• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF DAN URGENSI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTANIAN YANG TEPAT 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF DAN URGENSI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTANIAN YANG TEPAT 1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF DAN URGENSI PENGELOLAAN

LINGKUNGAN PERTANIAN YANG TEPAT

1)

N. Sutrisno, P. Setyanto, dan U. Kurnia

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

1)Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian bulan Juli 2008.

PENDAHULUAN

Revolusi hijaumerupakan awal dari mun-culnya gangguan terhadap keseimbangan lingkungan pertanian akibat penggunaan bahan agrokimia yang tinggi untuk me-ningkatkan produksi pertanian. Revolusi hijau yang terjadi pada tahun 1500-1800 merupakan upaya untuk memenuhi ke-butuhan akan bahan makanan, seperti gan-dum, padi, jagung, dan kentang yang me-ningkat tajam akibat penduduk yang ber-tambah dengan cepat. Proses ini berlang-sung terus-menerus di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1850-1950. Pada saat itu, produksi pangan dari tanaman maupun hewan dipacu dengan menggunakan pu-puk secara besar-besaran dan ditunjang dengan pengembangan irigasi. Demikian pula penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan herbisida mulai dirasakan mencemari lingkungan.

Kualitas lingkungan pertanian juga makin menurun akibat pencemaran limbah industri dan pertambangan, khususnya unsur logam bahan beracun berbahaya (B3), seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), nikel (Ni), dan kobalt (Co). Unsur logam B3 yang

terlarut dalam limbah selanjutnya menga-lir ke lahan pertanian dan akan teraku-mulasi dan terendapkan dalam daerah perakaran tanaman dan terbawa panen.

Revolusi industrijuga mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) karena pemakaian batu bara sebagai bahan bakar. Pengembangan in-dustri yang menggunakan mesin berba-han bakar fosil akan memacu peningkatan suhu permukaan bumi. Konsentrasi CO2 meningkat dua kali dibanding era sebelum revolusi industri sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi.

Secara teoritis, gas rumah kaca (GRK) di atmosfir bumi sangat penting karena gas tersebut membuat iklim bumi menjadi hangat dan stabil. Tanpa GRK di atmosfir, suhu permukaan bumi diperkirakan men-capai -18oC. Namun, konsentrasi GRK

yang berlebihan di atmosfir berdampak buruk, karena panas yang dipantulkan kembali ke muka bumi akan lebih banyak sehingga suhu bumi makin panas.

Karbon dioksida adalah salah satu GRK yang konsentrasinya di atmosfir mendapat prioritas untuk diturunkan. Ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfir hanya 290 ppmv (part per million

volume), dan saat ini konsentrasinya

meningkat menjadi 375 ppmv. Peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh tidak se-imbangnya antara besarnya sumber emisi

(2)

(source) dan daya rosotnya (sink). Pesat-nya perkembangan industri, tinggiPesat-nya pemakaian bahan bakar fosil, dan peng-gundulan hutan alam menyebabkan daya tambat CO2 jauh lebih rendah dibanding pelepasannya dari sumber emisi.

Isu lingkungan pertanian dan penu-runan produktivitas lahan mendapat per-hatian yang serius dari pemerintah. Pe-ngelolaan lingkungan pertanian meru-pakan suatu keharusan karena kerusakan dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pelaksanaannya dituangkan dalam Ren-cana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Dalam RPJM disebutkan bahwa meningkatnya pencemaran tanah, air dan udara, serta rendahnya produkti-vitas lahan dan mutu komoditas pertanian disebabkan oleh adanya kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan, dan perta-nian. Antisipasi dan penanggulangannya dikemukakan secara jelas dalam Revita-lisasi Pertanian, bahwa peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset per-tanian dilakukan melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang tepat, spesifik lokasi, dan ramah lingkungan.

