• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Indonesia

Negara Indonesia terletak di Sebelah tenggara Asia, di Kepulauan Melayu, diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Koordinat geografisnya adalah 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°BT. Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki 5 buah pulau besar yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Indonesia memiliki luas daratannya mencapai 1.919.44 km², luas laut 3.257.357 km². Jumlah wilayah lautan dan daratan adalah 5.176.800 km². Di Indonesia terdapat 33 propinsi yang meliputi 456 kabupaten /kota. Namun, dalam penelitian Riskesdas, jumlah kabupaten/kota yang diikutsertakan dalam penelitian berjumlah 440 kabupaten/kota.

Karakteristik Anak

Usia anak yang diteliti dalam penelitian ini berada dalam rentang 24-59 bulan. Populasi anak dalam penelitian ini berjumlah 42062 orang. Sebagian besar anak, baik yang berada dalam keadaan stunting maupun normal berada dalam rentang usia 24 - 35 bulan, yaitu masing-masing 19,7% dan 24,4%. Semakin besar usia anak, jumlahnya semakin kecil. Sebaran usia dan jenis kelamin anak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia

Variabel Stunting Normal

n % n % Usia 24-35 bulan 8285 19,7 10260 24,4 36-47 bulan 7070 16,8 7669 18,2 48-60 bulan 4281 10,2 4497 10,7 Jenis Kelamin Laki-laki 10334 24,6 11230 26,7 Perempuan 9302 22,1 11196 26,6

(2)

32 Jumlah anak yang berjenis kelamin laki-laki tidak jauh berbeda dengan jumlah anak yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan uji korelasi Chi

Square, terdapat hubungan antara jenis kelamin anak dengan status gizi

(p<0.01). Anak laki-laki lebih banyak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan. Penelitian ini menguatkan hasil penelitian Adeladza (2009) yang menyatakan bahwa pada umumnya status gizi anak laki-laki lebih rendah daripada anak perempuan pada usia yang sama. Jus’at (1991) menambahkan anak laki-laki memiliki status gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan anak laki-laki cenderung lebih aktif dalam beraktivitas dibandingkan dengan anak perempuan.

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga terdiri dari tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, status ekonomi, pendidikan ayah dan ibu serta pekerjaan ayah dan ibu. Adapun, sebaran karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan tempat tinggalnya, anak yang tinggal di desa lebih banyak jumlahnya daripada yang tinggal di kota baik anak dengan kategori stunting maupun normal. Sebesar 59,6% anak dengan kategori status gizi menurut TB/U normal tingga l di kota. Pengkategorian desa dan kota didasarkan pengkategorian BPS melalui perhitungan skor terhadap tiga variabel potensi desa yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses terhadap fasilitas umum.

Jumlah anggota keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga disebut besar, bila berjumlah ≥ 7 orang, disebut sedang, bila berjumlah 5-6 orang dan kecil bila berjumlah ≤ 4 orang. Sebanyak 49,9% kelompok anak stunting memiliki keluarga dengan anggota keluarga besar. Pada kelompok anak dengan status gizi menurut TB/U normal sebagian besar memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil, yaitu sebesar 54,4%. Rata – rata jumlah anggota keluarga pada kelompok

(3)

33 Sementara itu, rata -rata jumlah anggota keluarga pada kelompok anak normal berjumlah 4,7± 1,4 dengan nilai minumun 3 dan nilai maksimum 16.

Keluarga dengan status ekonomi miskin jumlahnya lebih banyak baik pada kelomok anak stunting maupun normal. Keadaan sosial ekonomi rumah tangga menentukan status gizi anggota rumah tangga tersebut terutama anak balita (Riyadi et al. 2006). Berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.23). Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar lebih banyak yang mempunyai status ekonomi miskin. Hal tersebut dikarenakan keluarga dengan status ekonomi miskin mempunyai pengeluaran keluarga yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan status ekonomi tidak miskin. Menurut Sanjur (1982) besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga, pengeluaran keluarga pun akan semakin besar.

Dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan melalui tiga cara, yaitu menyebabkan hilangnya produktivitas, menurunkan kemampuan kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan dan dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena dapat meningkatkan pengeluaran untuk berobat (RANPG 2007).

Proporsi terbanyak pendidikan kepala keluarga atau ayah adalah pendidikan dasar baik pada kelompok stunting maupun normal yaitu masing-masing 49,6% dan 50,4%. Pendidikan dasar meliputi pendidikan hingga tingkat SLTP. Namun, masih terdapat kepala keluarga yang tidak pernah bersekolah. Hanya sebagian kecil kepala keluarga yang menempuh pendidikan tinggi. Pendidikan kepala rumah tangga berhubungan pula dengan tempat tinggal (p<0.01, r=0.31). Artinya, kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah sebagian besar bertempat tinggal di desa. Selain itu, pendidikan kepala keluarga pun berhubungan dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.26). Keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan rendah lebih banyak yang memiliki status

(4)

34 ekonomi miskin. Seperti halnya dengan pendidikan kepala rumah tangga, proporsi tingkat pendidikan ibu pun sebagian besar adalah pendidikan dasar. Terdapat pula sebagian kecil ibu yang menempuh hingga jenjang pendidikan tinggi, walaupun masih terdapat sebagian kecil ibu yang tidak pernah bersekolah pada kedua kelompok. Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga Variabel Status Gizi menurut TB/U

Stunting Normal Total

n % n % n %

Tempat Tinggal

Desa 13776 50,0 13786 50,0 27562 100

Kota 5860 40,4 8640 59,6 14500 100

Jumlah anggota rumah Tangga

Besar 2642 49,9 2654 50,1 5296 100 Sedang 7421 47,0 8352 53,0 15773 100 Kecil 9573 45,6 11420 54,4 20993 100 Status Ekonomi Miskin 11192 49,9 11238 50,1 22430 100 Tidak miskin 8444 43,0 11188 57,0 19632 100 Pendidikan Ibu Tidak sekolah 827 50,9 799 49,1 1626 100 Dasar 13963 49,6 14213 50,4 28176 100 Menengah 4016 40,9 5815 59,1 9831 100 Tinggi 830 34,2 1599 65,8 2429 100

