• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARMA PHALA DAN PANGRUWATAN DALAM TEKS LONTAR TUTUR LEBUR GANGSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARMA PHALA DAN PANGRUWATAN DALAM TEKS LONTAR TUTUR LEBUR GANGSA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM TEKS LONTAR TUTUR LEBUR GANGSA

I Made Suweta

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja E-mail : madesuwetabali@yahoo.com / madesuwetabali62gmail.com

ABSTRACT

The teachings of Hinduism are contained in the Vedic scriptures and are applied in various literary works. The orthodoxy of the Hindu community in Bali, in understanding the teachings of the Vedas can be through the original media of the archipelago culture through lontar texts. In the life of the Balinese people, lontar get a very important place, as a source of various knowledge. The problem to be discussed in the Lontar Lebur Gangsa text is how is the law of karmaphala and pangruwatan in the text Lontar Lebur Gangsa? Based on the discussion on the text Lontar Tutur Lebur Gangsa, it can be mentioned about the human condition in this life; like why humans can experience good conditions now that are felt as a beauty, and also sometimes ugliness? According to the text Lontar Tutur Lebur Gangsa, this is nothing but the result (phala) of his own actions (Karma), which are related to Sancita, Karmaphala, Pralabdha, and Kriyamana Karmaphala, which is explained explicitly about the consequences obtained from the deeds done by humans. Everything that causes misery in human life is also associated with the ritual ruwatan as an attempt to cleanse spiritually in the hope that all deficiencies can be neutralized into a better life.

Keywords: Text of Lontar Lebur Gangsa, Karma Phala, Pangruwatan

I. PENDAHULUAN

Ajaran agama Hindu turtuang dari berbagai hasil karya sastra kuno, baik yang terdapat dalam kitab suci Weda seperti: Sruti,

Smerti, Sila, Acara, Atmanastuti dan ribuan

lontar, telah menyediakan berbagai kebutuhan- kebutuhan dari aspek yang bermacam-macam dari sifat mansusia. Secara ortodoksi masyarakat Hindu di Bali dalam memahami ajaran Weda melalui media yang asli budaya nusantara yakni melalui media naskah lontar. Dalam kehidupan masyarakat Bali, lontar mendapatkan tempat yang sangat istimewa. Naskah-naskah lontar yang ada di Bali

tersimpang diberbagai tempat, seperti pada instansi ataupun lembaga-lembaga formal yang diantaranya, Gedong Kirtya Singaraja, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, UPT Lontar Fakultas Sastra dan Budaya Udayana, UNHI Denpasar, IHDN Denpasar, Kampus Dwijendra Denpasar, dan masih banyak disimpan pada rumah-rumah penduduk, serta disimpan oleh para pecinta sastra sebagai koleksi pribadi.

Berbagai jenis naskah ataupun teks lontar yang dapat diklarifikasikan, diantaranya berjenis tutur, tattwa, kanda, wariga, babad, dan lain sebagainya. Naskah ataupun teks lontar yang biasanya banyak ditemui adalah yang

(2)

berjenis tutur dan tattwa. Content dari jenis

tutur ini banyak menguraikan tentang dogma

agama, filsafat agama, dan bahkan ada yang menguraikan tentang kosmos. Jika diidentifikasi penggunaan bahasanya kebanyakan memakai bahasa Jawa Kuna, ada pula yang memakai bahasa Bali (Agastia, 1994: 6).

Naskah atau teks yang berjenis Tutur

merupakan salah satu jenis karya sastra yang mengandung nilai-nilai agama, filsafat dan juga nilai kehidupan. Soebadio menjelaskan tentang arti kata tutur (1985: 3) merupakan pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid-murid yang memenuhi syarat. Dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah pentingnya, di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur yang sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat, hukum adat, upacara keagamaan dan kehidupan sosial lainnya (Sastrawan, 2009: 2). Sesuai dengan uraian tentang tutur tersebut teks lontar Tutur

Lebur Gangsa yang memberikan informasi dan

pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan masyararakat khususnya masyarakat Bali, yang mendung nilai-nilai luhur yang mempunyai relasi dengan filsafat keagamaan, upacara keagamaan, serta mengenai kehidupan sosial masyarakat. Selain hal tersebut, Tutur

Lebur Gangsa mempunyai fungsi yang

terkandung di dalamnya untuk diterapkan dan berkaitan dengan kehidupan religius masyarakat Bali. Berdasarkan sekilas latar belakang sebagaimana tersebut di depan, permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana hukum Karmaphala dan

pangruwatan dalam teks lontar Tutur Lebur

Gangsa?

