59
MARKAH MOLEKULER DALAM IDENTIFIKASI DAN ANALISIS
KEKERABATAN TUMBUHAN SERTA IMPLIKASINYA
BAGI MATA KULIAH GENETIKA
(Telaah keilmuan genetika molekuler tumbuhan) SUPARMAN 1
1
Dosen Pada Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Khairun Email : [email protected]
ABSTRAK
Sifat morfologi tanaman meliputi batang, variasi bunga dan bagian-bagian bunga serta variasi bentuk daun telah lama menjadi acuan identifikasi, pemetaan kekerabatan dan taksonomi tanaman, namun sifat morfologi dinilai terbatas karena langsung dipengaruhi lingkungan. Penanda lain yang lebih stabil berupa penanda biokimia seperti isozyma. Penanda ini lebih baik, kurang dipengaruhi kondisi pertumbuhan karakter kuantitatif dan lebih cocok untuk identifikasi varietas, namun terkadang penanda ini juga tidak menunjukan perbedaan yang nyata antar genotip yang diuji. Keterbatasan tersebut, memunculkan markah molekuler, yakni penanda yang ditentukan langsung oleh materi genetik berupa DNA. Sekuen DNA memberikan banyak character state karena perbedaan laju perubahan basa-basa nukleotida di dalam lokus yang berbeda dan lebih akurat serta menghasilkan kekerabatan yang lebih alami. Karakter markah molekuler berupa sekuen DNA pada tumbuhan dapat diambil dari genom nDNA, cpDNA, dan mtDNA. Sekuen DNA yang banyak digunakan pada tumbuhan ialah : mikrosatelit, ITS, gen rbcL, gapC, ndhF, matK, dan psaA. Gen rbcL secara khusus telah direkomendasikan sebagai DNA pada tumbuhan. Perkembangan markah molekuler memberikan implikasi berupa penambahan materi pada kuliah genetika yakni materi dasar bioinformatika dan filogenetik molekuler sebagai tool dalam analisis data molekuler. Lebih jauh lagi, bioinformatika dan filogenetika molekuler ini dapat direkomendasikan menjadi matakuliah pilihan.
Kata kunci : markah molekuler, sekuen DNA, kekerabatan tumbuhan, DNA barkode
Karakter morfologi yang berupa bentuk bunga, daun, batang, biji dan karakter fisiologi yang berupa kandungan fitokimia merupakan landasan utama identifikasi dan klasifikasi tumbuhan. Sistem taksonomi yang ada sekarang ini berdasarkan kemiripan morfologi dan fisiologi tersebut. Salah satu panduan
pengelompokan tumbuhan adalah Cronquist (1981) dalam Suparman (2011) yang mengklasifikasikan ribuan tumbuhan dalam sistem terintegrasi berdasarkan karakter morfologi. Backer dan Van Den Brink (1965) juga membukukan ratusan tamanan yang ada di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi.
60 Pengelompokan berdasarkan morfologi
pada tumbuhan masih memiliki banyak keterbatasan, contoh nyata pada klasifikasi Genus Mangifera terbaru yang dipublikasi oleh Kostermans Bompard mengindikasikan keraguan pengelompokan (Yonemori, dkk. 2002). Hal ini dapat dianalisis pada kelompok uncertain position untuk 11 spesies dari
Mangifera yang telah diidentifikasi.
Keterbatasan markah morfologi juga dapat terlihat pada pengelompokan tanaman Philantus niruri (Hidayat, dkk. 2008) yang karakter warna tumbuhannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Perkembangan biologi molekuler mulai berperan penting dalam perkembangan berbagai cabang Biologi, begitu juga peranan biologi molekuler dalam identifikasi dan pengelompokan kekerabatan tumbuhan. Semua proses kehidupan seperti perkembangan, fisiologi, dan reproduksi semua organisme dapat dilihat dengan pendekatan molekuler. Studi evolusi saat ini dipengaruhi oleh perkembangan Biologi molekuler, dan sebaliknya pendekatan evolusi juga digunakan untuk memahami dan mengembangkan Biologi molekuler (Nei dan Kumar, 2000).
