• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Coping dan Resiliensi pada Perempuan Kepala Rumah Tangga Miskin. Relationship Between Coping and Resilience in Poor Women Heads of households

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Coping dan Resiliensi pada Perempuan Kepala Rumah Tangga Miskin. Relationship Between Coping and Resilience in Poor Women Heads of households"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Coping dan Resiliensi pada Perempuan

Kepala Rumah Tangga Miskin

Ayu Citra Pratiwi, Hirmaningsih

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau email: nig153@yahoo.co.id

Abstrak

Menjadi perempuan kepala rumah tangga miskin merupakan situasi yang dapat men-imbulkan stres dan kecemasan. Agar mampu menghadapi situasi tersebut perempuan kepala rumah tangga memerlukan reiliensi. Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi situasi sulit yang ada dalam hidup dan melanjutkan perkembangan normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan cop-ing dan resiliensi pada perempuan kepala rumah tangga miskin. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara coping dan resiliensi pada perempuan kepala rumah tangga miskin. Subjek penelitian ini sebanyak 70 orang. Alat ukur yang digunakan adalah skala coping yang disusun berdasarkan konsep Lazarus dan Folkman (1984) dan skala resiliensi yang disusun berdasarkan kon-sep Reivich dan Shatte (2002). Data dianalisis menggunakan teknik analisis Product Moment, hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara coping dan resiliensi yang nilai koefisien korelasinya sebesar 0,525 dengan p = 0,000 (p<0.01). Hal ini berarti semakin baik kemampuan coping, maka semakin baik juga resiliensi pada perempuan kepala rumah tangga miskin.

Kata Kunci : coping, resiliensi, perempuan kepala rumah tangga miskin

Relationship Between Coping and Resilience in

Poor Women Heads of households

Abstract

Be women heads of poor households is situations can make stress and anxiety. To be able to deal with the situation, women heads of household head requires reiliensi. Re-silience is ability to cope with difficult situations that exist in normal life. This research aims to know the relationship coping and resiliensi on women heads of households are poor. Hypothesis asked is there a relationship between coping and resilience women head poor households. The subject in this study as much as 70 person. Measuring in-strument used in this study is based on concept of coping scale Lazarus and Folkman (1984) and scale resiliensi based on the concept of Reivich and Shatte (2002). Analy-sis techniques use Product Moment, research results indicate that there is a positive relationship between coping and the silience. Koefisien Of correlation value of 0.525 with p = 0.000 (p < 0.01). This means the more coping, then the better it also resilience female heads of poor households.

Keywords:coping, resiliensi, women heads of poor households

Pendahuluan

Data dari World Bank (2015) jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan di Indonesia sebanyak 12,9 persen pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 14,8 persen pada tahun 2012. Hingga 2013, tidak kurang dari sembilan juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Lebih dari separuh diantaranya adalah kelompok masyarakat ter-miskin di Indonesia. Perempuan yang menge-palai rumah tangga mengalami stres yang lebih tinggi daripada perempuan lain dan me-miliki kualitas hidup yang lebih rendah. Peran sebagai perempuan kepala rumah tangga

memiliki dampak langsung pada stres,

gang-guan mental dan penyakit fisik (Farahmand

dkk, 2015).

Masalah utama rumah tangga yang dikepalai perempuan dinyatakan dalam ben-tuk kesulitan ekonomi, kurangnya pengeta-huan untuk urusan ekonomi keluarga, sikap negatif masyarakat terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan, kekhawatiran ter-hadap masa depan anak-anak dan intesintas

konflik yang tinggi (Khosravi, 2001).

Meskipun terjadi perpisahan dalam keluarga (divorce) baik akibat kematian, per-ceraian, sakit dan perpisahan akibat perang, penyakit dan bencana alam tidak dapat

(2)

di-hindarkan, banyak perempuan yang mampu terus mempertahankan hidupnya dan me-nyesuaikan diri dengan keadaannya (Marlia, 2010). Kemampuan individu untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang terjadi dalam perkembangannya disebut resiliensi (Sibert, 2005). Sibert (2005) menjelaskan bahwa indi-vidu yang resilien dapat mengatasi perasaan dengan baik saat ditimpa masalah bahkan su-lit untuk diterima.