II. PEMBAHASAAN

2.1Sinopsis Teks Lontar Tutur Lebur Gangsa Manusia hendaknya hidup berpedoman sesuai dengan ajaran agama dan tata aturan yang berlaku. Apabila manusia berbuat di luar tata aturan dan berperilaku tidak baik, manusia akan mendapatkan mala petaka yang diciptakan oleh Sang Hyang Lebur Gangsa. Hukum Karmaphala dari kehidupan sebelumnya, sekarang maupun yang akan datang. Diuraikan juga bahwa jika leluhur yang dulunya berbuat buruk, akan berdampak buruk pada kehidupannya sekarang, dan semua keturunannya akan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Begitupula pada kehidupan sekarang, salah satunya jika ada seseorang dukun yang mengobati tidak berdasarkan aturan pengobatan, raganya akan menjadi rumah dari segala penyakit. Hal tersebut disebabkan karena lahir membawa mala dan lahir mendapatkan hukuman. Untuk dapat kembali ke dalam kehidupan yang baik ada suatu upacara yang harus dilaksanakan guna mengembalikan hal seperti itu diharapkan menjadi lebih baik, dengan melaksankan upacara peruatan yang disebut Sasakapan Hala Pati. Pada bagian ini jelas dipaparkan bagaimana tata cara dan sesaji yang harus digunakan dan dipersiapkan untuk melaksanakan upacara Sasakapan Hala Pati

tersebut.

Selain tentang perihal peruatan seperti yang disebutkan di atas, juga dijelaskan tentang bagaimana ciri-ciri Durmanggala dan

(3)

Durbhiksa yang terjadi pada alam dan pekarangan rumah. Dijelaskan beberapa tata cara membangun rumah agar terhindar dari malapetaka. Bila ciri-ciri Durmanggala dan

Durbhiksa telah tampak, sepatutnya

mendirikan tempat suci yang disebut Antasana

sebagai stana Sang Hyang Tiga Wisesa yaitu:

Sang Hyang Indra belaka, Sang Hyang Durgha

Maya, dan Sang Kala Maya. Beliau menunggal mengeluarkan kehebatan menjadi Durga

Manik. Jika beliau tidak dibuatkan stana, maka

beliau akan memberikan penyakit (kesengsaraan). Dan diuraikan juga terkait bagaimana cara menetralisir dan meruwat keangkeran atau pekarangan yang panas dengan upacara mecaru.

2.2 Karmaphala dalam Teks Lontar Tutur Lebur Gangsa

Ajaran agama Hindu, secara teologis memiliki konsep fundamental yang dipahami sebagai landasan berkeyakinan. Keyakinan dalam Hindu berterminologi Sradha. Landasan

sradha ini yang menunjukkan bahwa agama

Hindu meyakini suatu konseptual yang universal, sebagai pandangan untuk beragama. Pada dasarnya konsep ini mempunyai lima pilar yang disebut sebagai Panca Sradha yang terdiri atas, (1) Brahman, (2) Atman, (3) Karmaphala,

(4) Punarbawa dan Samsara, dan (5) Moksa.

Kelima pilar tersebut merupakan dasar umat untuk “yakin” sesuai ajaran agama Hindu. Berdasarkan fokus dalam kajian teks ini yang membahas ajaran Karmaphala sebagai salah satu landasan berkeyakinan umat Hindu.

Karmaphala artinya hasil perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang. Apa yang dikerjakan, baik atau buruk, maka itulah yang dinikmatinya dalam kehidupan ini maupun kelak di kemudian hari sampai di alam niskala (Subagiasta, 2007: 27). Penjelasannya Karmaphala mempunyai beberapa konsep untuk dapat mengetahui pembagiannya secara rinci, yang di dalamnya termuat tiga komponen dalam hal memahaminya.

1. Sancita Karmapala yaitu hasil yang diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya pada kehidupan sebelumnya.

2. Prarabdha Karmapala yaitu perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini dan hasil atau pala nya akan diterima pada kehidupan saat ini juga.

