaan di majelis taklim, Fatayat dan Muslimat NU.
Kadang-kadang diundang ke acara seminar baik di
dalam kota maupun di luar kota Kediri. Selain itu tak jarang ia diundang oleh para pemilik hajatan pernikahan untuk memberikan nasehat pernikahan. “Di sini saya memasukan nilai-nilai
pemberdayaan perempuan yang selama ini selalu terlupakan”. Demikian tukasnya
berbinar. Bagaimana suka duka “nyai rakyat” ini
memperjuangkan keyakinannya di tengah
komunitas yang telah terbiasa dengan legitimasi ulama laki-laki, kepada Yohana Fijriah dari Swara
Rahima dia menuturkan pengalamannya.
Berikut petikannya:
Nyai Hj. Roihana Faqih
Perempuan Berhak Menjadi Ulama
Bisa diceritakan sejak kapan Anda memperjuangkan pemberdayaan perempuan?
Saya mulai kenal dengan isu perempuan sejak tahun 1996. Saat itu saya bergabung dan
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Persatuan Pondok Pesantren. Meskipun belum menjadi pengurus, saya sering dikirim untuk mengikuti seminar dan workshop. Dari sanalah saya
kenal isu-isu perempuan. Tapi itu sebatas dalam wacana saja, belum pada aksi konkrit. Nah, baru tahun 1999 saya mulai “bergerak” dalam kegiatan penyadaran hak-hak perempuan, salah satunya
memberikan ceramah-ceramah di komunitas pesantren, lingkungan sekitar rumah, di
struktur kepengurusan, Fatayat dan Muslimat NU.
Upaya-upaya apakah yang Anda lakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kepekaan masyarakat terhadap masalah perempuan ?
Selain mengajari para santri membaca kitab kuning, memberikan pengajian ilmu Alquran, ilmu fiqh, tauhid dan akhlak, saya sampaikan pula informasi seputar hak-hak perempuan dan
kesehatan reproduksi. Di pesantren, informasi itu biasanya saya berikan selesai shalat subuh atau shalat magrib. Pada awalnya sih saya sempat
khawatir akan terjadi penolakan dalam
memberikan informasi kesehatan reproduksi karena ada anggapan bahwa bicara tentang kesehatan reproduksi di dunia pesantren masih tabu. Hak-hak perempuan juga saya sampaikan ke jamaah Fatayat NU sedangkan jika bicara soal hak
reproduksi di Muslimat NU sepertinya masih tabu, terlebih pesertanya pun sudah pada uzur dan rata-rata mereka memiliki pandangan konservatif dalam masalah seks. Makanya saya belum berani bicara bahwa seks itu adalah hak kita. Dalam menyampaikan isu-isu perempuan saya
berupaya memakai istilah yang pas dengan budaya
setempat. Di daerah saya tinggal, agak kurang tepat jika menyebut istilah gender. Istilah itu masih sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat Kediri. Karena itu, istilah gender saya ganti dengan pemberdayaan perempuan.
Mengapa demikian?
Gender itu kan istilah asing yang katanya berasal dari Barat. Bisa jadi karena itu masyarakat kita sangat sensitif dan phobi terhadap istilah tersebut. Padahal istilah itu biasa-biasa saja lho. Di dalam bahasa Arab ada juga
sudah demikian parah disalahpahami maka terjadi salah kaprah yang meluas di masyarakat. Seseorang yang menyebut-nyebut gender seringkali
langsung dicurigai sebagai feminis yang kebablasan atau muslimah liberal.
Sejauh ini bagaimana respon komunitas terhadap apa-apa yang Anda sampaikan?
Responnya cukup baik, baik dikalangan
anak-anak santri maupun jamaah Fatayat NU. Tapi ada juga sih yang kurang senang dengan apa yang saya lakukan.
Oh ya, siapa saja mereka?
Yang tidak senang justru datang dari sebagian pemuka-pemuka agama, yang kebanyakan laki-laki setempat. Mereka menanyakan apa sih tujuan saya bicara seperti itu? Apakah saya masih
percaya kalau istri yang ditinggal mati oleh suami masih harus iddah (masa menunggu yang diwajibkan kepada seorang istri yang bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya -red.) Ada
sebagian Kyai di daerah saya mencurigai
ide-ide Islam Liberal. Mereka menilai apa yang saya lakukan tidak baik, katanya terlalu
sekuler lah. Intinya sangat memojokkan perempuan yang keluar rumah, padahal apa yang saya lakukan demi kepentingan umat.
Sikap Anda sendiri? Apakah anda balik membenci mereka?
Oh, tidak. Saya yakin lambat laun mereka juga akan mengerti. Kenapa selama ini mereka
terkesan tidak senang? Ya jelas karena mereka tidak tahu.
Bagaimana dengan kerabat, apakah mereka mendukung aktivitas Anda?
Kaum kerabat saya sering mengingatkan bahwa tidak baik perempuan sering keluar
rumah. Dengan kesibukan saya yang seabrek, saya dianggap kurang fokus mengurus pesantren dan rumah tangga, acara keluargapun sering
terganggu. Lebih-lebih mereka selalu mewanti-wanti (taushiyah) kepada saya, jangan saya ikut-ikutan dengan para perempuan yang telah
Prasangka, tekanan dari kerabat dan pihak luar adalah bagian dari perjuangan berat yang Anda harus hadapi sebagai ulama perempuan. Nah, bagaimana Anda menghadapi itu
semua?
