• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE Ikhsan Yusda PP Dosen Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Padang ikhsan_yusdayahoo.com ABSTRAK - PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE - Politeknik Negeri Padang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE Ikhsan Yusda PP Dosen Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Padang ikhsan_yusdayahoo.com ABSTRAK - PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE - Politeknik Negeri Padang"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBATMALPRACTICE

Ikhsan Yusda PP

Dosen Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Padang ikhsan_yusda@yahoo.com

ABSTRAK

Timbulnya malpractice bermula pada hubungan pasien-dokter. Hubungan inilah yang memberikan dasar terdapatnya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dalam transaksi terapeutik dokter harus menggunakan kepandaiannya maupun keilmuan yang dimilikinya dalam melakukan perawatan seorang pasien dan kewajiban pasien untuk membayar honorarium dan sebagainya. Adanya kelalaian dokter akibat hubungan yang telah terjadi dapat menyebabkan kerugian pasien. Perubahan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat akan mengakibatkan benturan-benturan kepentingan yang tidak jarang menyebabkan seseorang akan bertindak menyimpang dari norma-norma yang telah ada sebelumnya. Kode Etika Kedokteran adalah perwujudan nilai-nilai moral yang berlaku bagi profesi kedokteran yang sampai kini berusaha mempertahankan kemuliaan dan kehormatan profesi kedokteran. Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban itu tidak dipenuhi oleh salahsatu pihak yang sudah bersepakat mengadakan transaksi itu, maka wajarlah apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan gugatan. Sehingga akhir-akhir ini banyak timbul permasalahan yang menjurus pada tuduhan malpractice kepada profesi dokter. Sebagai pemakai terakhir dari jasa, maka pasien merupakan konsumen yang memakai jasa pelayanan kesehatan. Oleh karena konsumen menyangkut semua individu, maka konsumen mempunyai hak yang mendapat perlindungan hukum, baik itu Hak-hak Asasi Manusia maupun Masyarakat Ekonomi Eropa telah menemukan adanya hak-hak dasar konsumen itu.

Kata kunci:Dokter-Pasien, Transaksi Terapeutik, Malpractice, Perlindungan Hukum.

ABSTRACT

(2)

health services. Because of consumer concerns all individuals, then the consumer has the right to legal protection, both Human Rights and the European Economic Community has discovered the existence of the basic rights of the consumer.

Keywords:Doctor-Patient, Therapeutic Transactions, Malpractice, Legal Protection.

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kalangan dokter sibuk membicarakan masalah Kode Etik Kedokteran. Misalnya saja, bulan Desember 1978 telah diadakan Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia dengan tema Penilaian Kembali Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Fakultas Kedokteran Airlangga pun pada bulan April 1981 mengadakan Panel Diskusi Peranan Pendidikan Kedokteran dalam Menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pemantapan Citra Dokter di dalam Masyarakat. Bahkan baru-baru ini telah diadakan Panel Diskusi Aspek Hukum dalam Profesi Kedokteran di Bandung.

Adanya berbagai macam diskusi tersebut memberi petunjuk pada kita, bahwa sebenarnya kalangan dokter sendiri merasakan adanya pelayanan dokter yang kurang ataupun tidak sesuai dengan maksud dari Kode Etik tersebut. Di samping itu dokter saat ini memang sedang disoroti oleh masyarakat lewat media massa, baik itu media TV maupun beberapa surat kabar harian yang terbit di ibu kota. Pada umumnya, keluhan masyarakat berupa pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kerugian pasien atau dapat menimbulkan penderitaan lebih lanjut. Misalnya, akibat tindakan dokter yang kurang tepat menyebabkan seorang pasien meninggal dunia.

Kita kini memang hidup dalam suatu masa transisi, karena terjadi perubahan besar dalam susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita dan karena terjadinya perubahan besar lain yang lebih mendalam sifatnya, yaitu pergeseran nilai-nilai budaya yang mempengaruhi alam pikiran, mentalitet serta jiwa kita. (saya kursipkan). (Kuncaraningrat.1975:17). Ini adalah akibat pembangunan yang sekarang sedang kita lakukan, di mana masa pembangunan merupakan masa ketimpangan-ketimpangan. (Soemardjan. 1976).

(3)

mempertahankan kemuliaan dan kehormatan profesi kedokteran. Oleh karena Kode Etik tersebut mengandung makna yang sangat berkait erat dengan:

1. Perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral, dan 2. Perilaku yang sesuai untuk mendukung sntar profesi. (Koeswadji, 1981:3).

Terjadinya hubungan kepercayaan antara 2 (dua) insan, yaitu; sang pengobat dan penderita, dalam zaman modern sekarang ini disebut transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Adapun yang dimaksudkan dengan ”transaksi terapeutik” adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien dan dokter. (Koeswadji, 1981:4). Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban itu tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah bersepakat mengadakan transaksi itu, maka wajarlah apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan gugatan. Sehingga akhir-akhir ini banyak timbul permasalahan yang menjurus pada tuduhanmalpracticekepada profesi dokter.

Sebagai pemakai terakhir dari jasa, maka pasien merupakan konsumen yang memakai jasa pelayanan kesehatan. Oleh karena konsumen menyangkut semua individu, maka konsumen mempunyai hak yang mendapat perlindungan hukum, baik itu Hak-hak Asasi Manusia maupun Masyarakat Ekonomi Eropa telah menemukan adanya hak-hak dasar konsumen itu.

Berdasarkan beberapa pokok uraian di atas, maka penelaahan malpractice dalam artikel ini penulis kaitkan dengan transaksi antara dokter-pasien berdasarkan hubungan keperdataan yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia.

Masalah yang timbul dari penelaahan tersebut adalah: sampai seberapa jauh perlindungan hukum terhadap pasien akibatmalpractice? Dari sini timbul beberapa persoalan, yaitu:

1. Adakah hak-hak pasein yang mendapat perlindungan hukum?

2. Faktor-faktor apakah yang menghambat terealisirnya hak-hak pasien itu?

3. Usaha-usaha apakah yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulnyamalpractice?

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Malpractice

(4)

temui dalam hukum melainkan terletak pada ketentuan seorang hakim atau juri. (Hayt, 1964: 328-329). Istilah malpracticemempunyai konotasi yang luas dan biasanya dipakai untukbad practice; suatu ketika disebut dengan malapraxis, dalam hal perawatan seorang pasien. Dalam Legal Aspects of Medical Records hal. 329 kita dapat membaca rumusan malpractice sebagai:

1. the failure of a physician or surgeon in the treatment of patient to possess and employ that reasonable degree of learning skill, and experience which ordinarily is possessed by others of his profession; or

2. his failure to exercise reasonable and ordinary care and diligence in the exertion of his skill and the application of his knowledge; or

3. his failure to exert his best judgment as to the treatment of the case entrusted to him; or

4. his failure to bestow such reasonable and ordinary care skill, and diligence as physician and surgeens in the same neigborhood in the same general of practice orninary have and exercise in like cases.

Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa timbulnya malpractice bermula pada hubungan pasien-dokter. Hubungan inilah yang memberikan dasar terdapatnya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dalam transaksi terapeutik dokter harus menggunakan kepandaiannya maupun keilmuan yang dimilikinya dalam melakukan perawatan seorang pasien dan kewajiban pasien untuk membayar honorarium dan sebagainya. Adanya kelalaian dokter akibat hubungan yang telah terjadi dapat menyebabkan kerugian pasien.

Black’s Law Dictionary memerinci persyaratan untuk timbulnya suatu medical malpracticeke dalam 4 hal, yaitu:

1. the existence of a physician’s duty to the plaintiff, usually based upon the existence of the physician patient relationship;

2. the applicable standard of care and its violation; 3. A consensable injury;

4. A causal connection between the violation of the standard of care and the harm complained.

(5)

dokter-pasien yang masing-masing pihak dibebani hak-hak maupun kewajiban. Oleh karena hubungan dokter-pasien dalam transaksi terapeutik itu bertumpu pada 2 (dua) macam hak asasi, yaitu;

1. hak untuk menentukan nasih sendiri; dan 2. hak atas informasi. (Koeswadji, 1981: 17).