Perkembangan kedua ilmu tersebut berpengaruh pada pendekatan filogenetik, sehingga kekerabatan antar organisme yang awalnya hanya berdasarkan data morfologi,
anatomi, fisiologi dan paleontologi tetapi sekarang berkembang teknik molekuler dalam rekonstruksi filogenetik. Hal ini juga untuk menjembatani adanya organisme kompleks yang sulit dibedakan hanya dengan data morfologi. Data molekuler tersebut seperti peta restriksi, hibridisasi DNA, sekuen protein dan sekuen DNA. Peneliti cenderung menggunakan sekuen DNA karena dianggap lebih mudah dibanding dengan informasi molekuler yang lain (Li dan Graur, 1991).
Latar belakang tersebut memicu penulis untuk memaparkan penggunaan markah molekuler berupa sekuen DNA yang spesifik dalam menganalisis kekerabatan dan identifikasi tumbuhan sebagai karakter alternatif yang menyediakan data lebih akurat serta implikasi dari perkembangan ilmu genetika molekuler ini terhadap matakuliah genetika.
MARKAH MOLEKULER SEBAGAI
SUATU PENANDA
Markah molekuler merupakan penanda yang berbasiskan asam amino, protein atau sekuen DNA sebagai bahan utama. Penggunaan sekuen DNA sebagai penanda baik dalam identifikasi maupun taksonomi telah lama digunakan karena lebih menunjukan sifat yang alami. Pada dasarnya prinsip penggunaan markah molekuler ini sama dengan sifat
61 morfologi, yakni untuk mengenali suatu
individu atau spesies. Pada suatu individu yang lengkap, penggunaan ciri dan tanda morfologi dapat langsung membantu ahli taksonomi. Keterbatasan sifat morfologi mulai terlihat pada saat keterbatasan sampel morfologi, misalnya tidak ditemukan secara lengkap karakter-karakter morfologi yang merupakan kunci identifikasi bagi suatu jenis. Karakter morfologi yang ditemukan secara lengkap namun beda usia juga akan mengalami masalah dalam identifikasi, hal ini disebabkan ada beberapa tanaman yang menghasilkan senyawa tertentu misalnya minyak atsiri pada saat dewasa sehingga pada saat masih muda tidak ditemukan.
Karakter morfologi berupa warna cendrung berbeda pada perlakuan lingkungan yang berbeda seperti pada kasus tanaman Phyllanthus niruri/meniran (Hidayat dkk, 2008). Pada sistem klasifikasi sebelumnya, meniran digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan karakter morfologi warna batang dan cabang, yaitu meniran merah, meniran kuning, dan meniran hijau, tetapi karakter warna batang ini cenderung mengecoh karena sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Penggunaan sifat morfologi dalam filogenetik dan taksonomi sering mengecoh karena bersifat tentatif. Objek-objek yang sedang dianalisis harus berada dalam kondisi
sama, berasal dari tempat yang berkondisi sama dan usia yang relatif sama. Objek penelitian dari spesies yang sama menghasilkan kesimpulan berbeda jika berasal dari usia yang berbeda, atau berasal dari tempat dengan kondisi lingkungan yang berbeda, atau pengambilan sampel beda usia. Analisis dari awetan kering juga sangat sulit untuk identifikasi, karena tidak cukup hanya membandingkan satu bagian saja, misalnya daun atau batang saja, tetapi dibutuhkan semua bagian tumbuhan. Penggunaan markah molekuler ternyata memudahkan dalam pengambilan sampel, karena dapat menggunakan sampel dari semua bagian tubuh tumbuhan dengan jumlah kuantitaif yang tidak banyak, hal ini karena DNA pada tubuh tumbuhan terdapat pada semua bagian manapun dengan pola yang sama.