ANALISIS PERMASALAHAN

Isu lingkungan mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah karena kerusakan lingkungan yang makin mengkhawatirkan. Banyak masalah lingkungan, khususnya lingkungan pertanian, yang saat ini men-jadi masalah nasional diangkat menmen-jadi masalah internasional.

Gas Rumah Kaca

Isu lingkungan pertanian yang menjadi masalah dunia adalah emisi GRK dari lahan

pertanian karena ditengarai berkontribusi terhadap pemanasan global. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro/PEACE melaporkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai penghasil emisi GRK dari kegiatan penggundulan hutan, degradasi lahan gambut, dan kebakaran hutan. Total emisi GRK dari penggundulan hutan dan kebakaran hutan adalah lima kali lipat emisi dari sektor non-kehutanan. Emisi GRK dari sektor kehutanan, khususnya penggun-dulan hutan, menyumbang 83% dari emisi tahunan GRK Indonesia. Emisi GRK dari kegiatan pertanian dan sampah sangat kecil dan tidak signifikan secara global. Emisi GRK dari kegiatan pertanian se-bagian besar (70%) berasal dari produksi padi, terutama gas metana (CH4) dan nitrogen dioksida (N2O). Emisi GRK ter-sebut akan berdampak terhadap pening-katan suhu global, yang selanjutnya ter-hadap perubahan iklim yang akan ber-dampak buruk bagi sektor pertanian, per-ikanan, dan kehutanan.

GRK yang perlu mendapat perhatian adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro-oksida (N2O), O3, kloro-flurokarbon (CFC), hidroklorokloro-flurokarbon (HCFC), hidroflurokarbon (HFC), perflu-rokarbon (PFC), dan sulfur heksaflorida (SF6). Dalam tulisan ini hanya dibahas gas CO2, CH4 dan N2O karena memiliki sifat seperti rumah kaca, yaitu meneruskan ra-diasi gelombang pendek atau cahaya ma-tahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang yang dipan-carkan bumi yang bersifat panas sehingga meningkatkan suhu di atmosfir bumi. Gambar 1 memperlihatkan perbandingan dan hubungan antara gas CO2, CH4 dan N2O dengan kenaikan suhu. Sekitar 57% GRK berasal dari pembangkit atau pro-duksi energi dan konsumsi energi, yaitu pembakaran bahan bakar fosil (BBF)

(3)

seperti minyak bumi, gas, dan batu bara dalam pembangkit tenaga listrik untuk keperluan rumah tangga, industri, dan transportasi.

Metana (CH4) terbentuk dari meta-bolisme jasad renik dalam kondisi ter-genang (anaerob) di dasar rawa, sawah, lambung manusia atau hewan, dan dalam tumpukan sampah di TPA. Gas metana juga dihasilkan dari pembakaran biomassa/ bahan organik dan terdapat dalam tam-bang batu bara. Produksi metana dingaruhi oleh suhu, sehingga dalam isu pe-manasan global, peningkatan suhu akan memperbesar produksi metana. Sumber metana umumnya adalah antropogenik, yaitu hasil kegiatan manusia di bidang per-tanian, peternakan, dan pembakaran bio-massa, berturut-turut memberikan sum-bangan 21%, 15%, dan 8% emisi dunia. Emisi metana dari lahan pertanian umum-nya berasal dari sawah.

Karbon dioksida sangat diperlukan tanaman untuk keperluan fotosintesis guna penyusunan karbohidrat. Namun dalam kondisi berlebihan, CO2 ikut ber-peran dalam peningkatan efek rumah kaca. Menurut perhitungan, CO2 mempunyai pengaruh paling besar terhadap pema-nasan global dibandingkan dengan GRK

lainnya. Sekitar 50% pemanasan global disebabkan oleh CO2 dan sisanya oleh GRK yang lain. Emisi CO2 terbesar berasal dari penebangan dan pembakaran hutan, ter-utama dari negara-negara sedang berkem-bang di sekitar katulistiwa. Sebagian dari CO2 akibat penggundulan hutan diikat oleh vegetasi hutan yang tumbuh kembali atau dari hutan yang masih tersisa. Selebihnya, CO2 diemisikan ke atmosfir dan berkontri-busi terhadap pemanasan global.

