• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Proses Komisioning pada CUT Pilot Plant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV Proses Komisioning pada CUT Pilot Plant"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV

Proses Komisioning pada CUT Pilot Plant

4.1 Pengertian Umum

4.1.1 Definisi

Secara definisi, komisioning adalah suatu proses yang sistematik dengan berorientasi pada kualitas untuk memverifikasi performa proyek atau sistem yang dibangun mengacu pada basic design yang telah ditetapkan sebelumnya[16]. Yang disebut sistematik adalah bahwa proses komisioning ini merupakan suatu proses yang terdiri dari tahapan-tahapan yang perlu dilakukan secara berurutan. Selain itu, pada definisi di atas juga disebutkan bahwa komisioning merupakan proses yang berorientasi pada kualitas, hal ini jelas bahwa kualitas proyek ataupun sistem merupakan hal yang sangat diperhatikan pada proses komisioning ini. Kegiatan komisioning meliputi proses pengujian pada sistem yang bersangkutan untuk mengetahui karakteristik yang diperlukan dalam pengembangan sistem lebih lanjut.

Berhubungan dengan kualitas sistem, ada empat pertanyaan utama yang mendasari proses komisioning tersebut[17], yaitu

 Problem apa yang akan atau mungkin terjadi pada sistem yang dibangun?  Mengapa problem tersebut bisa terjadi?

 Kapan problem tersebut bisa terjadi?

 Apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi problem tersebut?

Sehingga, proses komisioning menjurus pada proses analisis terhadap performa sistem yang sedang dibangun hingga pencarian akar permasalahan yang mungkin terjadi dalam sistem. Berdasarkan konteks di atas, dapat dilihat bahwa proses komisioning merupakan proses yang cukup penting. Melalui komisioning, diharapkan sistem atau proyek yang sedang dibangun berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu, melalui proses komisioning, parameter-parameter kritis yang akan mempengaruhi kinerja CUT Pilot Plant dapat diperoleh.

(2)

4.1.2 Tujuan Komisioning

Sesuai dengan definisi komisioning itu sendiri, tujuan utamanya adalah untuk menentukan apakah sistem yang dibangun layak untuk beroperasi atau tidak. Sistem dikatakan tidak layak apabila sistem dibangun tidak sesuai dengan desain yang telah dibuat. Sistem yang dibangun juga dapat dinyatakan tidak layak apabila proses konstruksi sistem belum selesai atau hasil konstruksi tidak baik. Selain itu, perlu juga dilihat kelayakan sistem dari sisi keamanan. Apabila terdapat banyak hal yang dapat membahayakan keselamatan pekerja ataupun pengguna, sistem dapat juga dinyatakan tidak layak untuk beroperasi.

Tujuan lain dari proses komisioning dan pengujian adalah untuk meningkatkan kinerja sistem yang bersangkutan. Hal ini diperlukan pemahaman dan analisis terhadap desain sistem yang dikembangkan. Seringkali hasil desain berbeda jauh dengan hasil pengoperasian. Proses komisioning mencatat dan melakukan analisis yang diperlukan terhadap perbedaan tersebut. Analisis yang telah dilakukan dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan modifikasi dengan tujuan peningkatan kinerja sistem.

Kinerja sistem dalam hal ini dapat meliputi penggunaan energi dan biaya operasi. Dengan adanya proses komisioning ini, diharapkan kebutuhan energi untuk sistem akan diketahui. Dari hasil analisis konsumsi energi, nantinya akan diketahui persentasi konsumsi energi oleh masing-masing komponen yang akan menjurus pada analisis untuk peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam sistem. Peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam sistem ini akan berujung pada biaya operasi yang minimum.

Tujuan berikutnya dari proses ini adalah melakukan dokumentasi terhadap spesifikasi komponen serta karakteristik prestasi sistem yang didapat selama running test. Dokumentasi ini sangat diperlukan dalam proses analisis sistem. Selain itu, dokumentasi ini juga diperlukan untuk mempersiapkan operator dalam mengoperasikan dan melakukan perawatan pada sistem yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga tujuan utama proses komisioning, yaitu:

1. Menentukan kelayakan sistem 2. Meningkatkan kinerja sistem

(3)

3. Dokumentasi parameter-parameter penting dalam sistem

Ketiga tujuan ini dapat dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan proses komisioning yang dilakukan.

4.1.3 Metodologi

Telah disebutkan pada definisi komisioning bahwa proses komisioning merupakan proses yang sistematik. Dalam melakukan proses komisioning dan pengujian ada beberapa tahapan yang perlu diikuti, yaitu:

1. Prakomisioning 2. Pengujian subsistem 3. Pengujian sistem

Secara skematis, tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Tahapan proses komisioning CUT Pilot Plant

Sebelum melakukan proses komisioning dan pengujian, terlebih dahulu perlu dilakukan prakomisioning. Proses prakomisioning meliputi inspeksi visual terhadap hasil konstruksi sistem, pengujian masing-masing komponen, serta running test motor yang ada pada sistem. Proses prakomisioning ini menentukan kesiapan sistem untuk dilakukan komisioning dan pengujian.