Pengaruh lingkungan terhadap perubahan morfologi dan fisiologi yang tidak permanen memperlihatkan bahwa karakter luar yang dihasilkan oleh tumbuhan karena respon lingkungan tidak stabil. Hal ini mengecohkan identifkasi dan analisis kekerabatan tumbuhan bahkan pada makhkuk hidup secara umum. Markah molekuler dinilai lebih stabil sebagai penanda dan identifikasi serta dalam analisis taksonomi, Li dan Graur (1991), mengungkapkan bahwa DNA menyediakan karakter yang lebih berlimpah dibandingkan
62 morfologi dan fisiologi, serta lebih cepat,
praktis, dan efisien dalam pengerjaan.
Sekuen DNA memberikan banyak
character state karena perbedaan laju
perubahan basa-basa nukleotida di dalam lokus yang berbeda dan lebih akurat serta menghasilkan kekerabatan yang lebih alami. Sistematika molekuler dengan menggunakan markah molekuler pada tanaman telah digunakan secara luas sebagaimana pada organisme lain dalam determinasi hubungan filogenetik (Asahina, dkk. 2010). Pada sistematika Angiospermae pendekatan filogenetik dengan karakter molekuler telah digunakan dan efektif dalam mengelompokan takson yang belum terselesaikan dengan pendekatan fenetik (Reddy, 2009).
Penggunaan sekuen DNA juga dapat mengatasi kelemahan dari data morfologi yang diketahui memiliki keterbatasan karakter dan cenderung dipengaruhi lingkungan. Kelebihan penggunaan markah molekuler, pertama sekuen DNA memberikan data yang lebih akurat terhadap karakter-karakter yang ada (Hidayat 2008), kedua sekuen DNA menyediakan banyak character state karena perbedaan laju perubahan basa-basa nukleotida di dalam lokus yang berbeda adalah besar, ketiga sekuen DNA telah terbukti menghasilkan sebuah hubungan kekerabatan yang lebih alami. Karakter dari markah molekuler berupa sekuen DNA pada
tumbuhan dapat diambil dari Inti, kloroplas, dan mitokondria.
JENIS-JENIS MARKAH MOLEKULR
Banyaknya gen pada genom makhluk hidup menyebabkan kesulitan jika harus dianalisis secara keseluruhan untuk identifikasi dan analisis kekerabatan dari satu atau lebih tingkat takson makhkuk hidup. Langkah yang sedang dilakukan oleh para ahli molekuler ialah mencari suatu gen yang dapat mencirikan suatu jenis sekaligus membedakan antara satu jenis dengan jenis lainnya. Gen tersebut akan berfungsi sebagai suatu barkode sehingga lebih praktis dan efisien dalam identifikasi jenis tumbuhan dan analisis kekerabatan dari suatu genus.
Gen yang dijadikan markah molekuler pada makhkuk hidup harus gen yang lestari moderat “moderate conserved” dan memiliki variasi yang cukup pada tiap spesies, hal ini akan sangat bermanfaat dalam rekonstruksi filogenetik dan analisis pada level populasi. Perbedaan laju mutasi pada kingdom hewan, tumbuhan, protista dan jamur menyebabkan seleksi pengambilan gen penanda yang berbeda. Masing-masing gen penanda yang dapat diajadikan rujukan dalam identifikasi dan taksonomi pada tiap kingdom ditunjukan pada Tabel.1 berikut :
63 Tabel 1. Markah molekuler pada level spesies pada masing-masing kingdom (Hajibabaei, 2007)
Secara umum untuk kelompok hewan telah direkomendasikan COI, 16s-RNA, dan Cytb dalam identifikasi dan penggunaan dalam markah molekuler. Semua gen tersebut merupakan bagian dari genom mitokondria. COI, merupakan gen cytochrome c oxidase yang terdapat pada genom mitokondria, gen ini merupakan bagian dari subunit kompleks sitokrom oksidase yang merupakan bagian dari rantai transpor elektron. Beberapa penelitian menunjukan bahwa sekuen dari COI telah efektif dalam identifikasi, secara khusus dalam kelompok hewan lebih dari 95% berhasil dipisahkan dalam level sepesies pada hewan dengan menggunakan sekuen COI (Ratnasingham dan Hebert, 2007).