Resiliensi sangat penting untuk menja-ga kesinambunmenja-gan hidup secara optimal. Per-empuan sebagai kepala rumah tangga yang memiliki resiliensi yang tinggi akan mampu segera bangkit dan memulihkan dirinya dan keadaan. Namun perempuan kepala rumah tangga dengan resiliensi rendah akan cend-erung membutuhkan waktu yang agak lama untuk mampu menerima dan bangkit dari co-baan hidup tersebut. Hal ini berkaitan dengan faktor resiko dan faktor protektif yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kondisi-kondi-si sulit dalam hidupnya (Siebert, 2005).

Menurut Ungar (2008) resiliensi memi-liki makna sebagai suatu kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resilien-si adalah kemampuan untuk mengataresilien-si dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bah-kan berhadapan dengan kesengsaraan (ad-versity) atau trauma yang dialami dalam ke-hidupannya. Aspek relisiensi ada tujuh yaitu 1) regulasi emosi, yaitu adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang me-nekan (Reivich & Shatte, 2002).2) pengenda-lian impuls,yaitu kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesu-kaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002),3) optimisme, yaitu individu yang optimis, optimisme adalah ketika individu melihat bahwa masa depan-nya cemerlang (Reivich & Shatte, 2002),4) causal analysis, yaitu kemampuan individu

untuk mengidentifikasikan secara akurat pe -nyebab dari permasalahan yang perempuan kepala rumah tangga hadapi, 5). empati, yaitu dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikolo-gis orang lain (Reivich & Shatte, 2005).6) self

efficacy,yaitu hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self efficacy merepresentasi -kan sebuah keyakinan bahwa individu mam-pu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan dan, 7) reaching out yaitu kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).

Individu mampu beradaptasi dan me-miliki ketahanan terhadap kondisi yang penuh tekanan apabila individu tersebut melakukan

usaha-usaha yang efektif untuk mengatasi masalahnya. Usaha untuk mrnghadapi te-kanan tersebut dikenal dengan istilah coping. Coping menurut Lazarus (1993) merupakan usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan secara terus-menerus untuk mengatur te-kanan dari dalam maupun luar diri yang dinilai mengancam.

Kumpfer (1999) mengatakan coping

memiliki peran yang signifikan dalam proses

mengembangkan resiliensi. Sehingga da-pat dikatakan bahwa coping mempengaruhi resiliensi seseorang. Li (2008) mengatakan bahwa resiliensi merupakan hasil dari peng-gunaan active coping seperti mencari bantu-an dbantu-an menyelesaikbantu-an masalah.

Menurut Lazarus (dalam Lazarus dan Folkman, 1984) coping adalah usaha kognitif maupun perilaku yang dilakukan terus me-nerus untuk mengatur tekanan dari dalam maupun luar diri yang dinilai mengancam.

Feldman (1999) mendefinisikan coping seba -gai usaha yang dilakukan individu untuk men-gendalikan, mengurangi, atau belajar menol-eransi anvaman yang dapat menimbulkan stres.

Jenis dan Aspek Coping

Lazarus dan Folkman (1984), Lazarus

(1993), dan Folkman dkk (1986) mengklasifi -kasikan dua jenis coping yaitu:

a. Problem Focused Coping (PFC)

Problem focused coping (PFC) mer-upakan strategi coping untuk menghadapi masalah secara langsung melalui tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengubah sumber-sumber stres.

Problem focused coping melibatkan bebera-pa aspek yakni:

1. 2.

3.

b. Emotion Focused Coping (EFC)

Emotion focused coping merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tan-pa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Aspek yang termasuk dalam emotion focused coping, yakni:

Confrontative coping; usaha mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang tinggi, dan pengambilan resiko.

Seeking social support; yaitu menggambar-kan banyaknya keterangan-keterangan yang berhasil dipelajari untuk di organisasi-kan menjadi bentuk pengetahuan tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi.

