• Tidak ada hasil yang ditemukan

Different and Dis nc ve

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Different and Dis nc ve"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

JMJN

Vol. 1

No. 10

Hal. 1-176

September 2015

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia i Luar Negeri

d

Hak Sistem Pemilikan Tanah Bangsa Indonesia an Kaitannya Dengan Penerapan

d

Hak-Hak Derivaf Dalam Rangka Agunan Utang-Piutang

Serfikasi Halal Produk Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 Tentang

.

Perlindungan Konsumen

Kajian Hukum Persaingan Usaha Dalam Media Massa

d

U

(Tinjauan Aspek Kemerdekaan Pers an U

No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers)

Perlindungan Hukum Terhadap

Privacy

Dari

Spamming

Berdasarkan

d

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi an Transaksi Elektronik

Akuisisi Saham Hubungannya Dengan Investasi Asing Dikaitkan Dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Penyanderaan (

Gijzeling

) Sebagai Instrumen Memaksa

Dalam Hukum Perpajakan

(2)

JURNAL HUKUM MEDIA JUSTITIA NUSANTARA No. 10 Vol. 1 September 2015

ISSN : 2085 -8884 PELINDUNG

Pembina : Rektor Universitas Islam Nusantara PENASIHAT

Letjen. (Purn) H. Achmad Roestandi, SH ( Ketua Badan Pengurus YIN) Dr. H. Didin Wahidin, M.Pd. (Rektor Uninus)

Prof. Dr. H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. ( Direktur PPS Uninus) Dr. Suhendra yusuf, MA (Pembantu Rektor I )

Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata (Asisten Direktur I PPS Uninus ) Penanggung Jawab

Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara Mitra Bestari

Prof. Dr.H. Achmad Sanusi, SH.,MPA. (Universitas Islam Nusantara) Prof. Dr. H. Agus Rasas, SH.,MS. (Universitas Islam Nusantara)

Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, SH.,S.Sos., LL.M. ( UNPAD) Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH.,MH. ( UIN Bandung)

Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja ( UIN Bandung) Dr. H. Mardenis ( Universitas Andalas Padang )

Dr. Abu Sanmas , SH.MH. ( UIN Maluku) KETUA PENGARAH

Dr. Ir. H.Fontian, SH.,MH.,ME,CFP KETUA PENYUNTING Dr.Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. DEWAN PENYUNTING Dr. Sukendar, SH.,MH. Dr. Aslan Noor, SH.,MH.,CN. Dr. Irfan Fachrudin, SH.,MH. Dr. Ir. H. Edy Santoso, MITH., MH.

Dr. Juli Asril, SH.,CN.,MH.

Penyunting Pelaksana Tansah Rahmatullah, ST., MH.

Andini Anggraeni Kusnadi, ST. Nugraha Pranadita, SH, SIP, MM, MH

.

Produksi dan Sirkulasi Wawan Darmawan

Entis Sutisna

Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Uninus

(3)

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) adalah publikasi dari tulisan-tulisan yang diterbitkan secara berkesinambungan, sebagai wadah pertukaran gagasan, telaah, kajian dan hasil-hasil penelitian dari para dosen/akademisi, para pemerhati hukum dan praktisi hukum, untuk tujuan pengembangan dan pembangunan hukum di Indonesia. Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) terbit setahun 2 kali pada bulan Februari dan September.

Pada Edisi ini, redaksi menetapkan 7 naskah yang mengkaji berbagai masalah-masalah hukum di Indonesia, antara lain perlindungan hukum pekerja migran dari tindakan trafficking, kajian hukum persaingan usaha dalam media massa dan perlindungan hukum terhadap privacy dari spamming berdasarkan undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Mudah-mudahan para pembaca dapat memetik manfaat dari tulisan-tulisan yang kami sajikan baik sebagai sarana informasi ilmiah maupun sebagai sarana memperluas cakrawala pemikiran kita tentang ilmu hukum pada umumnya baik secara praktis maupun teoritis.

Perlu kami informasikan pula Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara (MJN) akan terbit kembali pada bulan Februari 2016, sehubungan dengan itu, kami mengharapkan kepada seluruh civitas akademika dari kalangan dosen, para praktisi hukum, dan pemerhati hukum serta sidang pembaca pada umumnya dapat memberikan kontribusi tulisannya untuk dimuat dalam jurnal ilmu hukum MJN edisi mendatang.

Selamat memperluas cakrawala.

(4)

ISSN : 2085-8884 DAFTAR ISI

Halaman

Susunan Redaksi ………. i Pengantar Redaksi ……….. ii Daftar Isi ………. iii

Perlindungan Hukum Pekerja Migran Dari Tindakan Trafficking dan Implikasinya Terhadap Wacana Perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri ……….. Oleh : Imas Rosidawati Wiradirja

1

Hak Sistem Pemilikan Tanah Bangsa Indonesia dan Kaitannya Dengan Penerapan Hak-Hak Derivatif Dalam Rangka Agunan Utang-Piutang ………... Oleh: Aslan Noor

22

Sertifikasi Halal Produk Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen ………... Oleh : Iie Mansoer

47

Kajian Hukum Persaingan Usaha Dalam Media Massa (Tinjauan Aspek

Kemerdekaan Pers Dan Uu No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers) ………. Oleh : Naungan Harahap

75

Perlindungan Hukum Terhadap Privacy Dari Spamming Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ………….. Oleh: Tansah Rahmatullah

102

Akuisisi Saham Hubungannya Dengan Investasi Asing Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat …... Oleh : Juli Asril & Imas Rosidawati Wiradirja

124

Penyanderaan (Gijzeling) Sebagai Instrumen Memaksa Dalam Hukum

Perpajakan ………... Oleh : Fontian

(5)

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA MIGRAN DARI TINDAKAN TRAFFICKING DAN IMPLIKASINYA TERHADAP WACANA PERUBAHAN

UU NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Oleh :

Imas Rosidawati Wiradirja1 Abstract

Every Indonesian citizen has right to get job and decent living for humanity, but in reality, the limitation of job fields makes lots of Indonesian people prefer to work abroad. From year to year, the amount of Indonesian people who work abroad is always increasing. The magnitude of public who wants to work abroad and already work abroad not only has its positive effect to decrease the unemployment problems, but also has its negative effect related to the possibility of inhuman treatment including trafficking. This kind of risk can be experienced by migrant workers during the departure period, working period, and after coming back to Indonesia. In other hand, UU No. 39 Tahun 2004 about TKI (Tenaga Kerja Indonesia) placement and protection abroad has not accommodated the whole content of Konvensi PekerjaMigran, because it only coversTKI protection during pre-placement and post-placement. Unfortunately, the law cannot protect the TKI during working period abroad.

Key Words: Law Protection, Migrant Workers, Trafficking Abstrak

Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan akan lowongan kerja didalam negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri disatu segi mempunyai sisi positif yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran didalam negeri, namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI, termasuk tindakan trafficking. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah pulang ke Indonesia. Pada sisi lain UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, karena hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan. UU tersebut belum dapat melindungi para TKI selama bekerja di luar Negeri.

Key Word : Law Protection, Migrant Workers, Traffiking

1

(6)

A. PENDAHULUAN

Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan.Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya, dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri, sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik. Hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati.2

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja didalam negeri menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri disatu segi mempunyai sisi positif yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran didalam negeri, namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI.

Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yangberujung pada perbuatan trafficking dan tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan.