Maka pengertianmalpractice yang dibahas dalam atikel ini sangat terkait dengan hak-hak pasien yang tidak dipenuhi oleh seorang dokter. Sudah barang tentu persyaratan untuk timbulnya malpractice sebagaimana telah diuraikan di atas, tetap akan disinggung sepanjang ada relevansi dengan masalah pokoknya.

2. Hubungan Dokter dan Pasien

Transaksi antara dokter-pasien secara umum diatur dalam pasal 1320 Kitab UU Hukum Perdata. Suatu transaksi atau perjanjian dapat dikatakan sah bila memenuhi syarat-syarat:

1. sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; dan

4. karena suatu sebab yang halal.

Transaksi terapeutik antara dokter-pasien pun harus memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi telah terjadi maka kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang dilindungi dan dijamin oleh Hak Asasi Manusia sebagai hak-hak dasar yang bersifat universal.

Pada asasnya hubungan dokter-pasien dalam transaksi terapeutik itu bertumpu pada 2 (dua) macam hak asasi, yaitu;

1. hak untuk menentukan nasib sendiri (”the right to selfdetermination”); dan 2. hak atas informasi (”the right to be informed”). (Koeswadji, 1981:5).

(6)

Pada tahun 1914 oleh seorang Justice Cardozo di Schloem-dorff v. Society of the New York Hospital menyatakan bahwa:

”Every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall he does with his own body, a surgeon who performs an operation without his patient’s consent, commits an assault for which he is liable in damages”. (Florence: 8).

Pernyataan yang hampir serupa dikemukakan pula oleh seorang hakim Natenson V. Kline: A man is a master o his own body. He may expressly prohibit the performance of lifesaving surgery or other medical treatment. A doctor may well believe that an operation or other form of treatment is desirable or necessary, but the law does not permit him to substitute his own judgement for that of the patient by any form of article or deception”. (Florence: 8).

Dari 2 (dua) pernyataan hakim tersebut di atas, dalam hubungn dokter-pasien, maka masalah informasi yang berkaitan dengan perawatan, diagnosa maupun porgnosa memberi beban kepada dokter untuk bertindak hati-hati dan seksama dalam menanggapi kepercayaan yang dilimpahkan oleh pasien kepadanya. Ini berarti, kalau dokter telah memenuhi ketentuannya yang telah tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang bertolak pada pasien, maka sagala kemungkinan yang terjadi terhadap setiap tindakan terapeutik itu harus dikomunikasikan pada pasien. Komunikasi itu sangat penting bagi seorang pasien untuk mengambil keputusan apakah yang akan dia kehendaki. Tentunya keputusan itu juga harus disepakati oleh dokternya.

(7)

hati-hatinya bisa menyebabkan cacat tubuh atau matinya seseorang? Dengan perkataan lain timbul permasalahanmalpracticeitu.

3. Kode Etik sebagai Pedoman Tingkah Laku Dokter

Kode Etik Kedokteran harus diartikan sebagai pedoman tingkah laku bagi pelaksana profesi medis. Etika dalam kaitannya dengan filsafat dapat diartikan dalam 2 (dua) hal, yaitu:

1. syarat-syarat yang diperlukan untuk memberikan batasan bagi apa yang disebut sebagai perbuatan yang benar, baik dan

2. apa yang disebut sebagai summum bonum, yaitu; batasan untuk sesuatu yang dikatakan baik dan benar. (Koswadji. 1981: 3).

Etika dalam kaitannya dengan profesi tidak lain daripada suatu konsensus, suatu kesepakatan bersama diantara pendapat para ahli dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan standar profesional. Dalam artinya yang demikian, maka etika sangat erat berkait dengan:

1. perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral, dan

2. perilaku yang sesuai untuk mendukung standar profesi. Sehingga etika dapat disebut sebagai filsafat tentang tindakan manusia.

Untuk dapat melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tersebut maka pengemban/pelaksana profesi harus menghayati serta mengamalkan isinya itu. Masalah kepatuhan atau ketaatan menyangkut masalah pengetahuan, pengakuan dan penghargaan terhadap isi KODEKI. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketaatan seorang pengemban profesi ditentukan oleh jangka waktu penanaman nilai-nilai KODEKI, yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dalam usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberi hasil. (Soekanto, 1976:45). Oleh karena ketaatan pada KODEKI dikontrol atas dan oleh dirinya sendiri.

Kedokteran disebut sebagai suatu profesi, yaitu; suatu pekerjaan yang bersifat memberikan pelayanan dan yang mengandung 2 (dua) unsur, yaitu:

(8)

2. Probleman-problema tersebut mempunyai relevansi yang besar dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang dipandang pokok dalam masyarakat. (Rahardjo. 1978: 144). Kode etik sebagai kode profesi merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka pendekatan kepada pasien dan bersifat normatif. Norma-norma etik medis memang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang dipandang pokok dalam masyarakat secara keseluruhan. Timbullah interaksi yang dinamis antara norma etik kedokteran dan norma etik masyarakat sehingga dokter sebagai pengemban profesi diharapkan dapat mencerminkan nilai yang dianut oleh dunia profesi kedokteran sebagai nilai pandangan hidupnya.

Usaha untuk menanamkan norma etik medis merupakan suatu proses yang panjang. Proses pendidikan yang demikian itu hendaknya dilihat sebagai suatu proses sosialisasi, tidak hanya mengenai keterampilan teknik yang dibutuhkan, melainkan juga memapankan komitmen kepada nilai-nilai serta norma-norma yang mempunyai kedudukan sentral bagi tugas-tugas profesionalnya. (Rahardjo, 1978:149).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor Sosial yang Mempengaruhi Seorang Dokter Melakukan Malpractice

Malpractice Commission melaporkan bahwa pada tahun 1970 di Amerika telah tercatat tuntutan yang menyangkut soal malpractice sebanyak 12.000 peristiwa. Claim ini bisa diselesaikan sebelum pemeriksaan di pengadilan sejumlah 90 % di mana 65 % nya diselesaikan tanpa didahului oleh tuntutan hukum (King I:28).

Di Indonesia, masalah yang menyangkut malpractice ini belum bisa diketahui jumlahnya. Hanya akhir-akhir ini masyarakat banyak melakukan sorotan di berbagai media khususnya surat-surat kabar harian yang menyangkut masalah pelaksanaan profesi, tentunya menjurus pada adanyamalpractice.

(9)

2. macam dan sifat operasi.

3. peranan kemampuan ahli bedah dan anestesi.

4. sarana-sarana lain yang menunjang lancarnya pembedahan/anestesi dan pengelolaan penderita pasca bedah. (Bulletin, 1981:12).

Sangat disayangkan bahwa dalam laporan itu tidak disebutkan secara terperinci berapa persen penderita yang meninggal akibat status fisik penderita, berapa penderita yang meninggal akibat peranan kemampuan ahli bedah dan anestesi dan berapa persen yang meninggal akibat faktor lain. Tetapi yang jelas meninggalnya penderita akibat faktor-faktor tersebut dapat menunjukkan adanyamalpractice.

Dokter dalam melaksanakan profesinya tidak dapat terlepas dari lingkungan disik yang melingkupinya. Sebagai anggota masyarakat maka dokter pun selalu berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Interaksi adalah akibat dari proses komunikasi adalah alat dari interaksi dan alat proses sosial.

Setiap proses sosial selalu melibatkan masalah sistem nilai-nilai yang dapat dikelompokkan dalam:

1. welfare valuesdan 2. deference values.

