• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kepribadian ihsan dan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas X di Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan kepribadian ihsan dan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas X di Surabaya"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEPRIBADIAN IHSAN DAN TEKANAN AKADEMIK DENGAN PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK PADA MAHASISWA

DI UNIVERSITAS X DI SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata 1 (S1) Psikologi (S.Psi)

Ahmad Haris Susanto B07211002

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2018

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Abstrak Ahmad Haris Susanto

B07211002

Hubungan Kepribadian Ihsan dan Tekanan Akademik dengan Perilaku Kecurangan Akademik Pada Mahasiswa di Universitas X

di Surabaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tekanan kepribadian ihsan dan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di Universitas X di Suarabaya. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan pengumpul data skala kepribadian ihan, skala tekanan akademik, dan skala kecurangan akademik. Dengan jumlah sampel sebanyak 224 mahasiswa. Analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda untuk menguji hipotesis pertama, dan korelasi product moment untuk menguji hipotesis kedua dan ketiga.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah terdapat hubungan yang signifikan antara kepribadian ihsan dan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa, terdapat hubungan negatif antara kepribadian ihsan dengan kecurangan akadeik, dan terdapat hubungan positif antara tekanan akademik dengan kecurangan akademik pada mahasiswa.

Kata Kunci : Kepribadian Ihsan, Tekanan Akademik, Kecurangan Akademik

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ...

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 12

C. TUJUAN PENELITIAN ... 13

D. MANFAAT PENELITIAN ... 13

E. KEASLIAN PENELITIAN ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KECURANGAN AKADEMIK 1. Pengertian Kecurangan Akademik ... 17

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kecurangan akademik ... 20

3. Dimensi-dimensi academic cheating ... 30

B. KEPRIBADIAN IHSAN 1. Pengertian kepribadian ihsan ... 31

(8)

1. Pengertian tekanan akademik ... 38

2. Jenis-jenis tekanan akademik ... 39

D. KETERKAITAN ANTARA KEPRIBADIAN IHSAN DAN TEKANAN AKADEMIK DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK ... 43

E. KERANGKA TEORI ... 47

F. HIPOTESIS PENELITIAN ... 49

BAB III METODE PENELITIAN A. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL 1. Variabel penelitian ... 50

2. Definisi penelitian ... 50

B. POPULASI, SAMPEL DAN TEKNIK SAMPLING 1. Populasi ... 51

2. Sampel ... 52

3. Teknik sampling ... 52

C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 53

D. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ... 57

E. ANALISA DATA ... 61

BAB IV PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Subjek ... 63

2. Pengujian Hipotesis ... 64

B. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 77

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 83

B. SARAN ... 84

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Subjek ... 53

Tabel 2 : Respon Pernyataan ... 54

Tabel 3 : Blue Print Perilaku Kecurangan Akademik ... 54

Tabel 4 : Blue Print Tekanan Akademik ... 55

Tabel 5 : Blue Print Kepribadian Ihsan... 55

Tabel 6 : Validitas Kecurangan Akademik ... 58

Tabel 7 : Validitas Tekanan Akademik ... 59

Tabel 8 : Validitas kepribadian Ihsan ... 60

Tabel 9 : Reliabilitas ... 61

Tabel 10 : Subjek Penelitian Berdasarkan Semester ... 63

Tabel 11 : Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

Tabel 12 : Deskripsi Statistik ... 64

Tabel 13 : Perbedaan Kepribadian Ihsan Ditinjau Dari Jenis Kelamin Mahasiswa ... 65

Tabel 14 : Tabel Perbedaan Kepribadian Ihsan Ditinjau Dari Tingkatan Semester Mahasiswa ... 65

Tabel 15 : Perbedaan Tekanan Akademik Berdasarkan Jenis Kelamin Mahasiswa ... 66

Tabel 16 : Perbedaan Tekanan Akademik berdasarkan Tingkatan Semester Mahasiswa ... 67

Tabel 17 : Perbedaan Tingkat Kecurangan Akademik Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67

Tabel 18 : Perbedaan Kecurangan Akademik Berdasarkan Tingkatan Semester ... 68

Tabel 19 : Hasil Uji Reliabilitas ... 69

Tabel 20 : Hasil Uji Normalitas Data ... 70

Tabel 21 : Uji Hipotesis Pertama ... 71

Tabel 22 : Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 72

Tabel 23 : Anova... 73

Tabel 24 : Konstanta ... 73

Tabel 25 : Hasil Pengujian Hipotesis Kedua ... 76

(10)

DAFTAR GAMBAR

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuisioner Penelitian ... 87

Lampiran 2 : Data Populasi ... 94

Lampiran 3 : Hasil Tabulasi Data Mentah Kepribadian Ihsan ... 94

Lampiran 4 : Hasil Tabulasi Data Mentah Tekanan Akademik ... 104

Lampiran 5 : Hasil Tabulasi Data Mentah Kecurangan Akademik ... 114

Lampiran 6 : Hasil Tabulasi Skoring Kepribadian Ihsan ... 124

Lampiran 7 : Hasil Tabulasi Skoring Tekanan Akademik ... 139

Lampiran 8 : Hasil Tabulasi Skoring Kecurangan Akademik ... 155

Lampiran 9 : Hasil Analisis SPSS Regresi Linear berganda ... 165

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan pendidikan nasioanal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (versi Amandemen) Pasal 31 ayat 3 yang berbunyi : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur oleh undang-undang.” Dan dalam Pasal 31 ayat 5 yang berbunyi : “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 5 di atas yang kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 1 pendidikan adalah : “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (Muhibbin, 2013). Dan tujuan dari pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Pasal 3 yang menyebutkan :”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

(13)

2

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Salah satu indikator kesuksesan atau kemajuan sebuah proses pendidikan adalah dengan nilai yang diperoleh melalaui hasil ujian. Ujian merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi proses belajar. Dalam dunia pendidikan, ujian dimaksudkan untuk mengukur taraf pencapaian suatu tujuan pengajaran oleh peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengetahui kemampuannya dalam penguasaannya terhadap mata pelajaran yang sedang ditempuh. Dan dari hasil ujian ini pula diketahui tingkat capaian dari proses belajar mengajar yang kemudian dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak terkait untuk mengambil kebijakan agar kualitas dari proses belajar mengajar dapat ditingkatkan.

Akan tetapi dalam prosesnya seringkali ditemukan berbagai kecurangan yang dilakukan oleh baik itu pihak peserta didik maupun penyelenggara pendidikan itu sendiri yang dalam istilah keilmuannya lebih dikenal dengan sebutan academic cheating (kecurangan belajar) atau academic dishonesty (ketidakjujuran akademik).

Dalam lingkungan dunia pendidikan kecurangan akademik bukanlah merupakan hal baru. Kecurangan akademik seolah sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar, lumrah bahkan tidak segan para pelaku menyebut kecurangan akademik apapun itu bentuknya, merupakan bagian dari sebuah kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari mereka khususnya dalam lingkungan akademik mereka. Mereka menganggap hal tersebut bukanlah hal yang salah,

(14)

3

meskipun mereka mengetahui dan memahami hal tersebut termasuk hal yang dilarang baik dalam konteks hukum maupun dalam konteks agama.

Masih teringat jelas bagaimana kecurangan-kecurangan dalam dunia pendidikan di Indonesia dari beberapa tahun terakhir baik yang terekspose oleh media maupun hasil temuan peneliti-peneliti sebelumnya seperti hasil penelitian Nuraini (2011 dalam Nashohah, 2012) bahwa telah terungkap kecurangan dalam dunia pendidikan melalui kasus guru SDN Gadel 2 yang memaksa siswanya untuk memberikan contekan pada teman-temannya. Gambaran kecurangan lain juga diungkapkan oleh media berita Antara pada tahun 2010 dimana Universitas Syiah Kuala memasukkan 70 SMA, SMK dan MA yang ada di Provinsi Aceh ke dalam daftar hitam (black list) yang berakibat pada siswa dari sekolah-sekolah tersebut tidak mendapatkan jatah undangan seleksi masuk universitas di Universitas Syiah Kuala (Nashohah, 2012)

Mukid dan Guswina (2011) menuliskan dalam Prosiding Seminar Nasional Statistika Universitas Diponegoro Semarang bahwa data kecurangan selama Ujian Nasional yang didapatkan oleh Pemantau Independen dan Pengawas Nasional cukup mengecewakan. Terdapat 42% daerah dari data memiliki tingkat kecurangan 21%-90% selama pelaksanaan Ujian Nasional, 39,99% daerah melakukan kecurangan hampir 90%-100%, dan hanya 17% daerah saja yang bersih dari kecurangan.