Sekuen nonkoding yang banyak digunakan sebagai markah molekuler ialah ITS, “Internal Transcribed Spacer” merupakan suatu daerah non fungsional RNA yang ada antara struktur rRNA pada prekursor transcript umum. ITS berukuran kecil kurang lebih 700 pasang basa dan memiliki salinan yang banyak pada genom
inti. Pada kelompok jamur, ITS memperlihatkan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan sekuen lain dan dierekomendasikan sebagai DNA barkode universal dalam semua kingdom fungi pada consortium barcode of life (CBOL). Sementara kelompok protista dapat juga menggunakan sekuen ITS.
Pada kelompok tumbuhan, beberapa gen telah banyak digunakan untuk analisis filogenetik dan identifikasi tumbuhan diantaranya mikrosatelit, ITS, gen rbcL, gapC, ndhF, matK, dan psaA (Suparman, 2011). Mikrosatelit adalah sekuen DNA sederhana terdiri dari dua sampai enam pasang basa berulang yang disebut pula dengan Simple
Sequence Repeat (SSRs). Penggunaan
mikrosatelit banyak pada penelitian eukariotik karena terdistribusi merata pada genom eukariotik. Markah ini bersifat kodominan dan dapat mendeteksi keragaman alel pada level tinggi.
Gen/sekuen Lokasi genomik Jumlah sekuen genomik
Hewan Tumbuhan Protista Jamur
CO1-barkod Mitokondria 19577 520 1931 410
16s-RNA Mitokondria 41381 221 2059 285
Cytb Mitokondria 88324 165 1920 1084
ITS1-rDNA Inti sel 12175 57693 68839 56675
ITS2-rDNA Inti sel 13923 58065 67332 56349
18S-Rdna Inti sel 21063 17121 32290 33327
64 Gambar 1. Ilustrasi posisi, arah dan panjang basa gen rbcL pada genom kloroplas,
berdasarkan Judd, dkk. (2002) ; Yoshinaga, dkk. (1996).
Salah satu markah molekuler yang banyak digunakan dalam filogenetik tumbuhan yakni rbcL. Gen rbcL tanaman merupakan pengkode sub unit besar enzim riboluse-1,5-bisphosphate carboxylse (RubisCo) yang berada di genom kloroplas (Judd dkk, 2001) dan merupakan gen yang universal pada hampir semua tanaman, sehingga penggunaanya akan efektif mengenali keragaman dalam semua tanaman. Penggunaan markah gen rbcL pada analisis filogenetik diantara spesies dalam satu genus telah dilakukan, seperti pada genus Zygophyllum dari famili Zygophyllaceae (Bellstedt dkk, 2008) dan genus Caragana dari famili Leguminoseae. Gen rbcL merupakan gen pengkode salah satu enzim fotosintesis yakni large subunit
Ribulosa-1,5-bisphosphate carboxylase
(RuBisCo) atau RUBP karboksilase (Judd, dkk. 2002; Lane, 1984) yang berperan pada tahap awal siklus Calvin dari fotosintesis, selain fungsi utamanya dalam menghasilkan RuBisCo, rbcL telah umum digunakan untuk menyediakan sekuen data dalam analisis
filogenetik tumbuhan (Chase, dkk. 1993; Judd, dkk. 2002). Penggunaan gen rbcL dalam filogenetik tumbuhan karena gen ini dimiliki oleh semua spesies tumbuhan kecuali tumbuhan parasit, bahkan ditemukan pula pada sejenis flagelata (La Du, dkk,.2002), jika dilihat dari protein yang dihasilkan maka gen rbcL mudah dideteksi. Hal ini karena RuBisCo yang dihasilkan oleh gen rbcL sangat melimpah dalam sel tumbuhan yakni sampai 15% dari total protein tumbuhan (Lane, 1984), dan melebihi 50% dari total protein dalam kloroplas (Alberts, dkk. 2002). Gen yang terdapat pada genom kloroplas tumbuhan ini memiliki panjang basa nukleotida sekitar 1428 base pair (2006; Judd, dkk. 2002).