Prakomsioning Pengujian Subsistem Pengujian Sistem

Planning

Inspeksi pemasangan

Tes kobocoran

Trial komponen

Coal preparation & transportation Hot Utility Drying Briquetting Water Treatment Trial & Performance Test CUT Pilot Plant

(4)

Setelah sistem dinyatakan layak untuk dikomisioning, kegiatan komisioning sistem dimulai. Diawali dengan proses komisioning pada subsistem untuk menguji apakah masing-masing subsistem dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. Komisioning dan pengujian sistem dilakukan setelah kedua proses tersebut berjalan dan yakin komponen-komponen serta masing-masing subsistem dapat mendukung kinerja sistem secara terintegrasi.

Diagram alir proses komisioning dapat dilihat pada Gambar 4.2. Pertama-tama, dilakukan pengenalan dan pembelajaran terhadap cara kerja sistem secara keseluruhan. Sebelum melakukan komisioning, proses di dalam sistem haruslah dikuasai. Setelah itu, perlu ditentukan parameter yang akan dianalisis, prosedur yang akan dilakukan, serta komponen yang akan diuji.

Pada awal proses, perlu dilakukan pemeriksaan kelengkapan serta pemasangan komponen. Kemudian, proses dilanjutkan dengan pengujian masing-masing komponen dan instrumen. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa masing-masing komponen maupun instrumen bekerja sesuai dengan spesifikasi desain yang dibutuhkan, sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan akibat buruknya komponen semakin kecil. Tahap ini merupakan tahap prakomisioning.

Setelah yakin bahwa masing-masing komponen dan instrumen bekerja dengan baik, start up proses dapat dimulai. Proses start up dimulai dengan start up masing-masing subsistem disertai dengan komisioning subsistem tersebut. Periode start up merupakan salah satu bagian proses yang kritis. Pada periode ini, data-data yang diperoleh merupakan data-data penting yang dapat digunakan pada proses start up selanjutnya.

Proses komisioning dilanjutkan dengan pengoperasian sistem secara terintegrasi sesuai dengan kondisi operasi desain. Selama pengoperasian, data-data operasi proses dapat diperoleh. Data-data ini kemudian dianalisis untuk mendapatkan parameter-parameter pengujian yang ada dalam input. Dari hasil analisis, dapat ditarik kesimpulan apakah pilot plant yang diuji ini berjalan dengan baik atau tidak.

Apabila didapat bahwa pilot plant tidak berjalan dengan baik, perlu dilakukan analisis mencari penyebab hal tersebut. Hasil analisis tersebut menjadi dasar untuk melakukan modifikasi maupun optimasi pada sistem.

(5)

Gambar 4.2a Diagram alir proses komsioning CUT Pilot Plant Cek kelengkapan

komponen & instrument

Pengujian masing-masing komponen &

setting instrumen Input 1. proses 2. parameter 3. daftar komponen 4. prosedur Sesuai spek? Rekomendasi untuk perbaikan &

kalibrasi Start up START NO Output: Data operasi start up A

(6)

Gambar 4.2b Diagram alir proses komisioning CUT Pilot Plant

Hasil yang diperoleh dari proses komisioning dan pengujian ini berupa laporan yang berisi tentang dokumentasi seluruh proses komisioning. Isi laporan juga meliputi data-data operasi pilot plant serta parameter-parameter kritis yang ada di dalamnya. Selain itu, laporan juga berisi tentang analisis kinerja sistem secara keseluruhan. Operasi Pengolahan data & analisis Perlu modifikasi/optimasi Dokumentasi Output Laporan FINISH Root Cause Analysis Modifikasi/ optimasi YES NO A Output: Data Operasi Dokumentasi

(7)

Perencanaan proses komisioning lebih rinci dijelaskan pada subbab-subbab berikut pada Bab IV ini. Tidak seluruh proses komisioning dibahas pada tugas akhir ini. Pembahasan mengenai proses komisioning, terutama pada pengujian subsistem, hanya meliputi pengujian subsistem persiapan dan transportasi batubara, subsistem penyuplai panas, subsistem pengeringan, dan subsistem pembriketan. Sementara, pengujian subsistem pengolahan air tidak termasuk dalam pembahasan di tugas akhir ini.

4.2 Proses Prakomisioning

Prakomisioning adalah aktivitas untuk mengecek keberfungsian masing-masing komponen. Proses prakomisioning ini meliputi persiapan, pengecekan pemasangan komponen, penyesuaian/setting komponen, hingga trial masing-masing komponen dalam keadaan tanpa beban. Hasil dari proses prakomisioning ini berupa pernyataan bahwa komponen yang dipasang sudah siap untuk dijalankan atau sudah siap untuk proses komisioning.