Planful problem solving; usaha untuk men-gubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

(3)

1. 2. 3. 4. 5. Hipotesis

Terdapat hubungan positif antara cop-ing dan resiliensi pada perempuan kepala ru-mah tangga miskin. Artinya, jika kemampuan coping tinggi maka semakin tinggi juga resil-iensi pada perempuan kepala rumah tangga. Sebaliknya, jika kemampuan coping rendah

maka resiliensi juga rendah. Metode

Penelitian ini menggunakan pendeka-tan korelasional yang bertujuan untuk meng-etahui apakah ada hubungan variabel coping (X), dan variabel resiliensi (Y). Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 70 orang, yang merupakan keseluruhan perempuan kepala rumah tangga miskin yang berada di Kelura-han Wonorejo, Kecamatan Marpoyan Damai, Kotamadya Pekanbaru. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria, yaitu 1) Perempuan kepala rumah tangga, 2) Miskin, yang ditandai den-gan menerima bantuan pemerintah dan atau zakat. Alat ukur yang digunakan dalam pe-nelitian ini adalah skala coping yang disusun berdasarkan konsep Lazarus dan Folkman (1984) dan skala resiliensi yang disusun ber-dasarkan konsep Reivich dan Shatte (2002). Uji Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas isi (content validity).

Pada skala resiliensi setelah dilaku-kan uji coba (try out) terdapat 21 aitem gugur

dan 35 aitem diterima dengan koefisien ko -relasi total berkisar antara 0,302-0,694

den-gan koefisien reliabilitas sebesar 0,925 Pada

skala coping setelah uji coba (try out) terdapat 21 aitem gugur dan 28 aitem diterima dengan

koefisien korelasi total berkisar 0,310-0,742 dengan koefisien reliabilitas skala coping

sebesar 0,926. Hasil

Deskripsi Subjek Penelitian Self control yakni usaha mengatur

per-asaan ketika menghadapi situasi yang me-nekan.

Distancing, yakni melakukan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif. Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau men- ciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah seba-gai lelucon.

Positive reappraisal yaitu mencoba un-tuk membuat arti positif dari situasi dalam masa perkembangan kepribadian dan ka-dang-kadang dilakukan dengan melibatkan sifat yang religius

Accepting responsibility yaitu, menyadari tanggungjawab diri sendiri dalam per-masalahan yang dihadapi, dan mencoba menerimanya untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.

Escape/avoidance yaitu, mencoba me-mikirkan masalah dari keinginan (wishful thinking) serta usaha untuk mengatasi situ-asi menekan dengan lari dari situsitu-asi terse-but atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain yang menyenangkan seperti makanan, minuman, merokok, ataupun menggunakan obat-obatan.

Tabel.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian

Data Demografi N %

Tingkat pendidikan Tidak Tamat SD 3 4,29%

SD 24 34,29 SMP 13 18,57 SMA 28 40% S1 2 2,85% 70 100% Uji Asumsi

Uji normalitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah One-Sample KS , dalam signifikansi p>0.05 maka data dikatakan nor -mal.

Berdasarkan hasil uji normalitas

dike-tahui signifikansi (Asymp Sig) 0,177 untuk

variabel coping dan 0,116 untuk variabel resil-iensi. Berdasasarkan hasil tersebut dapat di-ambil kesimpulan bahwa sebaran data dalam penelitian menunjukkan distribusi yang nor-mal.

Hasil uji linearitas diperoleh nilai F

sebesar 24,334 dengan P= 0,000 (P<0,05),

artinya data variabel dalam penelitian ini

line-ar. Berdasarkan Curve fit diketahui besar koe

-fisien determinasi (Rsq) sebesar 0,275, artin -ya variabel coping memiliki kontribusi sebesar 27,5% terhadap variabel resiliensi sedangkan 72,5% dipengaruhi oleh variabel lain.

Uji Hipotesis

Pada penelitian ini diperoleh angka

(4)

nilai person correlation (r) 0,525. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima yang berarti terdapat hubungan antara coping dengan resiliensi. Artinya semakin tinggi

ke-mampuan coping, maka semakin tinggi resil-iensi pada perempuan kepala rumah tangga miskin.

Tabel 2. Hubungan Jenis Strategi Coping dan Resiliensi

Strategi Coping Rsq P

Problem Focus 0,4 0,24 0,0

Coping*Resiliensi 97 7 00

Emotional Focus 0,5 0,26 0,0

Coping*Resiliensi 14 4 00

Berdasarkan tabel 2 ditunjukkan bahwa jenis strategi problem focus coping dan strategi emotional focus coping

berkore-lasi secara signifikan dengan resiliensi den

-gan nilai signifikansi 0,000 (P<0,01) artinya,

pada penelitian ini kedua jenis strategi cop-ing yaitu startegi emotional focus coping dan strategi problem focus coping berhubungan

dengan resilensi. Adapun besar koefisien de -terminasi (Rsq) problem focus coping sebesar 0,247 dan emotional focus coping sebesar 0,264 artinya, strategi problem focus coping memiliki sumbangan efektif sebesar 24,7% terhadap resiliensi sedangkan startegi emo-tional focus coping memiliki sumbangan efek-tif sebesar 26,2%. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini strategi emotional focus coping dan strategi problem focus coping memiliki sumbangan efektif lebih relative sama.