Efektivitas penggunaan gen rcbL dalam filogenetik pada tumbuhan bunga telah memperlihatkan hubungan kekerabatan evolusi diantara kelompok organisme (taxon) yang diteliti, selain itu gen rbcL juga merupakan gen yang sangat lestari pada hampir semua Angiospermae (Stefanovic dan Olmstead,
65 2005). Consortium Barcode Of Life (CBOL)
pada kelompok kerja bidang tanaman juga merekomendasikan penggunaan rbcL sebagai barcode salah satu penanda pada identifikasi tumbuhan secara umum yang dikombinasikan bersama dengan gen matK (CBOL, 2009), hal ini berdasarkan eksistensi, efektifitas dan kelestarian laju mutasi kedua gen tersebut pada hampir semua spesies tumbuhan. DNA barcode ini, pada bidang sistematika dapat digunakan dalam mengidentifikasi spesies tumbuhan, juga berguna dalam analisis filogentik dan analisis populasi (Hajibabaei dkk, 2007), rekomendasi ini memperkuat alasan penggunaan rbcL dalam analisis filogenetik dan kekerabatan tanaman dalam satu genus.
Penggunaan gen rbcL pada penelitian filogenetik menunjukan pola filogenetik yang tidak bertentangan dengan sistematika tumbuhan berdasarkan karakter morfologi dalam sistem Cronquist, misalnya analisis pada Caryophyllidae menghasilkan pohon yang yang bersifat monofiletik, begitu juga Apocynaceae, Apiaceae, dan Brassicaseae (Judd, 2002). Kelajuan mutasi rbcL yang lebih lambat dari gen-gen kloroplas lainnya, memungkinkan rbcL masih membawa informasi gen nenek moyang lebih. Barraclough (1996) mengemukakan terdapat korelasi positif antara kelajuan evolusi sequen gen rbcL dengan diversifikasi spesies pada Angiospermae.
Lambatnya laju mutasi pada gen rbcL ini kemungkinan berkaitan dengan fungsinya yang sangat esensial bagi tumbuhan sebagai pengkode enzim rubisko. Pada beberapa spesies tumbuhan, perkiraan lokasi gen rbcl dalam genom dapat diketahui degnan melihat peta genom kloroplas yang telah ada, misalnya pada tanaman Jagung, Kentang dan Tomat, serta 87 spesies lainnya yang telah diidentifikasi (Ravi, dkk. 2008), berdasarkan peta kloroplas tersebut dapat digambarkan posisi gen rbcL dari gen-gen lainnya pada kloroplas.
BIOINFORMATIKA DAN FILOGENETIK MOLEKULER
Penggunaan markah molekuler dalam identifikasi, analisis kekerabatan dan taksonom tumbuhan tidak lepas dari ilmu bioinformatika yang merupakan perangkat pembantu dari tahap awal sampai akhir dari pengolahan pengolahan data molekuler. Bioinformatika merupakan ilmu interdisiplin yang menghubungkan ilmu komputer dan biologi, atau gabungan dari biologi dan informatik yang mengembangkan teknologi menggunakan komputer untuk menyimpan, mengambil, memanipulasi dan mendistribusikan data yang berhubungan dengan makromolekuler biologi seperti DNA, RNA, dan protein. Bioinformatika terbatas pada sekuen, struktur
66 Gambar 2. Proses amplifikasi DNA/gen target (a) DNA awal yang mengalami denaturasi, yakni pemisahan DNA dengan pasangannya. (b) Anealling proses menempelnya primer dengan gen target. (c) ekstensi, proses pemanjangan gen target yang telah ditempeli primer dan tahap akhir dari siklus pertama PCR. (Newton & graham, 1995).
dan analisis fungsi gen dan genom, serta produknya (Xiong, 2006).