Persiapan proses komisioning

Proses persiapan ini merupakan hal dasar yang perlu dilakukan. Pelaksanaannya tidak selalu di awal prakomisioning, namun hal-hal ini harus dipikirkan sebelum proses komisioning yang sesungguhnya berjalan.

Pada tahap persiapan ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah  Pendataan komponen-komponen pada CUT Pilot Plant

Pendataan komponen-komponen merupakan tahap paling awal yang perlu dilakukan pada saat prakomisioning. Pendataan ini bertujuan untuk mengecek kelengkapan komponen pada CUT Pilot Plant. Selain itu, pendataan ini juga diperlukan untuk perencanaan proses komisioning.

Pengumpulan spesifikasi motor

Beberapa komponen pada CUT Pilot Plant ini menggunakan motor listrik sebagai penggeraknya, seperti misalnya blower, rotary vane, pompa, dan sebagainya. Sehingga, pengetahuan akan spesifikasi motor sangat diperlukan. Spesifikasi motor ini nantinya berguna pada saat penghitungan energi listrik

(8)

yang terpakai pada CUT Pilot Plant. Selain itu, spesifikasi motor ini juga menjadi acuan pada saat proses running test motor yang bersangkutan.

Peninjauan ketersediaan energi listrik

Pada proses prakomisioning ini, peninjauan ketersediaan energi listrik ini diperlukan untuk mengetahui beban listrik yang dipakai selama proses komisioning, baik itu hanya untuk running test komponen ataupun running test keseluruhan.

Peninjauan ketersediaan bahan mentah

Ketersediaan bahan mentah, dalam hal ini batubara, merupakan hal yang penting karena hal ini mempengaruhi keberlanjutan produksi CUT Pilot Plant. Perlu dilakukan pengambilan sampel terhadap bahan mentah yang digunakan untuk proses untuk kemudian dilakukan proximate analysis dan pengujian kandungan kalornya. Pengujian bahan mentah ini juga ditujukan untuk menganalisis perubahan yang terjadi pada batubara setelah dikeringkan. Untuk itu, perlu dilakukan pengambilan sampel bahan mentah secara periodik.

Selain poin-poin di atas, masih ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk menunjang proses komisioning, misalnya pengumpulan manual operasi komponen, penyiapan dokumen untuk prakomisioning, dan lain-lain. Penjelasan mengenai hal-hal lain yang perlu dipersiapkan selain empat poin di atas terdapat pada pembahasan mengenai proses komisioning secara rinci pada masing-masing subsistem.

Inspeksi pemasangan komponen

Berdasarkan definisi prakomisioning yang disebutkan pada awal bab ini, disebutkan pengecekan pemasangan komponen adalah salah satu bagian dari kegiatan komisioning. Tujuan dari pengecekan pemasangan komponen ini adalah untuk meyakinkan bahwa komponen-komponen yang diperlukan untuk CUT Pilot Plant ini telah terpasang dengan baik. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya disfungsi komponen karena kesalahan pemasangan.

(9)

Pada proses inspeksi pemasangan komponen ini, gambar teknik merupakan hal yang wajib dijadikan acuan. Selain itu, proses inspeksi ini juga mengacu pada fungsionalitas dari komponen itu sendiri. Dengan kata lain, hal-hal yang perlu diinspeksi pada setiap komponen berbeda-beda bergantung pada fungsi dan karakter dari komponen tersebut. Sebagai contoh, pada pemasangan pipa, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi fisik pipa diusahakan tidak berkarat, sambungan antar flens sudah terbaut dengan baik, pemasangan isolasi untuk mengurangi panas yang hilang, dan sebagainya.

Uji Coba Komponen

Kegiatan lain pada masa prakomisioning adalah pengujian komponen. Tujuan pengujian atau komisioning komponen ini adalah untuk memastikan bahwa komponen-komponen yang telah dipesan dan yang telah terpasang dapat bekerja dengan baik. Yang disebut bekerja dengan baik disini adalah bahwa komponen-komponen tersebut dapat bekerja sesuai dengan spesifikasi yang dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi ketidakberfungsian sistem karena kerusakan komponen.

 Pengujian motor

Pada pengujian motor, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Sebelum mulai pengujian, inspeksi terhadap pemasangan komponen harus sudah dilakukan secara cermat. Hal-hal yang perlu diinspeksi mengacu pada manual yang diterbitkan oleh perusahaan pembuat motor tersebut. Hal-hal tersebut biasanya meliputi instalasi motor, alignment kopling, dan pemasangan komponen elektrikal. Selain itu, apabila diperlukan, pengisian oli juga harus dipastikan. Setelah seluruh pemasangan tersebut sudah yakin terpasang dengan baik, pengujian motor dapat dimulai. Hal-hal yang perlu diperiksa pada saat pengujian adalah:

1. Ampere

 Arus yang terbaca harus lebih rendah dari arus nominal yang tertera pada label motor

2. Arah putaran

(10)

Selain itu, untuk motor yang memiliki frequency converter, perlu juga dicek keberfungsianfrequency converter dalam mengatur putaran motor.