3. Kryamana Karmapala yaitu perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun hasilnya akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.

Berdasarkan uraian dalam penjelasan tentang Karmaphala tersebut sebagai pengetahuan dalam memahami uraian ajaran karmaphla menurut teks Tutur Lebur Gangsa. Seperti uraian Karmaphala yang dijelaskan oleh Subagiasta (2007) bahwa manusia dalam kehidupannya akan selalu berbuat (karma) dan juga akan mendapatkan hasilnya (Phala) baik perbuatan yang baik dan buruk akan tetap mendapatkan hasilnya seperti itu. Berdasarkan telaah dalam Tutur Lebur Gangsa, dikarenakan teks ini membahas tentang pengruatan atau pembersihan, maka dijelaskan mengenai karma-karma buruk yang pernah dilakukan,

(4)

sehingga mendapatkan hasil (Phala) yang sama. Berdasarkan pembagian konsep ajaran Karmaphala di atas dalam teks Tutur Lebur

Gangsa, pertama dimulai dengan Sancita

Karmaphala, seperti uraian teks di bawah ini.

Bisukali manca, kilanden, tuli,

pepengan, saroja, samangkana

gendhaning wong sane salah

kaluhurane nguni, karana mabekel lara

tumitisnya, kringin bulakrik, ebuh,

busung, doyog, kalimanca, lakeng

banu, tuli, kepes, udug basur, latek,

cekeli, kejer, mati wala, nujali, kepekih,

kahangan, tan paputra, bleh bangran,

salah pati, hedan, ika sami jadma gring

tumuwuh, amakta mala, amakta

dhandha dumadi.

Terjemahan:

Bisu, tuli, uring-uringan, saroja, demikianlah hukuman yang diterima karena tidak susila dahulunya, itu pula yang menjadi sebab kelahirannya, berbekal derita bulakrik (bulai),

krengen (korengan), berpenyakit

busung, jalan tidak normal, beri-beri, tuli, krempeng, buah pikirnya besar, cebol, kejang-kejang, mati muda, jamuran, tidak mempunyai keturunan atau tidak bisa mempunyai anak, mati tidak benar, gila, itu semua adalah penyakit karena lahir membawa mala, lahir karena mendapatkan hukuman.

Kutipan teks Tutur Lebur Gangsa di atas menjelaskan perihal hukuman yang didapat diterima oleh manusia setelah kelahirannya,

jika mempunyai ciri-ciri seperti yang diuraikan, bisu, tuli, korengan, krempeng, beri-beri, dan lain sebaginya merupakan pertanda bahwa kehidupan terhadulunya menyimpan perbuatan

(karma) yang amat tidak sesuai dengan norma,

moral, dan ajaran agama, sehingga mendapatkan hukuman (Phala) dalam kehidupan selanjutnya secara ekplisit uraian di atas menunjukkan tentang apa yang disebut sebagai Sancita Karmaphla yang mana menjelaskan tentang Phala (hasil) dari perbuatan (Karma) yang dilaksanakan dalam kehidupan sebelumnya. Dalam teks Agastya Parwa, menyatakan bahwa roh dalam proses evolusinya hingga dapat menyatu kembali dengan Sang Maha Roh (Brahman), haruslah melalui proses peningkatan kelahiran, dari yang rendah menuju proses kelahiran yang lebih tinggi. Roh terendah akan lahir dalam wujud berbagai jenis tamanan (odwad, wrksa,

wanaspati, dan sebagainya) jika beruntung roh

tanaman akan menjelma menjadi berbagai jenis binatang, dan jika beruntung lagi roh binatang akan menjelma menjadi manusia; dari wujud manusia berdasar kemampuan berfikirnya paling tidak menjadi dewata (Aryana, 2008: 25). Terkait dengan apa yang di uraikan oleh Aryana yang sebagaimana dikutip dari teks

Agastya Parwa, setiap roh akan mengalami

proses evolusi menjadi lebih baik, dengan demikian setiap roh akan mengalami proses tersebut sesuai dengan karma yang pernah dilakukan, sehingga hukum karmaphala berjalan sesuai dengan sistem yang ada. Selanjutnya dibahas mengenai komponen yang

(5)

kedua Prarabdha Karmaphala, sesuai dengan uraian berikut.