2

Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

(7)

Tindak pidana perdagangan orang (Trafficking) merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari Hak Asasi Manusia (HAM).3 Kegiatan perdagangan orang (Trafficking) merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)4 dan termasuk kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity)5.Unsur utama (bestandel) dalam kejahatan perdagangan orang adalah setiap perbuatan yang pada hakekatnya menyebabkan tereksploitasinya seseorang dalam penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.6Korban-korban trafficking yang mengalami kekerasan tindak kekerasan biasanya tidak terbuka, seperti fenomena Gunung Es yang nampak kepermukaan lebih sedikit tetapi kenyataannya jumlahnya lebih besar, sehingga sulit untuk diprediksi. Di Indonesia, tercatat jumlah populasi korban tindak kekerasan pada tahun 2010 sebanyak 93.905 orang dan pekerja migran terlantar sebanyak 58.283 orang.7

Dalam konteks Internasional masalah definisi perdagangan orang ini menjadi masalah yang mengandung perdebatan dan perhatian yang cukup tinggi terutama dalam kaitannya dengan makna perdagangan orang dan upaya – upaya tertentu yang harus ditempuh untuk menanggulanginya.8 Jame Chuang mengatakan bahwa perdebatan yang muncul mengenai definisi perdagangan orang adalah elemen – elemen apa saja yang dianggap sebagai bagian yang harus ada dalam perdagangan orang.9

Seseorang yang mencari pekerjaan di luar daerah asalnya, baik masih di dalam negeri atau domestik maupun ke luar negeri atau lintas negara (pekerja migran), merupakan masalah global yang terjadi diberbagai negara di dunia, terutama

3

Muladi, (Editor) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, Oleh Slamet Maria Wardaya, Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi HAM, hlm. 3

4

Moh. Hatta , Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, 2011, Liberty, Yogyakarta, hlm. 5.

5

Perdagangan Manusia, “Human Trafficking” : https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_manusia , 3 July 2015

6 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya,

Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm. 81

7

Pusdakin Kesos Kementerian Sosial RI

8

Shelly Casy Inglis, “Expanding International and National Pratections Againts Trafficking for forced labor using a Human right from work” Buffalo Human Right laus Reviw, Vo7, Tahun 2001, hlm; 59-60

9

Janie Chuang, “Redirecting the debate over trafficking in women definitions, paradigms, and contexts”, Harvard Human Rights Journal, No 11, tahun 1998, hlm. 66

(8)

negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, dimana didalam negeri lapangan kerja yang tersedia tidak memadai. Di Indonesia, pada tahun 2010 sebanyak 696.746 pekerja migran Indonesia berdokumen pergi ke luar negeri untuk bekerja utamanya menuju Malaysia dan Arab Saudi10. Sekitar 75% pekerja migran Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar diantaranya bekerja disekitar domestik, yang sangat rentan terhadap berbagai masalah eksploitasi. Memang tidak semua pekerja migran (terutama Tenaga Kerja Wanita/TKW) bermasalah, namun tidak sedikit dari mereka yang ceriteranya berakhir dengan mengenaskan. Masalah tersebut misalnya tidak mendapatkan gaji yang layak, mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh (pelecehan seksual), mengalami penyiksaan bahkan hingga berujung kematian.

Faktor yang menyebabkan timbulnya pekerja migran bermasalah, yaitu karena kelangkaan pasaran kerja di daerah asal, yang kurang baik, mekanisme penempatan pekerja migran yang belum mantap, serta adanya pemutusan hubungan kerja serta adanya percaloan yang melemahkan posisi pekerja migran.

Masalah korban tindak kekerasan dan pekerja migran tersebut di atas, perlu mendapatkan penanganan dan perlindungan hukum yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat.Kebijakan penanganan korban tindak kekerasan dan pekerja migran merupakan realisasi dari amanat konstitusional, aturan legislasi dan operasionalisasi dari sistem penanganan korban tindak kekerasan dan pekerja migran yang universal.

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, para pekerja migran merupakan penyumbang terbesar kedua kepada negara setalah migas. Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya nilai kiriman uang yang masuk (remittance) dari pekerja migran Indonesia, yang berkontribusi pada ekonomi nasional sebesar 5.84 milyar USD (BNP2TKI), bahkan sepanjang tahun 2010 mengirim remiten 7.135 milyar dollar AS, suatu nilai yang sangat pantastis.11

Banyak buruh migrant yang merupakan korban dari perdagangan orang ( trafficking), kenyataannya berdasarkan Database Migrant CARE, 2011 Trafficking 50

10

Data BNP2-TKI, tahun 2010

11

Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran tahun 2011.

(9)

% terkait dengan TKI12 kondisi ini terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran hak TKI yang terjadi setiap tahunnya, gaji tidak terbayar dan paspor yang ditahan oleh majikan. Mekanisme penyelesaian atas berbagai kasus yang dihadapi TKI belum optimal sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tidak sebanding dengan sumbangan yang mereka berikan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sementara itu, peraturan perundang-undangan yang ada pun belum mampu menjawab permasalahan yang mengemuka. Selain UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, instrumen hukum yang tersedia untuk mengatasi permasalahan TKI hanya Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI (”Inpres 6/2006”) serta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 14 tahun 2010 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (”Permen 14/2010”). Di sisi lain, kelembagaan yang ada dan yang baru dibentuk (seperti BNP2TKI) masih belum mampu bertindak efektif dan acapkali terjadi miskoordinasi dan kurangnya sinergi kelembagaan.

Akar permasalahan dari tenaga migrant di Indonesia antara lain :

1. Pengangguran (jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja);

2. Permasalahan dalam rekrutmen (rekrut melalui Calo, pemalsuan dokumen/ identitas);

3. Rendahnya Kualitas CTKI (unskilled/3D);

4. Lemahnya pengawasan (Pada umumnya, perlindungan TKI hanya dilakukan apabila masalah-masalah yang dialami TKI telah menjadi berita di media masa). 5. Trafficking (50 % terkait dengan TKI);

6. Kurangnya Koordinasi (masalah TKI tidak dapat diselesaikan oleh satu instansi, sangat tergantung dari instansi lain);

7. Lemahnya penegakan hukum/law enforcement.

Salah satu contoh berkaitan dengan sumber daya manusia, karena termasuk unskilled maka diperlukan pelatihan kerja termasuk penguasaan bahasa negara

12

Sumber: Depnaker, BNP2TKI, Deplu, KBRI dan Pengaduan Keluarga Korban Trafficking, Database Migrant CARE, 2011

(10)

setempat bagi calon TKI oleh PPTKIS yang semestinya dilakukan selama 200 jam tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Calon TKI hanya singgah beberapa hari saja sudah ditempatkan untuk bekerja di luar negeri. Akibatnya TKI tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena kurangnya keterampilan yang dimiliki maupun karena ketidakmampuan berkomunikasi dengan majikan. Demikian halnya dengan memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri dan pemulangan TKI sampai daerah asal tidak dapat dilakukan karena PPTKIS sendiri tidak memiliki kantor perwakilan luar negeri untuk mengurus kepentingannya sebagaimana ditetapkan dalam UU.

Beban tanggung jawab yang terlalu luas diberikan kepada PPTKIS sebagai badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT) kurang tepat karena badan usaha tersebut orientasinya mencari keuntungan (profit oriented). Akibatnya beban tanggung jawab itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik yang menyebabkan penempatan TKI tidak dapat dilaksanakan secara selektif.

Tulisan ini mengkaji bagaimanakah tantangan kedepan dalam pembangunan ketenagakerjaan sebagai upaya memperluas kesempatan kerja yang berkualitas, terciptanya perlindungan hak, dan keselamatan pekerja migran serta urgensi revisi terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri.