 Pengujian pipa

Pengujian jalur pipa yang dimaksud disini adalah pengujian kebocoran pipa. Secara teori, ada beberapa teknik pengujian yang dapat dilakukan[19], yaitu:

1. Pneumatic Test 2. Hydroststic Test 3. X-ray Test

Dari ketiga jenis metode pengetesan di atas, metode yang paling mudah adalah pneumatic test karena hanya menggunakan udara sebagai fluida pengetesannya, sedangkan hydrostatic test yang memerlukan fluida cair seperti oli ataupun air sebagai fluida pengetesannya. Selain itu, peralatan yang diperlukan untuk melakukan pneumatic test juga mudah. Pada pneumatic test, peralatan yang diperlukan adalah kompresor, nozzle, pressure gauge, serta air sabun untuk melihat adanya kebocoran.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pneumatic test. Sebelum tes dilakukan, semua jalur pipa dibersihkan dengan cara diberi tekanan beberapa bar kemudian dibuang. Hal ini untuk mengeliminasi kemungkinan tidak terdeteksinya kebocoran karena kotoran. Selain itu, peralatan yang tidak masuk pengetesan, seperti peralatan-peralatan mekanik (pompa, penukar kalor, dan lain-lain) harus dipisahkan dengan menggunakan blind flange.

Pipa oli pada CUT Pilot Plant ini beroperasi pada tekanan 5 bar. Berdasarkan standar pneumatic test, pengetesan dilakukan hingga 1,5 kali tekanan operasi, sehingga untuk pipa oli ini, pneumatic testdilakukan hingga tekanan 7,5 bar. Kenaikan tekanan sendiri dilakukan secara bertahap. Tahapan tersebut adalah: 1,5; 3; 5; dan 7,5 bar. Pada masing-masing tingkat tersebut, tekanan dipertahankan selama beberapa waktu tertentu, 3 menit untuk tekanan dibawah tekanan operasi, dan 10 menit untuk tekanan maksimum.

(11)

4.3 Pengujian Subsistem

Telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa CUT Pilot Plant ini terdiri dari lima subsistem, yaitu:

1. Subsistem Persiapan dan Transportasi Batubara 2. Subsistem Pengeringan

3. Subsistem Penyedia Panas 4. Subsistem Pembriketan Batubara 5. Subsistem Pengolahan Air

Pengujian subsistem dilakukan untuk memastikan bahwa masing-masing subsistem dapat bekerja dengan baik. Pada komisioning subsistem juga disertai pengaturan subsistem untuk mencapai kondisi operasi sistem keseluruhan.

4.3.1 Pengujian Subsistem Persiapan dan Transportasi Batubara

Adapun fungsi dari subsistem persiapan dan transportasi batubara, seperti yang telah disinggung pada penjelasan mengenai subsistem ini pada Bab III, adalah menghasilkan partikel batubara dengan diameter 0,4 mm dan menyuplai batubara ke subsistem pengeringan dengan laju aliran massa sebesar 7 ton/jam. Kedua hal tersebut harus dapat dipenuhi oleh subsistem ini untuk dapat dikategorikan layak. Untuk itu, proses pengujian subsistem persiapan dan transportasi batubara dilakukan dengan mengacu pada fungsi utama dari subsistem ini.

Pengujian diameter partikel batubara

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, proses pengeringan pada CUT Pilot Plant ini menggunakan metode fluidisasi, dimana partikel batubara dihembus udara atau uap superpanas dengan kecepatan tertentu sehingga melayang di dalam tangki pengeringan. Sehingga, Diameter partikel akan mempengaruhi proses pengeringan pada CUT Pilot Plant.

Agar proses tersebut dapat berjalan dengan baik, diameter partikel batubara harus berada pada kisaran angka tersebut. Batas maksimum dan minimum diameter partikel batubara dipengaruhi oleh kecepatan minimum fluidisasi dan kecepatan terminal partikel tersebut. Yang dimaksud kecepatan minimum fluidisasi adalah kecepatan minimum yang diperlukan untuk menciptakan proses fluidisasi untuk

(12)

partikel dengan diameter dan massa jenis tertentu. Sementara kecepatan terminal partikel merupakan kecepatan dimana partikel akan terbawa oleh aliran fluida. Hubungan antara kecepatan minimum fluidisasi, kecepatan terminal dengan diameter partikel dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.

Pada Gambar 4.3 dan 4.4 tersebut dapat dilihat bahwa diameter partikel berbanding lurus dengan kecepatan minimum fluidisasi maupun dengan kecepatan terminal. Semakin besar diameter dibutuhkan kecepatan yang semakin besar pula. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil diameter partikel, kecepatan yang diperlukan juga semakin kecil.