Penggunaan markah molekuler setelah diketahui gen target yang akan digunakan untuk identifikasi maka hal yang pertama dilakukan ialah desain primer dengan perangkat bioinformatika. Desain primer biasanya dilakukan setelah mengetahui sekuen DNA yang lestari dengan cara mensejajarkan beberapa sekuen gen yang sama dari jenis yang berbeda. Primer ini berfungsi sebagai penginisiasi dalam mengisolasi gen target dalam proses PCR. DNA genom yang telah diisiolasi selanjtunya di PCR untuk mengamplifikasi gen target. Proses PCR ini menggunakan prinsip denaturasi, anealling dan elongasi DNA target.
Hasil PCR gen dilakukan elektroforesis dan dilihat dibawah sinar ultraviolet, untuk lebih akurat dapat dilakukan proses sekuensing yakni pembacaan sekuen DNA dengan menggunakan dDNTp sehingga didapatkan huruf-huruf yang mencerminkan basa-basa nitrogen yang ada pada sekuen DNA tersebut. Hasil sekuensing dapat dianalisis dengan fungsi BLAST pada genebank, yakni membandingkan sekuen gen dengan gen yang telah ada di genebank. Langkah selanjutnya dapat dilakukan analisis bioinformatika tingkat lanjut baik filogenentik molekuler maupun identifikasi open reading frame (orf).
Proses isolasi DNA, yang diawali dengan desain primer gen untuk isolasi serta analisis filogenetik molekuler dan beberapa analisis bioinformatika merupakan materi genetika
67 molekuler yang belum diaajarkan di prodi
Pendidikan Biologi Universitas Khairun, materi ini sudah mulai dikenalkan pada matakuliah genetika lanjut. Lebih khusus akan di rekomendasikan pada matakuliah tersendiri pada pilihan bioinformatika, filogenetik molekuler, dan rekayasa genetik.
Kesimpulan
Penggunaan markah molekuler telah memberikan paradigma baru yang berguna dalam identifikasi tumbuhan, analisis filogenetik, dan analisis taksonomi tumbuhan karena tidak dipengaruhi langsung oleh lingkungan. Sekuen gen rbcL telah direkomendasikan oleh barcode of life sebagai DNA barkode pada tumbuhan. Secara khusus perkembangan markah molekuler berimplikasi pada penambahan materi perkuliahan genetika lanjut di prodi Pendidikan Biologi Unkhair serta rekomendasi penambahan matakuliah pilihan bioinformatika, filogenetik molekuler, dan rekayasa genetik.
REFERENSI
Asahina, H., Shinozaki, J., Masuda, K., Morimitsu, Y., dan Satake, M. (2010) : Identification of medicinal Dendrobium species by phylogenetic analyses using matK and rbcL sequences. The Japanese Society of Pharmacognosy and Springer. J Nat Med 64:133–138.
Backer, C.A. dan Van Den Brink, R.C.B. (1965) : Flora of Java (Spermatophytes
only) Vol. II, Angiospermae, Families 111-160. N.V.P Nordhoff, Groningen, Netherland.
Bellstedt, D.U., van Zyl, L., Marais, E.M., Bytebier, B., de Villiers, C.A., Makwarela, A.M., dan Dreyer, L.L. (2008) : Phylogenetic relationships, character evolution and biogeography of Southern African members of Zygophyllum (Zygophyllaceae) based on three plastid regions. Molecular Phylogenetics and Evolution 47 : 932– 949. Elsevier Inc
Ga Hun Boo, Kyung Min Lee, et al., 2009, Classification of the Genus Ishige (Ishigeales, Phaeophyceae) in the North Pacific Ocean with Recognition of Ishige Foliacea Based on Plastid rbcL and Mitochondrial Cox3 Gene Sequences1, J.