B. TANTANGAN KEDEPAN&URGENSI REVISI UU NO. 39 TAHUN 2004

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2014, jumlah penduduk Indonesia diatas usia 15 tahun berjumlah 182,98 juta orang. Jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 121, 87 juta jiwa atau 66, 60 % , dengan 5,94 % diantaranya atau 7,24 juta orang berstatus sebagai pengangguran terbuka. Angka ini belum mencantumkan pengangguran terselubung yang dapat menambah banyak angka angkatan kerja yang mencari pekerjaan. Dengan banyaknya kesempatan kerja di luar negeri, pertumbuhan TKI menjadi hal yang tak terelakkan, namun juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas penempatan dan standar perlindungan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2014, menunjukan pula bahwa jumlah angkatan kerja selalu melampaui ketersediaan

(11)

pekerjaan, angka pengangguran juga tinggi. Kondisi ekonomi di Indonesia demikian mendorong masyarakat untuk menjadi TKI dikarenakan lapangan kerja domestik yang masih terbatas dan tidak cukup untuk menampung angkatan kerja.

Berdasarkan Pemeriksaan Semester II tahun 2011 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, didapatkan data bahwa TKI yang ditempatkan di 46 negara tujuan dalam lima tahun terakhir mencapai jumlah 3,01 juta, dan berasal dari 19 propinsi dan 156 kabupaten/kota di Indonesia. Kawasan penempatan terbesar adalah kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah. Penempatan TKI di luar negeri telah memberikan tambahan sumber devisi negara yang besar dengan rata-rata setiap tahunnya mencapai US$ 4.37 miliar atau setara dengan Rp.39,3 triliun.

Sementara itu, data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia memberikan angka penempatan TKI berjumlah 1.459.732 (satu juta empat ratus lima puluh semblian ribu tujuh ratus tiga puluh dua) per Juni 2011. Angka ini akan terus bertambah karena diperkirakan terdapat penambahan jumlah TKI sekitar 450.000 (empat ratus lima puluh ribu) setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sektor pekerja informal (yang mencapai 64% dengan 90% diantaranya bekerja sebagai pekerja rumah tangga) memberikan devisi sebesar US$6.6 miliar di luar sektor minyak bumi dan gas alam (berdasarkan data BNP2TKI tahun 2010). Hal ini selaras dengan data dari Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa devisi negara yang dihasilkan melalui penempatan TKI di luar negeri mencapai US$6.6 miliar di tahun 2009, US$ 6 miliar di tahun 2010, dan untuk semester I 2011 sudah mencapai US$ 3.3 miliar.

Meskipun banyak mendatangkan devisa bagi negara dan daerah serta turut serta memecahkan persoalan ketenagakerjaan di dalam negeri, perlindungan yang diperoleh para buruh migran masih sangat terbatas.Setelah sebelas tahun tahun UU ini berlaku, berbagai persoalan yang menimpa TKI masih terus terjadi.

Berbagai kelemahan secara substansi terhadap UU 39/2004 memberikan kontribusi terhadap hal tersebut baik norma yang diatur maupun kelembagaan yang terlibat didalamnya. Masih banyak masalah dan kasus-kasus yang terjadi, baik secara kuantitas maupun variasinya, di samping jumlah TKI yang bekerja di luar negeri makin bertambah dari tahun ke tahun. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat kasus yang melibatkan penempatan TKI di luar negeri sebesar 110.171

(12)

(seratus sepuluh ribu seratus tujuh puluh satu). Dari kondisi yang demikian itu kemudian mucul pendapat yang menyatakan bahwa sebagian besar masalah terjadi karena UU 39/2004 tidak dapat mengatasi masalah, dan penyelesaian kasus-kasus yang terjadi tersebut.

Di sisi lain, selain itu, Hasil Pemeriksaaan BPK Semester II tahun 2010 terhadap Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri menyimpulkan bahwa penempatan TKI di luar negeri tidak didukung secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif, dan transparan untuk melindungi hak-hak dasar TKI, dan kesempatan yang sama bagi setiap pemilik kepentingan. Hal ini juga tidak didukung dengan sistem yang terintegrasi dan alokasi sumber daya yang memadai guna meningkatkan kualitas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Ketidakjelasan kebijakan dan lemahnya sistem penempatan dan perlindungan TKI memberikan peluang terjadinya penyimpangan sejak proses rekruitmen, pelatihan dan pengujian kesehatan, pengurusan dokumen, proses penempatan di negara tujuan sampai dengan pemulangan TKI ke tanah air. Kompleksitas masalah tersebut mengakibatkan efektivitas penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tidak tercapai secara optimal.

Sebagai sebuah produk hukum yang berkenaan dengan nasib manusia, UU 39 Tahun 2004 sudah sewajarnya mampu memberikan payung perlindungan hukum bagi TKI yang bekerja di luar negeri sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Dengan demikian kehendak agar setiap warga negara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dapat terwujud. Seluruh pemangku kepentingan pada dasarnya sepakat bahwa permasalahan pengelolaan ketenagakerjaan di luar negeri adalah dampak dari lemahnya UU 39 Tahun 2004. Revisi terhadap UU 39 tahun 2004 merupakan momentum untuk mengembalikan hak bagi setiap warga negara indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak melaui jaminan atas hak bermigrasi secara aman. Dimasukannya revisi UU 39/2004 sebagai agenda prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 merupakan peluang agar dapat dilakukan perbaikan.

Berbagai alasan dapat diberikan untuk menjelaskan mengapa UU 39/2004 tidak dapat berjalan efektif sebagaimana diharapkan.

(13)

Pertama, terkait dengan landasan filosofis dari UU 39 Tahun 2004 itu sendiri yang menganggap TKI sebagai komoditas.

Kedua, kurangnya perlindungan hak-hak tenaga kerja berorientasi HAM dalam UU tersebut.

Ketiga, terlalu banyak keterlibatan peran swasta (melalui Pelaksana Penempatan TKI Swasta) yang tidak terkontrol dan hanya berorientasi keuntungan.

Keempat, lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah yang masih terjebak ego sektoral.

Hal-hal tersebut memberikan pemahaman yang lebih komprehensif berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, untuk kemudian dijadikan landasan bagi para pembuat undang-undang untuk merumuskan perubahan terhadap UU 39 tahun 2004.

a. Bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya;

b. Bahwa setia tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;

c. Bahwa tenaga kerja indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan mertabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;

d. Bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;

e. Bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang peleksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional;

(14)

f. Bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan diluar negeri;

g. Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri;

h. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang

Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnyaa jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yangn berkaitan dengan nasib TKI semakin beragama dan bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undang yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan perlakuan eksploitatif dari siapapun. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(15)

Tahun 1945, maka Undang-undang ini intinya harus memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya.

Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi. Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri.

Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di luar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap TKI. Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang, diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang

(16)

mempunyai pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi. Sementara bagi mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah yang dampaknya mereka biasanya dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan pengaturan berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang maksimal.

Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam revisi Undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi. Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan dalah berkaitan dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam Undang-undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Tidak adanya satu saja dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan.

Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara tujuan penempatan. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI.

(17)

Dengan demikian revisi Undang-undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya.

C. ANALISIS

Hukum merupakan salah satu sarana untuk mencapai keadilan sehingga dengan adanya hukum diharapkan akan tercapai tatanan masyarakat yang adil, tertib dan demokratis. Oleh sebab itu, sudah seharusnya hukum berperan untuk melindungi serta memberikan prosedur yang demokratis bagi tiap warga negara untuk mempergunakan dan membela kepentingan-kepentingannya serta hak-haknya yang sah.Peraturan hukum apapun bentuknya dapat menunjukkan keinginan-keinginan dari masyarakat yang mendambakan keadilan.

UUD 1945 menjamin adanya persamaan di depan hukum (equality before the law) dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Salah satu hak dasar dari warga negara adalah hak untuk mendapat perlindungan hukum, sebagai implementasi dan fungsi dari penegakkan supremasi hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam sistem hukum di Indonesia yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.13

UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, karena hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan. UU tersebut belum dapat melindungi para TKI selama bekerja di luar Negeri. Oleh karena itu dalam revisi Undang-undang ini, prinsip pelayanan, penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi.

Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan upaya-upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak

13

Perdagangan Manusia, “Human Trafficking”, https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_manusia , Jum’at , 3 July 2015

(18)

seluruh buruh migrant dan anggota keluarganya bedasarkan norma-norma hak asasi manusia universal. Digagasnya Perda perlindungan TKI oleh Buruh Migran Indonesia (BMI) sudah tepat dan layak didukung oleh semua pihak.

Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari konvensi perlindungan buruh Internasional. Paling tidak, perda tersebut harus menjadikan Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) Tahun 1990 Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, serta Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 189 Tahun 2011 Tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga sebagai acuannya. Dengan berpedoman pada kedua konvensi Internasional tersebut, Perda Perlindungan TKI akan lebih selaras dan sinkron dengan berbagai aturan yang telah disepakati oleh dunia Internasional.

Contoh kasus bagaimana perlunya perlindungan pekerja migran selama melakukan pekerjaannya, dialami oleh Siti Zaenab PRT migran Indonesia yang pada hari Selasa 14 April 2015, di eksekusi mati di Madinah Saudi Arabia pada pukul 10.00 waktu Madinah. Eksekusi ini merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius karena hak hidup setiap orang harus dijamin, apalagi Siti Zaenab terpaksa melakukan pembunuhan terhadap majikan perempuannya karena membela diri atas penganiayaan yang diterimanya memasuki tahun kedua masa kerjanya di rumah majikan. Cerita mengenai penyiksaan tersebut, disampaikan Siti Zaenab kepada keluarganya melalui surat.

Siti Zaenab berangkat ke Saudi Arabia pada 7 Maret 1998 melalui PT Banyu Ajisakti. Siti Zaenab bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga pada majikan Abdullah Muhsin AlAhmadi. Siti Zaenab di vonis hukuman mati oleh pengadilan Madinah pada 8 Januari 2001 atas tuduhan pembunuhan terhadap majikan perempuannya, Nauroh Bt Abdullah. Siti Zaenab ditahan di penjara umum Madinah hampir 16 tahun, terhitung sejak 5 Oktober 1999 – 13 April 2015. Pada masa pemerintahan Gus Dur, Siti Zaenab berhasil ditunda eksekusi atas lobby Gus Dur dengan Raja Arab hingga ahli waris majikannya akil balig.

Jumlah buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur. Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada

(19)

pada usia produktif (diatas 18 tahun sampai 35 tahun), namun ditengarai banyak juga mereka yang sebenarnya berada pada usia anak-anak. Kenyataan ini terjadi karena mereka banyak yang dipalsukan identitas dokumen perjalanannya. Selebihnya, sekitar 30 % adalah laki-laki, bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa.

Dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK saat ini setidaknya ada 3 institusi yang memiliki mandat untuk perlindungan buruh migran yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Perubahan nomenklatur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjadi Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya bisa mendorong institusi ini focus pada kebijakan ketenagakerjaan (perburuhan) baik didalam negeri maupun di luar negeri serta mengkoherensikan bahwa persoalan buruh migran tak lepas kaitannya dengan kebijakan perburuhan di dalam negeri. Namun demikian, perubahan nomenklatur tersebut belum membawa reformasi signifikan dalam kebijakan ketenagakerjaan.

Kementerian Ketenagakerjaan saat ini melanjutkan kebijakan-kebijakan kontradiktif dari menteri sebelumnya mengenai Road Map Penghapusan PRT Migran. Dalam perspektif hak asasi manusia, argumentasi pelarangan PRT migran ke luar negeri sebagai langkah perlindungan adalah kesalahan dalam logika berfikir. Dalam prakteknya, langkah moratorium dan penghentian permanen hanya menghasilkan potensi pembesaran praktek perdagangan manusia atas nama penempatan buruh migran. 14

Moratorium penempatan buruh migran menjadi kebijakan permanen yang dilegitimasi dengan Permenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke 19 negara tujuan di Timur Tengah yang berlaku efektif sejak Juli 2015. Kebijakan ini dipastikan akan meriplikasi kegagalan moratorium-moratorium sebelumnya, karena berdasarkan penelitian Migrant CARE di bandara Soekarno Hatta, dari 1.650 orang PRT migran yang akan berangkat ke Timur Tengah 46,4% diantaranya adalah PRT migran yang baru

14

(20)

berangkat ke Timur Tengah. Situasi ini memperlihatkan bahwa moratorium hanyalah kebijakan diatas kertas semata.

Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran lebih nyata terlihat dari kinerja Kementerian Luar Negeri. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mempunyai komitmen yang kuat dalam perlindungan buruh migran Indonesia. Rekam jejak semasa menjadi Dubes RI di Belanda, Menlu Retno aktif memfasilitasi adanya pembentukan organisasi buruh migran Indonesia di Belanda. Dalam forum bilateral, regional (ASEAN) dan multilateral, masalah buruh migran selalu diusulkan dan diperjuangkan sebagai agenda prioritas. Namun demikian, langkah-langkah progresif Menlu Retno tidak diimbangi oleh kinerja perwakilan RI di luar negeri yang masih bekerja “business as usual”.

Cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran membuat mereka merasa bahwa menangani masalah buruh migran dianggap sebagai “beban” bukan sebagai “tanggungjawab”. Seperti di KBRI Kulalumpur Malaysia, citizen services hanyalah jargon, pelayanan dokumen keimigrasian semakin birokratis.

Sementara itu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai institusi yang dimandatkan oleh UU No. 39 Tahun 2004 masih belum bisa menuntaskan masalah duplikasi kewenangan dengan bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di lingkungan Kemenaker. Meski demikian ada beberapa langkah yang patut diapresiasi dari inisiatif BNP2TKI, misalnya perancangan penurunan biaya penempatan ke Taiwan, evaluasi kinerja PPTKIS dan pelibatan masyarakat sipil (CSO dan organisasi buruh migran) dalam perancangan dan pengusulan kebijakan mengenai buruh migran Indonesia. Hal ini harus didukung oleh Kemenaker karena Kemenakepihak yang mempunyai kewenangan membuat regulasi.

Eksekusi mati terhadap 2 PRT Migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia (Siti Zaenab dan Karni) secara berturut-turut pada bulan April 2015 tentu merupakan tamparan keras dan tantangan dari perwujudan cita-cita menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran. Meski kasus-kasus hukuman mati terhadap buruh migran adalah akumulasi dan warisan kasus-kasus dari lemahnya komitmen perlindungan pemerintahan sebelumnya. Upaya pembelaan pemerintah RI terhadap buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri , telah dilakukan langkah

(21)

diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan Raja Saudi Arabia pada awal bulan September 2015 untuk pembebasan PRT Migran dari hukuman mati patut dipresiasi. Pemerintah juga harus secara proaktif dalam mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi dengan UU No. 6 Tahun 2012). 15serta masih enggan untuk menyusun peta jalan menuju Ratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT.

Perbincangan kontemporer mengenai agenda pembangunan masa depan telah mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada Sidang Umum PBB tanggal 25 September 2015. Sustainable Development Goals ini diikhtiarkan sebagai agenda global penghapusan kemiskinan dan ketimpangan serta menjadi kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang masih dianggap belum mampu menuntaskan goal dan targetnya di tahun 2015.