Nitro oksida (N2O) berasal dari pem-bakaran biomassa, kegiatan mikroba dalam proses denitrifikasi dan nitrifikasi, kon-sumsi bahan bakar fosil, dan dari lautan. Proses denitrifikasi dan nitrifikasi berkaitan erat dengan penggunaan pupuk, baik pupuk organik maupun anorganik teruta-ma nitrogen. Makin banyak pupuk yang digunakan, khususnya pupuk anorganik, makin besar pula emisi N2O. Jenis tanah, kondisi tanah, suhu, curah hujan, dan jenis tanaman akan berpengaruh terhadap laju emisi N2O.

Residu Pestisida

Penggunaan pestisida yang berlebihan atau penanganan hama dan penyakit yang

Gambar 1. Sumbangan gas rumah kaca (GRK) terhadap pemanasan global (UNEP, 1987).

CO2 CCFC CH4 O3 N2O

Gas rumah kaca

Kenaikan suhu ( oC) 0 0,4 0,8 1,2 1,6

(4)

kurang tepat akan berpotensi mencemari lingkungan, seperti penggunaan pestisida yang residunya dapat menimbulkan

endocrine disrupting activities (EDs) atau gangguan pada sistem endokrin (hormon reproduksi) pada manusia. Dilaporkan bahwa 17 jenis pestisida yang beredar di Indonesia dan digunakan petani ditenga-rai dapat menimbulkan EDs, yaitu 2,4 D, alaklor, benomil, karbaril, sipermetrin, dikofol, endosulfan, esfenvalerat, etil-paration, fenvalerat, malation, mankozeb, metomil, metiram, metribuzin, trifluralin, dan vinklozolin.

Residu pestisida yang tergolong ke da-lam persistent organic pollutants (POPs) adalah senyawa organik yang tahan ter-hadap fotolitik, degradasi biologis maupun kimia. Pestisida yang tergolong POPs adalah aldrin, heksa-klorobenzena, klordan, mirex, dieldrin, toksafan, DDT, dioksin, endrin, furans, heptaklor, dan PCBs. United Nations Environment Programme (UNEP) memberikan perhatian serius dan memprioritaskan 12 jenis POPs tersebut untuk diidentifikasi keberadaan-nya pada lingkungan pertanian karena bersifat toksik. Menurut UNESCO, endrin dan dieldrin termasuk dalam kategori I (extremely hazardous), sedangkan aldrin, toksafan, klordan, DDT, heptaklor dan lindan termasuk kategori II (highly ha-zardous).

Pencemaran bahan agrokimia terjadi karena penggunaan insektisida yang ber-lebihan atau kurang bijaksana. Residu in-sektisida, yang berupa inin-sektisida, meta-bolit, atau derivatnya ditemukan pada komoditas pangan, ternak, pakan ternak, ikan, tanah, udara, air, dan lain-lain akibat penggunaan insektisida. Residu insek-tisida yang umum ditemukan adalah jenis organofosfat, karbamat, piretroid, dan

organoklorin, yang ditemukan dalam ta-nah, air, dan bahan makanan. Beberapa insektisida yang sudah dilarang diguna-kan di lingkungan pertanian, saat ini ma-sih ditemukan pada tanah, air, dan be-berapa komoditas pertanian, seperti residu organoklorin (lindan, aldrin, dieldrin, heptaklor, DDT, dan endrin).

Pengaruh negatif dari penggunaan pestisida pada tanaman terlihat antara lain dari tingginya residu pestisida pada bebe-rapa sayuran, tanaman pangan, air sumur, dan sawah serta dalam darah petani. Dilaporkan bahwa pada tanah, air, dan sayuran di daerah Jawa Tengah dan Bali ditemukan kandungan residu insektisida organoklorin dan organofosfat dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Beberapa sayuran seperti tomat, kubis, dan wortel di Lembang, Pangalengan dan Kertasari, Bandung juga mengandung residu pes-tisida profenofos, deltametrin, klorpirifos, dan permetrin. Jika sayuran tersebut di-konsumsi secara terus-menerus tanpa memperhatikan cara pengolahan yang baik, kemungkinan akan menyebabkan keracunan.