Angku-aku dewa, angku-aku pitara,

angrepata tani pedas saking

agamaning usaddha, cendet tuwuh,

satekan sahenahnya, anemu sasar

mwang mangkana, Bhatara Dewa

manendha ya, mwang kala manendha

ya apan kasaluk dening bhuta

kakrettan, dudu wong mangkana, nora

manganggo sepat usaddha, mangaran

dudukun, mangundang gendha, kalebu

pati. Yaning wong mangleyak, handesti,

aneluhi, anerangjana, anyetik, angracun, amateni wong tan padosa,

nilib patining wong samanya. Yanya

ngada-ada, gendha karubaning langit,

yaning balu kaambil taruna yaning

taruna ngalap balu. Yaning balu padha

balu gendha para temah anusup tekeng

luha lubu amilara, tan sah amakta

prakara, tumus tekaning awaknya,

satata amanggih sangkala, kala dengen

manglingse dadi leyak, maroda dadi

desti. Yanya wong taruna tuha, anak luh

deha tuha, padha banget laranya, ne

lanang sekadi gunung laranya, ne

wadon sagara laranya.

Terjemahan:

Apabila ada orang yang mengaku- ngaku Dewa, mengaku-ngaku leluhur, berkata-kata tidak jelas, tidak berdasarkan ajaran usada, orang yang demikian pendek umurnya. Datang dan perginya mendapat celaka. Bhatara dan dewa mengukumnya. Kala pun

menyiksanya, ia dirasuki oleh bhuta kakretan. Bukan manusia namanya orang demikian. Balian (dukun) yang tidak berpedoman kepada usada disebut

dudukun. Menanggung dosa,

terjerumus dijurang kematian. Apabila ada orang menjadi leak, men-desti, me-

neluh, melaksanakan ilmu hitam

terangjana, men-cetik, meracun,

membunuh orang tanpa dosa, membunuh orang tanpa alasan yang jelas, menjadi pengacau, mencari-cari kesalahan orang, membunuh orang secara misterius, suka mengada-ada, mendapat hukuman karubabaning

langit. Apabila janda diambil jejaka,

jejaka diambil janda, janda kawin dengan duda, dihukum oleh masyarakat. kutukkannya menyusup, sampahpun ikut membencanai, selalu membawa masalah yang menghujani dirinya. Selalu mendapat celaka, Kala Dengen merasuki dirinya dan menjadi

leak, dan membencanainya menjadi

desti. Apabila perjaka tua, gadis tua,

sama-sama menderita sakit keras, yang laki-laki akan seperti gunung berat penyakitnya dan yang perempuan akan seperti lautan berat sakitnya.

Berdasarkan uraian teks di atas terkait dengan Prarabda Karmaphala, dalam proses kehidupan ini, semua atas hasil perbuatan buruk yang dilakukan hasilnya didapatkan pada kehidupan sekarang ini, tanpa menunggu kehidupan yang akan datang. Pada kutipan tersebut dijelaskan pula karma (perbuatan)

(6)

buruk manusia yang membuat mereka menerima pahala yang buruk pula, hingga Dewa dan Bhuta pun ikut menghukum manusia tersebut karena perbuatannya yang penuh dosa. Terkait dengan konsep Karmaphala yang terakhir yaitu Kriyamana Karmaphala

dijelaskan dalam uraian teks berikut.

Yanya wong wadon lobha maring wong

lanang, yanya nglesin lakinya amegat

tresna, yanya manadi manusa,

tumitisnya manadi asu wadon, kapastu

dening Bhatara Guru, katemah dening

guru, mwang babu pitara, mwang

mangkana aninggalin somahnya, dudu

ya wong, kudu ya maurip, tan wruh

maring dhandha kajatiyan, nora wruh

maring kapatiyani, wruh ya mangan

juga, karana samangkana, apan ya

kena upadrawa, katemah dening Sang

Hyang Guru, mwah babu pitara, keni

sapaning dewa, yan katekaning pati

mwang mangkana, atmanya kalebok

ring tanah, buat sasarnya, tan saya,

rigetaning mala, papa klesa, dursila,

tekaning patinya, sasar buat ya saka

ring mati bingung, dadya salah ton,

salah ujar, dadi salah paksa, salah

palakunya kasalub dening bhuta

dengen.