Kutipan diatas merupakan bagian dari agenda baru SDGs (Sustainable Development Goals) yang tidak hanya memberi pengakuan adanya kontribusi buruh migran dalam gerak ekonomi dunia, tetapi juga mengakui adanya banyak dimensi yang terkandung dalam migrasi tenaga kerja yang memerlukan penanganan yang komprehensif. Hal ini memperlihatkan bahwa migrasi tenaga kerja dan realitas buruh migran sudah menjadi perhatian internasional sehingga upaya-upaya berbagai pihak untuk memperjuangkan hak-hak buruh migran menemukan relevansinya.16

Beberapa progres yang sudah berjalan antara lain:

a) Kementerian Luar Negeri sudah memulai insiatif pengarusutamaan gender dalam politik dan diplomasi luar negeri, termasuk penilaian kinerja perwakilan RI di luar negeri;

b) Inisiatif dari BNP2TKI untuk melakukan penurunan biaya penempatan buruh migran yang sangat tinggi, membebani, perangkap jeratan hutang bagi buruh migran, dan legitimasi pengambilan keuntungan bagi PPTKIS dan agen di luar negeri; 15 http://migrantcare.net/2015/10/20/siaran-pers-migrant-care-pemerintahan-jokowi-jk-belum-on-the-track-dalam-perlindungan-buruh-migran-indonesia/#sthash.zjFB9nzY.dpuf 16 http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migran-indonesia/#sthash.1UAkhdzL.dpuf

(22)

c) Pemerintah Indonesia (Kemenlu, Kemenaker dan BNP2TKI) membuka ruang partisipasi masyarakat sipil dalam agenda perlindungan buruh migran.

Advokasi Amandemen Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Migrasi Aman, bertujuan mendesak pemerintah untuk menyediakan perundang-undangan sebagai landasan hukum (legal basis) bagi perlindungan buruh migran dan berlangsungnya migrasi aman. Dengan sasaran pencapaian yakni adanya amademen pasal-pasal perundang-undangan yang ekploitatif terhadap buruh migrant, serta mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 189 dan kebijakan-kebijakan negara yang dibutuhkan untuk implementasinya.17

D. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN :

1. Berbagai pembenahan dan reformasi sistem, prosedur pelayanan penempatan dan perlindungan TKI telah dilakukan akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menghadapi kendala yang membutuhkan keseriusan dan keterpaduan dalam penanganannya. Disisi lain UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, karena hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan.

2. Peranan Kementerian Ketenagakerjaan dalam pembangunan ketenagakerjaan diarahkan kepada upaya memperluas kesempatan kerja yang berkualitas, terciptanya perlindungan hak, dan keselamatan pekerja migran serta mempersiapkan berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean

3. Kondisi dan tantangan ketenagakerjaan membutuhkan perumusan program dan sasaran bidang penempatan dan perluasan kesempatan kerja yang lebih terarah dan terpadu

17

http://migrantcare.net/program/advokasi-amandemen-perundang-undangan-untuk-mewujudkan-migrasi-aman-2/#sthash.02At8vl1.dpuf

(23)

SARAN :

1. Perlu segera direvisinya UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri, karena belum mengakomodir seluruh isi dari Konvensi Pekerja Migran, dan hanya mencakup perlindungan TKI selama pra penempatan dan purna penempatan, sedangkan selama pelaksanaan bekerja di luar negeri tidak terlindungi. Padahal justru masalah lebih banyak ketika terjadi penyimpangan selama bekerja, bukan pada saat pergi atau pulangnya.Perkuat koordinasi tiga lembaga, yakni Kemenlu, Kemenakertrans, serta BNP2TKI, serta Adopsi isi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggotanya. Ratifikasi terhadap International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Their Families yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui sidang paripurna DPR, tanggal 12 April 2012 2. Isu –isu yang harus termuat dalam RUU tersebut meliputi : Paradigma

perlindungan, ruang lingkup buruh migran, jaminan buruh hak buruh migran, peranan PJTKI, training pra pemberangkatan, biaya penempatan, pengawasan, perjanjian kerja, kelembagaan, peran pemda, perlindungan dan bantuan hukum, asuransi, KTKLN, kepulangan TKI, mekanisme penyelesaian masalah, peran masyarakat sipil, dan penegakan hukum.

3. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada buruh migrant harus benar-benar berkualitas, sesuai kebutuhan, bukan menjadi ruang eksploitasi terhadap Buruh Migran seperti yang selama ini terjadi. Diklat ini harus menjadi tugas pemerintah bukan swasta, serta menciptakan sistem online yang sudah terkoneksi dari daerah kabupaten/kota dan provinsi hingga ke pusat dan Perwakilan RI di luar negeri.

REFERENSI : BUKU / JURNAL :

Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Janie Chuang, “Redirecting the debate over trafficking in women definitions, paradigms, and contexts”, Harvard Human Rights Journal, No 11, tahun 1998

(24)

Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran tahun 2011

Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, Liberty, Yogyakarta, 2011

Slamet Maria Wardaya, Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi HAM dalam Muladi, (Editor) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005.

.Shelly Casy Inglis, “Expanding International and National Pratections Againts Trafficking for forced labor using a Human right from work” Buffalo Human Right laus Reviw, Vo7, Tahun 2001

PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 Pasal 27 ayat (2);

UU N0. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Konvensi ILO dan PBB tentang Migrant Worker.

Perpres No. 81 tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI)

Inpres No. 06 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri;

Keputusan Presiden Nomor 02/M/2007 tentang Pengangkatan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia;

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 45);

(25)

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat;

MOU antara Gubernur Jawa Barat dengan BNP2TKI No. B.270/KA/XII/2010 dan 560/25/Disnakertrans, tgl 30 des 2010

Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas da Badan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tanggal 4 Pebruari 2011

Depnaker, BNP2TKI, Deplu, KBRI dan Pengaduan Keluarga Korban Trafficking, Database Migrant CARE, 2011

Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran tahun 2011. INTERNET : http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migranindonesia/# thash. 1UAkhdzL. dpuf http://migrantcare.net/program/advokasi-amandemen-perundang-undangan-untuk-mewujudkan-migrasi-aman-2/#sthash.02At8vl1.dpuf

Perdagangan Manusia, “Human Trafficking”https://id.wikipedia.org /wiki/Perdagangan_manusia , 3 July 2015

http://migrantcare.net/event/jambore-nasional-buruh-migran-indonesia/#sthash. 1UAkhdzL. dpuf

(26)

HAK SISTEM PEMILIKAN TANAH BANGSA INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN HAK-HAK DERIVATIF

DALAM RANGKA AGUNAN UTANG-PIUTANG Oleh :

Aslan Noor

Abstract

Law No.4 of 1996 is the mandate of Article 51 of Law No. 5 of 1960, which regulates the only institution security rights over the land known as Mortgage. The law completes the realization of law unification in the field of national land management .The existance of the law bring fresh air for business development in Indonesia. Land and buildings located on it can be used as collateral either by the individual or legal berau. As it can raise fund sasinitial capitalin doing business (business activity) to sustain the economy and national development.

Key Words: Land Tenure, Economic Development, Security

Abstrak

undang Nomor 4 Tahun 1996 merupakan amanat Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, mengatur tentang satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang dikenal dengan Hak Tanggungan. Undang-undang tersebut, melangkapi terwujudnya unifikasi hukum dibidang pengelolaan pertanahan nasional. Lahirnya undang-undang tersebut, membawa angin segar hagi perkembangan dunia usaha di Indonesia, khususnya bagi pelaku bisnis. Tanah berikut bangunan yang berada di atasnya dapat dijadikan agunan baik bagi orang perorangan maupun Badan Hukum, Sehingga dapat menghimpun dana sebagai modal awal dalam melakukan usaha (kegiatan bisnis) guna menopang pembangunan ekonomi kerakyatan dan nasional.