Adapun welfare values adalah nilai-nilai yang dianggap penting oleh dan untuk kehidupan manusia agar supaya ia dapat hidup dengan layak, mempunyai pendapatan yang mencukupi keperluan sehari-hari, nilai tentang kesehatan badaniah termasuk didalamnya perasaan aman dalam memperoleh atau melanjutkan pekerjaannya, agar supaya kehidupannya tetap terjamin. Sedangkan deference values adalah kelompok nilai yang lebih tinggi, nilai-nilai moral yaitu apa yang dianggap baik, buruk, tidak jujur dan seterusnya. (Susanto, 1977:41). Keterlibatan nilai-nilai tersebut dalam interaksi sosial sangat menentukan tingkah laku/tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang yang notabene dia adalah pengemban profesi medis. Baik itu welfare values maupun deference values merupakan kekuatan-kekuatan yang cenderung mempengaruhi tingkah laku seorang. Tingkah laku-tingkah laku yang melanggar tiap norma apakah itu norma hukum, norma kebiasaan, biasanya dirumuskan sebagai penyimpangan.

(10)

menyesuaikan diri dengan keharusan norma (motivasi untuk konform, dan motivasi untuk non konform).

Tingkah laku yang tidak konform itu dapat saja timbul bersama-sama dengan motivasi untuk berkonform, dan sebaliknya, tingkah laku yang bersesuaian dengan bunyi norma dapat pula timbul bersama-sama dengan motivasi yang berkehendak untuk tidak konform. Ketidaksesuaian tingkah laku dapat saja terjadi sekalipun si pemegang peran telah berkehendak sungguh-sungguh untuk menyesuaikan diri. Hal ini dapat terjadi pada perkara-perkara di mana dia tidak sadar akan normanya atau di mana norma-norma yang menjadi pedoman perilakunya bersifat tidak serasi dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan untuk posisi si pemegang peran itu.

Hukum Memberi Perlindungan Terhadap Hak-hak Pasien

Hak atas penghidupan, kemerdekaan, keselamatan dapat kita jumpai dalam Universal Declaration of Human Rights. Demikian pula Presiden J.F. Kennedy telah menemukan 4 (empat) hak dasar, yaitu:

1. hak memperoleh keamanan. 2. Hak memilih.

3. Hak mendapat informasi, dan 4. Hak untuk didengar.

Dalam pada itu Masyarakat Ekonomi Eropa juga telah mensekapakati 5 (lima) hak dasar konsumen sebagai berikut:

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan. 2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi. 3. Hak mendapat ganti rugi.

4. Hak atas penerangan, dan

5. Hak untuk didengar. (Badrulzaman, 1981: 23).

Hak-hak dasar ini adalah merupakan hak-hak yang bersifat universal. Bila demikian maka timbul pertanyaan apakah hak-hak dasar yang bersifat universal itu diterima di Indonesia. Apakah hak-hak dasar itu mendapat tempat di dalam Pancasila dan UUD 1945.

(11)

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan ini mengenai hak-hak warga negara. Ini dapat meliputi hak apa saja dari warga negara yang secara universal sudah diakui. Misalnya saja, hak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, maka hak tersebut melihat manusia secara utuh. Hal ini tidak saja untuk mengejar kemajuan lahiriah atau kepuasan batiniah melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Demikian pula pasal 28 berbunyi: ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Penjelasannya menentukan bahwa memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yangb ersifat demokrasi dan yang hendak menyelenggarakan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam rangka tercapainya keadilan sosial dan perikemanusiaan. Ia mengandung makna, bahwa seseorang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri yang dicerminkan dengan mengeluarkan apa yang dikehendaki, baik itu berbentuk tulisan maupun lisan. Untuk dapat mengeluarkan isi pikirannya mengenai apa yang dikehendaki, tentunya telah didahului oleh adanya informasi yang diketahuinya. Adanya informasi ini penting baginya, agar ia dapat ikut berpartisipasi dalam membangun negaranya. Jadi secara implisit hak untuk mendapat informasi maupun hak untuk menentukan nasib dirinya dasar hukumnya ada dalam pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 UUD 1945.

Selanjutnya Tap MPR No. II/MPR/1978 menegaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama. Sangat diharapkan agar hak dan kewajiban itu dipenuhi oleh masing-masing orang. Penggunaan hak dan kewajiban asasi itu harus seimbang, selaras dan serasi sehingga tercipta saling mencintai sesama manusia. Begitu pula tentunya hak an kewajiban dokter-pasien, hendaknya dipatuhi, sehingga tercapai hasil yang diharapkan oleh masing-masing pihak.

Sekalipun pengaturan secara tegas tentang hak-hak pasien tidak dijumpai tetapi melalui undang-undang yang telah ada maupun Tap MPR, adanya hak-hak dasar pasien dapat disimpulkan dan perlu mendapatkan perlindungan. Persoalannya sekarang, dapatkah hak-hak dasar itu dilaksanakan atau dengan perkataan lain bagaimanakah perwujudan dari hak-hak dasar yang telah mendapat tempat dalam perundang-undangan kita.

Hukum dalam Pelaksanaannya

(12)

dirinya. Dokter harus bertindak hati-hati dalam melakukan tindakan terapeutik dalam menanggapi kepercayaan itu. Oleh karena pasien mempunyai hak yang dilindungi oleh hukum yaitu; hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri, maka hal ini memberi kewajiban pada dokter untuk mengkomunikasikan padanya selengkap-lengkapnya. Pada umumnya informasi yang diberikan oleh dokter bersifat lisan walaupun ada kalanya tertulis. Informasi ini sangat penting bagi seorang pasien untuk dapat memberi persetujuan ataupun menolak suatu perawatan yang akan diberikan oleh dokter yang bersangkutan. Pasien berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri mungkin saja menolak dilanjutkannya perawatan atau pindah pada dokter lain.

Apabila tindakan dokter yang telah dilakukannya itu tanpa seizin pasien, sedangkan resiko dari tindakan itu dapat menyebabkan cacat, maka pasien dapat menggugat dokter berdasarkan wanprestasi dan onrechtmatig daad yang diatur dalam pasal 1843 s/d 1889 KUHPerdata dan pasal 1365, 1366 KUHPerdata. Demikian pula seandainya seorang dokter memberikan informasi yang tidak benar, mungkin pasien itu dalam rangka penelitian suatu obat baru, misalnya dan ini off the record atau untuk eksperimen lainnya, maka tindakan dokter tanpa persetujuan pasien itu pun dapat dikenakan pasal penipuan atau perbuatan curang. Masalahnya sekarang bagaimana seorang pasien dapat membuktikan bahwa dokter telah melakukan tindakanmalpracticetersebut.

Untuk membuktikan adanya malpractice, pada umumnya timbul kesulitan, terutama untuk mengetahui apakah kerugian yang diderita pasien ada hubungan langsung atau tidak dengan tindakan dokter. Misalnya, di sebuah Rumah Sakit Semarang pernah dilakukan operasi terhadap seorang korban penganiayaan. Oleh operator dilakukan penjahitan pada jaringan hipar yang robek. Sayang operator ceroboh, yang dijahit hipar pada bagian sentral saja, sedang bagian dorsal yang juga harus dijahit sama sekali tidak dilakukan penjahitan. Akibatnya korban mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. (Santoso, 1981).

(13)

Di samping pasien tidak dapat menunjukkan sebab terjadinya malpractice, seorang dokter yang telah melakukan perawatan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian yang telah diperolehnya, tidak akan menyatakan, bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk mendapatkan hasil yang tidak dikehendaki.