Terjemahan:

Apabila perempuan doyan lelaki, gampang putus cinta, menceraikan lelakinya, penjelmaannya nanti menjadi anjing betina, karena dikutuk oleh Bhatara Guru, dikutuk oleh guru dan leluhurnya. Ia bukan manusia namanya

yang dengan tingkah laku demikian meninggalkan suaminya. Percuma ia hidup, tidak tahu hukum kebenaran. Tidak tahu hakekat kematian, tahunya hanya makan saja. Oleh karena itu ia dikutuk oleh Bhatara Guru, leluhurnya dan dikutuk oleh Dewa. Bila ajalnya tiba, rohnya dijerumuskan ke dalam tanah. Sangat berat deritanya. Tidak putus-putusnya dirundung malang, dosa papa. Tanpa susila sampai ajalnya tiba. Kelewat tersesat, kebingungan sampai di alam kematian. Karena dirasuki oleh Bhuta Dengen, ia menjadi salah lihat, salah ucap, salah keyakinan, salah laku.

Semua perbuatan buruk yang dilakukan akan berakibat buruk pada kehidupan selanjutnya dan berdampak buruk pula dari sisi penjelmaan ataupun kelahirannya kembali. Dalam uraian kutipan di atas akibat dari perbuatannya yang suka bermain lelaki, maka kelahirannya nanti bukan sebagai manusia, namun sebagai anjing betina. Uraian dari ketiga konsep Karmaphala tersebut dapat disimpulkan bahwa Karmaphala bisa terjadi kapan dan kepada siapa saja karena telah merupakan prinsip semesta (Rta), dengan demikian manusia sudah sepatutnya untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran agama yang baik dan benar. Secara praktis uraian tentang Karmaphala di atas menunjukkan berbagai implikasi yang diperoleh sesuai dengan perbuatan yang pernah dilakukkan sebagai karma, dan tentu mengajarkan kepada manusia untuk dapat

(7)

bertingkah laku dan berbuat sebagaimana norma dan ajaran dari agama masing-masing. Orientasi tentang ajaran Karmaphala

sesungguhnya memberikan dampak yang akan membentuk moral setiap individu. Dengan adanya pengetahuan terkait dengan

Karmaphala setiap orang atau suatu kolektif

(masyarakat) dapat mempelajari dan mengajari agar dapat berprilaku baik dalam kehidupannya, karena apapun yang diperbuat maka diterima hasil dari perbuatannya tersebut. Kembali diuraikan dalam teks Tutur Lebur

Gangsa, mengajarkan pengetahuan tentang

sebab-akibat dengan berbagai contoh perbuatan yang akan berimplikasi teradap kehidupannya, seperti perbuatan buruk yang dominan dilakukan oleh manusia namun tidak disadari bahwa perbuatannya tersebut berdampak buruk terhadap dirinya sendiri. Seperti ungkapan teks di bawah ini.

Yan wong baneh langkung maring

sabda makuma bhisa, tan pakoning

anake wruh, dhandha swarannya, ya

manadi bega tumitisnya. Yaning balian

tanpa usaddha, gong dhandhanya pati,

kurang awak gendha karubhaya,

tarukaning bhaya. Yanya wong wadon

lobha maring wong lanang, yanya

nglesin lakinya amegat tresna, yanya

manadi manusa, tumitisnya manadi asu

wadon.

Terjemahan:

Apabila ada orang yang berkata berlebihan, selalu menganggap dirinya bisa, sok tahu, dihukum karena kata- katanya, kelahirannya nanti menjadi

orang bisu. Apabila ada balian

mengobati tanpa berdasarkan usada, berat hukumnya. Kelahirannya menjadi orang lemah, badannya menjadi perkampungan segala jenis penyakit. Apabila perempuan doyan lelaki, gampang memutuskan cinta, menceraikan lelakinya, kelahirannya kembali menjadi anjing betina.