Diameter partikel K e c e p a ta n m in im u m f lu id is a s i

Gambar 4.3 Diameter partikel vs kecepatan minimum fluidisasi

Particle diameter (dp) P a rt ic le t e rm in a l v e lo c it y ( u t)

Gambar 4.4 Kecepatan terminal vs Diameter partikel

Dengan kecepatan udara atau uap air yang telah ditentukan dari spesifikasi blower yang telah dipilih, dapat dihitung kisaran partikel batubara yang dapat masuk

(13)

dan terfluidisasi di dalam tangki pengeringan. Apabila partikel batubara yang masuk lebih besar dari kisaran diameter partikel yang diijinkan, partikel tersebut akan mengendap di dalam tangki pengeringan sehingga pressure drop pada tangki akan sangat besar. Sebaliknya, apabila partikel batubara yang masuk ke tangki lebih kecil dari diameter yang diijinkan, partikel tersebut tidak akan terfluidisasi melainkan langsung terangkat dan keluar dari tangki pengeringan.

Pada subsistem persiapan dan transportasi batubara ini, ada dua komponen utama yang mempengaruhi diameter partikel yang dihasilkan. Kedua komponen tersebut adalah cage mill dan vibrating screen. Cage mill dilengkapi dengan inverter sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengubahan kecepatan motor. Hal ini akan berpengaruh pada diameter partikel yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam pengujian diameter partikel batubara ini, akan dicari juga kondisi operasi optimum cage mill.

Dalam pengujian diameter partikel batubara subsistem persiapan dan transportasi batubara ini, ada tujuh sampel batubara yang diambil. Masing-masing sampel merupakan hasil milling dengan frekuensi cage mill yang divariasikan. Adapun rincian sampel yang akan diambil dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Variasi frekuensi motor cage mill pada pengambilan sampel Cage Mill No Motor 1 Motor 2 1 25,0 25,0 2 37,5 37,5 3 50,0 50,0 4 25,0 37,5 5 37,5 50,0 6 37,5 25,0 7 50,0 37,5

Proses pengambilan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel batubara mentah melalui dumping hopper yang ada di stockpile. Sedangkan, sampel hasil milling diambil di hopper tank. Pada proses pengambilan sampel ini, perlu dilakukan

(14)

terlebih dahulu pembersihan subsistem persiapan dan transportasi batubara ini dari sisa-sisa pengerjaan (flushing) dengan cara menjalankan subsistem tanpa dimasukkan batubara. Proses flushing ini juga perlu dilakukan sebelum pengambilan sampel untuk frekuensi cage mill yang berbeda agar tidak terjadi pencampuran sampel.

Sampel yang telah diambil diuji menggunakan pengujian ayak (sieving) dengan menggunakan alat yang tertera pada Gambar 4.5 Adapun untuk pengujian ini, diperlukan minimal 2 kg untuk masing-masing sampel.

Gambar 4.5 Alat uji ayak (sieving)

Ada baiknya proses pengambilan sampel dan pengujian ayak dilakukan secara periodik dan dalam suatu proses penggerusan batubara yang kontinyu. Hal ini diperlukan untuk mendeteksi apabila terjadi keausan pada cage mill, yang ditandai dengan bertambah besarnya sebaran serta diameter rata-rata partikel yang dihasilkan.

Pengujian kapasitas conveyor

Fungsi kedua dari subsistem persiapan dan transportasi batubara adalah menyuplai batubara mentah dengan kapasitas 7 ton/jam. Batubara yang disuplai oleh subsistem ini ditampung di hopper tank untuk kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengeringan melalui rotary vane 1.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa kapasitas subsistem ini tidak berpengaruh secara langsung ke kapasitas pengeringan karena masih ada hopper tank yang berfungsi sebagai tempat penampungan batubara. Meskipun subsistem

(15)

persiapan dan transportasi batubara ini tidak memiliki kapasitas 7 ton/jam seperti yang telah ditentukan dalam basic design, sistem secara keseluruhan tidak akan terganggu secara langsung selama persediaan batubara di hopper tank masih memadai.

Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah kapasitas hopper tank itu sendiri. Apabila, suplai batubara dari subsistem persiapan dan transportasi batubara lebih kecil dari 7 ton/jam, dan hal tersebut berlangsung terus menerus, pada suatu saat persediaan batubara di hopper tank akan habis. Tentu saja hal ini akan mengganggu proses pengeringan. Sebaliknya, apabila suplai lebih tinggi dari 7 ton/jam, suatu saat hopper tank akan kelebihan muatan dan persediaan batubara di hopper tank akan tumpah. Oleh karena itu, pengaturan kapasitas 7 ton/jam pada subsistem persiapan dan transportasi batubara harus dilakukan.

Pengaturan kapasitas batubara pada subsistem persiapan dan transportasi batubara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Dengan pengaturan bukaan hopper gate pada dumping hopper, seperti yang terlihat pada Gambar 4.6.

2. Dengan pengaturan kecepatan Belt Feeder (CF-1) menggunakan frequency converter.

Pada praktiknya, kedua cara tersebut perlu dilakukan bersamaan secara berkesinambungan.