Key Word : Kepemilikan Tanah, Pembangunan Ekonomi, Jaminan

A. Pendahuluan

Hak milik atas tanah (eigendom privaat) adalah hak kodrati (natuur recht) dalam artian bukan hak manusia (een mensefljk recht) yang didapat secara sukarela, tetapi sesuatu hak yang menyertai / mengikuti (inheren) diri manusia sejak ia lahir. Hugo Grotius (1563- 1645) menyatakan bahwa kehendak manusia (mensen will) merupakan dasar adanya hak milik perseorangan, pada mulanya tanah dipergunakan

(27)

bersama-sama oleh masyarakat, namun karena kehendak manusia, secara tegas maupun Secara diam-diam terjadi perubahan, yakni pemilikan secara perseorangan. Samuel Pufendorf (1632-1694) mengemukakan bahwa secara alami (sejak semula), dijumpai pemilikan bersama atas tanah (gemeenschappelke eigendom) yang berdasarkan perjanjian diam-diam ataupun secara tegas timbul pemilikan perorangan. Uraian tersebut menyimpulkan (sebagaimana pendapat Aristoteles (384-322 SM)) bahwa, negara tidak mungkin memiliki tanah, yang memiliki tanah adalah individual secara naturalistik dan individual secara licham body (pribadi buatan, seperti Badan Hukum dan perkumpulan lainnya).

Hak-hak individual atas tanah bersifat privaatrechtelijke. Hak milik privat atas tanah adalah bagian dari hak milik bangsa Indonesia yang kepunyaan, peruntukan, dan penggunaannya ditujukan kepada kepentingan pribadi para individu (individu alamiah dan buatan) sebagai hak individu bangsa Indonesia yang bersifat keperdataan. Negara berkewenangan untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden) yang tidak bertentangan dengan batas hak keperdataan. Perhubungan hukum antara negara dan tanah dapat tercermin dari perhubungan pemerintah dengan tanah, yang juga bersifat privatrectelijke. Sedangkan, perhubungan antara penggunaan kepentingan umum dengan tanah, melahirkan hak-hak umum yang juga bersifat privaatrectelijke. Sementara, perhubungan antara masyarakat, kepentingan agama dengan tanah bersifat magis dan religious, seperti hak ulayat (gemeenschapp) yang dianggap magis dan hak milik wakaf yang dianggap sacrae. Tulisan ini focus pada, bagaimanakan sistem pemilikan tanah bangsa indonesia kaitannya dengan penerapan hak-hak derivative dalam rangka agunan utang-piutang.

B. Pembahasan

1. Konsep Kepemilikan Tanah Pada Umumnya

Secara konseptual atau teori, ada beberapa pendapat dasar mengenai hak milik perorangan. Pendapat pertama dikemukakan oleh John Locke, yang memandang hak milik sebagai salah satu pranata yang secara kodrati melekat padadirisetiap individu

(28)

manusia1. Konsep ini, kemudian secara hukum diperluas. Bukan hanya individu manusia yang dapat mempunyai hak milik. Badan-badan atau pranata-pranata yang oleh hukum diberi status yang dipersamakan dengan manusia juga dimungkinkan mempunyai hak milik2. Sebagai kebalikan dari pandangan Locke ada yang berpendapat, pranata hak milik perorangan dapat menjadi sumber ketidakadilan dan menghalangi upaya kesejahteraan bagi seluruh rakyat atau suatu kelompok masyarakat. Pendapat ini dianut oleh Plato. Karena itu, Plato tidak menghendaki adanya sistem hak milik perorangan sebagai salah satu Unsur ajaran negara idealnya.

Di masa modern, pendapat semacam itu menjadi salah satu landasan berpikir dan konsep marxisme, khususnya komunisme. Marxisme berpendapat, sistem hak milik merupakan cikal bakal sistem klas dan eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation de I ‘home par I’homme). Untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan meniadakan penghisapan manusia oleh manusia, sistem kepemilikan perorangan harus ditiadakan. Tetapi perlu diperhatikan, hak milik yang dipersoalkan kaum marxis atau komunis adalah hak milik perorangan juga berkaitan dengan produksi (sebagai sarana produksi). Jadi, tetap ada tempat bagi sistem hak milik di luar hak milik perorangan dan di luar sarana produksi, yang disebut hak milik publik. Terhadap sarana produksipun secara hakiki bukan menyangkut peniadaan pranata hak milik, tetapi peralihan pemegang hak milik dan hak milik perorangan menjadi hak milik komunitas yang diwakili negara, sehingga lazim disebut hak milik negara.

Sebenamya potensi eksploitasi yang merugikan bahkan menindas, dalam sistem kepemilikan komunitas atau oleh negara tidak lebih kurang darisistem pemilikan perorangan, karena disertai segala atribut kekuasaan negara3. Pendapat lain mengenai hak milik dapat dipandang sebagai gabungan antara sistem milik perorangan yang

1

Jhon Locke mempostulatkan bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang inhern atas kehidupan (live), kebebasan (liberty) dan harta (property) yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh Negara, untuk menghindari ketidak pastian hidup dalam alam. Akan tetapi; dalam suatu keberadaan Negara manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontrak sosial dimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diserahkan pada kekuasaan Negara, Lihat Asian Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Disertasi PPS Unpad, Bandung, Tahun 2003, Hlm. 36. Lihat pula Jhon Locke, Two Treatises of Sivil Government. JM. Dent & Sons Ltd, London, 1960, Him. 9 dan 77

2

Lihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah

3

Aslan Noor, Op.,Cit, Hlm 37. Lihat pula Bagir Manan dalam Pengantar Pidato Laporan Promotor Terhadap Pertanggunganjawaban Akademis Atas Nama Aslan Noor Pada Sidang Promosi Doktor dalam Ujian Terbuka Disertasi, Unpad, 2003, HIm. 3-6

(29)

tanpa batas dengan sistem kepemilikan komunitas (negara) yang sebenarnya juga tanpa batas. Pada Negara yang tidak menjalankan sistem marxisme atau komunisme, hak milik perorangan tetap dipandang sebagai salah satu hak kodrati, tetapi dengan pembatasan yang berkaitan dengan kepentingansosial atau kepentingan umum.

Hak milik bukan hanya dibatasi cara-cara penggunaan dan penguasaannya (seperti pembatasan luas), bila perlu dapat dicabut demi suatu kepentingan sosial yang lebih luas atau suatu kepentingan umum tertentu (kepentingan publik/ negara). Demikian pula pada Negara-negara yang menjalankan sistem marxisme atau komunisme. Negara tetap sebagai pemilik sarana produksi seperti tanah. Rakyat hanya sebagai pemegang hak pakai atau penyewa dengan syarat-syarat dan cara pemanfaatan yang lebih longgar. Di Republik Rakyat Cina (RRC), rakyat menyewa atau memakai tanah negara untuk sesuatu jangka panjang. Rakyat bebas menentukan cara-cara pemanfaatan, cara-cara penjualan hasil, dan bebas pula menikmati hasil-hasilnya. Hal ini sangat mendorong peningkatan produksi dan kesejahteraan petani atau pemakai tanah4.

2. Konsep Asli Kepemilikan Tanah Bangsa Indonesia

Konsepsi asli hak milik Indonesia cukup unik dibandingkan dengan system-sistem pemilikan di atas. Hak ulayat bukanlah system-sistem kepemilikan komunitasseperti diinginkan Plato atau kaum marx. Dalam sistem hak ulayat tidak ada struktur kekuasaan yang dapat dipandang sebagai pemegang hak atas tanah ulayat beserta tumbuh-tumbuhan diatasnya. Rakyat sebagai anggota masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang bersangkutan, pada dasarnya bebas memanfaatkan hak ulayat sepanjang tidak bersentuhan dengan hak-hak sesama anggota masyarakat hukum lainnya, misalnya tanah pernah dibuka (dipergunakan) oleh anggota yang lain. Kalaupun ada semacam campur tangan penguasa adat atau kepala desa, hal ini lebih bersifat pemberitahuandari pada sebagai izin. Yang lebih unik, pembukaan atau penggunaan hak ulayat, secara ilmiah, menumbuhkan hubungan pribadi antara tanah yang dibuka (digunakan) dengan pembuka tanah yang dapat berprosessampai pada pemilikan. Prosesini oleh Supomo disebut individualisering process dan oleh Malinkrodt disebut sebagai vereconmisering process.