Pendidikan kepala keluarga

Tidak sekolah 762 49,8 769 50,2 1531 100 Dasar 12923 49,6 13136 50,4 26059 100 Menengah 4810 42,3 6569 57,7 11379 100

Tinggi 1141 36,9 1952 63,1 3093 100

Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Tidak bekerja 443 47,8 484 52,2 927 100 Bekerja 19193 46,7 21942 53,3 41135 100 Pekerjaan ibu

Tidak bekerja 12502 46,5 14408 53,5 26910 100 Bekerja 7134 47,1 8018 52,9 15152 100

Baik pada kelompok stunting maupu n normal, sebagian besar kepala keluarga mempunyai pekerjaan. Namun, masih terdapat kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan yaitu sebesar 47,8% pada kelompok stunting dan

(5)

35 52,2% pada kelompok normal.. Ibu yang tidak bekerja berjumlah 46,5% pada kelompok stunting pada kelompok normal berjumlah 53,5%. Salah satu faktor yang mendorong wanita turut bekerja adalah keadaan ekonomi. Hal ini dapat terjadi akibat jumlah tanggungan keluarga yang semakin besar (Aritonang & Priharsiwi, 2005).

Sebagian besar orang tua, baik yang memiliki anak dengan status gizi

stunting maupun tidak bekerja sebagai petani. Rumah tangga petani merupakan

rumah tangga dengan pekerjaan utama anggotanya sebagai petani dan umumnya hidup dan tinggal di pedesaan (Suhanda et al 2009). Sebaran jenis pekerjaan kepala keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis pekerjaan ayah

Jenis Pekerjaan stunting normal Total

n % n % n % Tidak bekerja 443 47,8 484 52,2 927 100 Tni/polri 138 32,9 282 67,1 420 100 Pns 932 39,1 1453 60,9 2385 100 Pegawai BUMN 155 42,7 208 57,3 363 100 Pegawai swasta 1379 37,0 2346 63,0 3725 100 Wiraswasta 3359 42,7 4502 57,3 7861 100 Pelayanan jasa 747 45,4 900 54,6 1647 100 Petani 8382 51,7 7817 48,3 16199 100 Nelayan 854 50,3 845 49,7 1699 100 Buruh 2526 47,7 2770 52,3 5296 100 Lainnya 721 46,8 819 53,2 1540 100

Menurut Zakiah (1998) status pekerjaan orang tua dapat mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Bila dihubungkan dengan status gizi anak menurut TB/U, antara pekerjaan ibu dengan status gizi tidak terdapat hubungan yang nyata (P>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan ibu yang bekerja kemungkinan menitipkan anak pada pengasuhnya, seperti adik/kakak orang tua, nenek, atau anggota keluarga lainnya. Selain itu, berdasarkan uji korelasi Spearman pendidikan ibu berhubungan dengan pekerjaan ibu namun arahnya negatif (p<0.05, r= -0.4). Ibu yang tidak bekerja memiliki pendidikan

(6)

36 yang rendah. Rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan pengetahuan ibu akan gizi terbatas. Seperti halnya dengan jenis pekerjaan ayah, jenis pekerjaan ibu pada ibu yang bekerja adalah petani. Sebaran jenis pekerjaan ibu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran jenis pekerjaan ibu

Jenis Pekerjaan stunting normal Total

n % n % n % Tidak bekerja 12502 46,5 14408 53,5 26910 100 Tni/polri 25 43,1 33 56,9 58 100 Pns 517 35,8 926 64,2 1443 100 Pegawai BUMN 23 32,4 48 67,6 71 100 Pegawai swasta 311 34,1 602 65,9 913 100 Wiraswasta 1248 42,2 1711 57,8 2959 100 Pelayanan jasa 121 43,8 155 56,2 276 100 Petani 4140 52,5 3742 47,5 7882 100 Nelayan 38 52,1 35 47,9 73 100 Buruh 501 46,5 577 53,5 1078 100 Lainnya 210 52,6 189 47,4 399 100

Status Gizi menurut TB/U

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa di Inonesia propinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Maluku (59.2%), Nusa Tenggara Timur (56.9%) dan Nusa Tenggara Barat (54.4%). Sedangkan propinsi dengan prevalensi stunting terendah adalah Daerah Istimewa Yogjakarta (29.2%), DKI Jakarta (30.3%) dan Jawa Barat (34.1%).

Prevalensi nasional stunting adalah 36.8%. Namun, dalam penelitian ini, prevalensi stunting lebih besar, yaitu sebesar 46.7%. Hal ini disebabkan usia anak yang digunakan adalah 24 - 59 bulan. Menurut Ramli (2009) prevalensi stunting tertinggi berada dalam rentang usia 24 - 59 bulan. Selain itu, terdapat pula adanya kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu usia 24-59 bulan, memiliki hubungan kandung dengan orang tua dan kelengkapan data. Setiap propinsi mempunyai jumlah sampel anak yang berbeda-beda.

(7)

37 Tabel 6 Sebaran prevalensi stunting

Propinsi Persentase status gizi TB/U Persentase status gizi TB/U berdasarkan Riskesdas 2007* dalam penelitian ini **

stunting normal stunting normal

NAD 44,6 55,4 56,2 43,8 Sumatra Utara 43,1 56,9 52,0 48,0 Sumatra Barat 36,5 63,5 45,4 54,6 Riau 33,0 67,0 35,4 64,6 Jambi 36,4 63,6 45,1 54,9 Sumatra Selatan 44,7 55,3 50,1 49,9 Bengkulu 36,0 64,0 46,3 53,7 Lampung 38,7 61,3 47,6 52,4 Bangka Belitung 35,5 64,5 41,6 58,4 Kepulauan Riau 26,2 73,8 41,5 58,5 DKI Jakarta 26,7 73,3 30,3 69,7 Jawa Barat 35,5 64,5 43,1 56,9 Jawa Tengah 36,5 63,5 44,8 55,2 DI Yogjakarta 27,6 72,4 29,2 70,8 Jawa Timur 34,8 65,2 41,4 58,6 Banten 39,0 61,0 45,2 54,8 Bali 31,0 69,0 37,5 62,5