Kadang-kadang dokter dalam memberikan pertolongan terhadap penderita dibantu oleh tim dokter atau sejumlah para medis. Tindakan dokter yang mengakibatkan kerugian penderita, tidak dapat dituduh telah melakukan malpractice. Hal ini terjadi apabila tindakan dokter dilakukan di rumah sakit yang bukan milik pribadi, kecuali bila operasi dilakukan pada klinik-klinik maupun praktek-praktek pribadi. Selain dari itu faktor-faktor lain, yaitu; tersedianya fasilitas di rumah sakit, sangat menentukan berhasil tidaknya tindakan dokter yang telah dilakukan itu. Misalnya, waktu diadakan operasi listrik mati, sehingga dokter tidak dapat melakukan operasi dengan baik. Atau akibat listrik mati maka alat pembantu pernafasan pasien yang sepenuhnya tergantung pada listrik berhenti sehingga pasien mati seketika.

Sekalipun dokter yang melakukan malpractice tidak dapat lolos dari hukum pidana maupun pasal-pasal hukum perdata, namun timbul beberapa hambatan-hambatan. Seandainya dalam membuktikan adanya malpractice perlu diajukan seorang saksi ahli, maka yang dapat menjadi saksi itu pun dari kalangan medis sendiri. Di sini seorang saksi adalah seorang yang wajib menyimpan rahasia pekerjaannya, maka sebagai saksi dapat menggunakan hak tolaknya berdasarkan pasal 146 dan pasal 277 HIR. Menurut pendapat Ko Tjay Sing, seorang saksi dapat diperingatkan bahwa ia adalah wajib menyimpan rahasia pekerjaan, yang seharusnya menggunakan hak tolaknya, tetapi kalau ia tetap bersedia memberikan kesaksian, maka hakim wajib mendengarnya. Oleh karena hak tolak menurut pasal-pasal itu adalah hak bukan merupakan kewajiban. (Sing, 1978:78-79).

Bila seorang pasien mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti-rugi karena merasa dirugikan, yang menurut pendapatnya terjadi malpractice, maka dokter tidak akan membiarkan nama dan kehormatannya dinodai. Menurut Hazewinkel-Suringa, tidak dapat diharapkan dari para wajib menyimpan rahasia bahwa mereka membiarkan saja kalau mereka dihina, dimalukan atau hendak dirugikan materiil. Terutama para dokter yang dihadapkan pada kesulitan-kesulitan demikian itu. (Sing. 1978:70).

(14)

kalau pembelaan itu ternyata tidak cukup, ia dapat membuka rahasianya dengan memberitahukan bahwa berhubung dengan rahasia pekerjaannya, ia tidak lebih dulu mengajukan fakta-fakta yang ia wajib rahasiakan. (Sing, 1978:70). Dapat disimpulkan bahwa hal yang telah disebut diatas, wajib penyimpan rahasia pekerjaan, dalam hal ini dokter, berhak membuka rahasia, kalau perlu untuk membela dirinya, tetapi mereka harus membatasi diri untuk tidak mengungkapkan fakta-fakta yang tidak perlu bagi pembelaan dirinya. (Sing, 1978:70).

Seorang dokter yang melakukan perbuatan karena daya paksa untuk membela dirinya, telah diatur dalam pasal 48 maupun pasal 49 KUHPidana. Walaupun dalam pembelaannya dokter harus membatasi diri, tetapi membawa kemungkinan kepentingan ataupun hak pasien dirugikan karenanya. Oleh karenanya dalam mewujudkan hak-hak pasien, maka sistem peradilan kita perlu dibenahi.

Usaha-usaha untuk Mengurangi Terjadinya Malpractice

Penyebab terjadinya malpracticeadalah tindakan dokter yang kurang hati-hati dalam merawat pasien yang menyebabkan kerugian pasien. Di samping itu seorang dokter yang melakukan perawatan tanpa persetujuan pasien, sedangkan hasil perawatan itu mengakibatkan cacat atau matinya, maka dokter dapat dikenai pasal-pasal KUHPerdata. Terjadinya malpractice dapat melibatkan tidak hanya satu dokter, mungkin juga tim dokter atau tenaga para medis lainnya. Bahkan faktor-faktor lain dapat pula menentukan berhasil tidaknya tindakan seorang dokter. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengurangi terjadinyamalpractice, yaitu: 1. Penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam KODEKI sebaiknya dilakukan sedini

mungkin.

2. Pemberian izin praktek dokter harus diperketat, misalnya; dokter spesialis tidak boleh praktek sebagai dokter umum.

3. Perlu dilakukan peninjauan secara berkala terhadap izin praktek.

4. Peningkatan pengetahuan maupun keterampilan dokter perlu dilakukan melalui diskusi-diskusi maupun sarana yang lain.

5. Dokter harus memenuhi hak-hak pasien sebagaimana telah dijelaskan di muka.

(15)

Adapun kegagalan perawatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor lain, misalnya; fasilitas rumah sakit yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah sakit yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah sakit maka perlu diadakan pengontrolan terhadap keadaan rumah sakit maupun peninjauan kembali tujuan dari pendirian rumah sakit. Di samping itu perlu dibuat suatu persyaratan yang ketat untuk dapat mendirikan sebuah rumah sakit, sehingga unsur untuk mencari keuntungan semata-mata dapat dihindari. Misalnya, baru-baru ini terjadi protes dari perawat Rumah Sakit Sumber Waras yang menuntut kenaikan gaji. Rumah Sakit yang melanggat atau tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Pemerintah harus ditindak tegas.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Transaksi dokter-pasien timbul karena adanya kepercayaan dari pasien bahwa dokter satu-satunya manusia yang dapat memberikan pertolongan. Di dalam transaksi itu masing-masing pihak dibebani hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya.

2. Informasi perlu diberikan oleh seorang dokter kepada pasien dengan selengkapnya. Informasi yang berdasarkan fakta yang bohong baik itu dengan alasan untuk kepentingan pasien atau untuk eksperimen, dapat dikenai hukuman pidana tentang penipuan atau perbuatan curang.

3. Perawatan pasien oleh seorang dokter dapat dilakukan setelah ada persetujuan dari pasien. Hak pasien yang dilanggar sehingga menimbulkan kerugian, dokter dapat dikenai tuduhan melakukanmalpractice.

4. Timbulnya kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh faktor-faktor lain, maka dokter tidak dapat dituntut telah melakukanmalpractice.

5. Sekalipun hak-hak pasien sebagai hak dasar yang bersifat universal itu secara implisit tercantum dalam perundang-undangan kita, namun pelaksanaan dari perwujudan hak-hak dasar tersebut masih sulit.

6. Perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam mengurangi terjadinyamalpractice.

DAFTAR PUSTAKA

(16)

Badrulzaman, Mariam Darus. 1981. Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku.Hukum dan Keadilan. No 17 Th ke IX. Jakarta: Januari-Februari. Florence, David W.Informing Patients-The Need : The Law; The Dilema. Mineapolis:

Minnessota (USA).

Hayt and Hayt. 1964.Legal Aspects of Medical Records. Illionis: Physicians, Record Company Berwyn

Karyadi, M. Komisaris Besar Polisi:Reglemen Indonesiayang dibaharui. S 1941 No 44. Bogor: Politeia

King, Josephine Y.A Commentary On The Report of The Malpractice Commissions. New York (USA) : Haspstra University, Hempstead.

Koeswadji, Hermien Hadiati. (1981).Pembahasanpada diskusi’’Panel Diskusi Peranan Pendidikan Kedokeran dalam Menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pemantapan Citra Dokter di dalam Masyarakat. Surabaya: Fakultas Hukum Unair. Kuntjaraningrat. (1975). Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi.Simposium

Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Jakarta: BPHN, Binacipta Moeljatno. (1979).Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (terjemahan). Cet XI.

Permadi. (1980). Sikap Masyarakat terhadap Masalah Pelindungan Konsumen.Hukum dan Keadilan. No 16 tahun ke VIII. November-Desember.