4

(30)

Keunikan lain yaitu hubungan antara individu dengan tanah ditentukan oleh intensitas hubungan individu yang bersangkutan baik dalam pemanfaatan secara terus-menerus maupun dengan tanda-tanda tertentu yang menghubungkan individu dengan tanah yang bersangkutan seperti ada tanaman kelapa, buah-buahan dan lain sebagainya. Hubungan semacam ini oleh Djodjodiguno disebut sebagai hubungan mulur mungkeret atau oleh Ter Haar disebut sebagai teori bola (baltheorie). Berbagai keunikan tersebut menjadi salah satu pilar pemikiran UU No.5 Tahun 1960 dan berbagai undang-undang yang berkaitan dengan tanah serta kekayaan alam yang ada di atas atau di dalam tanah tersebut. Tetapi, pembentukan undang-undang menyadari juga berbagaiketerbatasan sistem pemilikan tanah asli dan berbagai kebutuhan baru bertalian dengan tanah. Karena itu, selain pembatasan-pembatasan terhadap asas dan kaidah hukum adat, juga dimasukkan berbagai unsur baru hubungan perorangan dengan tanah, seperti HGB, HGU, dan administrasi pertanahan seperti sertifikat yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Didorong oleh keinginan mengintegrasikan antara pemilikan asli dengan herbagai kebutuhan baru, UU No.5 Tahun1960 melahirkan berbagai keunikan baru yang tidak jarang menimbulkan masalah-masalah dalam pelaksanaannya seperti: hukum agaria adalah hukum adat, hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, negara yang hanya dikatakan menguasai tanah tetapi dipihak lain berwewenang melahirkan hak milik perorangan atas tanah, larangan menelantarkan yang akan menjadi dasar hapusnya hak milik atas tanah dengan mengenyampingkan prinsip bahwa tanah dipandang sebagai hak asasi dan lain-lain. Beberapa hal tersebut menunjukkan, meskipun UU No.5 Tahun 1960 adalah dasar-dasar hak-hak atas tanah seperti hak milik, ternyata masih ada hal-hal yang secara konseptual memerlukan pengkajian mendalam.

Persoalan-persoalan hak milik atas tanah ini menjadi lebih signifikan untuk diteliti dalam hubungannya dengan hak asasi berkaitan dengan pelaksanaan penataan ruang. Hingga saat ini, masih belum ada kesepakatan mengenai apa ukuran substansi dan metode hak asasi, sehingga dapat ditemukan sesuatu merupakan hak asasi dan yang lainnya bukan hak asasi. Kekosongan ini tidak jarang menimbulkan kesulitan normatif dan praktek-praktek, baik pada tatanan normatif, perbuatan administrasi

(31)

maupun peradilan. Pada saat ini, langsung atau tidak langsung, yang sangat menentukan substansi dan metode hak asasi adalah mereka yang mempunyai daya tekan lebih kuat termasuk hak milik atas tanah atau hak memanfaatkan tanah. Penyerobot tanah mungkin mendapat perlindungan dengan alas hak asasi manusia walaupun secara nyata merugikan pemegang hak yang sah atas tanah tersebut, atau setidak-tidaknya dipandang sebagai beban yang harus ditanggung oleh negara.

Hak milik atas tanah (eigendom privaat) adalah hak kodrat (natuur recht) dalam arti bukan hak manusia (een mensefljk recht) yang ia dapat dilepaskan secara sukarela, akan tetapi sesuatu hak kodrat yang menyertai/mengikuti (inheren) diri manusia5. Hugo Grotius(1563-1645) menyatakan bahwa kehendak manusia (mensen will) merupakan dasar adanya hak milik perseorangan, pada mulanya tanah dipergunakan bersama-sama oleh masyarakat, namun karena kehendak manusia, secara tegas maupun secara diam-diam terjadi perubahan, yakni pemilikan secara perseorangan. Milik perorangan harus dilindungi, oleh karena pengusahaan atas tanah oleh manusia yang satu dapat mengakibatkan manusia yang lain kehilangan hak miliknya atas tanah. Sedangkan, hak untuk memiliki tanah adalah suatu hak yang asli (aangeboren mensenrechten) yang tidak dapat diasingkan (onvervreemdbaar). Penempatan hak-hak manusia yang sedemikian itu memperlihatkan kuatnya kedudukan manusia atas tanah, sehingga dapat mengecualikan pemilikan tanah oleh negara. Namun, penjelasan teoritik mengenai tidak adanya milik negara atas tanah, tidak secara tegas dinyatakan oleh teori-teori tersebut.

Hak milik privat atas tanah adalah bagian dan hak milik bangsa Indonesia yang kepunyaan, peruntukan, dan penggunaannya ditujukan kepada kepentingan pribadi para individu (individu alamiah dan buatan) sebagai hak individu bangsa Indonesia yang bersifat keperdataan. Negara berkewenangan untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi yang tidak bertentangan dengan batas hak keperdataan. Dengan demikian, hak milik privat atas tanah bangsa Indonesia, terdiri dari:

a. Hak milik (pasal 16 jo Pasal 20 UUPA);

b. Hak guna usaha (pasal 16 jo Pa- sal 28 UUPA); c. Hak guna bangunan (pasal l6jo Pasal35 TJUPA).

5

(32)

Dari kajian filsafat, hubungan antara tanah dengan perorangan, keluarga dan masyarakat adalah berupa:

a. Hubungan kepunyaan (bukan milik) sebab tanah merupakan karunia Tuhan; b. Kekuasaan untuk menjalankan hubungan kepunyaan itu dilakukan dalam hak dan kewajiban yang berimbang, dalam hak yang diartikan sebagai kemampuan dan kecakapan untuk melakukan apa yang secara bebas boleh dilakukannya, juga diimbangi dengan kewajiban yaitu kemampuan dan kecakapan untuk melakukan apa yang harus dilakukan6.

Ciri utama dalam penyelenggaraan hak dan kewajiban berimbang adalah penentuan tanah untuk dipergunakan bagi kepentingan bersama dan tidak menyebabkan kerusakan milik yang lain atau lingkungan sekitarnya. Dilain pihak adalah adanya sifat fungsi sosial atas tanah. Namun demikian, bukan berarti pemilikan pribadi keluarga maupun masyarakat tidak dimungkinkan. Pemilikan tersebut tetap diakui, tetapi dijalankan atas dasar penyelenggaraan hak dan kewajiban secara berimbang.

3. Hak-Hak Atas Tanah Original Dan Derivatif Menurut UUPA

Jika diteliti secara cermat, dijumpai dua jenis hak atas tanah yang ada dalam sistem hukum tanah nasional, yaitu: Hak Atas Tanah original dan derevatif7. Hak-hak Original adalah hak-hak asli yang keberadaannya tidak dapat berada diatas tanah hak yang lain, sedangkan hak-hak derevatif adalah hak-hak atas tanah yang dapat berdiri di atas hak atas tanah yang original (hak pertama yang terdaftar), yang peruntukannya tertuju pada pengusahaan (economical function) dan hunian (primeirlyneed). Pasal 16 UUPA mengeksploor ditemukannya hak original dan hak derevatif atas tanah, yang menyebutkan bawa hak atas tanah terdiri dari:

a. Hak Milik (HM);

b. Hak Guna Usaha (HGU); c. Hak Guna Bangunan (HGB); d. Hak pakai;

e. Hak Sewa;

6

Lihat pemaknaan yang tersirat dalam Pasal 4 UUPA

7

Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menginspirasikan kemungkinan hak-hak yang akan muncul di atas hak-hak yang lain, yang dianggap sumber lahirnya hak-hak derevatif di atas hak original atas tanah

(33)

f. Hak Membuka Tanah;

g. Hak Memungut Hasil Hutan; &

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam pasal 53. Pasal 16 huruf h atau poin 8 di atas dapat dikatakan sumber inspirasi lahirnya hak-hak derevatif.