Nusa Tenggara Barat 43,7 56,3 54,4 45,6

Nusa Tenggara Timur 46,8 53,2 56,9 43,1

Kalimantan Barat 39,3 60,7 46,7 53,3 Kalimantan Tengah 42,7 57,3 49,7 50,3 Kalimantan Selatan 41,8 58,2 48,9 51,1 Kalimantan Timur 35,2 64,8 41,4 58,6 Sulawesi Utara*** 31,2 68,8 39,0 60,5 Sulawesi Tengah 40,4 59,6 45,2 54,8 Sulawesi Selatan 29,1 70,9 47,3 52,7 Sulawesi Tenggara 40,5 59,5 47,1 52,9 Gorontalo 39,9 60,1 44,9 55,1 Sulawesi Barat 44,5 55,5 48,9 51,1 Maluku 45,8 54,2 59,2 40,8 Maluku Utara 40,2 59,8 41,5 58,5 Papua Barat 39,4 60,6 48,1 51,9 Papua 37,7 62,3 47,4 52,6 Total 36,8 63,2 46,7 53,4

*)Data prevalensi stunting Riskesdas berusia 0 - 59 bulan

**) Data prevalensi stunting dalam penelitian ini berusia 24-59 bulan

***) Data Propinsi Sulawesi Utara tidak diikutsertakan dalam pengolahan selanjutnya. Dengan demikian, jumlah keseluruhan sampel adalah 42062.

(8)

38 Masalah stunting perlu mendapatkan perhatian serius. Stunting menunjukkan pertumbuhan linear yang buruk sebagai akibat buruknya gizi dan kesehatan dalam waktu yang cukup lama, baik masa prenatal maupun postnatal.

Stunting pada masa balita berhubungan dengan penurunan tingkat kecerdasan,

perkembangan psikomotor, keterampilan, motorik halus dan integrasi sensori. (Adair & Guilkey 1997)

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa anak dengan status gizi normal menurut TB/U berjumlah 53.3% atau berjumlah 22426 anak. Sementara anak dengan dengan z-score yang lebih rendah dengan -2 atau stunting berjumlah 46.7% atau berjumlah 19636 anak. Sebaran status gizi menurut TB/U dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan status gizi menurut TB/U

Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi merupakan faktor langsung terjadinya masalah gizi. Seorang anak dinyatakan mengidap penyakit infeksi jika mengalami 1 atau lebih penyakit infeksi, baik didiagnosis oleh tenaga kesehatan atau bila responden pernah atau sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut.

Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa jumlah anak yang mengidap penyakit infeksi baik pada kelompok stunting dan normal jumlahnya tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 50,5% yang mengidap penyakit infeksi dan 49,5% yang tidak mengidap penyakit. Menurut Satoto (1990) Masalah penyakit infeksi berkaitan dengan perilaku hidup tidak sehat, kesehatan

(9)

39 lingkungan yang tidak baik, pendidikan rendah dan kemiskinan. Usaha pencegahan infeksi sangat utama dan penting untuk kesehatan dan status gizi terutama balita

Gambar 3 Sebaran anak berdasarkan penyakit infeksi

Jenis penyakit infeksi yang dilihat dalam penelitian ini adalah ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), pneumonia, thypoid, malaria, diare, campak, TBC dan deman berdarah. Penyakit deman berdarah dan malaria ditularkan melalui vektor. Penyakit ISPA, pneumonia dan campak ditularkan melalui udara atau percikan air liur. Penyakit tifoid dan diare ditularkan melalui makanan atau air. Sebaran jenis penyakit infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi

Jenis Penyakit Status Gizi Total

stunting normal n % n % n % Tidak sakit 9522 45,7 11310 54,3 20832 100 ISPA 8318 47,3 9250 52,7 17568 100 Pneumonia 666 53,4 582 46,6 1248 100 Thypoid 345 47,2 386 52,8 731 100 Malaria 634 50,8 615 49,2 1249 100 Diare 3242 50,4 3194 49,6 6436 100 Campak 719 52,0 664 48,0 1383 100 TB paru 136 48,1 147 51,9 283 100 Demam berdarah 84 40,4 124 59,6 208 100

(10)

40 Jenis penyakit infeksi yang terbanyak di alami responden adalah ISPA, yaitu sebesar 47,3% pada kelompok stunting dan 52,7% pada kelompok normal Seorang anak dapat mengidap lebih dari satu jenis penyakit infeksi. Penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA terutama pada balita (Yusup dan Sulistyorini 2005).

Selain ISPA, jenis penyakit yang jumlahnya cukup tinggi pada anak adalah diare. Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi lebih dari biasanya, 3 kali atau lebih dalam 1 hari. Diare juga didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang buang air besarnya ditandai dengan tinja berbentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua (Anonymous 2007). Pada penelitian di Brazil (2005), diare merupakan salah satu penyebab utama rendahnya pertumbuhan pada anak dibawah usia 5 tahun (Assis et al 2005)

Perilaku Higienis

Perilaku higienis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku higienis ibu. Hubungan ibu dan anak merupakan interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak. Anak balita belum mampu merawat dirinya sendiri. Mereka sangat membutuhkan bantuan orang disekitarnya, terutama ibu. Perilaku higienis ibu berupa kebiasaan mencuci tangan yang baik sangat dibutuhkan oleh anak. Perilaku higienis mencuci tangan pada ibu balita dibagi menjadi dua kategori yaitu mencuci tangan yang baik dan kurang. Mencuci tangan dikatakan baik jika seseorang mencuci tangan dengan sabun setiap akan melakukan kegiatan sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar/setelah menceboki bayi, dan setelah memegang binatang (Depkes 2008).

Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman

(11)

41 penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan menjadi harum baunya (Adytama 2009). Sebagian besar ibu (71%), baik yang memiliki anak stunting maupun normal mempunyai perilaku higienis kurang. Sisanya (29%) ibu berperilaku higienis baik.