Pada intinya saya tidak mau memaksakan pendapat saya kepada orang lain. Apa yang selama ini saya sampaikan dalam batas-batas toleransi dan damai, serta menjaga akhlaqul karimah.
Saya termasuk orang yang anti pemaksaan. Selalu saya katakan bahwa tindakan dan ucapan saya bukan ingin merusak norma-norma yang sudah ada tapi ingin menjadikan kehidupan kaum perempuan di sini menjadi lebih baik. Saya pikir saling menghargai pendapat orang itu adalah yang terbaik.
Tindakan konkret apa yang sudah Anda lakukan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan?
Dulu banyak mata pelajaran yang tidak boleh di ikuti oleh santri putri. Santri putri hanya
boleh mengkaji ilmu-ilmu agama sebatas pada fiqh yang selalu berhubungan dengan dunia perempuan,
seperti bab-bab haid dan pernikahan. Saya tanya, mengapa tidak boleh? Apakah sudah pasti santri putri tidak mampu mengikuti mata
pelajarannya santri laki-laki? Lalu saya ajak dialog pimpinan pondok pesantrennya.
Alhamdullilah sekarang santri perempuan mendapatkan kesempatan untuk mengambil mata pelajaran yang selama ini menjadi wilayah santri
laki-laki. Dari situ saya ingin tunjukkan bahwa saya bukanlah orang yang menyeleweng dari aturan mereka (para kyai).
Anda termasuk salah satu Alumni Program Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima untuk Wilayah Jawa Timur. Bagaimana perasaan Anda setelah tahu bahwa Anda lulus?
Alhamdulillah saya senang sekali. Meskipun sebelumnya saya sudah kenal isu perempuan tapi kan belum banyak. Dengan mengikuti program Pengkaderan Ulama Perempuan yang diadakan oleh Rahima semakin bertambah saja pemahaman saya tentang isu-isu perempuan. Selain
mendapatkan pengetahuan, saya juga banyak mendapat teman, mulai belajar berani untuk
mengungkapkan sesuatu hal, banyak yang memberi motivasi terhadap apa yang saya lakukan. Langkah
saya pun semakin mantap saja.
Bagaimana tanggapan Anda, mengenai
ungkapan yang menyatakan bahwa ulama itu hanya boleh dari kalangan laki-laki?
Persepsi seperti itulah yang berkembang di masyarakat. Kemasyhuran, kedalaman serta keluasan ilmu agama hanya boleh dimiliki oleh ulama laki-laki. Makanya saya ingin buktikan predikat
ulama bukan milik laki-laki semata.
Perempuan pun juga bisa menjadi al-’ulama-u waratsatu al-anbiya. Malahan di Kediri perempuan yang ahli agama disebut sebagai Ibu Nyai. Ibu Nyai itu berarti ibunya umat, ibunya santri, ibu dari anak-anaknya sendiri. Jika ada ibu-ibu yang punya masalah atau pertanyaan ngadunya ke Bu Nyai.
Hal-hal yang ditanyakan misalnya apakah
betul jika istri yang menolak berhubungan seks dengan suaminya, akan dilaknat malaikat?. Mengapa sih perempuan harus selalu meminta ijin pada
suaminya bahkan ketika ingin puasa sunnah? Guna menjawabnya saya sampaikan konteks historis hadis ini turun dan tawarkan pandangan dan solusi yang lebih ramah terhadap perempuan. Saya selalu tekankan ke jamaah, posisi ulama tidak hanya milik laki-laki, perempuan berhak kok menjadi ulama. Laki-laki dan perempuan itu kan
sama-sama manusia, sama-sama ingin diangkat derajatnya. Dalam memberikan ceramah dan
pengajian-pengajian di hadapan jamaah para kyai selalu merujuk pada beberapa kitab. Saya pun melakukan hal yang sama dengan mereka. Dalam menyampaikan atau menjawab persoalan fiqh atau seputar hak-hak perempuan, saya selalu bawa referensinya. Kemana-mana saya bawa kitabnya, saya tunjukkan ini loh kitabnya. Ada beberapa kyai yang justru salut, kok perempuan bisa ya?
Apa yang Anda sarankan kepada
perempuan-perempuan atau santri yang ingin menjadi ulama?
Untuk menjadi ulama, perempuan harus mau terus belajar lagi. Masih banyak hal yang
mereka belum ketahui, terutama pengetahuan agamanya sendiri. Saya sampaikan kepada
perempuan-perempuan yang ingin jadi ulama, yang akan terjun ke masyarakat, atau ibu-ibu muda yang mulai aktif di organisasi kemasyarakatan.
Awalnya mereka masih malu-malu, tapi saya dukung terus. Saya bilang kepada mereka, kita harus bisa mencontoh seseorang yang sukses, apa yang membuat mereka sukses? Kalau ada
orang yang gagal kita cari tahu mengapa mereka gagal? Kita jangan ikut-ikut gagal seperti mereka.