Gambar 4.6 Pengaturan bukaan hopper gate[21]

Pengaturan kapasitas subsistem dengan pengaturan bukaan hopper gatetidak akan menghasilkan laju aliran massa yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya akurasi bukaan hopper gate terhadap laju aliran yang dihasilkan. Sebagai contoh, kapasitas roll crusher terpasang adalah 20 ton/jam. Seharusnya, untuk

(16)

mendapatkan kapasitas 7 ton/jam, hopper gate dibuka 7/20 bukaan awal. Namun, meskipun hopper gate sudah dibuka sedemikian rupa, belum tentu batubara dapat mengalir dengan laju 7 ton/jam. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan terjadinya blocking antar batubara pada jalur keluar hopper gate sehingga batubara yang keluar lebih sedikit daripada kapasitas yang diinginkan atau bahkan tidak keluar sama sekali. Oleh karena itu, untuk mengatur laju aliran massa dengan lebih akurat dilakukan dengan mengatur kecepatan CF-1.

Pada saat pengaturan kapasitas ini, parameter yang dijadikan acuan adalah laju aliran massa batubara yang lolos proses screening, yaitu laju aliran massa batubara di Belt Conveyor 2A (CB-2A). Pada komponen inilah, laju aliran massanya yang harus terbaca 7 ton/jam karena batubara yang melewati CB-2A ini langsung menuju ke hopper tank, tidak ada percabangan diantaranya.

Pengukuran laju aliran massa di CB-2A dilakukan dengan mengambil sampel batubara di CB-2A pada interval panjang tertentu. Sampel yang diambil kemudian ditimbang massanya untuk kemudian dikonversi ke parameter laju aliran dengan memasukkan faktor kecepatan conveyor pada perhitungannya. Pengukuran kemampuan subsistem ini menyuplai batubara dapat dilakukan juga dengan mengukur waktu yang diperlukan untuk memenuhi hopper tank.

4.3.2 Pengujian Subsistem Penyuplai Panas

Pada proses komisioning subsistem penyuplai panas, ada dua hal utama yang dijadikan parameter keberhasilan, yaitu:

1. Panas yang dihasilkan oleh subsistem penyuplai panas 2. Konsumsi batubara subsistem penyuplai panas

Panas yang dihasilkan merupakan parameter utama subsistem ini. Sedangkan konsumsi batubara berkaitan dengan efisiensi sistem CUT Pilot Plant secara keseluruhan.

Kemampuan subsistem ini menyuplai panas dilihat dari kemampuannya mencapai temperatur 300oC. Hal ini merupakan temperatur operasi oli di dalam subsistem pengeringan.

Sebelum komisioning subsistem penyuplai panas dilakukan, ada beberapa tahap yang perlu dilalui. Yang pertama adalah flushing. Flushing ini perlu dilakukan

(17)

untuk membersihkan jalur pipa dari kotoran sisa-sisa hasil pengerjaan maupun karat yang tertinggal di dalam pipa. Yang kedua adalah sirkulasi oli. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh jalur pipa telah dialiri oli. Selain itu, sirkulasi oli ini diperlukan juga untuk membuang udara yang tersisa di dalam pipa, ditandai dengan tekanan yang fluktuatif. Subsistem penyuplai panas ini siap untuk dinyalakan apabila pembacaan tekanan fluida di dalam pipa sudah stabil.

Proses komsioning subsistem penyuplai panas dimulai pada saat proses penyalaan subsistem ini. Adapun parameter-parameter yang perlu diamati pada saat komisioning adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Parameter-parameter operasi subsistem penyuplai panas

No. Parameter Simbol

1. Temperatur Input Tin TOH

2. Temperatur Output Tout TOH

3. Temperatur Ducting Tduct TOH 4. Temperatur Preheater Tpreheater TOH 5. Temperatur Buangan (Exhaust) Texhaust TOH 6. Tekanan Tungku TOH Phearth TOH

7. Tekanan Hisap Pompa Ps

8. Tekanan Discharge Pompa Pd 9. Putaran motor FD Fan nfd fan 10. Putaran motor ID Fan nid fan 11. Putaran motor chain grate ncg

4.3.3 Pengujian Subsistem Pengeringan

Subsistem pengeringan merupakan inti dari proses CUT. Oleh karena itu, definisi pengujian subsistem pengeringan menjadi rancu. Proses pengujian pada subsistem pengeringan bisa juga berarti proses pengujian pada seluruh sistem CUT Pilot Plant. Oleh karena itu, untuk membedakan kedua hal tersebut, yang dimaksud proses pengujian pada subsistem pengeringan ini adalah kemampuan seluruh komponen subsistem pengeringan untuk bekerja secara terintegrasi untuk mencapai kondisi operasi pengeringan batubara yang diinginkan sesuai dengan desain.

(18)

Sedangkan yang dimaksud dengan pengujian sistem CUT Pilot Plant adalah seperti yang akan dijelaskan pada Subbab 4.3.