Rahardjo, Satjipto. (1978). Kode Etik Kedokteran Ditinjau dari Segi Hukum.Kertas Kerja pada Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia. Semarang: 2-3 Desember.

Santoso, Bambang Prameng, Sofwan Dahlan. (1981). Malpractice,ceramah klinik. Semarang: Fakultas Kedokteran Undip. 4 April.

Seidman, Robert B. (1972).’’Law and Development’’: A General Model, Law and Society Review. No 2t, hlm 311-339 alih bahasa Satjipto Rahardjo.

Sianturi, R. (1980). Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Peraturan Perundang-undangan.Hukum dan Keadilan. No 16 tahun VIII. November-Desember. Sing, Ko Tjay. 1978.Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, Soerjono. 1976.Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Bandung: cet I. Alumni.

Soemardjan, Selo. 1976.”Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan Pengalaman di Indonesia”, dalam Yuwono Sudarsono ed.Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia.

Subekti, R dan Tjitrosudibio. 1961.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(terjemahan). Jakarta: Pradnya Paramita.

Susanto, S. Astrid. 1977.Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: cet I. Binacipta.

Bahan-bahanPanel Diskusi Aspek Hukum dalam Profesi Kedokteran. Bandung: Mei 1981. Kode Etik. (1978).Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tema: Penelitian Kembali Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Semarang: 2-3 Desember

Buletin Ikatan Dokter Indonesia cabang Semarang. 1981. Volume VI. No 1. Mei 1981. Black’s Law Dictionary. St Paul, Minn. 5th ed. (1979). hlm 864.

Undang-Undang Dasar.Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(Ketetapan MPR No II/MPR/1978).Garis-garis Besar Haluan Negara(Ketetapan MPR No

(17)

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PELAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT BERBASISE-GOVERNMENT

STUDI : PELAKSANAAN PELAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT DI UNIT PELAYANAN INFORMASI DAN KELUHAN (UPIK)

KOTA YOGYAKARTA

Gerry Katon Mahendra1

Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Lampung, Jl. Teuku Umar No. 14 Kota Bandar Lampung

gerrykatonvw@gmail.com

ABSTRAK

Pelayanan pengaduan masyarakat saat ini sudah menjadi bagian dari upaya perbaikan pelayanan publik di Indonesia. Pemerintah, pusat maupun di daerah sudah selayaknya memberikan perhatian khusus terhadap peningkatan kualitas pelayanan pengaduan masyarakat. Perhatian pemerintah dapat diwujudkan salah satunya dengan terus berinovasi menciptakan pelayanan pengaduan masyarakat yang tidak hanya mudah diakses oleh masyarakat, namun juga dapat diterima dan ditanggapi secara responsif dan efektif oleh pemerintah daerah serta menghasilkan output yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Pemerintah Kota Yogyakarta berinovasi dengan menyediakan pelayanan pengaduan masyarakat yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (e-government). Inovasi yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta adalah dengan menyediakan Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Penelitian menggunakan metode kualitatif. Studi kasus dalam penelitian ini adalah Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) Kota Yogyakarta yang menjadi salah satu hasil inovasi dalam hal pelayanan pengaduan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat menjelaskan efektivitas proses penanganan pengaduan masyarakat yang berbasis elektronik. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kegiatan UPIK sudah berjalan efektif dibuktikan dengan tingginya persentase penangan aduan. Temuan dalam penelitian ini adalah UPIK belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat dan juga masih terdapat beberapa SKPD yang belum responsif menanggapi aduan masyarakat yang dikelola oleh UPIK.

Kata Kunci : Pelayanan Pengaduan Masyarakat,UPIK, Inovasi, Teknologi Informasi dan Komunikasi, E-Government

PENDAHULUAN

(18)

layanan, permasalahan pelayanan publik juga dapat terjadi di lingkungan eksternal atau pihak penerima layanan (masyarakat). Fakta menyebutkan bahwa Indonesia saat ini masih berada pada urutan 109 dari 180 negara pada rangking pelayanan publik1

Kualitas pelayanan publik yang belum maksimal hampir terjadi pada seluruh sektor, termasuk pada pelayanan pengaduan masyarakat. Sistem penanganan pengaduan masyarakat yang disediakan oleh penyelenggara layanan dinilai masih sangat buruk. Penyelenggara pelayanan publik, terkesan masih setengah hati dalam mengakomodasi pengaduan masyarakat sehingga menimbulkan kesan formalitas dan apatis hingga akhirnya berdampak buruk pada kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.

Upaya pemerintah yang masih terkesan kurang serius menangani pelayanan pengaduan masyarakat tentu saja bertentangan dengan amanat Undang-Undang. Jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 pasal 18, menyebutkan bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan tanggapan pengaduan, berhak mengadukan pelaksana layanan yang tidak memberikan layanan sesuai dengan SOP yang tersedia dan berhak mengadukan pelaksana layanan kepada penyelenggara / ombudsman apabila pelaksana tidak menjalankan kewajibannya dengan benar.

Selanjutnya dalam pasal 21 dan pasal 35 disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan berkewajiban menyediakan sarana pengaduan masyarakat dan masyarakat wajib mengawasinya.

Undang-Undang tersebut sudah secara jelas menyatakan bahwa masyarakat berhak mendapatkan pelayanan pengaduan dan pemerintah wajib menyediakan akses pengaduan bagi masyarakat.

Dengan adanya aturan guna memaksimalkan sarana pengelolaan pengaduan masyarakat, seharusnya pemerintah khususnya di daerah sudah mampu memberikan kesempatan, ruang dan fasilitas yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan keluhan, saran dan kritik guna membangun pelayanan publik yang aspiratif dan berkualitas.

Namun ternyata, fakta empiris yang terdapat di lapangan memperlihatkan bahwa kondisi penanganan pengaduan atau manajemen pengaduan masih banyak yang dilakukan secara konvensional (penyediaan kotak saran), sehingga belum berjalan secara optimal dan dianggap hanya sekedar formalitas belaka. Pemerintah daerah belum menyadari bahwa dengan tersedianya ruang yang cukup untuk menyampaikan saran dan keluhan diharapkan

1

(19)

nantinya tercipta pemerintahan yang aspiratif dan pelayanan publik yang diberikan pemerintah mampu sesuai dengan keinginan masyarakat. Kontrol masyarakat melalui sarana penyampaian kritik dan saran yang jelas dan dikelola secara profesional oleh aparatur pemerintah juga dapat menghindarkan pemerintah dari sikap arogan dan otoriter.

Prioritas tersebut saat ini sangat ditunjang dengan perkembangan teknologi dan informasi yang digunakan oleh pemerintah atau e-government. Di Indonesia sendiri, penerapan e-government sudah mulai diterapkan dengan dukungan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor : 3 tahun 2003 Tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional PengembanganE-Government.Dengan menerapkan teknologi dalam pengelolaan pengaduan masyarakat yang berbasis e-government, diharapkan dapat menciptakan pelayanan pengaduan masyarakat yang lebih efektif, mudah dijangkau oleh masyarakat, informatif, dan terintegrasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain sehingga pada akhirnya dapat tercipta pemerintahan yang aspiratif dan peningkatan kualitas pelayanan publik secara merata.

Sebagai bentuk komitmen Kota Yogyakarta untuk terus berinovasi dengan basis e-government dan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang aspiratif adalah dengan mendirikan Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan atau yang lebih dikenal dengan sebutan UPIK. Dengan didirikannya UPIK segala bentuk pengaduan yang berisi keluhan, masukan, dan kritikan warga bisa disampaikan langsung melalui e-mail, website, telepon, SMS atau datang langsung ke sekretariat UPIK Kota Yogyakarta.