Gambar 4 Sebaran Anak berdasarkan perilaku higienis ibu

Sebaran jenis perilaku higienis ibu dapat dilihat pada Gambar 4. Secara keseluruhan dapat dilihat, bahwa ibu yang melakukan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar dan setelah pegang binatang pada anak dengan status gizi normal jumlahnya lebih banyak dari ibu pada kelompok anak stunting.

(12)

42 Sanitasi Lingkungan

Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar (75%) lingkungan anak baik paada kelompok stunting maupun normal berada dalam kategori sanitasi lingkungan sedang. Hanya sebagian kecil (7%) responden berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik.

Gambar 6 Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan

Rincian praktik sanitasi lingkungan responden dapat dilihat pada Tabel 8. Menurut Satoto (1990) sanitasi lingkungan mempengarui tumbuh kembang anak melalui penurunan kerawanan anak terhadap penyakit infeksi. Sanitasi yang baik cenderung meningkatkan rasa aman ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan

Penilaian sanitasi lingkungan pada penelitian ini diantaranya dilihat dari akses ke sumber air, kualitas fisik air yang diminum, pengolahan air sebelum diminum, penanganan limbah rumah tangga dan kepemilikan tempat sampah. Persediaan air bersih (PAB), jamban, tempat sampah dan pengelolaan air limbah (PAL) dikategorikan sebagai sarana sanitasi dasar yang sebaiknya dimiliki oleh keluarga (Yusup & Sulistyorini 2005).

Jumlah pemakaian air bersih rumah tangga per kapita sangat terkait dengan risiko kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan higiene. Menurut WHO (2010) batasan minimal akses untuk konsumsi air bersih adalah 20 liter/orang/hari dan sarana sumber air berada dalam radius 1 kilometer dari

(13)

43 rumah. Sebesar 50,3% anak dengan kondisi stunting menggunakan air kurang dari 20 liter dalam sehari. Sebesar 53,5% responden memperoleh air dalam jarak kurang dari 1 km dan memperoleh air dalam waktu kurang dari 30 menit. Menurut Permanasari, Luciasari dan Purwanto (2010) air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan.

Sebagian besar keluarga, baik yang memiliki anak dengan kondisi

stunting maupun normal telah menggunakan jamban sebagai tempat buang air

besar. Tujuan dari penyediaan sarana pembuangan kotoran manusia (jamban) adalah untuk mencegah adanya kontaminasi kotoran manusia dengan sumber air,

Oleh karena itu, ketersediaan air dapat menurunkan water borne

disease.

Kualitas fisik air dinyatakan baik bila air tersebut tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan tidak berbusa (Depkes 2008). Fasilitas air bersih diperlukan manusia untuk minum, memasak, mandi, mencuci, membersihkan peralatan dan lain-lain. Menurut Marchant et al (2003) anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi dan kualitas air yang lebih buruk mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan yang mempunyai sanitasi yang baik.

Jika dilihat dari tempat penampungan air limbah rumah tangga, sebagian besar tanpa penampungan baik yang berasal dari kelompok stunting maupun normal. Sebanyak 60,9% rumah tangga pada kelompok anak normal memiliki saluran tertutup sebagai saluran pembuangan limbah. Air limbah terdiri dari kotoran manusia, kotoran dari dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Menurut Dainur (1992) dalam Mariani (2003) air limbah rumah tangga banyak mengandung bahan-bahan organik sehingga merupakan media bagi agen penyakit dan bila mencemari air bersih akan merupakan sumber penyakit yang disebarkan melalui air (water borne disease). Air buangan dari kamar mandi, tempat cuci dan lain sebagainya harus dibuang sebelum masuk ke saluran pembuangan di pemukiman, sehingga air buangan tersebut tidak mengotori permukaan tanah disekitar rumah.

(14)

44 makanan, perabot rumah tangga, sarana rekreasi dan lain sebagainya. (Marchant 2003). Menurut WHO 1987 dalam Astari 2006 orang yang terkena diare, kolera dan infeksi cacing biasanya disebabkan oleh kuman yang berasal dari tinja.

Sebagian besar responden tidak memiliki tempat sampah baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Tempat sampah harus terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak rusak dan tertutup rapat. Untuk penyimpanan sampah diperlukan tempat sampah di tiap rumah (Sukarni 1989).

Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan variabel sanitasi lingkungan

Variabel Status Gizi menurut TB/U

Stunting Normal Total

n % n % n %

1

Jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah

tangga/orang/hari

a. < 20 liter 4551 50.3 4489 49.7 9040 100 b. > 20 liter 15085 45.7 17937 54.3 33022 100 2 Jarak yang dibutuhkan untuk memperoleh air

a. > 1 km 761 50.3 753 49.7 1514 100 b. < 1 km 18875 46.5 21673 53.5 40548 100 3 Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air

a. > 30 menit 459 54.8 378 45.2 837 100 b. < 30 menit 19177 46.5 22048 53.5 41225 100 4 Pencemaran dalam radius < 10 meter

(air limbah/cubluk/tangki septic/sampah)

a. Terdapat 15177 46.5 17471 53.5 32648 100 b. Tidak terdapat 4459 47.4 4955 52.6 9414 100 5 Kemudahan untuk memperoleh air sepanjang tahun

a. Sulit sepanjang tahun 322 49.2 332 50.8 654 100 b. Sulit pada musim kemarau 5526 48.1 5961 51.9 11487 100 c. Mudah sepanjang tahun 13788 46.1 16133 53.9 29921 100 6 Kualitas fisik air minum

a. Keruh 2043 48.8 2141 51.2 4184 100 b. Tidak Keruh 17593 46.4 20285 53.6 37878 100 a. Berwarna 1507 48.8 1582 51.2 3089 100 b. Tidak berwarna 18129 46.5 20844 53.5 38973 100 a. Berasa 1041 46.8 1182 53.2 2223 100 b. Tidak berasa 18595 46.7 21244 53.3 39839 100 a. Berbusa 241 46.3 279 53.7 520 100 b. Tidak berbusa 19395 46.7 22147 53.3 41542 100

(15)