Di tingkat universitas perilaku kecurangan akademik juga masih terjadi. Hal ini terlihat dari hasil temuan Kemenristek Dikti melalui tim Evaluasi Kinerja

(15)

4

Akademik (EKA) yang dimuat di BBC Indonesia pada 6 September 2017 yang menemukan adanya indikasi plagiasi pada disertasi doktor civitas akademi di Universitas Negeri Jakarta, mereka yang melakukan kecurangan akademik dengan tujuan agar gelar doktor yang diperolehnya mampu mengangkat harkat dan martabatnya. Bahkan universitas sekelas Havard University pun tak luput dari skandal menyontek (Ria & Airin, 2014) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa pada tahun 2012 sebanyak 125 mahasiswa saling menyontek saat pelaksanaan ujian akhir mereka.

Di samping itu Ria & Airin (2014) mengutip dari hasil survey Litbang Media Group pada tanggal 19 April 2007 terhadap 480 responden dewasa di enam kota besar di Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas anak didik menyatakan pernah melakukan kecurangan akademik dalam bentuk menyontek ketika masih sekolah atau kuliah. Bahkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti tersebut menemukan adanya tugas akhir (skripsi) mahasiswa yang mengindikasikan adanya praktik copy paste atau plagiarism dari satu skripsi dengan skripsi yang lainnya.

Bukan hanya pendidikan di dalam negeri saja, di luar negeri seperti hasil temuan Blachnio dan Weremko (2011) kecurangan akademik juga terjadi di semua tingkatan pendidikan di Polandia.

Dampak dari banyaknya temuan kecurangan akademik menurut Anderman, dkk (2007) menjadikan nilai dari hasil sebuah evaluasi akan menjadi kabur. Sedangkan nilai itu sendiri sangat penting sebagai acuan atau tolak ukur bagi

(16)

5

semua pihak untuk menilai tingkat atau kualitas suatu proses pendidikan sehingga dapat dijadikan sebagai pijakan untuk mengambil suatu langkah kebijakan.

Hasil temuan pre eliminary yang dilakukan oleh Farikoh dan Suseno (2015) pada tiga orang mahasiswa program studi pendidikan di Perguruan Tinggi A, dalam wawancaranya mereka menuturkan bahwa pada lingkungan kampus mereka banyak sekali ditemukan kasus kecurangan akademik, baik pada saat ujian maupun dalam penyelesaian tugas akademik lainnya. Bentuk-bentuk kecurangan tersebut sangat beragam, mulai dari menyontek (meminta dan memberikan jawaban kepada teman), menggunakan media gadget dalam ujian.

Masih marak dan banyaknya bahkan bisa disebut lazim kasus kecurangan di berbagai tingkatan pendidikan menggambarkan seolah-olah dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam ranah dunia pendidikan perilaku jujur sudah merupakan perilaku yang langka dan jarang dijumpai. Yang menjadi pertanyaan adalah bukankah dalam pendidikan salah satu tujuannya adalah mencetak individu yang berkarakter mulia, yang jauh dari tindakan perilaku curang?

Hal ini tentu belum sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, terutama yang menyangkut dengan pendidikan karakter. Dalam draft Grand Design Pendidikan Karakter (Samani dan Hariyanto, 2012) yang menjunjung tinggi nilai kejujuran (no cheating), tanggung jawab, cerdas, sehat dan bersih, peduli, kreatif, dan gotong-royong.

Hal senada juga yang mendorong urgensi pendidikan karakter yang dipublikasikan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan

(17)

6

Kementerian Pendidikan Nasional yang berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011 dalam Samani dan Hariyanto, 2015) menyatakan bahwa pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuandan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Melihat dari fenomena demikian yang membuat peneliti bertanya bagaimana keberhasilan dari tujuan pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila. Para pelaku kecurangan akademik seolah-olah hanya memperhatikan lingkungan sekitar bahwa tindakan itu sudah lazim dan wajar. Padahal dalam pendidikan di setiap jenjang pendidikan sudah ditanamkan nilai-nilai keagamaan yang didasari oleh akhlak yang mulia. Yang dalam konteks pembelajaran agama Islam tertuang dalam konsep akhlak Al-Islam, Al-Iman dan Al-Ihsan.

Yang mana dari ketiga konsep ketiga di atas, akhlak Al-Ihsan menjadi muara dari semua proses pendidikan khususnya pendidikan karakter. Dimana Al-Ihsan adalah gambaran perilaku individu yang dalam berperilaku seolah-olah senantiasa dilihat oleh Allah SWT sehingga diharapkan dalam setiap perlakunya individu senantiasa terhindar dari perilaku yang dilarang oleh Alloh SWT, termasuk kecurangan dalam dunia pedidikan.

(18)

7

Disamping kecurangan dalam ujian, kecurangan akademik juga dilakukan dilakukan pada proses pengerjaan tugas akademik lainnya. Semisal, plagiasi dalam bentuk copy dan paste pekerjaan orang lain baik melalui media offline maupun media online dengan cara mengunduh, menyalin dan menyajikannya tanpa menyebutkan sumbernya. Dan hal yang demikian bagi mereka merupakan sesuatu yang wajar dan mereka melakukan juga karena meniru rekan lainnya dengan berbagai macam motivasi dan penyebab.

Dalam melihat fenomena menyontek dalam dunia akademis perlu adanya studi tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi academic cheating dibedakan menjadi dua kategori, yakni faktor internal dan eksternal (Farikoh dan Suseno, 2015). Adapun faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, religiusitas, kemampuan, motivasi, dan kepribadian serta moral. Sedangkan faktor eksternal meliputi budaya, lingkungan, status sosial ekonomi, program studi (area subjek), institusi dan organisasi, guru, dan tingkat kesulitan tugas (Anderman, 2007).

Pudjiastuti (2010) dan Purnamasari (2013) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan negatif antara perilaku mencontek yang merupakan bagian dari kecurangan akademik dengan tingkat self-efficacy pada mahasiswa, dimana mahasiswa yang memiliki self-efficacy rendah kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademik semakin tinggi. Karena bagi mahasiswa dengan self-efficacy tinggi melakukan kecurangan bukanlah strategi untuk mendapatkan hasil yang baik.

(19)

8

Selain itu salah faktor internal yang menjadi faktor penyebab terjadinya cheating adalah kepribadian seseorang. Farikoh dan Suseno (2015) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kepribadian Ihsan dapat menurunkan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa program kependidikan UIN Sunan Kalijaga sebesar 14,9%. Sehingga dalam kesimpulannya mahasiswa yang memiliki kepribadian Ihsan baik, memiliki kecenderungan yang rendah untuk melakukan kecurangan akademik.

Dengan memiliki kepribadian Ihsan individu diharapkan dalam setiap perilakunya mampu mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan (Mujib, 2006). Hal tersebut juga menjadi salah satu peran penting fungsi kepribadian Islam menurut Bastaman (2005) yang berfungsi salah satunya adalah sebagai fungsi pengendalian untuk memberi arah efektif dan efisien untuk berbagai tingkah laku manusia, serta memanfaatkan temuan ilmiah-qurani secara benar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Dan juga berfungsi sebagai pendidikan dalam meningkatkan kualitas perilaku manusia, menunjukkan tingkah laku yang benar dan baik, dan memberi arahan bagaimana mengubah tingkah laku yang salah menjadi benar, sehingga membentuk kepribadian yang sempurna (kamil).

Moral, integritas dan budaya belajar dalam penelitian Farisi (2013) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kecurangan akademik. Terutama kecurangan akademik yang terjadi dalam pendidikan yang berbasis digital.

(20)

9

Selain faktor kepribadian yang berasal dari internal individu, perilaku kecurangan akademik juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti tekanan yang dialami oleh individu dalam proses pendidikannya. Hartanto (2012) menyebutkan faktor eksternal yang turut menyumbang terjadinya perilaku menyontek adalah karena adanya tekanan dalam yang dialami oleh individu tersebut, seperti tekanan dari teman sebaya, tekanan dari orang tua, peraturan sekolah yang kurang jelas, dan sikap guru yang tidak tegas terhadap pelaku kecurangan akademik.