Sebagaimana disebutkan dalam laporan Menpan tahun 2014 mengenai inovasi pelayanan publik, pembentukan UPIK didasari berbagai permasalahan, diantaranya : Warga tidak bisa menyampaikan informasi dan keluhan setiap waktu; Masyarakat masih mengalami kesulitan dalam menyampaikan informasi, keluhan, pertanyaan dan saran kepada pemerintah daerah; Kurangnya respon SKPD dalam menangani keluhan masyarakat; Masyarakat kesulitan mengawasi kinerja aparatur pemerintah Kota Yogyakarta.

Pembentukan UPIK juga dilandasi tiga persoalan, yaitu: 1) Tidak semua warga masyarakat mengetahui saluran pengaduan yang dapat dipergunakan secara mudah, 2) Adanya hambatan waktu bertemu antara rakyat dengan pejabat atau penguasa, dan 3) Adanya rasa takut dan sungkan untuk mengadukan keluhan diantara masyarakat2

2

(20)

UPIK yang diinisiasi oleh Herry Zudianto (mantan Walikota Yogyakarta) melalui Keputusan Walikota Yogyakarta No.86 tahun 2003 dan ditetapkan pada tanggal 14 November 2003 telah dikukuhkan kembali pada Peraturan Walikota Yogyakarta no 77 tahun 2009 tentang UPIK, dan KEPWAL Kota Yogyakarta No 16 / KEP / 2014 tentang pembentukan Tim pengelolaan UPIK. Masyarakat ternyata merespon positif keberadaan UPIK dan juga memanfaatkannya untuk melakukan pengaduan. Daftar pengaduan masyarakat melalui UPIK dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1

Daftar Aduan yang Diterima UPIK Tahun 2015

No Jenis Media Keluhan Pertanyaan Informasi Saran Jumlah

1 SMS 184 1378 1919 554 4035

2 Website 34 48 44 21 147

3 Email 0 0 1 1 2

4 Telepon 0 0 0 0 0

5 Fax 0 0 0 0 0

6 Pos 0 0 0 0 0

7 Datang Langsung 0 0 0 0 0

Total 4184

Sumber : Diolah dari Data Server UPIK 2015

Berdasarkan data dari website UPIK Kota Yogyakarta pada tahun 2014 menampilkan jumlah pesan yang disampaikan dan menunjukkan UPIK tetap menjadi sarana penyampaian aduan utama yang mampu diandalkan oleh warga Kota Yogyakarta. Terkait masalah yang ada dalam pelaksanaan UPIK, hasil studi terdahulu3menunjukkan bahwa masih ada beberapa masyarakat yang belum mengetahui keberadaan dan memanfaatkan UPIK sebagai sarana pengaduan masyarakat.

Sebagai salah satu inovasi pelayanan pengaduan masyarakat yang berbasis elektronik, UPIK harus tetap dipertahankan. Penguatan UPIK ini tentu saja membutuhkan komitmen dari berbagai stakeholders agar keberadaan UPIK dapat tetap efektif dalam mengelola dan

3

(21)

mendistribusikan pengaduan masyarakat berbasis e-government dan memberikan manfaat yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik secara umum.

Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan diatas, penulis ingin berfokus pada efektifitas pelaksanaan pelayanan pengaduan masyarakat yang berbasis E-Government dengan melakukan studi di Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) Bagian Humas dan Informasi Kota Yogyakarta. Penulis ingin melihat, apakah setelah sekian tahun beridiri UPIK masih mampu menjadi Unit yang mampu mengelola pengaduan masyarakat dengan efektif.

TINJAUAN PUSTAKA 1. Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik4.

Pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan5.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan berupa barang dan jasa publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN serta BUMD sebagai penyedia layanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dan dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

2. Pengaduan Masyarakat

Penangananpengaduan masyarakat menurut Ombudsman New South Wales merupakan salah satu komponen penting dalam formula peningkatan kepuasan dan dukungan pengguna layanan publik6.

Pengaduan masyarakat memiliki elemen penanganan pengaduan. Elemen penanganan pengaduan terdiri dari beberapa aspek antara lain:

4

Harbani Pasolong.Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta. 2013.

5

Op.Cit. Harbani Pasolong

6

(22)

a. Sumber atau Asal Pengaduan b. Isi Pengaduan

c. Unit Penanganan Pengaduan d. Respon Pengaduan

e. Umpan Balik

f. Laporan Penanganan Pengaduan

Pengaduan yang dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang dikomplain, antara lain:

1. Organisasi semakin tahu akan kelemahan atau kekurangannya dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan;

2. Sebagai alat introspeksi diri organisasi untuk senantiasa responsif dan mau memperhatikan suara dan pilihan pelanggan;

3. Mempermudah organisasi mencari jalan keluar meningkatkan mutu pelayanannya;

4. Bila segera ditangani, pelanggan merasa kepentingan dan harapannya diperhatikan;

5. Mempertebal rasa percaya dan kesetiaan pelanggan kepada organisasi pelayanan; 6. Penanganan komplain yang benar bisa meningkatkan kepuasan pelanggan7.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaduan masyarakat merupakan proses penyampaian informasi, kritik, saran, aduan, dan keluhan yang terkait dengan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah.

3. E-Government

Secara sempit dan sederhana, pengertian e-government adalah tata kelola pemerintahan secara elektronik. Sedangkan dalam arti luas, pengertian e-government adalah pemanfaatan teknologi informasi oleh instansi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. E-government memiliki berbagai definisi yang dikemukakan oleh instansi maupun ahli.

United Nation Development Programme (UNDP) mendefinisikan e-government sebagai berikut:

7

(23)

“E-government is the application of Information and Communication Technology (ICT) by government agencies8”

E-governmentdidefinisikan sebagai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan kegiatan organisasi sektor publik. Penerapan e-government membantu mengurangi biaya, inefisiensi, ketidaknyamanan dan ketidakefektifan dalam penyediaan layanan9.

Teori-teori di atas memiliki beberapa kesamaan karakteristik, diantaranya sebagai berikut:

1. Merupakan suatu mekanisme interaksi baru (modern) antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan (stakeholder);

2. Melibatkan penggunaan teknologi informasi (terutama internet); 3. Memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan yang selama ini berjalan.

Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa e-government merupakan kegiatan-kegiatan pemerintah yang memanfaatkan teknologi dan informasi. E-government menjadikan pemerintah lebih transparan dan akuntabel. Dengan menggunakan teknologi informasi, hal tersebut dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dan pelayanan publik.

1. RelasiE-Governance

Dalame-governancedikenal 4 (empat) jenis relasi yaitugovernment-to-citizen(G2C), government-to-business(G2B),government-to government(G2G), dangovernment to employee(G2E). Domain G2C dirancang untuk memfasilitasi pemerintah berinteraksi dengan warga negara. Domain G2B menjembatani pemerintah dalam memberikan layanan yang lebih baik kepada dunia bisnis, di antaranya dapat berupa penyediaan informasi dan proses perizinan. Domain G2G digunakan lembaga-lembaga pemerintah untuk saling berkomunikasi. Domain G2E digunakan untuk menjalin komunikasi antar pegawai pemerintah10.

8

Yusuf Arifin.Kualitas Pelayanan E-Government ditinjau dari Kepemimpinan Transformasional, Manajemen Pengetahuan dan Manajemen Perubahan. 2010

9

Richard Heeks. E-government in Africa: Promise ad Practice.2002 (online). Diakses dari :

http//www.sed.manchester.ac.uk/idpm/research/publications/wp/igovernment/documents/igov_wp13.pdf (2 Januari 2014)

10

(24)

2. IndikatorE-Government

Dalam penerapan e-government terdapat indikator-indikator yang berkaitan dengan berbagai infrastruktur serta strategi pendukungnya, dimana penerapan e-government ini meliputi:

a. Data infrastruktur, meliputi manajemen sistem, dokumentasi, dan proses kerja di tempat untuk menyediakan kuantitas dan kualitas data yang berfungsi mendukung penerapane-government;

b. Infrastruktur legal, hukum dan peraturan termasuk berbagai perizinan untuk mendukung menujue-government;

c. Infrastruktur institusional, diwujudkan dengan institusi pemerintah secara sadar dan eksis melakukan dan memfokuskan tujuannya dalam penerapan e-government;

d. Infrastruktur manusia, sumber daya manusia yang handal merupakan hal pokok yang harus dipersiapkan dalam penerapane-government;

e. Infrastuktur teknologi, penerapan e-government banyak bertumpu pada adanya infrastruktur teknologi yang memadai;

f. Strategi pemikiran pemimpin, penerapan e-government sangat membutuhkan pemimpin yang membawa visi e-government dalam agendanya dan memiliki strategi pemikiran untuk mewujudkannya11.