45 Tabel 8 Lanjutan

No Variabel Status Gizi menurut TB/U

Stunting Normal Total

n % n % n %

a. Berbau 660 45.2 799 54.8 1459 100 b. Tidak berbau 18976 46.7 21627 53.3 40603 100 7 Pengolahan air minum sebelum digunakan

a. Dimasak 1618 45.4 1948 54.6 3566 100 b. Tidak dimasak 18018 46.8 20478 53.2 38496 100 8 Tempat buang air besar

a. Jamban 12126 43,5 15764 56,5 27872 100 b. Bukan jamban 7469 52,8 6680 47,2 14149 100 9 Tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/

dapur/ tempat cuci

a. Tanpa penampungan 13500 47.7 14800 52.3 28300 100 b. Penampungan terbuka 4500 46.2 5240 53.8 9740 100 c. Penampungan tertutup 1546 39.3 2386 60.7 3932 100 10 Saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi/ dapur/ tempat cuci

a. Tanpa saluran 7690 51.8 7153 48.2 14843 100 b. Saluran terbuka 8377 46.3 9722 53.7 18099 100 c. Saluran tertutup 3569 39.1 5551 60.9 9120 100 11 Tempat sampah di luar rumah

a. Tidak memiliki tempat sampah 12204 49.1 12634 50.9 24838 100 b. Tempat sampah terbuka 6270 44.0 7966 56.0 14236 100 c. Tempat sampah tertutup 1162 38.9 1826 61.1 2988 100 12 Tempat sampah di dalam rumah

a. Tidak memiliki tempat sampah 15270 48.2 16387 51.8 31657 100 b. Tempat sampah terbuka 3083 43.2 4060 56.8 7143 100 c. Tempat sampah tertutup 1283 39.3 1979 60.7 3262 100

Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Dalam analisis ini, sarana pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi dua, yaitu sarana pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek dan bidan praktek dan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yaitu pelayanan posyandu, poskesdes dan polindes atau bidan desa.

Untuk masing-masing kelompok pelayanan kesehatan tersebut dikaji akses rumah tangga ke sarana pelayanan kesehatan tersebut. Selanjutnya untuk UKBM dikaji tentang pemanfaatan dan jenis pelayanan yang diterima oleh

(16)

46 rumah tangga. Setelah itu, dilakukan skoring terhadap akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dari setiap keluarga dan dikelompokkan menjadi keluarga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan baik, sedang dan kurang. Rumah tangga pada kedua kelompok dengan akses dan pemanfaatan baik dan sedang jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing, yaitu sebesar 36.6% dan 37.7%. Sementara rumah tangga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan kurang sebesar 26.7%.

Gambar 7 Sebaran anak berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebanyak 55,1% keluarga dengan status gizi menurut TB/U normal menempuh jarak kurang dari 1 km untuk menuju sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek, bidan praktek), dan 55,7% responden membutuhkan waktu ≤ 15 menit untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan terse but. Sementara itu sebagian besar responden menempuh jarak < 1 km untuk menuju ke posyandu/ poskesdes/ polindes dan membutuhkan waktu ≤ 15 menit untuk menuju sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat tersebut. Sebanyak 62,5% keluarga dengan status gizi menurut TB/U normal memanfaatkan Posyandu/ Poskesdes.

(17)

47 Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan variabel akses dan pemanfaatan kesehatan

No Variabel Status Gizi menurut TB/U

Stunting Normal Total

n % n % n %

1

Jarak yang ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat

(rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek, bidan praktek)

a. > 5 km 1559 51.8 1449 48.2 3008 100 b. 1-5 km 9240 47.7 10146 52.3 19386 100 c. < 1 km 8837 44.9 10831 55.1 19668 100 2

Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (rumah sakit, pustu, bidan praktek, dokter praktek,)

a. ≥ 31 menit 2601 53.2 2287 46.8 4888 100 b. 16-30 menit 8235 47.5 9096 52.5 17331 100 c. ≤ 15 menit 8800 44.3 11043 55.7 19843 100 3 Jarak yang ditempuh ke sarana pelayanan

kesehatan terdekat (posyandu, poskesdes, polindes)

a. > 5 km 413 51.4 390 48.6 803 100 b. 1-5 km 4197 49.0 4375 51.0 8572 100 a. < 1 km 15026 46.0 17661 54.0 32687 100

4

Waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (posyandu, poskesdes, polindes)

a. ≥ 31 menit 1235 51.9 1145 48.1 2380 100 b. 16-30 menit 4695 48.9 4911 51.1 9606 100 a. ≤ 15 menit 13706 45.6 16370 54.4 30076 100 5 Ketersediaan angkutan umum ke tempat

pelayanan kesehatan

a. Tersedia 10775 47.5 11927 52.5 22702 100 b. Tidak tersedia 8861 45.8 10499 54.2 19360 100 6 Pemanfaatan Posyandu/Poskesdes dalam

3 bulan terakhir

a. Memanfaatkan 7843 37.5 13092 62.5 20935 100 b. Tidak memanfaatkan 11793 55.8 9334 44.2 21127 100 7 Pemanfaatan Polindes/bidan desa dalam

3 bulan terakhir

a. Memanfaatkan 13143 65.9 6797 34.1 19940 100 b. Tidak memanfaatkan 6493 29.4 15629 70.6 22122 100

(18)

48 Dari keseluruhan responden, umumnya kunjungan ke posyandu atau poskesdes digunakan untuk menimbang (53.4%), mendapatkan penyuluhan (23.3%), imunisasi (34.9%), pelayanan keluarga berencana KB (16.7%), kesehatan ibu dan anak (KIA) (18.0%), pengobatan (33.8%), pemberian makanan tambahan (29.0%), pengobatan (20.2%), pemberian suplemen gizi (32.2%) dan konsultasi risiko penyakit (7.0%). Sementara itu, responden yang tidak memanfaatkan posyandu/poskesdes baik pada kelompok stunting maupun normal diantaranya dikarenakan letaknya yang jauh, tidak ada posyandu di sekitar tempat tinggal dan layanan yang tidak lengkap. Menurut Hidayat et al (2010) rumah tangga balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di posyandu lebih banyak balita yang status gizi baik berdasarkan TB/U berbeda nyata dengan rumah tangga balita yang tidak pernah ke pos pelayanan terpadu.