Tekanan akademik menurut Mufakkir dan Agung (2016) adalah desakan dalam diri individu baik itu dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang disebabkan oleh kuantitas tugas yang harus diselesaikan. Cizex (2010 dalam Mufakkir dan Agung, 2016) memberikan penjelasan bahwa tekanan-tekanan terbesar yang dirasakan oleh mahasiswa antara lain keharusan atau pemaksaan untuk lulus, kompetisi mahasiswa akan nilai yang ada sangat tinggi, beban tugas yang begitu banyak, dan waktu belajar yang tidak cukup.

Tekanan akademik yang dialami mahasiswa menurut Albrecht dkk (2012) terbagi dalam empat tipe yakni tekanan karena faktor keuangan (financial pressure), kebiasaan buruk yang dimiliki oleh seseorang, tekanan yang berasal dari pihak eksternal dan tekanan lain-lain. Tekanan untuk berhasil yang lebih besar tanpa diimbangi dengan kemampuan yang tinggi juga akan mendorong seseorang untuk berbuat kecurangan dengan mengabaikan nilai-nilai kejujuran

(21)

10

Dalam penelitiannya tentang pengaruh tekanan akademik terhadap perilaku kecurangan akademik pada siswa kelas XI akuntansi di SMK Negeri 10 Surabaya, Mufakkir dan Agung (2016) menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan yang dialami oleh siswa maka siswa cenderung lebih berani untuk melakukan kecurangan akademik. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Albrecht (2012 dalam Mufakkir dan Agung, 2016) bahwa tekanan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya perilaku kecurangan. Individu yang merasa tertekan karena berbagai tuntutan dan beban yang dimiliki akan melakukan hal-hal yang cenderung mengabaikan aturan yang ada sehingga mendorong individu tersebut untuk melakukan tindak kecurangan.

Faktor eksternal lain yang berupa kesempatan juga menjadi penyebab terjadinya kecurangan akademik (Zaini, 2014). Dalam penelitiannya di ungkapkan bahwa dalam keadaan terdesak seorang peserta didik berkecenderungan melakukan kecurangan akademik. Disamping itu Zaini juga mengungkapkan tekanan untuk mendapatkan nilai baik dan tata ruang waktu ujian berlangsung seperti luas ruangan dan lokasi penataan tempat duduk juga mempengaruhi terjadinya kecurangan akademik.

Lebih lanjut Zaini (2014) dalam penelitiannya faktor ekternal yang berasal dari instansi pendidikan juga turut andil dalam terjadinya kecurangan akademik. Seperti target daerah (provinsi) yang mematok bahwa tingkat kelulusan peserta didik sebuah provinsi harus mencapai prosentase tertentu. Karena adanya tersebut tersebut agar prestise penyelenggara pendidikan terjaga tidak jarang kecurangan

(22)

11

senada juga didukung oleh hasil penelitian Dahiya (2015) dan Batool dkk (2011) bahwa tekanan yang berasal dari orang tua dan guru juga mendorong terjadinya kecurangan akademik.

Perbuatan contek menyontek dalam dunia pendidikan seakan sudah menjadi masalah yang akut dan sulit untuk dihilangkan. Hal ini terjadi karena sanksi dari pihak terkait terhadap pelaku seperti skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan kenaikan kelas bagi pelaku hampir tidak pernah ada andaikan ada itu juga belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Bahkan secara sistem, pihak orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas dan pembina pendidikan tidak pernah membicarakan masalah menyontek atau kecurangan akademik lainnya. Mereka seakan menutup diri, seolah-olah dalam lingkungan pendidikan mereka tidak ada kegiatan atau praktek kecurangan akademik (Mukid dan Guswina, 2011)

Sebagai regulator dalam proses pendidikan pemerintah juga sudah berupaya mencegah dan meminimalisir terjadinya ketidakjujuran yang terjadi. Salah satunya adalah pencegahan dalam bentuk pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Namun pada prakteknya, pelaksanaan UNBK juga masih mempunyai celah yang dapat ditembus oleh peserta Ujian Nasional itu sendiri. Hal ini terungkap oleh penelitian Herdian (2017) yang menunjukkan bahwa bentuk ketidakjujuran dalam UNBK adalah siswa meminta jawaban kepada siswa lain, dengan cara mencontek teman diam-diam, mencari jawaban dari internet, memberikan jawaban, dan membawa contekan atau catatan. Dari hasil penelitian Herdian (2017) terlihat bahwa meskipun Ujian Nasional sudah dilaksanakan

(23)

12

secara komputerisasi namun masih belum terhindar dari ketidakjujuran atau kecurangan akademik.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara kepribadian ihsan dan tekanan akademik terhadap kecenderungan perilaku kecurangan akademik, serta menganalisis pengaruh karakter kepribadian ihsan dan tekanan akademik terhadap kecenderungan perilaku kecurangan akademik.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka secara pokok penelitian ini ingin mengemukakan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ada hubungan kepribadian ihsan dan tekanan akademik dengan

perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa Universitas X di Surabaya?

2. Apakah ada hubungan kepribadian ihsan dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di universitas X di Surabaya?

3. Apakah ada hubungan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di universitas X di Surabaya?

(24)

13

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Adanya hubungan kepribadian ihsan dan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa Universitas X di Surabaya

2. Adanya hubungan kepribadian ihsan dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di universitas X di Surabaya

3. Adanya hubungan tekanan akademik dengan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa di universitas X di Surabaya?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat berupa : 1. Manfaat teoritis :

Hasil dari penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan keilmuan psikologi terutama psikologi pendidikan. Di samping itu hasil temuan dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang perilaku kecurangan akademik beserta faktor-faktor mempengaruhinya.

2. Manfaat praktis

Bagi pihak penyelenggara pendidikan diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang fakta-fakta dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kecurangan akademik

(25)

14

yang ada sehingga dapat diambil suatu kebijakan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kecurangan akademik.

E. Keaslian Penelitian

Farikoh dan Suseno (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa mahasiswa dengan kepribadian Ihsan tinggi memiliki kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademik semakin rendah. Dari hasil uji analisis regresi 20 prediktor, dari 20 karakter kepribadian Ihsan terdapat 4 karakter yang mempunyai pengaruh besar dalam penurunan kecurangan akademik yakni, karakter mustaqim (18%), karakter muru’ah (4,5%), karakter sabar (3,8%)dan karakter mukhlash (2%).

Pudjiastuti pada tahun 2012 dalam penelitiannya tentang hubungan self efficacy dengan perilaku mencontek menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan perilaku mencontek pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X angkatan 2009. Yang ditunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat self-efficacy rendah cenderung melakukan perilaku mencontek yang tinggi. Dan sebaliknya mahasiswa yang memiliki tingkat self-efficacy yang rendah cenderung melakukan perilaku mencontek yang rendah.

Penelitian Mufakkir dan Agung pada tahun 2016 dari hasil analisis data statistik diketahui bahwa tekanan akademik secara parsial (individu) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku kecurangan akademik. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil uji t yang menunjukkan uji t-hitung sebesar 2,923 yang lebih

(26)

15

besar dari t-tabel yang sebesar 1,98827. Sedangkan nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,004 yang lebih kecil dari taraf signifikansi sebesar 0,050. Dengan demikian kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terdapat pengaruh positif tekanan akademik terhadap perilaku kecurangan akademik siswa. Dapat diartikan pula semakin tinggi tekanan yang diperoleh siswa maka siswa cenderung lebih berani melakukan kecurangan akademik.

Mukid dan Guswina dalam Prosiding Seminar Nasional Statistika Universitas Diponegoro 2011, berdasarkan sampel sebanyak 21 sekolah di Kota Semarang diketahui bahwa rata-rata proporsi siswa yang berperilaku curang pada saat pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2011 sebesar 0,117 dengan standar error sebesar 0,122. Perbuatan contek menyontek di kalangan pelajar sampai saat ini masih saja ada. Hampir tidak terdengar adanya sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan menyontek dalam ujian atau ulangan. Tidak pernah ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina pendidikan membicarakan masalah menyontek, sekolah seakan menutup diri, seolah-olah semua siswa-siswinya bersih dalam praktek menyontek.

Dari beberapa penelitian di atas tersebut, tentang kecurangan akademik yang terjadi dalam dunia pendidikan di segala bidang menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan peserta didik melakukan kecurangan akedemik. Faktor internal yang berasal dari dalam diri individu seperti motivasi, self-efficacy, tipe kepribadian, locus of control dan orientasi belajar. Dan juga faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sekitar peserta didik.