Secara garis besar, sistem kontrol yang ada mendeteksi parameter-parameter operasi pada subsistem pengeringan, meliputi parameter temperatur, tekanan, dan laju aliran yang kemudian digunakan sebagai umpan balik untuk mengontrol kinerja komponen-komponen pada subsistem pengeringan. Proses pengontrolan sistem CUT Pilot Plant ini dapat dilihat pada PID. Sebagai contoh, temperatur bed tangki pengering 3 disensor oleh termokopel TI-D32. Apabila ada indikasi bahwa temperatur bed 3 ini kurang, komputer akan mengirim sinyal untuk memerintahkan katup V-32 membuka lebih besar sehingga laju aliran oli termal yang mengalir ke internal heater tangki pengering 3 akan semakin besar dan memungkinkan terjadinya perpindahan panas yang lebih besar pula. Pada komisioning subsistem pengeringan ini, parameter-parameter yang terbaca oleh sensor, seperti yang tertera pada tabel 4.3, perlu diamati.

Tabel 4.3 Data-data operasi pada CUT Pilot Plant

Temperatur Instrumen

Temperatur uap masuk internal heater bed 2 TI-5 Temperatur uap masuk internal heater bed 1 TI-6

Temperatur oli ke bed 2 TI-7

Temperatur oli ke bed 1 TI-8

Temperatur air ke water treatment plant TI-9

Temperatur oli ke oil heater TI-10

Temperatur bed 1 TI-D12

Temperatur bed 2 TI-D22

Temperatur bed 3 TI-D32

Temperatur uap masuk ke bed 3 TT-D33

Temperatur uap masuk bed 2 TT-D23

Temperatur uap masuk bed 1 TT-D13

Temperatur oli masuk ke sistem TT-4i

Temperatur oli keluar sistem TT-4o

Tekanan Instrumen

Pressure drop bed 1 PDT-1

Pressure drop bed 2 PDT-2

(19)

Tabel 4.3 Data-data operasi pada CUT Pilot Plant (lanjutan)

Tekanan Instrumen

Tekanan bed 2 PIT-D21

Tekanan bed 3 PIT-D31

Flow Instrumen

Aliran udara masuk ke bed 1 Fl-1

Aliran uap masuk ke bed 2 Fl-2

Aliran uap masuk ke bed 3 Fl-3

Aliran oli masuk ke sistem FT-4

4.3.4 Pengujian Sistem Pembriketan

Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa fungsi dari rangkaian subsistem pembriketan adalah membentuk briket batubara dengan dimensi tertentu, menunjang kapasitas produksi, dan mendinginkan briket batubara hingga mencapai temperatur di bawah temperatur penyalaan sendirinya (autoignition temperature). Briket batubara yang dihasilkan bentuknya menyerupai sabun hotel dengan dimensi 35 x 35 x 15 mm[13]. Kapasitas pembriketan normalnya adalah 5,6 ton/jam. Hal ini disebabkan adanya massa uap air yang terbuang pada saat pengeringan dengan kapasitas 7 ton/jam. Sedangkan temperatur keluaran briket di stockpile yang dapat dikatakan aman dari temperatur autoignition adalah 80oC.

Untuk menunjang fungsi dari subsistem pembriketan tersebut, parameter-parameter pembriketan yang perlu diamati selama proses komisioning meliputi:

1. Putaran mesin briket 2. Tekanan pembriketan 3. Temperatur pembriketan 4. Temperatur briket di stockpile

5. Kualitas visual briket yang dihasilkan 6. Kapasitas produksi mesin briket

Kondisi operasi pembriketan dapat yang meliputi tekanan, temperatur, serta putaran mesin briket dapat diketahui dengan menggunakan sistem instrumentasi yang terpasang pada mesin briket. Kualitas visual briket yang dihasilkan meliputi dimensi dan keseragaman bentuk briket serta kekuatan briket yang bisa diuji dengan menggunakan teknik , yaitu dengan menjatuhkan briket dari ketinggian

(20)

kurang lebih 2 meter. Briket yang dihasilkan dapat dikatakan baik bila briket tersebut tidak hancur pada saat dilakukan drop test.

Parameter terakhir yaitu kapasitas produksi mesin briket dapat diketahui dengan menghitung banyaknya briket yang terbentuk per satuan waktu. Kapasitas ini berkaitan dengan kemampuan mesin briket mengakomodasi kapasitas pengeringan sistem CUT Pilot Plant ini. Apabila kapasitas produksi mesin briket ini lebih rendah daripada kapasitas pengeringannya, otomatis kapasitas sistem juga akan mengalami penurunan.

Subsistem pembriketan ini juga dilengkapi dengan rangkaian sistem kontrol. Sistem kontrol yang dimaksud adalah sensor ketinggian batubara di dalam hopper mesin briket. Apabila batubara di dalam hopper briket ini sudah melebihi level ketinggian yang diijinkan, sistem kontrol ini akan mematikan putaran rotary vane 4, sehingga batubara dari tangki pengering 3 tidak akan masuk ke mesin briket. Oleh karena itu, perlu juga diamati kemampuan sistem kontrol ini dalam mengintegrasikan kinerja mesin briket.