Uraian dari kutipan teks tersebut memberikan pengajaran dan bahkan untuk mengingatkan banyak personal (masyarakat) bahwa dalam kehidupan tetap berada dalam aturan norma ataupun moral agama. Dengan memperhatikan teks Tutur Lebur Gangsa

seperti kutipan di atas. Justru memberikan suatu kewaspadaan tersendiri bagi masyarakat, yang pada inti dari kalimat tersebut mendeskripsikan bagaimana hasil dari perbuatan yang telah dilakukan, jika perbuatan yang dilakukan menunjukkan keburukan, maka hasil yang diterima buruk juga, dan begitu juga sebaliknya. Agar lebih meyakinkan dan agar manusia tetap berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari, berikut diuraikan terkait dengan kutipan teks

Tutur Lebur Gangsa yang tidak hanya

menjelaskan hasil perbuatan manusia yang berdampak pada perubahan fisik saat kelahirannya kembali namun akan berbekal penyakit atau cacat pada kelahiran berikutnya.

Yanya akeh kang salahnya, kakinon de

Sang Hyang Yama manglebok, dangan

kalawan habot kagantungan mala,

apan ya jadma sami masurat. Bisukali

manca, kilanden, tuli, pepengan,

(8)

sane salah kaluhurane nguni, karana

mebekel lara tumitisnya, kringin

bulakrik, ebuh, busung, doyog,

kalimanca, lakeng banu, tuli, kepes,

hudug basur, latek, cekel, kejer, mati wala, nujali, kapekih, kahangan, tanpa putra, bleh bangran, salah pati, edan,

ika sami jadma gring tumuwuh, amakta

mala, amakta dhandha dumadi.

Terjemahan:

Apabila kesalahannya banyak, dititahkan oleh Sang Hyang Yama untuk menceburkannya ke Neraka. Berat ataupun ringan dosa-dosanya, sama-sama digantungi hukuman, sebab semua itu sudah tersurat. Bisu, tuli, uring-uringan, demikianlah hukuman yang diterima karena tidak susila, itu pula yang menjadi penyebab kelahirannya berbekal derita bulakrik

(bulai), krengen (korengan), berpenyakit busung, jalan tidak normal, beri-beri, tuli, krempeng, buah pikirnya besar, cebol, kejang-kejang, mati muda, jamuran, tidak mempunyai keturunan atau tidak bisa mempunyai anak, mati tidak wajar, gila. Itu semua adalah penyakit karena lahir membawa mala, lahir karena mendapat hukuman.

Diuraikan di atas berdasarkan kutipan tersebut dijelaskan bagaimana akibat yang ditimbulkan karena tidak bersusila, yang dapat berimplikasi bahwa sang Atma akan diberi hukuman untuk kehidupan selanjutnya. Dalam hal ini hukuman tersebut berupa penyakit yang

sifatnya membuat kelahiran sang Atma yang menjadi manusia yang cacat atau mempunyai kelainan dari manusia normal. Dengan adanya pengetahuan tentang Karmaphala, secara tidak langsung merupakan hal yang praktis untuk diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan adat tradisi, agama dan budaya yang sudah kita miliki.

Dalam proses reinkarnasi yang dalam Hindu lebih dikenal dengan istilah

Punarbhawa, merupakan siklus alamiah roh

dalam proses evolusinya. Penggambaran

Punarbhawa ini dapat diandaikan seperti roda

kendaraan yang dilekati oleh lumpur dalam putarannya (Aryana, 2008: 50). Roda kendaraan yang berputar diandaikan sebagai siklus Punarbhawa, sedangkan lumpur-lumpur yang melekat pada roda kendaraan diumpamakan sebagai para roh yang terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian yang terus berlanjut. Lumpur yang terjebak pada sisi paling luar dari roda kendaraan tentu dapat dengan cepat terlepas dari putaran roda kendaraan, dibandingkan dengan lumpur yang terjebak di bagian lebih dalam. Demikian juga roh yang presentase kelekatannya lebih sedikit dapat lebih mudah untuk lepas dari siklus

punarbhawa dan tidak demikian halnya dengan

roh yang memiliki kemelekatan lebih kuat, tentu mereka sangat sulit untuk memperoleh kebebasannya.

Pada kenyataannya roh-roh yang mengalami kesengsaraan lahir-mati, sesungguhnya memiliki kesempatan untuk bergerak naik dan berada pada putaran roda lebih luar, demikian juga ia dapat mengalami

(9)

kemerosotan hingga memasuki putaran yang paling dalam. Peningkatan kemerosotan roh sesungguhnya disebabkan oleh ‘perilaku’ yang dalam Hindu disebut sebagai Karma, yang mereka lakukan sendiri dalam wujud dari hasil

karmanya.