Responden pada kelompok stunting maupun normal memanfaatkan polindes atau bidan desa biasanya melakukan pemeriksaan kehamilan (5.1%), bersalin (2.6%), pemeriksaan ibu nifas (2.4%), pemeriksaan neonatus (2.1%), pemeriksaan bayi dan balita (11.8%) dan pengobatan (26%). Adapun, alasan responden tidak memanfaatkan polindes atau bidan diantaranya dikarenakan letak yang jauh, pelayanan tidak lengkap, tidak terdapat polindes/bidan desa dan tidak membutuhkannya.

Tinggi Badan Orang Tua

Tinggi badan orang tua (ayah dan ibu) menjadi salah satu faktor yang diperhatikan dalam melihat tinggi badan pada anak. Sebaran tinggi badan orang tua dapat dilihat pada Tabel 10.

Rata-rata tinggi badan ayah yang memiliki anak dengan tinggi badan normal adalah 162,8 cm ± 6,2 cm dengan nilai maksimum adalah 185.0 cm dan nilai minimunnya adalah 128 cm. Sementara itu, rata-rata tinggi badan ayah yang memiliki anak dengan kondisi stunting adalah 161,35 cm ± 6.3 cm dengan maksimumnya adalah 185.4 cm dan nilai minimumnya adalah 128 cm. Sebagian besar ayah baik pada kelompok stunting maupu n normal memiliki tinggi badan 161 cm - 165 cm. Sebaran tinggi badan ayah dapat dilihat pada Tabel 10.

(19)

49 Tabel 10 Sebaran tinggi badan ayah

Tinggi Badan Status Gizi Total

stunting normal n % n % n % <141 cm 295 49.3 303 50.7 598 100 141-145 398 53.0 353 47.0 751 100 146-150 936 54.1 793 45.9 1729 100 151-155 2206 53.7 1904 46.3 4110 100 156-160 5308 50.0 5317 50.0 10625 100 161-165 5801 46.0 6820 54.0 12621 100 166-170 3440 41.8 4787 58.2 8227 100 >170 1252 36.8 2149 63.2 3401 100

Sebaran tinggi badan ayah dapat dilihat pada Tabel 11. Rata-rata tinggi badan ibu yang memiliki anak dengan tinggi badan normal adalah 153.08 cm ± 5,7 cm dengan nilai maksimum adalah 185.0 cm dan nilai minimunnya adalah 117 cm. Sementara itu, rata-rata tinggi badan ibu yang memiliki anak dengan kondisi stunting adalah 151,6 cm ± 5,9 cm dengan maksimumnya adalah 184,1 cm dan nilai minimumnya adalah 128 cm. Sebagian besar ibu baik pada kelompok stunting maupun normal memiliki tinggi badan 151 cm - 155 cm.

Tabel 11 Sebaran tinggi badan ibu

Status Gizi Status Gizi Total

stunting normal n % n % n % <141 cm 879 58.6 620 41.4 1499 100 141-145 2301 57.9 1671 42.1 3972 100 146-150 5442 50.9 5250 49.1 10692 100 151-155 5714 43.9 7291 56.1 13005 100 156-160 3793 41.8 5290 58.2 9083 100 161-165 919 38.1 1492 61.9 2411 100 166-170 355 41.3 505 58.7 860 100 >170 233 43.1 307 56.9 540 100

(20)

50 Hubungan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan kesehatan,

dan perilaku higienis dengan penyakit infeksi

Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi (Hidayat, Hermina & Fuada 2009). Sementara itu, dengan personal higiene, dalam hal ini kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan terjadinya penyakit infeksi terutama diare.

Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya status gizi kurang pada balita (UNICEF 1990). Terjadinya penyakit infeksi pada seorang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya dikarenakan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku higienis ibu, yaitu kebiasaan ibu dalam mencuci tangan.

Tabel 12 Sebaran Penyakit Infeksi berdasarkan Sanitasi Lingkungan

Personal higiene dan Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Variabel Penyakit Infeksi p

Sakit Infeksi Tidak Sakit Infeksi

n % n %

Personal higiene

Kurang 15322 36.4 14695 34.9

Baik 5908 14.0 6137 14.6 >0.05

Total 21230 50.5 20832 49.5

Akses dan Pemanfaatan Kesehatan

Kurang 5476 13.0 5748 13.7 Sedang 7685 18.3 7750 18.4 <0.05 Baik 8069 19.2 7334 17.4 Sanitasi lingkungan Kurang 4187 10.0 3430 8.2 Sedang 15709 37.3 15729 37.4 <0.05 Baik 1334 3.2 1673 4.0

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa personal higiene ibu sebagian besar adalah kurang dan pada anak yang menderita penyakit infeksi dan tidak menderita penyakit infeksi jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing 72.3% dan 71.2%. Sebanyak 26.5 % anak yang menderita penyakit infeksi memiliki akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang

(21)

51 kurang baik. Keluarga yang memiliki sanitasi lingkungan baik sebesar 7.4% yang tidak sakit infeksi dan yang menderita sakit infeksi sebanyak 5.4%.

Berdasarkan uji korelasi Spearman, sanitasi lingkungan berhubungan dengan penyakit infeksi (p<0.01, r=0.46). Hal ini berarti anak dengan sanitasi lingkungan kurang cenderung mengidap penyakit infeksi sebaliknya, anak dengan sanitasi lingkungan baik cenderung tidak mengidap penyakit infeksi. Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit. Biasanya pada suatu tempat tinggal yang mempunyai sumber air yang buruk, akan mempunyai pula pembuangan kotoran, ventilasi dan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

Menurut Anugra (2004) lingkungan yang sehat dan bersih akan mengurangi kejadian infeksi yang selanjutnya mengurangi kejadian penyakit yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan status gizi anak. Sementara itu, menurut Azwar (1988) penyakit yang diderita oleh seseorang disebabkan oleh daya tahan tubuh yang rendah, lingkungan yang kurang bersih dan perilaku hidup yang kurang sehat. Hal ini dapat mempengaruhi status gizi dan kualitas sumberdaya manusia.

