• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 JIWA DAN BADAN MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 5 JIWA DAN BADAN MANUSIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 5

JIWA DAN BADAN MANUSIA

Mata Kuliah Filsafat Manusia dan Moral

Fakultas Psikologi

Universitas Medan Area

(2)

Permasalahan

• Istilah untuk mengungkapkan problematika

manusia yang sentral: jiwa dan badan, roh dan

materi, kerohanian dan kejasmanian,

spiritualitas dan materialitas.

• Sepanjang sejarah manusia telah berusaha

mengungkapkan dualitas manusia yang

disifatkan: keterbatasan atau keterikatan, dan

transendensi atau kebebasan.

• Bagaimanakah kedua aspek itu dapat

dicocokkan di dalam satu orang?

(3)

1. Pandangan Beberapa Filsuf

1.1. Dualisme: Memperlawankan Kedua Aspek

1.1.1. Plato  jiwa itu aku yang spiritual dan diturunkan ke dalam badan, jiwa menguasai badan, Badan dievaluasi secara

agak negatif, dan bukan-sempurna.

1.1.2. Descartes  bersifat “cogitatio” (pikiran) adalah Jiwa & “extensio” (keluasan) adalah badan.

1.1.3. Malebranche  hubungan antara jiwa dan badan hanya pura-pura saja, yang hanya bisa dicocokkan oleh Tuhan

1.1.4. Spinoza  jiwa dan badan dipandang sebagai “modus-modus” yangg kegiatannya tetap paralel, tanpa ada hubungan sedikit pun

1.1.5. Leibniz  Di dalam manusia itu jiwa merupakan monas

sentral, dengan pikiran: badan dibentuk oleh kumpulan monas-monas yang lebih kasar. kegiatan antara badan dan jiwa dicocokkan satu sama lain oleh Tuhan

(4)

1.2. Pandangan Spiritualis

1.2.1. Kant  “ekstensi” atau keluasaan itu tidak ada “in se”; hanya merupakan “forma a-priori” di dalam subjek atau “aku” yang sadar. Timbul problem bagaimana subjek yang sadar berintuisi indriawi; dan apakah di bawah fenomena-fenomena indrawi (lahir) tersembunyi satu “neumenon” yang serupa? 1.2.2. Berkeley, Fichte, Schelling, Hegel, Schopenhauer,

Hartmann, Lachelier, dll.  Manusia adalah subjektivitas atau kesadaran (spiritual). Aspek-aspeknya yang materil tidak disangkal, tetapi dikembalikan kepada subjektivitas; hanya merupakan “epifenomena” pada realitas spiritualitas itu.

(5)

1.3. Pandangan Materialistis

1.3.1. Klasik (Demokritos) dan lebih modern (Lamettrie, Feuerbach, Marx, Engels)  badan manusia tidak bertaraf lebih tinggi daripada materi alam dunia, hanya lebih kompleks saja. Manusia itu materi yang terdiri dari aspek-aspek yang dikembalikan kepada materi itu.

1.3.2. Empirisme dan Positivisme  Manusia pada pokoknya adalah badan saja, dan sebagai badan, manusia disamaratakan dengan objek ilmu-ilmu eksata (scientisme)

1.3.3. Paralelisme Psiko-fisis  Pada umumnya adanya substansi itu disangkal; hanya diterima adanya fenomena-fenomena. Di dalam manusia ada dua deretan fenomena yang cocok satu sama lain, namun tidak berhubungan apapun.

(6)

1.4. Percobaan Sintesis

1.4.1. Aristotelo-Tomistis  Substansi manusia yang

satu diwujudkan oleh diaklektik antara dua prinsip

real, yaitu ‘materi’ dan ‘bentuk’ yang disebut

hylermorphisme, hyle (yunani) atau materia (latin)

ialah “bahan”; dan morphe (yunani) atau forma

(latin) ialah ’bentuk’. Materi dan bentuk disamakan

dengan ‘potensi’ dan ‘akt’ manusiawi.

1.4.2. Fenomenologi dan Eksistensialisme  Alirian ini

menitik beratkan badan sebagai “le corps-sujet”;

atau “le corps vecu”, yaitu ‘badan-subjek’ atau

‘badan yang dihidupi’. Badan itu lain dari

sembarangan objek yang tidak dapat menjauhkan

diri dari badan, atau mengelilinginya.

(7)

1.5. Teilhard de Chardin

• Dalam tubuh manusia, ada dibedakan dua

macam energy atau tenaga di dalam evolusi

kehidupannya;

• Energy

‘tangensial’,

yaitu

organisasi

‘lahiriah’ (pada permukaan), dan energy

‘radial’ yang dari dalam.

• Yang tercapai dengan energy itu ialah

“complexite”

dan

“conscience”

atau

“interiote”.