(27)

16

Berdasarkan dari berbagai penelitian di atas dan untuk melengkapi khazanah penelitian dalam hal perilaku kecurangan akademik maka disini peneliti tertarik untuk meneliti faktor yang dapat meningkatkan kecurangan akademik berupa tekanan akademik dan faktor yang dapat menurunkan kecurangan akademik berupa kepribadian ihsan. Variabel kepribadian Ihsan dipilih karena didalamnya terdapat karakter-karakter yang berkaitan erat dengan pembentukan karakter pada desain pendidikan karakter yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, tanggung jawab, cerdas, sehat dan bersih, peduli, kreatif, dan gotong-royong.

(28)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kecurangan Akademik

1. Pengertian Kecurangan Akademik

Kecurangan akademik yang merupakan fenomena yang tidak akan pernah habisnya dalam dunia pendidikan di seluruh dunia di berbagai level pendidikan mempunya banyak arti dan istilah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2016) menyontek berasal dari kata sontek yang mempunya arti mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya, dan mempunyai arti menjiplak yang memiliki arti mencontoh atau meniru (tulisan, pekerjaan orang lain) dan mencuri karangan orang lain dan mengakui sebagai hasil karangan sendiri, serta mengutip karangan orang lain tanpa seizin penulisnya.

Secara garis besar definisi dari kecurangan akademik menurut Marsden dkk (2005 dalam Mufakkir dan Agung, 2016) didalamnya terdapat kegiatan cheating atau tingkah laku menyontek saat ujian atau pada proses mengerjaka tugas akademik, plagiarism yaitu kegiatan mengutip tanpa menyebutkan sumber, dan falsification yaitu usaha memberikan kesan bahwa suatu “pernyataan tertentu” (yang dinyatakan dalam naskah pelaku kecurangan) telah dibuktikan oleh suatu kajian yang dilakukan oleh orang lain.

(29)

18

Pengertian diatas senada dengan definisi mencontek menurut Anderman dkk (2007) yang menggolongkan perilaku mencontek ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu

1) Memberikan, mengambil, atau menerima informasi.

2) Menggunakan materi atau alat yang dilarang, membuat catatan atau (ngerpek).

3) Memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur, atau proses untuk mendapatkan keuntungan dalam tugas akademik.

Sementara definisi kecurangan akademik yang berkaitan dengan plagiarism diutarakan oleh Hartanto (2012) bahwa plagiarism dapat dimaknai sebagai mengambil atau menggunakan kata atau ide dari pekerjaan orang lain. Dan plagiarism ini menurut Carol (2002 dalam Hartanto, 2012) merupakan bagian dari salah satu perilaku mencontek.

Kecurangan akademik (academic cheating) menurut Bower (Kushartanti, 2009) didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.

Ehrlich dan kawan-kawan (1980 dalam Anderman, 2007) memberikan pendapatnya bahwa perilaku kecurangan akademik adalah perilaku yang tidak jujur atau tidak adil dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan. Anderman (2007) sendiri mendefinisikan perilaku kecurangan akademik (academic cheating) adalah strategi yang digunakan siswa untuk meningkatkan kinerja (nilai) dengan cara yang tidak benar.

(30)

19

Alhadza (2005 dalam Musslifah, 2012) memberikan definisi perilaku kecurangan akademik (academic cheating) adalah suatu wujud perilaku dan ekspresi mental seseorang yang merupakan hasil belajar dari interaksi dengan lingkungannya.

Pengertian-pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan praktik kecurangan akademis seseorang melakukannya dengan bertanya, memberikan informasi, menggunakan bahan atau materi terlarang seperti catatan atau media lainnya, untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan aspek moral dan kognitif.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas pengertian kecurangan akademik (academic cheating) adalah perilaku individu yang dilakukan dengan sengaja melalui cara-cara yang tidak jujur atau berbuat curang dengan menggunakan berbagai macam cara dan media yang dilakukan dalam pelaksanaan ujian ataupun dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas akademik untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya.

Perkembangan teknologi saat ini, terutama mudahnya peserta didik dalam mengakses teknologi telepon genggam, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Purwono (2014) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap petilaku mencontek pada siswa tingkat SMA.

UNBK sebagai salah satu upaya penyelenggara pendidikan dalam meminimalisir dan mencegah terjadinya kecurangan akademik dalam pelaksaan Ujian Nasional pun tak luput dari aksi kecurangan akademik.

(31)

20

Bentuk-bentuk ketidakjujuran siswa selama proses UNBK menurut Herdian (2017) diantaranya dengan meminta jawaban kepada teman, mencontek teman secara diam-diam, mencari dari internet, memberikan jawaban dan membawa contekan/catatan. Adapun klasifikasi perilaku ketidakjujuran atau kecurangan akademik dalam bentuk membawa catatan atau contekan yakni membawa contekan atau catatan ke dalam ruang ujian, menyelipkan contekan atau catatan ke dalam alat tulis, memasukkannya ke dalam saku baju, menyelipkan ke sepatu, dan menaruhnya di bawah lembar soal ujian.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kecurangan akademik

Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi accademic cheating dibedakan menjadi dua kategori, yakni faktor internal yang meliputi usia, jenis kelamin, agama (religiusitas), kemampuan, motivasi, dan kepribadian serta moral. Dan faktor eksternal yang meliputi budaya, llingkungan, status sosio-ekonomi, program studi (area subjek), institusi dan organisasi, guru, dan tingkat kesulitan belajar (Farikoh dan Suseno, 2015). Aslam dan Nazir (2011 dalam Farikoh dan Suseno, 2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan tindak kecurangan akademik. Demikian juga dengan hasil penelitian dari Miler dan kawan-kawan (2007 dalam Farikoh dan Suseno, 2015) tentang karaketristik pelaku kecurangan akademik, dan menghasilkan bahwa kepribadian menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi individu untuk melakukan tindak kecurangan.

(32)

21

Beberapa peneliti seperti Bushway dan Nash (1977), Schab (1991), Whitley (1998), Whitley dan Keith-Spiegel (2002), dan Kristin Voelk Finn (2004) yang kesemuanya termuat dalam Hartanto (2012) mengungkapkan bahwa penyebab siswa melakukan kecurangan akademik antara lain :

1) Adanya tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Pada dasarnya semua siswa menginginkan untuk memperoleh nilai yang tinggi, hanya saja dalam mencapai hal tersebut tidak jarang banyak siswa yang melakukannya dengan cara curang.

2) Keinginan untuk menghindari kegagalan. Ketakutan mengalami kegagalan dalam bentuk seperti tidak lulus ujian, tidak naik kelas atau hal lainnya sering menjadi pemicu terjadinya perilaku kecurangan akademik pada siswa.

3) Adanya persepsi bahwa sekolah melakukan hal yang tidak adil. Dalam hal ini biasanya adanya anggapan dalam diri siswa bahwa pihak sekolah (guru) hanya memperhatikan dan melayani siswa dengan kemampuan di atas rata-rata saja, sedangkan mereka yang mempunyai kemampuan menengah atau di bawah rata-rata cenderung diabaikan.

4) Kurangnya waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah. Tidak jarang ditemui bahwa tugas yang diperoleh siswa datang dan harus diselesaikan dalam waktu yang relatif bersamaan. Hal ini yang kemudian memicu siswa untuk melakukan kecurangan karena mereka takut tidak dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan deadline ataupun tidak dapat menyelesaikannya secara maksimal.

(33)

22

5) Tidak adanya sikap yang menentang perilaku kecurangan akademik di sekolah. Hal ini timbul dikarenakan perilaku tersebut bagi kalangan guru dan siswa adalah merupakan sesuatu yang wajar dan tidak perlu untuk dipermasalahkan.