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukan ter-dapat hubungan antara coping dengan resil-iensi pada perempuan kepala rumah tangga miskin. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh correlation coefficient (r) = 0,525 dengan p =

0,000 (p<0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat

sig-nifikan antara coping dengan resiliensi. Art -inya, semakin baik kemampuan coping, maka semakin baik pula kemampuan resiliensi yang dimiliki perempuan kepala rumah tangga mis-kin.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hi-potesis yang diajukan oleh peneliti yaitu ada hubungan antara coping dengan resiliensi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kumpfer (1999) bahwa coping memiliki peran

yang signifikan dalam proses mengembang -kan resiliensi. Demikian pula Rutter dan Rut-ter (dalam Ditriya, 2012) mengatakan bahwa

coping memiliki peran yang signifikan dalam

interaksi antara situasi stress dan resiliensi. Taylor (2012) juga mengatakan bahwa coping merupakan salah satu sumber resiliensi untuk melawan stress. Apabila coping meningkat,

maka resiliensi seseorang juga akan menin-gkat (Stenhardt dan Dolbier, dalam Ditriya, 2012).

Lazarus dan Folkman (1984) men-gatakan bahwa tidak semua strategi coping tepat digunakan untuk segala situasi. Peng-gunaan strategi coping tergantung pada siapa yang menggunakan, kapan dan bagaimana strategi coping itu digunakan. Proporsi peng-gunaan kedua strategi coping relatif berva-riasi tergantung pada bagaimana penilaian individu terhadap situasi yang sedang diha-dapinya. Wachs (2006) berpendapat bahwa jenis mekanisme coping yang digunakan oleh individu dapat mempengaruhi resiliensi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti juga men-ganalisa hubungan resiliensi dengan strategi problem focus coping dan emotional focus coping. Hasilnya, kedua strategi coping terse-but memiliki hubungan dengan resiliensi dan sumbangan efektif yang relatif sama terhadap resiliensi.

Dua jenis coping yang berbeda dalam mengatasi masalah maka berbeda pula ting-kat kemampuan individu untuk membangkit-kan kembali percaya diri dan optimisme, atau dapat disebut juga sebagai tingkat resiliensi (Susanto, 2013). Carver dkk (1989) menga-takan bahwa emotional focus coping menjadi efektif karena dapat mencegah individu untuk tenggelam dalam emosi negatif dan mem-bantu individu untuk dapat mengambil tin-dakan yang proaktif untuk mengatasi emosi negatif yang muncul. Individu menggunakan emotional focus coping ketika berada dalam situasi diluar kendalinya, dimana tidak banyak hal yang dapat dilakukan individu untuk men-gatasi masalah yang menekan.

Emotional focus coping diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional seperti menghindar, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, dan men-cari nilai positif dari sebuah peristiwa negatif. Pada perempuan kepala rumah tangga mis-kin, strategi emotional focus coping efektif di-gunakan ketika dihadapkan pada kehilangan pasangan hidup baik karena kematian mau-pun bercerai merupakan peristiwa yang

(5)

tidak dapat dikontrol maupun dihindari. Pen-erimaan akan kondisi sebagai kepala rumah tangga serta tanggungjawabnya, pencarian makna positif dari kondisi sulit yang dialami serta upaya mengontrol perasaan saat ber-hadapan dengan situasi tidak menyenangkan karena kesulitan ekonomi, status pernikahan, pengasuhan seorang diri, serta masalah lain-nya efektif meredakan emosi negatif sehing-ga perempuan kepala rumah tangsehing-ga miskin mampu bertahan mengatasi kondisi sulit dan melanjutkan perkembangan normalnya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fawcett dkk (dalam Ditriya, 2012) yang menunjukkan emotional facused cop-ing efektif mempengaruhi resiliensi pada is-tri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat bertahan dengan kondisi psikologis yang sehat dalam perni-kahan mereka. Penelitian lain dilakukan oleh Rizky (2012) juga menunjukkan bahwa resil-iensi berhubungan lebih erat dengan strate-gi emotional focus coping karena menjadi pasien kanker adalah situasi yang tidak dapat dihindari, sehingga strategi emotional focus coping adalah strategi yang paling efektif di-gunakan.