Antara akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan penyakit infeksi terdapat hubungan yang signifikan berdasarkan uji korelasi Spearman (p>0.05). Hal ini berarti anak yang memiliki akses dan memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik cenderung tidak mengidap sakit infeksi dibandingkan dengan anak yang akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemanfaatannya kurang.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dan personal higiene ibu (p>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan dari jenis penyakit yang diteliti, tidak semua penyakit disebabkan oleh perilaku higienis. Misalnya penyakit deman berdarah dan malaria yang ditularkan melalui vektor. Alasan lainnya adalah masih terdapat penyakit infeksi lain yaitu penyakit cacingan yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit infeksi yang berhubungan dengan perilaku higienis. Namun, bila dilakukan uji

(22)

52 korelasi Chi Square terhadap masing-masing penyakit dengan perilaku higienis, jenis penyakit yang berhubungan dengan perilaku higienis adalah penyakit ISPA dan diare dengan masing-masing p<0.05. Sementara itu, jenis penyakit lainnya tidak berhubungan dengan perilaku higienis.

Menurut Permanasari, Luciasari dan Purwanto (2010), ibu yang mempunyai kebiasaan cuci tangan dengan sabun yang kurang baik mempunyai persentase lebih besar untuk anaknya terkena diare dibandingkan ibu yang mempunyai kebiasaan cuci tangan dengan sabun yang baik. Ada perbedaan yang signifikan terhadap kejadian diare pada anak antara ibu yang mempunyai kebiasaan yang baik dalam mencuci tangan dengan sabun dibandingkan ibu yang mempunyai kebiasaan yang kurang baik dalam mencuci tangan dengan sabun.

Menurut Yusup dan Sulistyorini (2005) yang melakukan penelitian tentang hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Faktor yang mempengaruhinya adalah kepadatan penghuni rumah, ventilasi dan penerangan alami. Kejadian risiko terjadinya ISPA pada rumah yang sanitasinya kurang adalah hampir 12 kali lebih banyak dibandingkan yang tidak ISPA. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA terutama pada balita. Menurut Sukarni (1989) rumah tinggal yang mempunyai sumber air yang buruk, akan mempunyai pula pembuangan kotoran, ventilasi dan kepadatan penduduk yang tidak memenuhi syarat kesehatan

Faktor Determinan Stunting

Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun, model persamaan yang diperoleh adalah :

(23)

53 Y= -11,10162-0.38639X3+0.03919X2+0.02049X1+0.16860X10+0.16811X5+ 0.13890X6+0.09808X7+0.08888X9-0.10490X8

Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U dapat dilihat pada Tabel 13. Secara keseluruhan ke-9 variabel tersebut memberikan kontribusi pada status gizi sebesar 4,58%. Hal tersebut menandakan masih terdapat faktor yang dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap kejadian stunting. Jika dilihat dari faktor yang mempengaruhi status gizi berdasarkan UNICEF (1990), variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini diantaranya adalah konsumsi zat gizi, pola asuh dan pengetahuan gizi, yang kemungkinan lebih mempengaruhi terjadinya stunting pada anak. Kemungkinan lain dari rendahnya nilai R2

Kode

adalah kesalahan model yang disebut specification error.

Tabel 13 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U

Peubah B T R2 Parsial Sig

Intercept -11.10162 925.60 X3 umur -0.38639 768.14 0.0173 0.0001 X2 TB ibu 0.03919 416.72 0.0156 0.0001 X1 TB ayah 0.02049 131.25 0.0050 0.0001 X10 sanitasi 0.16860 52.19 0.0034 0.0001 X5 tempat tinggal 0.16811 47.28 0.0020 0.0001 X6 status ekonomi 0.13890 37.97 0.0013 0.0001 X7 pendidikan ibu 0.09808 27.28 0.0007 0.0001 X9 personal higiene 0.08888 13.61 0.0003 0.0002 X8 penyakit infeksi -0.10490 9.43 0.0002 0.0021 n= 42062 R2

Menurut Bloom (1974) faktor yang mempengaruhi status kesehatan adalah keturunan, lingkungan fisik, kimia, biologis, pelayanan kesehatan dan perilaku sosial budaya. Dalam penelitian ini, variabel tinggi badan orang tua mewakili keturunan, variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan mewakili pelayanan kesehatan, variabel perilaku higienis mewakili perilaku

(24)

54 sosial budaya dan variabel karakteristik keluarga dan sanitasi lingkungan mewakili lingkungan.

Menurut UNICEF 1990, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung adalah makanan dan penyakit infeksi. Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi penyebab langsung adalah ketersediaan pangan, pola pengasuhan dan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyrakat. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan diantaranya dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan informasi. Namun, akar maslah dari hal tersebut adalah kemiskinan.

Usia anak yang semakin besar dapat memperburuk stunting. Semakin bertambahnya usia, risiko terjadinya stunting akan semakin besar. Menurut Ramli et al (2009) prevalensi stunting tertinggi stunting terjadi saat anak berusia 24 - 59 bulan.

Adanya penyakit infeksi dapat memperburuk terjadinya stunting. Anak yang menderita penyakit infeksi dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga kekurangan asupan zat gizi. Padahal, anak yang berada dalam keadaan sakit membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk mempercepat proses pemulihan. Bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, dapat mengakibatkan pertumbuhan tinggi badan anak pun terganggu. Menurut Widiyawati (2004) salah satu cara untuk mencapai tumbuh kembang balita secara maksimal adalah keadaan tubuh yang terbebas dari penyakit infeksi. Riyadi

Sementara itu, menurut Suhardjo (1989) antara infeksi dan status gizi kurang terdapat interaksi timbal balik. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih rendah dan lebih mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang terkena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai golongan yang rawan, dengan kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang

(2001) menyatakan bahwa penyakit infeksi dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan melalui berbagai cara, yaitu mengurangi nafsu makan, menurunkan penyerapan zat gizi, meningkatkan kebutuhan metabolik, atau secara langsung menyebabkan kehilangan zat-zat gizi.