Residu pestisida juga ditemukan pada hasil pertanian yang beredar di pasaran. Beras dan kedelai dari lima pasar besar di DKI Jakarta (Pasar Koja, Senen, Jatinegara, Minggu dan Grogol) mengandung residu g-BHC dengan konsentrasi masing-masing 0,02-0,11 ppm dan 0,01-0,03 ppm. Residu pestisida juga ditemukan dalam susu sapi. Dilaporkan bahwa susu sapi perah yang berasal dari daerah Ungaran, Jawa Tengah mengandung residu g-BHC dengan kon-sentrasi 0,02 ppm. Hasil penelitian Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Ga-djah Mada dan Kantor Pengendalian Dam-pak Lingkungan Daerah Kabupaten Pati menunjukkan bahwa hampir seluruh

(5)

con-toh darah petani di Desa Ngurensiti, Ka-bupaten Pati, positif terpapar 17 jenis residu pestisida.

Limbah Industri

Isu nasional kerusakan lingkungan lainnya adalah pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri dan pertambangan, khu-susnya unsur logam B3, seperti Hg, Pb, Cd, Cr, As, Ni, dan Co yang terlarut dalam limbah dan mengalir ke lahan pertanian. Pencemaran akibat limbah industri terjadi karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Cemaran zat kimia beracun berbahaya pada daerah perakaran tanaman akan menurunkan pro-duksi dan mutu hasil pertanian. Bahan beracun yang terbawa produk pertanian akan terkonsumsi, terakumulasi, dan mem-bahayakan kesehatan manusia.

Masalah tersebut perlu mendapat per-hatian serius, dan telah menjadi masalah dunia. Persoalan logam berat di lingkung-an terutama karena akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam makin meningkat sehingga ber-potensi meracuni tanah dan air. Tanah di sekitar kawasan industri tekstil di Kabu-paten Sumedang dan Bandung (Jawa Ba-rat) dilaporkan telah tercemar logam berat Cu, Zn, Pb, Cd, Co, Cr, dan Ni. Demikian juga tanah di sekitar industri penyepuhan logam di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Limbah industri ter-sebut mengandung logam berat dan men-cemari lahan sawah di sekitarnya. Jerami padi dan beras hasil panen di lokasi ter-sebut mengandung logam berat Zn, Cu, Pb, Cd, Co, Cr, dan Ni. Kandungan Zn pada jerami padi sudah melebihi nilai terendah dari batas kritis yang dibolehkan.

Limbah industri bumbu masak (mono-sodium glutamat, MSG), juga berpotensi mencemari lingkungan karena mengan-dung garam cukup tinggi. Pembuangan limbah tersebut ke lingkungan pertanian menyebabkan tanah sawah di sekitar pabrik tersebut mengandung natrium (Na) dan logam berat seperti Pb, Cd, Co, dan Cr dengan nilai hampir mendekati batas kritis. Garam dalam konsentrasi tinggi juga dapat menyebabkan plasmolisis dan terdisper-sinya partikel-partikel atau koloid tanah yang halus sehingga struktur tanah ber-ubah. Struktur tanah sawah yang pejal/ masif atau gumpal menjadi remah dan lepas, sehingga tidak baik sebagai media tumbuh tanaman.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Gangguan keseimbangan lingkungan per-tanian dapat menurunkan produktivitas lahan dan kualitas hasil pertanian, se-hingga pengelolaan lingkungan pertanian yang tepat perlu diupayakan. Pengelolaan lingkungan pertanian harus lebih diin-tensifkan dan disesuaikan dengan kondisi setempat, meliputi sumber daya alam dan kebiasaan petani. Upaya untuk memper-baiki dan menjaga lingkungan pertanian adalah sebagai berikut:

1. Mitigasi gas rumah kaca dilakukan berdasarkan prinsip bahwa emisi GRK yang dikeluarkan harus lebih kecil dari rosot (zink). Penurunan CO2 dilakukan dengan prinsip emisi CO2 harus lebih kecil dari CO2 yang ditambat tanaman. CO2 termasuk gas yang mudah di-degradasi atau ditambat, demikian pula N2O, mudah didegradasi. Namun, emisi CH4 sulit didegradasi, sehingga aku-mulasi CH4 dari waktu ke waktu terus

(6)

meningkat. Untuk mengurangi aku-mulasi CH4 di atmosfir harus diterap-kan strategi yang tepat dan dapat diaplikasikan. Prinsipnya, emisi CH4 diubah menjadi gas yang mudah di-degradasi, seperti penerapan sistem pengairan berselang (intermitten). Sistem pengairan tersebut dapat me-nekan emisi CH4, tetapi N2O dan CO2 meningkat. Namun, hal ini tidak terlalu bermasalah karena N2O dan CO2 mudah terdegradasi. Penggunaan varietas padi yang rendah emisi CH4 juga perlu di-sosialisasikan. Penerapan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah akan makin mengurangi emisi CH4. Sis-tem pemupukan, baik dengan pupuk organik maupun anorganik, akan me-nurunkan emisi CH4 dari tanah sawah. 2. Penerapan teknologi remediasi pen-cemaran lingkungan pertanian difo-kuskan pada upaya penanggulangan

objek yang terkena dampak pence-maran, yaitu lahan sawah dan pro-duknya (tanah, air, tanaman/produk pertanian). Teknologi pengelolaan ling-kungan pertanian yang tercemar me-liputi: (a) kemoremediasi, yaitu memo-difikasi tingkat kemasaman tanah melalui pengapuran, pemberian bahan organik untuk menekan pergerakan logam berat di dalam tanah, dan pe-nambahan karbon aktif ke dalam tanah untuk menurunkan residu pestisida da-lam produk pertanian; (b) fitoreme-diasi, yaitu memanfaatkan fungsi tum-buhan yang dapat menyerap, men-degradasi, mentransformasi, dan me-nekan pergerakan bahan pencemar; dan (c) bioremediasi untuk memini-malkan pencemaran dengan meman-faatkan mikroorganisme yang mampu mendegradasi residu pestisida maupun logam berat.

Gambar

Gambar 1. Sumbangan gas rumah kaca (GRK) terhadap pemanasan global (UNEP, 1987).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, penulis akan memperkirakan kebutuhan air bersih berdasarkan data-data skunder yang ada dan membandingkannya terhadap ketersediaan sumber

Penelitian lainnya yaitu hasil penelitian Gordana Djigic dan Snezana Stojiljkovic (2011) dapat disimpulkan bahwa gaya manajemen kelas guru merupakan faktor

Terkait penerimaan informan mengenai pemberitaan pemberian kartu kuning Jokowi oleh Ketua BEM UI dalam media online Line Today yakni berdasarkan wawancara dengan

Bagi orang tua remaja putri agar dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang gizi dengan mengikuti penyuluhan tentang gizi atau berkonsultasi kepada ahli

Menyelesaikan uji kompetensi untuk materi : Melayang di Udara yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau pada lembar lerja yang telah disediakan secara

Dalam melakukan proses mobile forensik pada platform Android, tools yang digunakan bisa berbeda-beda, semua disesuaikan dengan masalah dan kondisi smartphone

The contents of Interlanguage XII were analyzed using the theory by Adaskou et al (1990) who defined culture into four cultural senses, namely aesthetic, sociological, semantic

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa literasi statistika siswa SMP dalam menyelesaikan soal Ujian Nasional yang memiliki 3 aspek, yaitu subjek