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hak-hak original terdiri dari:

a. Hak Milik (HM), karena tidak berada di atas tanah hak yang lain; b. Hak Pengelolaan (HPL), karena hal yang sama dengan hak milik;

c. Hak Milik Wakaf (recht-religious-scrae), karena hal yang sama dengan hak pengelolaan;

d. Hak untuk kepentingan umum (Public intrest), karena hal yang sama dengan hak milik wakaf;

e. Hak Ulayat (gemenschafen/ recht-magist), karena hal sama dengan hak untuk kepentingan umum.

Dari uraian hak-hak original tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak derevatif terdiri dari:

a. HGU diatas Tanah Negara; b. HGB di atas Tanah Hak Original c. Hak Pakai di atas Tanah Hak Original

4. HGB Di Atas HPL dan HGU di Atas Tanah Negara

Kecuali HGU, hak-hak derevatif lainnya dapat berdiri di atas hak-hak original. HGU hanya dapat berdiri di atas Tanah negara. Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai negara baik secara langsung maupun tidak langsung yang belum pernah terdaftar secara kadasteral8. Keberadaan HGB dan HGU sebagai obyek HT erat kaitannya dengan perjanjian antara pemegang HGB/HGU dengan pemegang hak original. Sebab, hak-hak derevatif lahir dari perjanjian para pihak, sementara hak-hak original lahir dari perolehan, peralihan dan konversi atas hak. Munculnya ha-hak derevatif sebagai hak sekunder lebih kepada tujuan penggunaan dan pemanfaatan serta

8

(34)

pengusahaan tanahanya. Sementara Hak-hak original muncul sengaja untuk mewujudkan status hukum dan recht setlement. Oleh karena itu, dalam pemasangan HT harus mendapat tempat pengaturannya, sehingga kreditur tidak dirugikan jika terjadi wanprestasi.

HGU hanya harus berada di atas tanah negara, sebab di samping pengelolaannya harus dengan high technology juga diharapkan tidak terjadi pemilikan abadi yang tidak memberi kesempatan kepada yang lain untuk berusaha (berinvestasi) melalui pengusahaan tanahsekalipun tidak memerlukan higth technology dalam pengelolaannya, karena sesuai tujuan haknya yaitu untuk menggunakan bangunan atau usaha-usaha terbatas. HPL dan Tanah negara, sebagai hak original sesunggubnya tidak jauh berbeda jika HGU dan HGB berada di atasnya. HPL terdaftar secara kadastral, sementara tanah negara belum terdaftar. Tanah negara ada yang bebas (Governmen Ground) ada yang terikat. Namun kedua-duanya dikuasai negara dalam arti quasi (semu). Oleh karena HGU lahir di atas tanah negara maka yang terpenting dan pemaknaannya harus ada uang pemasukan negara dan di realisir melalui penetapan hak. Sementara HGB diatas tanah HPL, harus ada dan didahului perjanjian para pihak serta haru.

5. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah

undang Nomor 4 Tahun 1996 lahir merupakan amanat Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, mengatur tentang satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang dikenal dengan Hak Tanggungan. Undang-undang tersebut, melengkapi terwujudnya unifikasi hukum dibidang pengelolaan pertanahan nasional9. Lahirnya undang-undang tersebut, membawa angin segar bagi perkembangan dunia usaha di Indonesia, khususnya bagi pelaku bisnis. Tanah berikut bangunan yang berada di atasnya dapat dijadikan agunan baik bagi orang perorangan maupun Badan Hukum, Sehingga dapat menghimpun dana sebagai modal awal dalam melakukan usaha (kegiatan bisnis) guna menopang pembangunan ekonomi kerakyatan dan nasional.

9

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai UndangUndang Hak Tanggungan), Bandung, Alumni, 1999, hal. 1.

(35)

UUHT juga mempunyai visi dan misi untuk memudahkan para pelaku usaha (debitor) dalam melakukan usahanya serta kemungkinan terciptanya rasa aman baik bagi kreditor maupun debitor jika terjadi wanprestasi. UUHT dapat memberikan kepastian hukum yang jelas dan tegas, sehingga memberikan rasa kenyamanan bagi para pelaku bisnis di dalam menjalankan usahanya yang pada gilirannya akan memicu perkembangan dalam dunia bisnis nasional dan internasional. Tidak semua hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak-Hak atas Tanah yang dapat menjadi obyek Hak Tanggungan dibatasi sebagaimana diatur dengan tegas dalam Pasal 4 (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996, yaitu: Hak Milik; Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Perkembangan selanjutnya, pada ayat 2 UU No. 4 Tahun 1996: selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan memenuhi sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Penerimaan tanah sebagai agunan yang diterima bank kreditur lain, tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan kredit bunga yang akan diperoleh yang telah diperjanjikan dalam akta perjanjian tanggungan melalui penjualan agunan, baik secara langsung maupun di bawah tangan dalam hal debitor cidera janji, sehingga diperlukan suatu lembaga pengikatan agunan yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak terkait.

Untuk memasok sejumlah dana besar dalam kegiatan berbisnis, investor Sering mempergunakan Lembaga Hak Tanggungan untuk menjamin utang dan piutang bisa berjalan sesuai rencana dan ketentuan yang berlaku. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah. Secara konseptual, dalam Hukum Kebendaan diperoleh prinsip bahwa lembaga jaminan piutang yang paling aman dan memungkirikan utang dijamin secara ekslusif adalah Hak Tanggungan.

Berikut alasan strategis tanah sebagai Lembaga jaminan utang piutang yang ekslusif:

a. Benda tetap yang tidak musnah; b. Mudah dieksekusi;

Referensi

Dokumen terkait

Pasific Harvest, tiap langkah dari proses produksi akan dianalisa dengan menggunakan tabel, yang meliputi analisa bagian biologi, fisik, kimia dari tiap langkah pembuatan

Skripsi ini membahas tentang Pandangan Hakim Terhadap Perbandingan Pembagian Harta Warisan Antara Fikih Mawaris Dengan Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Wajo (Studi

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh keberadaan BRT terhadap minat masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perjalanan di Kota Makassar, ditemukan bahwa dari lima faktor yaitu

Persyaratan dapat dirumuskan dari analisis atas peraturan perundangan organisasi (lihat klausul 5) dan resiko ada apabila tidak mencipta dan memelihara rekaman. Tentukan bagaimana

ERICK INSTITUTE INDONESIA | OLIMPIADE SAINS SD 31 ¤ Bayangan pada lensa objektif dipandang sebagai objek oleh lensa okuler, yang letaknya kurang dari. fok dari lensa okuler

Berdasarkan realita di atas, peneliti tertarik untuk menerapkan metode pembelajaran kontekstual tersebut sebagai solusi yang dapat mengupayakan kondisi lingkungan

Dalam penulisan ini data diperoleh dengan membaca majalah-majalah makanan, majalah-majalah minuman, dan situs dari internet yang semuanya dirangkum dalam sebuah web. Website ini

Dalam Ilmu Ekonomi sering disebut efisiensi allokatif. Suatu perekonomian yang efisien adalah perekonomian yang memproduksi apa yang diingingkan