Dalam Psychology of Accademic Cheating (2007), Anderman dan Murdock menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kecurangan akademik. Faktor-faktor tersebut digolongkan ke dalam 4 (empat) karakteristik, yaitu :

1. Karakteristik demografis (demographic)

Perbedaan antar individu pada perilaku kecurangan akademik siswa telah dipelajari dalam kaitannya dengan faktor demografis seperti : a. Gender

Penelitian mengenai perbedaan gender dalam kaitannya dalam perilaku kecurangan akademik telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sebagian besar penelitian dalam bidang ini mengoperasionalkan perilaku kecurangan akademik berdasarkan self report dari pelajar. Calabrese dan Cochran, Davis dan kawan-kawan, Michaels dan Miethe, Newstead, Franklyn-Stokes, serta Armstead (dalam Anderman, 2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa siswa laki-laki lebih banyak menyontek (cheating) dibandingkan dengan siswa perempuan. Sedangkan Jacobs dan kawan-kawan (1970 dalam Anderman, 2007) dalam

(34)

23

banyak melakukan perilaku menyontek (cheating) dari pada laki-laki. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Haines dan kawan-kawan (1986 dalam Anderman, 2007) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam perilaku menyontek antara siswa laki-laki dan perempuan.

Aulia (2015) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa mahasiswa (laki-laki) mempunyai kecenderungan perilaku kecurangan akademik yang lebih tinggi dari pada mahasiswi (perempuan)

b. Usia

Penelitian tentang usia dalam kaitannya dengan perilaku cheating seperti terlihat dalam peneltian yang dilakukan oleh Jensen dan kawan-kawan (2002 dalam Anderman, 2007) yang menemukan bahwa pelajar yang usianya lebih mudah lebih cenderung mencontek daripada pelajar yang lebih tua ketika perbandingan ini dibuat antara siswa dan mahasiswa. Dari penelitian ini ditemukan bahwa perilaku kecurangan akademik akan berkurang seiring bertambahnya usia seseorang.

Dalam penelitian ‘Alawiyah (2011) menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas (tingkatan) akan semakin tinggi kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademik.

(35)

24

c. Status sosio-ekonomi

Hasil penelitian yang dillakukan oleh Calabrese dan Cochran (1990 dalam Anderman, 2007) menunjukkan bahwa siswa pada sekolah swasta (private school) yang memiliki status sosio-ekonomi tinggi lebih banyak melakukan kecurangan akademik dibandingkan dengan siswa yang berasal dari sekolah negeri (public schoo). Demikian juga dalam penelitian yang sama diketemukan bahwa siswa di daerah urban lebih cenderung melakukan kecurangan akademik dari pada mereka yang tinggal di sekolah daerah pedesaan.

d. Agama

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rettinger dan Jordan (2005 dalam Anderman, 2007) yang meneliti keterkaitan agama dengan perilaku kecurangan akademik seseorang yang dilakukan di kelas religi dan kelas liberal, menunjukkan bahwa kelas religi lebih sedikit melakukan kecurangan akademik jika dibandingkan dengan kelas liberal.

Prayudi, dkk ( 2017 ) melalui penelitian pengaruh religiusitas terhadap kecurangan akademik mahasiswa yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha ataupun Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Singaraja menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh religiusitas dengan kecurangan akademik yang signifikan dan bernilai negatif yang

(36)

25

artinya semakin tinggi nilai religiusitas mahasiswa maka kecenderungan perilaku kecurangan akademiknya akan semakin rendah. Begitu juga sebaliknya semakin rendah religiusitas mahasiswa maka kecenderungan perilaku kecurangan akademiknya akan semakin tinggi.

2. Karakteristik akademik

Yang termasuk dalam karakteristik ini adalah : a. Kemampuan (ability)

Penelitian oleh Newstead dan kawan-kawan (1996 dalam Anderman, 2007), menekankan pada kompleksnya hubungan antara kecurangan akademis dan kemampuan yang dimiliki oleh individu. Para penelti secara general menunjukkan bahwa kecurangan akademik berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu, dan hal tersebut secara umum dipercaya bahwa individu yang memiliki kemampuan rendah lebih cenderung melakukan kecurangan akademik.

Meskipun kecil, kemampuan atau prestasi yang dimiliki oleh seorang mahasiswa juga dapat mempengaruhi perilaku kecurangan akademiknya (Aulia, 2015)

(37)

26

Area subjek yang dimaksud lebih dikhususkan pada bidang studi siswa. Bowers, Davis dan Ludvigson, Newstead dan kawan-kawan (Anderman, 2007) menyatakan bahwa siswa yang mengambil bidang keilmuan eksak atau ilmu pasti kecenderungan melakukan cheating lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa yang mengambil bidang keilmuan sosial atau seni.

3. Karakteristik motivasi a. Self-efficacy

Murdock dan kawan-kawan ( 2001 dalam Anderman, 2007) melakukan penelitian pada siswa tingkat menengah pertama menemukan bahwa terdapat hubungan negatif (berbanding terbalik) antara accademic cheatig dan self-efficacy. Demikian juga menurut penelitian Finn dan Frone (2004 dalam Anderman, 2007) self-efficacy memprediksi cheating ketika tingkat prestasi siswa telah dikontrol. Dan penelitian yag dilakukan oleh Calabrese dan Cochran, Michaels dan Miethe, serta Malinowski dan Smith (Anderman, 2007), perilaku mencontek (cheating) yang dilakukan oleh pelajar akan lebih sering ketika mereka memiliki self-efficacy rendah dan pada saat sedang diliputi oleh rasa takut akan kegagalan.

Syahrina dan Ester (2016) dalam penelitiannya pada mahasiswa Universitas Putra Indonesia Padang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan berarah negatif antara self efficacy

(38)

27

dengan academic dishonesty. Mahasiswa dengan self efficacy yang tinggi akan menciptakan perasaan yang tenang dalam menghadapi tugas yang sulit, meningkatkan optimism, dan menurunkan kecemasan. Sebaliknya mahasiswa dengan self efficacy yang rendah akan menumbuhkan stress, depresi, dan pandangan sempit dalam memecahkan masalah.

Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Pudjiastuti (2012) yang menunjukkan mahasiswa yang memiliki self-efficacy rendah akan diikuti oleh kecenderungan melakukan kecurangan akademik yang tinggi. Demikian pula sebaliknya mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademik menjadi rendah.

b. Goal orientation

Penelitian oleh Anderman dan kawan-kawan, dan Murdock dan kawan-kawan (Anderman, 2007) menunjukkan bahwa pada tingkat Sekolah Menengah Pertama ditemukan adanya hubungan negatif antara cheating dan mastery goals. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi mastery goals orientation tidak ada kaitannya dengan perilaku cheating.

Masih adanya anggapan dalam masyarakat bahwa nilai adalah segalanya akan mendorong siswa untuk mendapatkan nilai yang baik dengan menggunakan berbagai macam cara meskipun itu

(39)

28

bertentangan dengan hukum dan norma yang ada. Karena hal tersebut didorong oleh keinginan siswa untuk mendapatkan nilai yang tinggi (Hartanto, 2012)

4. Karakteristik kepribadian

a. Impulsivitas dan sensation-seeking

Anderman dan Murdock (Anderman, 2007) mengemukakan bahwa impulsivitas dan sensation-seeking merupakan dua konstruk pada literatur psikologi yang memungkinkan berhubungan dengan perilaku kecurangan akademik (cheating)

Kedua pendekatan ini sering digunakan untuk memahami perilaku mencontek pada siswa. Siswa dikatakan impulsive jika ia membuat keputusan lebih banyak didasarkan pada dorongan dibandingkan memikirkan alasan. Dorongan yang dimaksud adalah mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Seorang siswa memiliki kebutuhan akan sensasi individu yang berlebihan ketika sedang tumbuh dan berkembang tersebut melakukan perbuatan menyontek karena tindakan tersebut dianggap bersifat alami sehingga harus diikuti untuk dapat terus bertahan hidup (Hartanto, 2015)

(40)

29

Hasil penelitian Grasmick, Tittle, Bursik dan Arneklev (1993 dalam Anderman, 2007) menemukan bahwa self-control dan persepsi terhadap kesempatan menyontek berhubungan dengan perilaku menyontek (cheating). Karena self-control akan menentukan apa yang individu akan lakukan.

c. Tipe kepribadian

Davis (1995 dalam Anderman, 2007) dalam eksperimennya menemukan bahwa siswa dengan tipe kepribadian A lebih banyak melakukan kecurangan akademik daripada siswa dengan kepribadian B. Hal ini menunjukkan bahwa tipe kepribadian seseorang juga berpengaruh terhadap perilaku cheating seseorang. Miller dan kawan-kawan ( dalam Anderman, 2007) meneliti tentang karakteristik pelaku kecurangan akademik, dan menghasilkan bahwa kepribadian menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan tindakan kecurangan akademik.

d. Locus of control

Anderman dan Murdock (2007) dalam eksperimennya tentang locus of control menemukan bahwa individu yang memiliki eksternal locus of control kecenderungan untuk melakukan cheating lebih tinggi.