Pada umumnya, jika individu yakin dengan sumber daya yang dimiliki dan menilai situasi yang dihadapinya dapat dikendalikan dan diatasi, maka individu cenderung akan menggunakan problem focus coping (Zanden, 1997). Lazarus & Folkman (1984) menyebut-kan bahwa individu melakumenyebut-kan focus problem coping jika ia menilai situasi yang dialaminya bisa diubah atau ia merasa situasi tersebut memiliki tingkat ancaman sedang. Pada per-empuan kepala rumah tangga miskin, focus problem coping digunakan ketika dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang harus diatasi dengan cara mencari pekerjaan dengan upah yang lebih baik, merencanakan pengeluaran rumah tangga serta meminta saran atau men-cari dukungan sosial. Li (2008) mengatakan bahwa resiliensi merupakan hasil dari peng-gunaan active coping seperti mencari bantu-an dbantu-an menyelesaikbantu-an masalah.

Resiliensi perempuan kepala rumah tangga miskin dalam penelitian ini berada pada kategori rendah dan sedang, artinya perempuan kepala rumah tangga miskin be-lum cukup mampu untuk bangkit dari situasi sulit yang dihadapi. Sementara itu, kemam-puan coping peremkemam-puan kepala rumah tang-ga miskin dalam penelitian ini berada pada kategori rendah, artinya coping yang dilaku-kan belum adaptif. Hasil ini senada dengan penelitian Susanto (2013) yang membuktikan bahwa individu dengan kemampuan coping yang lebih tinggi akan mempunyai resiliensi yang tinggi.

Subjek dalam penelitian ini berada pada taraf sosial ekonomi, dan tingkat

pen-didikan yang rendah, hal ini menjadi salah satu faktor rendahnya kemampuan cop-ing. Ini sesuai dengan pendapat Westbrook (dalam Billilgs dan Moos, 1984) yang men-gatakan bahwa seseorang dengan status sosial ekonomi rendah akan menampilkan coping yang kurang aktif, kurang realistis, dan lebih fatal menampilkan respon meno-lak, dibandingkan dengan seseorang yang status ekonominya lebih tinggi. Kondisi so-sial ekonomi disebut sebagai salah satu fak-tor eksternal yang paling berpengaruh pada coping. Individu yang memiliki uang, terutama jika memiliki kemampuan menggunakannya secara efektif, dapat melakukan coping den-gan lebih baik karena sumber daya tersebut membuka banyak pilihan menghadapi ham-batan (Lazarus dan Foklman, 1984). Menurut Menaghan (dalam McCrae, 1984) seseorang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini memiliki efek besar terhadap sikap, konsepsi cara berpikir dan tingkah laku individu yang selanjutnya berpengaruh terhadap strategi copingnya.

Berdasarkan perhitungan statistik

diperoleh harga koefisien determinan (Rsq)

sebesar 0,275, artinya variabel coping memi-liki kontribusi sebesar 27,5% terhadap vari-abel resiliensi sedangkan 72,5% dipengaruhi oleh variabel lain. Faktor pendukung ( protec-tive factor) lain yang mempengaruhi resiliensi adalah keterampilan sosial yang kuat, ke-mampuan interpersonal dan dukungan sosial (Neil dan Dias dalam Ditriya, 2012). Selain itu, penelitian Smokowski (dalam Everall dkk, 2006) mengungkapkan bahwa locus of con-trol berkorelasi positif dengan resiliensi. Kesimpulan

Resiliensi merupakan salah satu mod-al dmod-alam menghadapi bentuk kondisi yang menylitkan seperti kemiskinan. Hasil pe-nelitian menunjukkan bahwa ada hubungan

positif yang sangat signifikan antara coping

dengan resiliensi. Artinya, semakin baik ke-mampuan coping, maka semakin baik pula kemampuan resiliensi yang dimiliki perem-puan kepala rumah tangga miskin. Berdasar-kan hal tersebut, dapat disimpulBerdasar-kan bahwa dalam penelitian ini strategi emotional focus coping dan strategi problem focus coping me-miliki sumbangan efektif lebih relative sama artinya kedua coping tersebut dibutuhkan dalam membantu individu lebih resiliens. Daftar Pustaka

Azwar, S. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar Carver, C.S., Scheier, M.F., dan Weintraub,

(6)

J.K. (1989). Assesing Coping Strategies: A Theoritically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, No. 2, 283

Ditrya, S. B. (2012). Hubungan antara Resiliensi dan Coping pada Istri yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Everall, R. D., K. Jessica A., and Barbara L. Paulson. (2006). Creating a Future: A Study of Resilience in Suicidal Female Adolescents. Journal of Counseling & Development. Volume 84.