(8)

2. BADAN DAN JIWA

2.1. Titik-tolak  Untuk mencari dasar hakiki dualitas didalam

manusia, yang antara lain diungkapkan dengan ’badan’ dan ‘jiwa’, maka titik tolak ialah kesadaran dan pengakuan manusai mengenai diri-dan-yang-lain.

2.2. Wujud dan gaya; Ekspresi dan intensi

2.2.1. Materi atau badan  Aku memiliki diri dan menyadari diri sebagai kesatuan yang bukan suatu titik saja, atau suatu keseragaman merata (uniformitas-ega-litas), melainkan merupakan suatu kompleksitas.

2.2.2. Roh dan Jiwa  Aku mengakui diri menurut suatu kompleksitas, tetapi dimensi-dimensi itu bukan menjadi keterpecahan, melainkan di dalamnya pengakuanku menjadi actual dan formal. Di dalam fenomena manapun aku bukan terpencar sedikit pun, bukan bersifat fragmentaris, melainkan memfokuskan dan mengeratkan dimensi-dimensi itu.

(9)

2.3. Kebersamaan Jiwa dan badan  Penyatuan di

dalam manusia baru berupa gaya yang tertentu dan unik ini sejauh diwujudkan, disusun dan diberi bentuk, atau sejauh dicurahkan ke dalam kompleksitas itu.

2.4. Kesatuan jiwa dan badan

2.4.1. saling memuat  di dalam aku yang satu ini ditemukan materi dan roh, atau badan dan jiwa , sebagai kesatuan substansial.

2.4.2. Identitas Real  Manusia bukan mempunyai materi/badan, melainkan merupakan materi/badan seratus persen. Hanya secara formal kedua aspek tidak disamakan. Justru sebagai aspek formal mereka berbeda, itu sebabnya bahwa dipakai dua buah konsep.

(10)

3. SAMA RATA

3.1. Pandanagan Tradisional  Materi dan badan diberi nilai rendah,

kurang sempurna dan sekunder.

3.2. Roh dan jiwa  Roh dan jiwa manusia tidak dapat disebut

‘transenden’ terhadap materi/badan sebab sama sekali tidak mengatasainya. Seandainya memang transenden, maka manusia seakan-akan untuk sebagian dapat melepaskan diri dari materi/badan .

3.3. Materi atau Badan

3.3.1. Sungguh Sungguh Manusiawi

3.3.2. “kebudayaan” pribadi  Perwujudan ini tidak terbatas pada tulang dan daging yang berkulit. Ekspresi dan dimensi dimensi di dalam manusia meliputi bidang yang jauh lebih luas.

3.4. Sejajar  Materi dan roh, badan dan jiwa, salig dirasuki.

Materi/badan hanya dapat ada sejauh digayakan atau difokuskan oleh roh/jiwa; roh/jiwa ahanya dapat ada sejauh diwujudkan oleh materi/badan. Maka mustahil berbeda taraf atau nilai.

(11)

4. JIWA-BADAN & KORELASI

4.1. Behaviour  Sebab semua manusia bersifat

koleratif, maka didalam kolerasi ini pula tampak

kesatuan aspek spiritual dan materiil. Setiap

perwujudan atau ekspresi – diri sekaligus

merupakn “response” pada undangan atau

tantangan atau ancaman dari yang-lain (yang juga

bersifat spiritual-materiil)

4.2. Perspektif  kompleksitas dan dimensionalitas

manusia mempunyai ciri perspektif. Sebenarnya

sifat ini tidak hanya berlaku untuk badan saja,

melainkan

juga

untuk

jiwanya

atau

kerohaniannya.

(12)

5. PERKEMBANGAN

5.1. Pandangan Tradisional  menurut pandangan ini lazimnya hubungan dan ciri-cirinya lebih kurang sama dengan relasi antara ‘potensialitas’ & ‘kesempurnaan’ 5.2. Pemuncakan yg Benar  materi bukan tersedia sbg

dimensi/wujud, roh bukan hadir sebagai intensi/gaya yg murni

5.3. Puncak  puncaknya hanya diketahui dan dicari sebagai janji dan harapan

5.4. Badan menghambat/membantu?  tidak ada soal sama sekali mengenai membantu-menghambat/menjadi alat satu bagi yang lainnya

5.5. Cara bicara tentang badan dan jiwa  sebaiknya dalam setiap kalimat dipakai istilah ‘manusia’ dan dijadikan pembawa kegiatan dan subjek ucapan itu

(13)

6. FAKTA INDUK DAN FAKTA SEKUNDER

6.1. Pada ‘sekarang’  badan yang menjiwa dan jiwa yg membadan itu diintegrasikan dan dikonkretkan di dalam 1001 aspek khusus yang bersifat spiritual materiil

6.2. Setiap langkah baru  dipandang scr berturut, manusia memiliki bermacam-macam ‘aku fenomenal’ yang bersifat rohani-jasmani, disamping badan dan jiwa induk, ia mempunyai badan-badan dan jiwa-jiwa sekunder