(41)

30

Musslifah (2012) dalam penelitian pengaruh mencontek ditinjau dari kecenderungan locus of control menunjukkan hasil bahwa semakin internal locus of control siswa maka akan semakin sering perilaku mencontek yang dilakukan. Sebaliknya semakin eksternal locus of control siswa akan semakin jarang perilaku menconteknya.

3. Dimensi-dimensi Accademic Cheating

Cizek dan Anderman (2007) membagi perilaku cheating dalam 3 (tiga) kategori :

1. Giving (memberi), taking (mengambil), or receiving (menerima) informasi.

2. Menggunakan materi (bahan atau alat) yang terlarang

3. Memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur, atau proses untuk memperoleh keuntungan (benefit)

Lambert, Hogan, dan Barton (2003 dalam Farikoh dan Suseno, 2015) membagi accademic cheating ke dalam 4 (empat) aspek :

1. Menggunakan alat ataupun bahan yang tidak sah pada setiap kegiatan akademik.

2. Fabrikasi atau memalsukan informasi, referensi, atau hasil.

3. Membantu (memfasilitasi) atau memberikan keleluasaan pada siswa lain untuk melakukan tindakan kecurangan akademik.

(42)

31

B. Kepribadian Ihsan

1. Pengertian Kepribadian Ihsan

Muhsin berarti orang yang berbuat ihsan. Kata “ihsan” sendiri berasal dari “husana” yang berarti baik atau bagus. Mujib (2006) menngemukakan bahwa seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Mujib (2006 dalam Farikoh dan Suseno, 2015) juga mengemukakan pengertian kepribadian ihsan adalah kepribadian yang mengarahkan individu untuk memperbaiki dan mempercantik dirinya, baik berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta, dan kepada Tuhan yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.

Secara umum perilaku ihsan dapat diartikan bahwa manusia dalam setiap bertingkah atau berperilaku seolah-olah senantiasa dilihat oleh Allah SWT, sehingga ia diharapkan memiliki kepribadian yang dapat memperbaiki atau mempercantik dirinya yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain (lingkungan) dan hubungannya dengan Tuhan.

Bastaman (2005) mengemukakan lima fungsi Psikologi Islam (termasuk Psikologi Kepribadian Islam), yaitu :

1. Fungsi pemahaman (understanding); memahami kepribadian apa adanya dan bagaimana seharusnya; memberikan penjelasan yang benar, masuk akal dan ilmiah-qurani mengenai tingkah laku manusia

(43)

32

2. Fungsi pengendalian (control); memberi arah yang efektif dan efisien untuk berbagai tingkah laku manusia, serta memanfaatkan temuan-temuan ilmiah-qurani secara benar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.

3. Fungsi peramalan (prediction); memberi gambaran mengenai kondisi tingkah laku manusia di masa mendatang (termasuk kehidupan setelah mati dan di akhirat kelak) serta memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada periode waktu tertentu.

4. Fungsi pengembangan (development); memperluas dan mendalami ruang lingkup psikologi kepribadian Islam; menyusun teori-teori baru; menyempurnakan metodologi dan menciptakan berbagai teknik dan pendekatan psikologis.

5. Fungsi pendidikan (education); meningkatkan kualitas perilaku manusia; menunjukkan tingkah laku yang benar dan baik; dan memberi arahan bagaimana mengubah tingkah laku yang salah menjadi benar, sehingga membentuk kepribadian yang sempurna (kamil)

2. Aspek-aspek kepribadian ihsan

Bentuk – Bentuk Kepribadian Muhsin (Mujib, 2006)

a. Karakter Ta’ib (yang bertaubat), yaitu karakter yang menyesal (al-nadm) karena melakukan dosa, baik dosa kepada Alloh SWT maupun dosa-dosa sosial. Dalam pandangan Hujwiri, taubat adalah lupa selain

(44)

33

Alloh dan cinta pada-Nya dan senantiasa melakukan kontemplasi tentang-Nya.

1) Secara kognitif, ia membaca istighfar (memohon ampunan)

2) Secara afektif, ia menyesal dan senantiasa menghapus dosa atau kesalahan masa lalu agar tidak diulang kembali.

3) Secara psikomotorik, ia takut kepada Alloh dengan menjalankan perintah menjauhi larangan-Nya.

Adapun cirri-ciri dari karakter ta’ib menurut Ibn Qayyim adalah : 1) Bersegera dalam bertaubat dan tidak menunda-nunda

2) Bertaubat terhadap dosa yang satu sama artinya bertaubat dengan dosa yang lain

3) Selalu mengerjakan kebaikan untuk menghapus keburukan

4) Kesungguhan dalam menyesali perbuatan dosa diiringi oleh tangis, sedih, takut, dan niat yang kuat untuk tidak mengulanginya

5) Jika terkait hak-hak sesama manusia, maka hak itu harus diselesaikan terlebih dahulu

6) Bertaubat terhadap dosa besar.

b. Karakter Zahid (yang zuhud) yaitu karakter yang berpaling, menganggap hina dan kecil, serta tidak merasa butuh pada sesuatu yang bersifat material. Indikator-indikator orang yang berkarakter zahid adalah : 1) Meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan

akhirat

(45)

34

3) Tidak merasa gembira dengan kehadiran dunia, dan tidak merasa menyesal apabila kehilangannya.

4) Adanya kelapangan jika terlepas dari jeratan kepemilikan dunia dan menghindari dunia tanpa terpaksa

5) Kalbu berupaya keluar dari belenggu materi untuk menuju pada akhirat.

6) Tidak sekadar meninggalkan dunia, melainkan tidak merasa memiliki sesuatu dan tidak merasa dimiliki sesuatu, sehingga hidupnya merdeka dan bebas tanpa diikat oleh kehidupan material. 7) Berderma dengan yang ada.

Karakter zahid memiliki 3 (tiga) tingkatan yaitu tingkatan pertama adalah zuhud dari hal-hal yang syubhat yaitu meninggalkan sesuatu yang meragukan dan tidak jelas halal haramnya. Kedua, zuhud dari penggunaan harta yang berlebihan, yaitu meninggalkan penggunaan harta yang berlebih selain untuk memenuhi kebuthan primer. Dan ketiga yaitu zuhud dalam zuhud, yaitu merasa bahwa perbuatan zuhudnya masih dalam taraf minimal, dan memiliki perasaan yang sama ketika kedatangan (adanya) dan kepergian (hilangnya sesuatu)

c. Karakter wari’ (wara’) yaitu karakter yang menjaga diri dari perbuatan yang tidak patut, yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang. Kriteria dari karakter ini adalah :

1) Membersihkan kalbu dari segala kotoran dan najis fisik maupun psikis

(46)

35

2) Meninggalkan perbuatan yang sia-sia dan tidak ada gunanya 3) Menjauhkan kalbu dari segala perbuatan yang masih diragukan d. Karakter kha’if ( yang khawf) yaitu karakter yang takut akan kebencian,

kemurkaan dan siksa Alloh SWT., akibat melanggar larangan-larangan-Nya. Atau takut akan kebesaran-larangan-larangan-Nya. Karakter ini mengarahkan individu untuk selalu instrospeksi terhadap perilaku yang diperbuat, apakah perilakunya telah menyenangkan atau memuaskan Tuhannya.

e. Karakter raji’ (yang raja’) yaitu karakter yang berharap terhadap sesuatu kebaikan kepada Alloh SWT. dengan disertai usaha yang sungguh-sungguh dan tawakkal.

f. Karakter mukhlash (yang ikhlas) yaitu karakter yang murni dan taat yang seluruh perilakunya hanya ditujukan kepada Alloh SWT semata, dengan cara membersihkan perbuatan, baik lahir maupun bathin, dari perhatian makhluk.

g. Karakter mustaqim (yang istiqomah), yaitu karakter yang melakukan suatu pekerjaan yang lurus secara kontinue dan abadi. Karakter mustaqim membutuhkan niat yang benar dengan jalan yang benar juga, dan tidak berlaku pada niat dan jalan yang salah. Karakter ini merupakan spirit yang dapat memotivasi amal saleh seperti disiplin atau tepat waktu, memiliki komitmen yang kokoh dan dedikasi yang tinggi.

h. Karakter shabir (yang sabar) yaitu menahan diri atau lebih tepatnya mengendalikan diri. Karakter ini dapat menghindarkan seseorang dari

(47)

36

perasaan resah, cemas, marah dan kekacauan. Karakter ini terdapat dua aspek yakni :

1) Aspek fisik (badani), yaitu menahan diri (sabar) dari kesulitan dan kelelahan badan dalam menjalankan perbuatan yang baik.