4.4 Pengujian Sistem CUT Pilot Plant

Komisioning ataupun pengujian sistem CUT Pilot Plant merupakan tahapan akhir dari seluruh proses komisioning. Idealnya, proses komisioning sistem ini dilakukan setelah komisioning subsistem. Hal ini untuk mempersempit ruang lingkup analisis apabila terjadi kesalahan. Dengan melakukan komisioning subsistem terlebih dahulu, kekurangan atau ketidakberfungsian komponen di dalam subsistem akan diketahui sehingga dapat diprediksi pengaruhnya terhadap sistem secara keseluruhan. Pada prinsipnya, komisioning sistem CUT Pilot Plant dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan performansi dari pilot plant itu sendiri. Pada CUT Pilot Plant ini, ada beberapa hal yang perlu dijadikan acuan untuk menilai karakteristik maupun performansinya. Hal-hal tersebut adalah:

1. Kualitas batubara yang dihasilkan 2. Kapasitas produksi

3. Efisiensi proses

Berdasarkan ketentuan desain, CUT Pilot Plant ini dapat menghasilkan batubara kering dengan kandungan air 5% dengan kapasitas produksi 7 ton/jam atau 1,94 kg/s.

(21)

Untuk memperoleh hal-hal di atas, pengambilan data tentang kondisi operasi dan pengambilan sampel produksi perlu dilakukan. Pengambilan data operasi yang meliputi temperatur, tekanan, laju aliran, putaran motor, serta daya terpakai pada genset dilakukan melalui sistem instrumentasi. Parameter-parameter ini diambil bersamaan pada saat komisioning subsistem, baik itu subsistem pengeringan maupun subsistem penyuplai panas. Pengambilan data dilakukan dengan interval satu jam. Khusus untuk subsistem penyuplai panas, pengambilan data dilakukan dengan melakukan inspeksi visual mengingat tidak adanya sistem akuisisi data yang dapat merekam kondisi operasi subsistem ini di komputer ruang kontrol. Data-data tersebut dapat digunakan dalam analisis efisiensi proses, dimana dalam analisis ini penggunaan energi pada CUT Pilot Plant menjadi fokus utama.

Kapasitas produksi CUT Pilot Plant dibagi menjadi dua, yaitu kapasitas input batubara dan kapasitas briket yang dihasilkan. Kapasitas input merupakan laju aliran batubara yang masuk ke tangki pengering, dimana hal ini dapat diketahui dengan mengkonversi putaran rotary vane 1. Sedangkan kapasitas briket merupakan jumlah briket yang dihasilkan per satuan waktu, yang dapat diketahui dengan menghitung jumlah briket pada stockpile per satuan waktu. Kapasitas briket mempengaruhi kapasitas input. Dengan berkurangnya kapasitas briket, secara otomatis kapasitas input batubara juga akan berkurang.

Untuk mengetahui kualitas produk yang dihasilkan, perlu dilakukan pengambilan sampel briket. Proses sampling dilakukan dengan mengambil secara acak beberapa briket dari stockpile. Sampel yang diambil kemudian dilakukan analisis proksimat (proximate analysis) untuk mengetahui kandungan airnya serta nilai kalor pembakaran setelah melalui proses pengeringan.

Gambar

Gambar 4.1 Tahapan proses komisioning CUT Pilot Plant
Gambar 4.2a Diagram alir proses komsioning CUT Pilot PlantCek kelengkapan
Gambar 4.2b Diagram alir proses komisioning CUT Pilot Plant
Gambar 4.4 Kecepatan terminal vs Diameter partikel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses anodisasi adalah proses pembentukan lapisan oksida pada logam Proses anodisasi adalah proses pembentukan lapisan oksida pada logam dengan cara bereaksikan

Untuk pengembangan sistem yang lebih baik, penulis akan mengembangkan sistem yang menggunakan algoritma Smith-Waterman yang mampu melakukan perbandingan dokumen bukan

Jika tidak terjadi kesepakatan antara Pembimbing Lapangan dengan Dosen Pembimbing, laporan dapat dibuat dua versi yaitu versi untuk Instansi tempat PKL dan versi

Hasil dari penelitian ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) dampak keberadaan hiburan malam (band) terhadap perilaku remaja baik berdampak positif maupun negatif, (2) faktor

Prinsip dari backwash sendiri ialah membalik arah aliran dengan menggunakan tekanan lebih besar untuk mengangkat foulant yang tersisa dipermukaan membran yang dapat menghambat

Keyword atau konsep yang digunakan adalah “Clear” yang merupakan hasil dari penggambungan antara data wawancara, observasi, USP, STP, studi literatur dan studi eksisting,

Berdasarkan penelitian Pengaruh Jenis Pisang (Musa Paradisiaca) Terhadap Karakteristik Pisang di Banyuwangi dapat di simpulkan bahwaDari uji organoleptik dapat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas sumur resapan dalam membantu proses infiltrasi pada kondisi tanah tertentu dengan kondisi permeabilitas yang telah