(25)

55 penyakit menular. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan kehilangan nafsu makan, sehingga lama kelamaan status gizinya akan memburuk.

Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare. Menurut Mulyati, Sandjaja & Tjandrarini (2008) balita yang pernah mengalami diare lebih dari 3 kali/hari memiliki risiko untuk underweight 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami diare. Sementara menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur.

Tempat tinggal mempengaruhi terjadinya stunting. Keluarga dengan anak balita yang tinggal di desa cenderung mengalami stunting dibandingkan dengan yang tinggal di kota. Menurut Mulyati & Budiman (2006) subjek yang tinggal di pedesaan mempunyai peluang 1,5 kali lebih besar untuk mengalami hambatan dalam pencapaian pertumbuhan dibandingkan dengan anak yang bertempat tinggal di kota

Status ekonomi mempengaruhi terjadinya stunting. Anak yang mengalami stunting lebih banyak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi miskin dibandingkan dengan yang bukan berasal dari keluarga tidak miskin. Menurut Depkes 2008, masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu, menurut Riyadi et al. (2006) ciri rumah tangga anak stunted adalah pendapatan yang lebih rendah, pengeluaran pangan yang lebih rendah, dan status gizi berdasarkan z-score TB/U yang rendah (negatif). Berdasarkan ciri tersebut dapat dikatakan bahwa anak

stunted sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi.

Pendidikan ibu turut mempengaruhi terjadinya stunting. Menurut Madanijah (2003) pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Sementara itu, menurut Adeladza (2009),

(26)

56 anak dengan ibu yang berpendidikan mempunyai status gizi yang lebih baik dibandingkan dengan ibu yang tidak

Antara variabel sanitasi, status ekonomi, tempat tinggal, pendidikan ibu dan perilaku higienis saling berhubungan. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tempat tinggal berhubungan dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.12). Hal ini menunjukkan status ekonomi keluarga yang tinggal di desa lebih banyak yang berstatus miskin dibandingkan dengan di kota. Sebaliknya, tempat tinggal di kota cenderung mempunyai status ekonomi yang tidak miskin

Sanitasi lingkungan pun mempunyai hubungan dengan tempat tinggal (p<0.01, r=0.27). Keluarga yang tinggal di kota cenderung mempunyai sanitasi yang lebih baik dibandingkan dengan di desa. Selain itu, sanitasi lingkungan berhubungan pula dengan status ekonomi (p<0.01, r=0.146). Keluarga dengan sanitasi kurang cenderung mempunyai status ekonomi miskin. Sebaliknya, keluarga dengan sanitasi lingkungan baik cenderung tidak miskin.

Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan sanitasi (p<0.01, r=0.26), personal higiene (p<0.01, r=0.11), dan tempat tinggal (p<0.01, r=0.34). Ibu yang mempunyai pendidikan rendah pada umumnya mempunyai sanitasi lingkungan rumah dan personal higiene kurang. Hal tersebut pada umumnya terjadi pada ibu yang bertempat tinggal di desa. Menurut Depkes 2008 penduduk perkotaan berperilaku higienis lebih tinggi dari penduduk pedesaan dan semakin tinggi pengeluaran rumah tangga semakin tinggi pula persentase perilaku higienis yang baik

Anak yang tinggal di desa dengan kondisi ekonomi yang miskin, sanitasi lingkungan yang lebih rendah, pendidikan ibu dan personal higiene yang rendah memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami stunting pada anak yang berusia 24-59 bulan dibandingkan dengan anak yang bertempat tinggal di kota.

Tinggi badan orang tua mempengaruhi terjadinya stunting pada anak. Menurut Jahari (1988) anak-anak di negara maju badannya lebih tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari suku atau ras yang sama. Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang

(27)

57 faktor lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan dibandingkan dengan faktor genetik. Hal yang sama diungkapkan Supariasa, Fajar dan Bakri (2001) yang menyatakan di negara yang sedang berkembang, pertumbuhan anak selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Tinggi badan orang tua pun berhubungan dengan status ekonomi. Baik tinggi badan ayah (p<0.01, r=0.102) maupun tinggi badan ibu (p<0.01, r= 0.076) berhubungan dengan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi badan tinggi cenderung tidak miskin, sebaliknya, tinggi badan ayah atau ibu yang memiliki tinggi badan rendah cenderung miskin. Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak baik sejak lama dalam suatu keluarga. Hal ini menyebabkan asupan zat gizi baik dalam mutu maupun jumlahnya tidak mencukupi.

Alasan lainnya adalah anak -anak terawat dengan baik pada ibu yang memiliki tinggi badan tinggi (Pryer, Rogers & Rahman 2003). Demikian pula menurut Sandjaja (2001) faktor ibu yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah berat badan yang lebih rendah, tinggi badan rendah dan IMT yang kurang.

Gambar

Tabel 2  Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia
Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga
Tabel 4  Jenis pekerjaan ayah
Tabel 5  Sebaran jenis pekerjaan ibu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian sebelumnya [13], mengenai pembakaran menyeluruh pada ruang bakar dan reaktor pirolisis ( sebelum optimasi) menggunakan bahan biomassa kayu,

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Berdasarkan informasi, fenomena, dan permasalahan yang terjadi penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, ” Pengaruh Iklan dan Atribut Produk

PELATIHAN TEKNOLOGI JERAMI AMONIASI UNTUK PAKAN TERNAK SAPI BALI DALAM RANGKA MENDUKUNG PROGRAM SIMANTRI PADA KELOMPOK TERNAK “WIDHYA SEMESTI” DESA ANTURAN-BULELENG.. N.L..P

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

Dekomposisi serasah memainkan peran yang sangat penting dalam kesuburan tanah, seperti regenerasi dan keseimbangan nutrisi dari senyawa organik yang ada di

Dari beberapa kendala telah terjadi maka Proyek Pembangunan Underpass di simpang Dewa Ruci Kuta Bali merupakan proyek yang memiliki risiko cukup tinggi.. Proyek