2.3Pangruwatan dalam Teks Lontar Lontar

Tutur Lebur Gangsa

Dalam teks Tutur Lebur Gangsa juga

bisa dikaitkan dengan

pangruwatan’pembersihan’, yaitu apabila terjadi hal-hal yang menyengsarakan, di samping baerkaitan dengan hukum karma phla, juga dapat dinetralisir dengan upacara pangruwatan, pembersihan. Dalam teks lontar Tutur Lebur Gangsa juga berkaitan dengan pokok pikiran atau tema adalah Pengruwatan

(pembersihan) seperti yang dapat dijelaskan bahwa karya sastra ini membicarakan tentang bagaimana tata aturan menjadi manusia dan menjalani hidup sebagai manusia yang dikenal dengan Hukum Karmaphala. selain itu juga membicarakan mengenai bagaimana ciri-ciri atau pertanda buruk serta sebab akibat terhadap suatu tempat atau pekarangan rumah menjadi angker. Kemudian dijelaskan bagaimana cara menetralisir dan mencegah terjadinya hal tersebut karena dapat membahayakan hidup manusia.

Secara keseluruhan teks Tutur Lebur

Gangsa, merupakan teks tutur yang

menguraikan tentang durmanggala yang artinya tanda atau isyarat yang buruk dan juga disertai tatacara pembersihan perihal tentang

kadurmanggalaan. Tanda-tanda atau isyarat

tersebut membawa bahaya dalam bentuk kejadian-kejadian yang aneh dan tata cara pembersihannya yang diwujudkan menggunakan sarana caru, dan disertai dengan mantra-mantra untuk mengiringinya. Dalam bahasan kajian teks sastra ini, pengamatan difokuskan untuk mengamati secara fenomenologi. Dalam hal ini pengamatan didasarkan pada aspek apa yang mempengaruhi terjadinya durmanggala, yang ternyata diungkap dalam teks Tutur Lebur Gangsa

adalah pengaruh dari Karmaphala. Hukum

Karmaphala dari kehidupan sebelumnya,

sekarang, maupun yang akan datang sangat jelas dijabarkan. Jika ada leluhur yang dahulunya berbuat buruk, akan berdampak buruk pada kehidupannya sekarang, dan semua keturunannya akan bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Dengan hal tersebut, diberikan juga tatacara untuk membersihkan keadaan tersebut dengan ritual pangruwatan

atau dengan upacara pangruwatan yang diungkap dalam pembahasan.

III. PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan pada point II di depan, teks Lontar Tutur Lebur

Gangsa menguraikan perihal keadaan manusia

di kehidupan ini, seperti mengapa manusia dapat mengalami keadaan baik saat sekarang yang dirasakan sebagai suatu keindahan dan keburukan. Menurut teks Lontar Tutur Lebur

Gangsa hal tersebut tidak lain merupakan hasil

(Phala) dari perbuatan (Karma) nya sendiri,

yakni berkaitan dengan Sancita Karmaphala,

(10)

Karmaphala, dengan dijelaskan secara ekplisit tentang akibat-akibat yang diperoleh dari perbuatan yang dilakukan manusia. Segala sesuatu yang menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan manusia, diuraikan juga perihal ritual ruwatan untuk dapat membersihkan secara rohani dengan harapan dikehidupan selanjutnya diperoleh suatu yang membahagiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus. 1994. Kesusastraan Hindu

Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharma

Sastra.

Aryana, IB Putra Manik. 2008. Atma

Prasangsa: Memahami Kematian dalam

Tradisi Budaya Bali. Denpasar: Bali

Aga.

Sastrawan, I Made Anom. 2009. Tutur

Panugrahan Dalem, Analisis Struktur

dan Fungsi (Skripsi). Denpasar:

Fakultas Sastra Universitas Udayana. Subadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta.

Jakarta: Djambatan.

Subagiasta, I Ketut. 2007. Etika Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu, akan dijelaskan makna yang tersembunyi dibalik ungkapan penyesalan dalam kedua teks lagu tersebut di atas seperti dikemukakan Wellek dan Waren (1990 :23),

Realitas ditengah masyarakat seperti peristiwa, pendapat, masalah yang hangat, dan masalah unik akan menghasilkan fakta, dan hanya uraian fakta yang mengandung nilai berita

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,