Farahmand, Mahnaz, Raziyeh M., Farzaneh A. H. (2015). The Social Relationship Pathology of Female-Headed

Households and Their Mental Empowerment. International Journal of Review in Life Sciences. JK Welfare & Pharmascope Foundation. Farahmand et al., Int. J. Rev. Life. Sci., 5(3), 2015, 192-202 Feldman, R. S., (1999). Understanding

Psychology (5th edition). New York: McGraw Hill

Khosravi, Z. (2001). Studying of Psycho-social Problems to Famale-headed Household. Journal of Human Sciences University. 10(39) 94-71

Kumpfer, L. K. (1999). Factors and Processes to resilience: The Resilience Frame work. New York: Academic /Plenum Lazarus, R, dan Folkman, S. (1984). Stress,

Appraisal, dan Coping. New York: Spinger Publishing Company, Inc. Lazarus, R, S. (1993). Coping Theory and

Research: Past, Present, and Future. Journal of Psychosomatic Medicine. 55: 234-247

Li, M. (2008). Relationship among Stress, secure Attachment, and Trait of Resilience Among Taiwanes Collage Student. College Student Journal. 42:312-325

McCrae, R.R. (1984). Situasional Determinant of Coping Responses: Loss, Threat and Challlenge. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 46, No.4, 919-928

Marlia, Y. S. (2010). Penyesuaian Diri Ibu yang Menjadi Kepala Keluarga. Skripsi. Surakarta: Universitas

Sebelas Maret.

Reivich, K dan Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Skills For

Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York: Broadway

Books

Rizky, C.R. (2012) Hubungan antara Resiliensi dan Coping pada Pasien kanker Dewasa. Skripsi. Depok: Uni-versitas Indonesia

Siebert, A. (2005). The Resiliency Advantages. San Fransisco:

Berret-Koehler Publisher Inc.

Susanto, M.D. (2013). Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan, Kemampuan Coping, dan Resiliensi Remaja. Journal Sains dan Praktik Psikologi. 1/2. 101-113.

Taylor. S.E., (1995). Health Psychology. Singapore: Mc Graw Hill.

Unggar, M. (2008). Resilience Across Cultures. British Journal of Social Work. 38 (2), 218-235.

Wachs, T.D. (2006). Cotributions of Temperament to Buffering and

sensitization Procesess in Children’s

Development. New York of Sciences. 1094: 28-39

World Bank. (2015). Female Headed Households (% of household with a female headed).http://data.world

bank.org/indicator/SP.HOU.FEMA. ZS/countries/1W-ID?display=graph.

Diakses tanggal 7 Maret 2016

Zanden, J, W dan Vonder (1997). Human Development (6th edition). New York: Mc. Graw Hill.

Gambar

Tabel 2. Hubungan Jenis Strategi Coping dan Resiliensi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk memberikan kami pengetahuan dengan semangat jiwamu Engkau tak pernah mengeluh dalam mendidik kami.. Engkau menginginkan anak-anakmu ini sukses untuk meraih

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Kendari Tahun.. 2013 -

panjang jaringan BMCA, sehingga nilai arus gangguan hubung singkat pada ujung.. jaringan PKDM lebih besar daripada nilai arus gangguan hubung singkat

Pengujian pengoperasian sistem simulasi UPM memanfaatkan teknologi GPS pada smartphone untuk jalan berbayar telah berjalan dengan baik seperti dapat dilihat pada

Penurunan hasil yang cukup besar akibat peng- gunaan benih dengan mutu awal rendah diawali dengan pertumbuhan kecambah jagung yang lambat, kurang- nya jumlah tanaman tumbuh,

Selain melihat pengaruh stock repurchase terhadap return saham, peneliti juga ingin melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi wealth effect pada return ini, seperti

Dari hasil uji hipotesa diatas diperoleh hasil 0,664 terhadap loyalitas nasabah melalui komitmen, didukung dengan terdapat pengaruh yang signifikan terhadap