Phycol 45: 906–913, Phycological
Society of America
Hajibabaei, M, Singer, G.A.C, Hebert, P.D.N, and Hickey, D.A. (2007). DNA barcoding: how it complements taxonomy, molecular phylogenetics and population genetics. TRENDS in Genetics Vol.xxx No.x: 1-6
Hidayat, et al., 2008, Analisis Filogenetik Molekuler pada Phylantus niruri L (Euphorbiaceae), Jurnal Matematika dan Sains Vol. 13 No 1.
Judd, W.S., Campbel, C.S., Kellog, E. A., Stevens, P. F., dan Donoghue, M. J. (2002) : Plant Systematics : Phylogenetic
Approach, 2nd edition. Sinauer
Associates, Inc. Publisher, Sunderland, Massachusets-USA.
Lane, A. (1984) : The Penguin Dictionary of Botany. Penguin Book, Market House Books Ltd.
68 Li, W., dan Graur, D. (1991) : Fundamental of
Molecular Evolution. Sinauer Associates, Inc.
Li, Xiaoxian and Zhou, Zhekun, 2008, Phylogenetic studies of the core Alismatales inferred from morphology and rbcL sequences, Progress in natural Science 19: 931-945, Elsevier limited and Science in China Press.
Maistro, Silvia, et al., 2007, Moleclular Phylogeny and Evolution Of The Order Tribonematales (Heterokonta, Xanthophyceae) Based On Analysis Of Plastidial Genes rbcL and psaA, Molecular Phylogeny and Evolultion 43: 407-417, Elsevier Inc.
Nei, M., dan Kumar, S. (2000) : Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press.
Newton, C.R, Graham, A., (1995) : PCR, Intoduction to Biotechniques. Bios Scientific Publisher ltd.
Ratnasingham, S., Hebert, P.D., 2007. The Barcode of Life Data System. Molecular ecology Notes.
Reddy, B.U. (2009) : Molecular phylogeny of Angiospermic plant families using rbcL gene Sequences. International Journal of Bioinformatics Research, 1(2) : pp-27-36. Roche, 2009. PCR Applications Manual 3rd .
www.rochwe-applied-science.com. Dikses 2009
Roderic, D.M. (2001) : Tree View Win 32. http://taxonomy.zoology.gla.ac.uk/
rod/rodhtml diakses tgl : 20 Februari 2009.
Roy S, Tyagi A, Shukla V, Kumar A, Singh UM, dkk. (2009) : Universal Plant DNA
Barcode Loci May Not Work in Complex Groups: A Case Study with Indian Berberis Species. PLoS ONE 5(10): e13674.
doi:10.1371/journal.pone.0013674
Suparman. 2011. Analisis filogenetik Genus Mangifera Menggunakan Gen rbcL DNA Kloroplas. (Tesis S2 tidak diterbitkan). SITH-ITB. Bandung
Xiong, J. 2006. Essential Bioinformatics. Cambridge University Press: New York. Yonemori, K., Honso, C., Kanzaki, S.,
Wiadthong, W., dan Sugiura, A. (2002) : Phylogentic relathionship of mangifera species revealed by ITS sequences of nuclear ribosomal DNA and a possibility of their hybrid origin. Plant Syst. Evol. 231: 59-75.
Yoshinaga, K., Iinuma,H., Masuzawa, T., dan Uedal, K. (1996) : Extensive RNA editing of U to C in addition to C to U substitution in the rbcL transcripts of hornwort chloroplasts and the origin of RNA editing in green plants. Nucleic Acids Research, 24, No. 6. Oxford University Press
Zhang, M., Fritsch, P.W., dan Cruz, B.C. (2009) : Phylogeny of Caragana (Fabaceae) based on DNA sequence data from rbcL, trnS–trnG, and ITS. Journal Molecular Phylogenetics and Evolution 50: 547–559.