2) Aspek psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur dan tuntutan hawa nafsu.

i. Karakter mutawakkil (yang bertawakal), adalah karakter yang menyerahkan diri dan apa yang dimiliki dengan sepenuh hati kepada kekuatan (qudrah) dan kehendak (iradah) Alloh, sehingga dalam hatinya tiada beban psikologis yang dirasakan. Dalam hal ini, tawakal yang dimaksudkan adalah mewakilkan atau menyerahkan semua urusan kepada Alloh SWT, sebagai Zat yang mampu menyelesaikan semua urusan, setelah manusia tidak memiliki lagi daya dan kemampan untuk menyelesaikannya. Untuk memperoleh karakter ini diperlukan beberapa ketentuan sebagai berikut :

1) Memiliki keyakinan yang benar tentang kekuasaan dan kehendak Alloh SWT. kepada hamban-Nya.

2) Mengetahui hukum sebab akibat akan urusan yang dikerjakan. 3) Memperkuat kalbu dengan tauhid

4) Menyandarkan kalbu kepada Alloh dan merasa tenang di sisi-Nya 5) Memiliki persangkaan yang baik kepada Alloh

6) Menyerahkan kalbu sepenuhnya kepada-Nya dan menghalau apa saja yang merintangi

(48)

37

7) Pasrah atau menyerahkan semua urusan kepada-Nya

j. Karakter qani’ (qana’ah), yaitu dalam menerima apa adanya atau seadanya. Karakter ini menuntut individu untuk mengerahkan segala daya upayanya seoptimal mungkin, kemudian ia menerima hasil dari jerih payahnya, tetapi ia belum mampu menggapai puncak keinginannya. k. Karakter radhi (yang ridha), yaitu rela terhadap apa yang dimiliki dan

diberikan. Karakter radhi dimiliki individu setelah ia meaksanakan tawakal, karena ridha menjadi puncak dari tawakal.

l. Karakter syakir (yang bersyukur), yaitu menampakkan nikmat Alloh SWT yang diberikan kepadanya.

m. Karakter al-haya’ (malu), yaitu kepekaan diri yang mendorong untuk meninggalkan keburukan dan menunaikan kewajiban.

n. Karakter shadiq (yang jujur), yaitu kesesuaian antara yang diucapkan dengan kejadian yang sesungguhnya, kesesuaian antara yang di hati dengan yang ditampakkan, dan perkataan yang benar ketika berhadapan pada orang yang ditakuti atau diharapkan.

o. Karakter mu’tsir (yang itsar), yaitu karakter yang mementingkan atau mendahulukan kepentingan orang lain.

p. Karakter mutawadhi’(yang tawadhu’), yaitu sikap kalbu yang tenang, berwibawa, rendah hati, lemah lembut tanpa disertai rasa jahat, congkak dan sombong.

q. Karakter mu’ri (yang muru’ah), yaitu karakter keperwiraan yang menjunjung tinggi sifat-sifat kemanusiaan yang agung. Karakter ini

(49)

38

meliputi pengamalan perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang buruk dan menghindarkan diri dari perbuatan yang hina dan rendah. r. Karakter muhibb (yang muhabbah), yaitu kelekatan jiwa individu pada

individu lain yang ditopang oleh perasaan saling memperhatikan, mempercayai, mendekat, sehingga keduanya ingin tetap bersatu, baik lahir maupun batin.

s. Karakter mukhbit, yaitu karakter yang memiliki kerendahan dan kelembutan hati, merasa tenang dan khusyuk dihadapan Alloh, dan tidak menganiaya pada orang lain.

t. Karakter muttaqi (yang takwa), yaitu takut terhadap murka atau siksa Alloh SWT. Pengertian takwa lebih luas adalah mengikuti semua perintah Alloh SWT dan menjauhi larangan-Nya. Karakter ini merupakan puncak dari kepribadian muhsin.

C. Tekanan Akademik

1. Pengertian Tekanan Akademik

Tekanan akademik menurut Mufakkir dan Agung (2016) adalah desakan dalam diri siswa baik itu dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang disebabkan oleh kuantitas tugas yang harus diselesaikan.

Pamungkas (2015) mengutip dari Depdiknas (2008) menjelaskan tekanan yang berasal dari kata “tekan” memiliki arti keadaan (hasil) kekuatan yang menekan, desakan yang kuat (paksaan), keadaan yang tidak menyenangkan

(50)

39

yang umumnya merupakan tekanan batin. Masih dalam Pamungkas (2015) yang mengutip pendapat Albrecht dan kawan-kawan (2012) tekanan merupakan situasi dimana seseorang merasa perlu memilih melakukan perilaku kecurangan akademik. Olejnik dan Holschuh (2007 dalam Pamungkas, 2015) menggambarkan tekanan akademik adalah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus dikerjakan siswa.

Tekanan-tekanan akademik yang dialami oleh siswa menurut Hartanto (2012) dapat berasal dari orang-orang terdekat seperti orang tua, saudara, atau teman-teman sebaya. Demikian juga hasil penelitian Dahiya dan Sarita (2015) menunjukkan bahwa tekanan dari orang tua dan guru memberikan kontribusi besar terhadap terjadinya tekanan akademik yang dialami oleh siswa sehingga mereka melakukan kecurangan akademik.

2. Jenis-Jenis Tekanan Akademik

Albrecht (2012) membagi tekanan akademik ke dalam 4 tipe, yaitu : a. Tekanan faktor keuangan (financial pressure)

Dalam hal ini tekanan disebabkan karena faktor ekonomi yang dialami oleh mahasiswa yang berkaitan erat dengan kelangsungan atau keinginan siswa dalam mencapai tujuan akademisnya. Masalah ekonomi seperti tidak ada lagi penopang ekonomi dalam keluarga, keluarga atau mahasiswa memiliki hutang, mengalami kerugian atau kebangkrutan ekonomi, adanya kebutuhan yang tak terduga, atau hal lainnya. Sehingga

(51)

40

dari beberapa sebab itulah mereka melakukan kecurangn akademik demi memperoleh nilai yang baik yang salah satunya dapat digunakan untuk mengakses beasiswa yang sering diharuskan mencamtumkan nilai minimal tertentu sebagai syaratnya. Atau mereka melakukan kecurangan agar tetap dapat mempertahankan nilai dengan harapan beasiswa yang telah diperoleh tidak dicabut.

Pamungkas (2015) dalam penelitiannya menyebutkan jika tuntutan-tuntutan dalam bidang ekonomi agar tujuan akademis siswa tetap tercapai begitu besar namun tanpa diimbangi dengan kemampuan yang dimiliki, disinilah akan timbul kecenderungan siswa untuk melakukan kecurangan akademik. Dan hal ini juga pernah diungkap sebelumnya oleh Hartanto (2012) bahwa keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi akan mendorong siswa untuk melakukan kecurangan akademik meskipun harus menggunakan cara-cara yang melanggar.

b. Kebiasaan buruk yang dimiliki seseorang

Salah satu kebiasan buruk yang mendorong mahasiswa untuk melakukan kecurangan akademik adalah prokrastinasi. Hal ini seperti yang ditulis oleh Hartanto (2012) bahwa kebiasaan buruk seperi prokrastinasi, self-efficacy yang rendah, dan kontrol diri rendah menjadi salah satu penyebab terjadinya kecurangan akademik pada seseorang. Hal ini terjadi karena mahasiswa yang terbiasa menunda belajar atau penyelesaian tugas

(52)

41

tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi ujian atau tugas akademik sehingga melakukan kecurangan adalah salah opsi pilihannya.

c. Tekanan yang berasal dari pihak eksternal

Hartanto (2012), Dahiya dan Sarita (2015) dan Zaini (2014) menyebutkan bahwa tekanan dari orang tua atau orang-orang di sekitar mahasiswa termasuk juga tekanan dari guru merupakan hal yang juga mendorong siswa untuk melakukan kecurangan akademik.