3. PeranInformation, Communication, and Technology(ICT) dalamE-Government

Melalui pengembangan E-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalkan peran dan pemanfaatan ICT. Peran dan pemanfaatan ICT tersebut mencakup dua aktivitas yang berkaitan yaitu: (1) pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; (2) pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah Negara12.

11

Indrajit, Eko Richardus. Electronic Governement (Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital). 2002

12

(25)

METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif biasanya disebut juga dengan metode penelitian naturalistik, karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), disebut juga dengan metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.13

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK), Bagian Hubungan Masyarakat dan Informasi, Kantor Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta, Komplek Balai Kota, Jalan Kenari Nomor 56 Yogyakarta 55165 dan juga SKPD terkait dengan penanganan pengaduan masyarakat.

3. Jenis Data a. Data Primer

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah :

1) Informasi pegawai UPIK Kota Yogyakarta tentang efektivitas pelayanan pengaduan masyarakat di UPIK Kota Yogyakarta;

b. Data Sekunder

Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah :

1) Data jumlah pengguna layanan pengaduan masyarakat di UPIK Kota Yogyakarta;

2) Data alur pelayanan;

3) Data penggunaan media penyampaian aduan; 4) Data distribusi pengaduan;

4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

b. Wawancara c. Dokumentasi 5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Huberman dan Miles.Huberman dan Miles mengajukan model analisis data yang

13

(26)

disebut dengan model interaktif. Model interaktif terdiri dari tiga hal utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tujuan pendirian Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan atau disingkat UPIK adalah agar dapat menampung berbagai macam aduan masyarakat dan sudah berbasis teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK). Dengan menggunakan basis sistem teknologi informasi, diharapkan dapat beroperasi lebih efektif dan efisien dalam menampung dan mendistribusikan pesan aduan dibandingkan dengan penggunaan sistem manual seperti kotak saran dan surat. Pengelolaan UPIK sendiri diserahkan kepada Bagian Humas dan Informasi Kota Yogyakarta.

Dalam mengakomodir masyarakat untuk menyampaikan informasi dan aduan, UPIK menyediakan berbagai macam media yang bisa dimanfaatkan, antara lain :

1. Telp/Fax : 0274-561270 2. SMS : 08122780001

3. Internet (website) :http://upik.jogjakota.go.id 4. E-mail :upik@jogjakota.go.id

5. Melalui surat atau datang langsung / tatap muka dengan Admin / Operator UPIK : Di Bagian Humas dan Informasi Setda Kota Yogyakarta, Jl.Kenari No.56 Komplek Balaikota Timoho15.

Dari beberapa media yang disediakan oleh UPIK Kota Yogyakarta, dapat terlihat antusiasme warga untuk menggunakan media-media favorit, media-media pilihan warga dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2

Media Penyampaian Pengaduan Masyarakat Tahun 2015

No Jenis Media Keluhan Pertanyaan Informasi Saran Jumlah

1 SMS 184 1378 1919 554 4035

2 Website 34 48 44 21 147

3 Email 0 0 1 1 2

4 Telepon 0 0 0 0 0

14

Muhammad Idrus. Metode Penelitian Ilmu Sosial. 2009.

15

(27)

5 Fax 0 0 0 0 0

6 Pos 0 0 0 0 0

7 Datang Langsung 0 0 0 0 0

Total 4184

Sumber : Diolah dari Server Admin UPIK 2015

Berdasarkan tabel di atas, jumlah pesan masuk selama tahun 2015 sebanyak 4184 pesan, namun dari jumlah tersebut tidak bisa semuanya bisa diproses dikarenakan terkait persayaratan pengaduan yang harus terpenuhi. Misalnya terkait lokasi pengaduan yang hanya mencakup wilayah Kota Yogyakarta. Berdasarkan tabel tersebut juga terlihat bahwa media SMS paling banyak digunakan oleh masyarakat dalam menyampaikan pengaduan kepada UPIK Kota Yogyakarta dikarenakan SMS merupakan media yang paling praktis dan juga dapat dimanfaatkan setiap saat.

Pesan yang masuk ke UPIK Kota Yogyakarta juga sangat beragam, tidak hanya sebatas keluhan namun juga terdapat banyak sekali pesan yang bersifat pertanyaan, saran, dan informasi. Untuk lebih jelasnya mengenai isi pengaduan yang masuk dan ditindaklanjuti melalui UPIK Kota Yogyakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 3

Isi Pengaduan Masyarakat Tahun 2015 Isi Pengaduan Jumlah

Pertanyaan 1431

Informasi 1780

Saran 576

Keluhan 219

Total 4006

Sumber :Diolah Dari Server Admin UPIK 2015

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa selama tahun 2015 daftar pertanyaan terhadap pemerintah Kota Yogyakarta masih mendominasi.

(28)

UPIK Kota Yogyakarta. Terkait respon penanganan pengaduan yang telah dilaksanakan oleh UPIK Kota Yogyakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4

Respon Pengaduan Masyarakat Tahun 2015

Status Jumlah

Sudah Direspon 3851

Belum Direspon 34

Salah Alamat 121

Total 4006

Sumber : Diolah dari Server Admin UPIK 2015

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dari 4006 pesan yang didistribusikan admin UPIK Kota Yogyakarta kepada operator UPIK pada tiap SKPD menunjukkan bahwa 3851 pesan diantaranya sudah direspon dan ditindaklanjuti. Alur pengelolaan pengaduan yang dilakukan oleh UPIK Kota Yogyakarta dalam menangani setiap aduan yang masuk adalah sebagai berikut :

Bagan 2

Alur Pelayanan UPIK Kota Yogyakarta

(29)

Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan secara umum proses penerimaan dan pendistribusian pengaduan masyarakat sebagai berikut :

1. Admin UPIK di bagian Humas dan Informasi membuka login;

2. Admin UPIK mengidentifikasi pesan yang harus dihapus atau yang harus blacklist; 3. Admin UPIK dibantu Ka. Sub, Bag. Humas membaca, menelaah, dan memverifikasi

pesan masuk yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Kota Yogyakarta;

4. Admin UPIK mengirimkan pesan yang sudah terverifikasi kepada SKPD terkait; 5. SKPD terkait merespon melalui tindak lanjut fisik maupun non fisik (sesuai

pengaduan) dan melakukan koordinasi dengan SKPD apabila dibutuhkan;

6. SKPD memberikan respon dan perkembangan jawaban kepada admin UPIK Bagian Humas dan kepada masyarakat (pengadu)

PEMBAHASAN

Perbandingan antara parameter dengan data empirik di lapangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4

Variabel Efektivitas dan Hasil Penelitian Lapangan

(30)

Respon

-1x24 jam untuk Admin UPIK -Penyelesaian tidak selalu 2x24 jam pada tiap SKPD

-Penyelesaian tidak selalu 6x24 jam untuk penanganan lintas SKPD

Umpan Balik - Pemerintah mampu memberikanfeedback -masyarakat memberikan feedbackpada setiap pengaduan

-Feedbackpemerintah sangat baik -Masyarakat sangat jarang

-Rapat koordinasi per tiga bulan (tidak semua operator hadir) Sumber : Data Diolah 2015

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa secara keseluruhan antara parameter dengan data empirik di lapangan sudah menunjukkan kesesuaian. Indikator-indikator utama yang menjadi tolok ukur efektivitas pelaksanaan pengaduan masyarakat berbasis e-government di UPIK tahun 2015 sudah dapat terpenuhi. Dimulai dari indikator sumber pengaduan. Selama ini sumber pengaduan yaitu masyarakat semakin aktif memberikan berbagai pengaduan melalui berbagai media yang terkait pelayanan publik.