6.3. Kontinuitas  materi dan roh, badan dan jiwa manusia yang induk, terus-menerus berkembang menurut sema aspek sekundernya dan bersifat kreatif

(14)

7. TARAF-TARAF DI DALAM MANUSIA

7.1. Adanya Taraf-taraf  menurut ilmu pengetahuan yang bersifat empiris yaitu (1) anorganis atau fisikomis (benda mati), (2) taraf biologis atau vegetatif (flora), (3) taraf sensitif atau psikis atau naluri (fauna) dan (4) taraf kesadaran atau pengakuan khas manusiawi. Masing-masing memiliki daya dan kegiatan sendiri dan merupakan bagian konkret didalam substansi manusia.

7.2. Hubungan Keempat Taraf

7.2.1. Taraf lebih rendah dengan yang lebih tinggi  taraf rendah merupakan dasar dan struktur bawah bagi yg tinggi, taraf tinggi merupakan komponen intrinsik didalamnya dan berfungsi sebagai bahan persediaan dan alas yang mutlak

7.2.2. Taraf yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah  taraf tinggi merupakan langit bagi yangg lebih rendah, ia mengubahnya dan memberikan warna baru kepadanya

7.2.3. Kesimpulan  keempat taraf bersama-sama mewujudkan manusia yang bersatu dan bersama-sama mewujudkan pengakuan manusia sehingga juga taraf lbh rendah sungguh manusiawi

(15)

8. KESIMPULAN: SUMBER KETIDAKSEIMBANGAN

8.1. Transendensi  satu-satunya transendensi dalam korelasi dan di dalam perkembangan yang dapat ditemukan berlaku untuk jiwa dan badan bersama-sama dalam manusia itu setiap taraf lebih tinggi itu transenden terhadap taraf yang lebih rendah

8.2. Ketegangan2 yang menghambat?  materi/badan tidak boleh disebut penghambat bagi roh/jiwa. Paham seperti itu akan muncul jika manusia dipandang sebagai roh murni yang sebenarnya sudah utuh, tetapi masih tenggelam didalam materi, dan perlu dibebaskan dulu 8.3. Ketidakseimbangan yang faktual  tidak tergantung

pada badan yang besar/cantik/ cacat menjamin roh/jiwa yang besar. Fakta ini tidak melawan kesejajaran.

(16)

sendirinya kecantikan dapat memudahkan perkembangan manusia namun bukan dengan sendirinya.

8.5. Interioritas & eksterioritas; batin & lahir  roh dan materi, jiwa dan badan kerap dilawankan sebagai interioritas (kebatinan) dan eksterioritas (kelahiran) belaka.

8.6. Jarak dan distingsi  kerohanian manusia memberikan jarak/distingsi terhadap yang materiil, tidak hanya menyangkut unsur spiritual saja, melaikan kesadaran manusia seluruhnya yaitu spritualitas dan materialitas 8.7. Dosa  dianggap disebabkan oleh pemberontakan

materi/badan terhadap roh/jiwa. Orang yang berdosa berkembang menurut aspek spiritual-materiil bersama-sama dan sejajar, namun menyeleweng juga.

(17)

9. KEBUDAYAAN DAN KESENIAN

• Manusia

membudaya,

meliputi:

menurut bentuknya yg lebih halus

disebut kesenian.

• Perwujudan (badan) manusia: cara

makan, tidur, menari, bicara, bekerja,

bercinta, berpikir, dan sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan Dasar bagi Fasilitator dititik beratkan sebagai proses penyadaran (awareness training) dengan penekanan pada; (a) Re-orientasi sikap dan pola pikir dan pandangan

Berdasarkan analisis dari hasil dan pembahasan penelitian, didapatkan hasil yang tidak bermakna secara statistik (p=0.5) pada kejadian komplikasi pada proses penyembuhan

Pelaksanaan tindakan siklus I meliputi kegiatan (1) pembahasan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun oleh guru, (2) membagi siswa kedalam 6 kelompok, (3) siswa

Tahap ketiga, pembicaraan di depan Jemaat (18:17a) dan tahap keempat adalah memandang seorang yang telah melakukan dosa sebagai orang yang tidak mengenal Allah (18:17b).8

Sebelum dipasarkan secara retail, perlu adanya perlindungan nilai ekonomi dari hasil karya/produk tersebut berupa pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan sejumlah instrumen antara lain:Lembar Observasi Aktivitas Siswa (LOAS) meliputi kegiatan membaca

diberhentikan dengan hormat apabila diperlukan tenaganya dapat dipekerjakan kembali sebagai karyawan tidak tetap (kontrak) yang akan diperhitungkan mulai berlaku sejak

Penelitian yang berjudul pengaruh rasio likuiditas, rasio retensi sendiri, ukuran perusahaan, tingkat kecukupan dana dan rasio margin solvensi terhadap kinerja