Tekanan tersebut dapat berupa bahwa mahasiswa dituntut harus berhasil dan mendapatkan nilai tinggi dalam ujian atau tugas akademik demi nama baik (prestige) orang tua maupun pihak guru. Akan tetapi sayangnya pada mahasiswa tertentu keharusan untuk meraih hasil yang baik tersebut diperoleh melalui cara curang.

Disamping itu tekanan dari teman sebaya menurut Hartanto (2012) juga menjadi pemicu terjadinya kecurangan akademik. Hal ini terjadi karena jika mahasiswa yang tidak mau memberikan jawaban atau mengikuti perilaku menyontek biasanya akan mendapatkan sanksi sosial dari teman-teman sebaya berupa akan dijauhi bahkan mendapatkan kekerasan baik verbal maupun non-verbal.

d. Tekanan lain-lain

Zaini (2014) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa tekanan akademik yang secara sistemik juga berdampak pada terjadinya

(53)

42

kecurangan akademik. Tekanan secara sistemik yang dimaksud dalam hal ini seperti misal sekolah atau penyelenggara diharuskan mendapatkan nilai batas minimal tertentu oleh instansi terkait dalam penyelenggaraan ujian. Hal ini kemudian yang terjadi di beberapa lembaga pendidikan akhirnya juga melakukan tekanan kepada mahasiswa bahkan tidak jarang segala upaya dilakukan agar target tersebut dapat tercapai.

Keharusan mahasiswa untuk lulus dalam suatu ujian atau tugas akademik menurut Cizex (2010) juga menjadi salah satu hal meyebabkan besarnya tekanan akademik terhadap mahasiswa. Dalam hal ini selain keharusan untuk lulus dengan nilai yang baik, hal lain yang menyebabkan terjadinya tekanan akademik adalah kompetisi mahasiswa akan nilai yang sangat tinggi, beban tugas yang sangat banyak, dan waktu belajar yang kurang cukup. Bagi mahasiswa keharusan yang tanpa diimbangi dengan waktu yang cukup dalam untuk memahami dan menyelesaikan suatu materi dan beratnya tugas cenderung membuat mahasiswa mencari cara instan dalam penyelesaian tugas yang diterima.

3. Indikator tekanan akademik

Berdasarkan pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa indikator terjadinya tekanan akademik yang dialami oleh mahasiswa adalah :

a. Keharusan atau pemaksaan untuk lulus.

b. Kompetisi mahasiswa akan nilai yang sangat tinggi. c. Beban tugas yang sangat banyak.

(54)

43

d. Waktu belajar dan penyelesaian tugas yang tidak cukup.

D. Keterkaitan antara Kepribadian Ihsan dan Tekanan Akademik dengan Kecenderungan Perilaku Kecurangan Akademik

Dilihat dalam tahapan perkembangan, mahasiswa termasuk dalam tahapan perkembangan remaja akhir dalam rentang usia 18-20 tahun. Hurlock (1990) mendefinisikan remaja yang berasal dari kata adolescence yang mempunyai arti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Lebih luas diartikan Piaget (Hurlock, 1990) adalah masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Pada minat pendidikan, remaja pada umumnya suka mengeluh tentang sekolah dan tentang larangan-larangan, tugas akademik dan cara pengelolaan lingkungan belajar. Besarnya minat remaja terhadap pendidikan banyak dipengaruhi oleh minat mereka terhadap pekerjaan (Hurlock, 1990). Dan untuk memperolehnya dibutuhkan keberhasilan untuk lulus dengan nilai sesuai harapan agar minat akan pekerjaan yang mereka impikan dapat terpenuhi.

Tekanan yang mereka dapatkan dari orang tua atau lingkungan untuk berhasil dalam dunia pendidikan. Prestasi yang baik akan membuat mereka semakin dipandang di lingkungannya. Bagi mereka nilai-nilai yang mereka

(55)

44

capai adalah gambaran yang menunjukkan kesuksesan atau kegagalannya dalam dunia akademis.

Dengan adanya penilaian tersebut membuat mahasiswa berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai yang sempurna dan nilai terbaik di antara mereka. Dari sinilah tekanan itu muncul yang tidak jarang membuat mereka harus melakukan kecurangan akademik dalam proses pencapaian akan nilai dan keberhasilan dalam belajar. Hartanto (2012) memaparkan bahwa pemicu salah satu pemicu terjadinya tekanan akademik adalah berasal dari orang tua atau lingkungan, dan juga rasa prestige diantara teman sebaya.

Sebagaimana pemaparan di atas bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kecurangan akademik yaitu kepribadian seseorang dan tekanan akademik yang dialami oleh seseorang. Ini sudah dibuktikan melalui penelitian Miller dan kawan-kawan (2007) dan penelitian oleh Aslam dan Nazir, termasuk juga penelitian yang dilakukan oleh Farikoh dan Suseno ( 2015). Bahwa faktor internal yang berupa kepribadian seseorang dapat mempengaruhi terjadinya tekanan akademik pada seseorang. Kepribadian Ihsan yang bersumber pada nilai-nilai moral dan religiusitas pada seseorang kepada Tuhannya diharapkan mampu menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecurangan akademik pada mahasiswa. Lebih rinci Farikoh dan Suseno (2015) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kepribadian ihsan dengan kecenderungan perilaku kecurangan akademik pada mahasiswa. Hubungan tersebut memberikan penjelasan bahwa mahasiswa yang memiliki

(56)

45

kepribadian ihsan yang tinggi, cenderung memiliki perilaku kecurangan akademik yang rendah, begitu juga sebaliknya mahasiswa yang rendah memiliki kecenderungan perilaku kecurangan akademik yang tinggi.

Sedangkan tekanan akademik yang juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan akademik sebagaimana temuan Zaini (2014) yang menunjukkan bahwa tekanan akademik akademik yang dialami mahasiswa menjadikan mahasiswa lebih cenderung melakukan kecurangan akademik dalam rangka keluar dan menjawab tekanan yang mereka alami.

Tekanan yang dialami yang dialami oleh mahasiswa akan semakin meningkatkan kecenderungannya untuk melakukan kecurangan akademik sebagaimana hasil penelitian Sulindawati, dkk (2017) bahwa mahasiswa yang mengalami pressure kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademiknya akan semakin tinggi.

Pamungkas (2015) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tekanan akademik yang dimiliki oleh seorang siswa berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan akademik siswa. Dimana siswa yang merasa terbebani yang kemudian membuatnya tertekan sehingga semakin mendorong siswa untuk melakukan sesuatu yang mengabaikan peraturan dan norma yang ada dalam tugas akademiknya sehingga kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademiknya akan semakin tinggi pula.

Dalam menghadapi tekanan-tekanan akademik yang berujung pada munculnya perilaku kecrangan akademik itulah diperlukan kepribadian yang mampu mengontrol dan menurunkan kecenerungan untuk berperilaku curang

Gambar

Gambar 1 : Kerangka Teori ........................................................................
Gambar 1. Kerangka Teori
Tabel Respon Pernyataan
Tabel Blue Print Tekanan Akademik
+4

Referensi

Dokumen terkait

Irisan kerucut dapat didefinisikan sebagai: tempat kedudukan titik-titik pada sebuah bidang, sedemikian, sehingga jarak titik-titik tersebut ke sebuah titik tetap F (yang

From “The Seven Habits of Highly Effective People: Restoring the Character Ethic” by Stephen R. BE PROACTIVE: Between stimulus and response in human beings lies the power

Pemesanan tiket bioskop melalui internet dengan fasilitas-fasilitas yang menarik diharapkan dapat mempermudah user dalam melakukan pemesanan tiket film yang diinginkan tanpa

Tabel 4.10 Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Tajam Penglihatan Sesudah Operasi Penderita Katarak Rawat Jalan di Rumah Sakit Mata SMEC Medan Tahun 2015.... Tabel

Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku karyawan yang lebih didasarkan atas kebebasan individu dalam berinisiatif, lebih kooperatif dengan yang lain, tidak berkaitan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian 10% ekstrak daun bawang putih ( Allium sativum ) dan katuk ( Sauropus androgynus ) dapat meningkatkan penampilan dan

(online) www.alimuhayatsyahbloger.co.id, diakses tanggal 26 januari 2016 Muljono, Teknik Penggawasan Pembiayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Purnomo, Dwi. Dalam Jurnal Manajemen

Manfaat penelitian ini dapat di lihat dari dua aspek yaitu:.. a) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi kajian yang berhubungan dengan praktik pembiayaan