Kedua, indikator isi / konteks pengaduan.Aduan yang ditujukan kepada pemerintah Kota Yogyakarta melalui UPIK sudah cukup substantif. Ketiga, indikator unit penanganan pengaduan. Dalam indikator ini, jelas bahwa yang dimaksud unit penanganan pengaduan yang harus tersedia dalam mengelola pengaduan masyarakat adalah UPIK Kota Yogyakarta. Keempat, indikator respon pengaduan. Dalam indikator ini, respon terbaik ditunjukkan oleh admin UPIK yang berada di Bagian Humas, khususnya dalam hal menjawab aduan dan mendistribusikan aduan kepada SKPD terkait.

(31)

dengan penyelesaian aduan yang telah dilakukan oleh UPIK/SKPD tanpa mendiskusikannya lebih lanjut lagi.

Keenam, indikator laporan penanganan pengaduan. Berdasarkan data empirik di lapangan dalam kegiatan UPIK selama tahun 2015, pelaksanaan kegiatan UPIK selalu dibarengi dengan kegiatan pelaporan rutin tiap bulan dan rapat koordinasi tiap tiga bulan. Upaya ini dilaksanakan agar kegiatan UPIK tetap dapat terkontrol dan terus beroperasi secara efektif dan efisien.

Tabel 5

Variabel E-Government dan Hasil Penelitian Lapangan

Indikator Parameter Empirik

-Visi dan Misi Pemimpin -Visi dan Misi Pemimpin

Sumber : Data Diolah 2015

(32)

menjadi tolok ukur efektivitas pelaksanaan pengaduan masyarakat berbasis e-government di UPIK tahun 2015 sudah dapat terpenuhi.

Dimulai dari indikator data infrastruktur. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, pertama pengelolaan data infrastruktur UPIK yang meliputi sistem, dokumentasi, dan proses kerja sudah baik dan mencerminkan penerapane-government. Kedua, indikator dasar hukum. Berdasarkan data empirik dasar hukum dalam kegiatan UPIK sudah cukup kuat dan lengkap (UU, Inpres, Perda, Perwal, Kepwal). Ketiga, indikator infrastruktur institusional. Dalam indikator ini, diketahui komitmen aparatur belum merata namun jika dilihat secara keseluruhan, institusi pemerintah Kota Yogyakarta khususnya yang terlibat dalam kegiatan UPIK memiliki komitmen untuk menerapkan e-government dalam pelaksanaan pelayanan publik.

Keempat, indikator infrastruktur manusia. Secara umum SDM yang tersedia dalam kegiatan pengaduan masyarakat berbasis e-governmentdi UPIK sudah cukup memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mindset SDM yang tersedia juga sudah modern dan mulai mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Kelima, indikator infrastruktur teknologi. Kegiatan UPIK sudah memanfaatkan teknologi, komunikasi, dan informasi. Teknologi yang digunakan tidak terlalu canggih, namun lebih difokuskan pada kebutuhan kegiatan UPIK itu sendiri. Keenam, indikator strategi pemikiran pemimpin. Pemimpin yang paling berjasa dalam pembentukan UPIK tentu saja mantan Walikota Kota Yogyakarta, Heri Zudianto.

Sebagai penerus, Walikota saat ini harus mampu mempertahankan dan mengembangkan kegiatan UPIK agar tetap dapat menjadi sarana yang efektif dalam menampung pengaduan masyarakat. Selama tahun 2015, terlihat bahwa pemimpin saat ini tetap mendukung kegiatan UPIK melalui berbagai upaya, diantara dukungan anggaran dan pengawasan.

(33)

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan pelayanan pengaduan masyarakat berbasis e-government di UPIK Kota Yogyakarta pada tahun 2015 sudah berjalan efektif. Hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya pesan aduan yang masuk, yakni sebanyak 4006 pesan aduan dan 3851 diantaranya dapat ditindaklanjuti oleh UPIK dan SKPD terkait. Kemudian berdasarkan parameter mengenai pengelolaan pengaduan dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat oleh penulis juga menunjukkan kesesuaian.

2. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut di atas, maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Sosialisasi keberadaan UPIK perlu ditingkatkan lagi.

2. Peningkatan komitmen dan koordinasi antar aparatur, khususnya yang bertugas sebagai pengelola, admin, operator dan aparatur di tingkat SKPD.

3. Bagi SKPD yang kurang responsif dalam memberikan tanggapan yang terkait pengaduan, seharusnya diberikan peringatan dan teguran sehingga ke depannya tidak ada lagi SKPD yang malas merespon pengadun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Yusuf. Dkk. 2010. Kualitas Pelayanan E-Government ditinjau dari Kepemimpinan Transformasional, Manajemen Pengetahuan dan Manajemen Perubahan. Unpad Press. BAPPENAS. 2010. Manajemen Pengaduan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik.

Idrus, Muhammad 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Erlangga.Yogyakarta.

Indrajit, Richardus Eko, et all. 2004. Electronic Government : Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Berbasis Teknologi Digital.Yogyakarta.

Indrajit, Richardus Eko. 2002. Electronic Governement(StrategiPembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital). Andi Yogyakarta. Yogyakarta.

Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Pengembangan E-Government untuk Peningkatan Transparansi Pelayanan Publik. Konferensi Adminstrasi Negara, Yogyakarta.

Nori Aurumbita, Yuke,dkk. 2012. Pemanfaatan dan Persepsi Masyarakat Terhadap Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (Upik) di Kelurahan Suryatmajan, Kota Yogyakarta.UGM.

Pasolong, Harbani. 2013. Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta. Bandung.

Richard Heeks. 2002 E-government in Africa: Promise ad Practice. (online). Diakses dari : http//www.sed.manchester.ac.uk/idpm/research/publications/wp/igovernment/document s/igov_wp13.pdf (2 Januari 2014)

(34)

Vandemi, Ryan dkk. 2008. Pengertian E-Government, Kemunculan, Ruang Lingkup dan Manfaat E-Government.E-Government.

Inpres No.3 tahun 2003 mengenai Strategi Pengembangan E-Government.

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Informasi dan Keluhan Pada Unit Pelayanan Infomasi dan Keluhan (UPIK) Kota Yogyakarta.

PERMENPAN Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pedomam Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.

https://www.ombo.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0012/3612/GL_EffectiveComplaintHand_Dec 10_0914.pdf

(35)

POTENSI DAN TANTANGAN PILKADA SERENTAK 2015

Audra Jovani

Prodi Ilmu Politik, Fisipol-Universitas Kristen Indonesia audra.jovani@yahoo.com

ABSTRAK

Demokrasi lokal di Indonesia mengalami perubahan yang dinamis. Pemilihan pemimpin lokal: Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung atau Pilkada dipilih menjadi sistem yang mengantikan pemilihan tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sistem ini tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 Tahun 2008. Sejak tahun 2005 hingga 2014 telah dilaksanakan di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia, namun berbagai persoalan masih membayangi pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Oleh karenanya, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merumuskan perbaikan terkait dengan pelaksanaan Pilkada, yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pelaksanaan Pilkada serentak 2015 telah menjadi perhatian publik karena merupakan pilkada yang pertama kali diadakan dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keberhasilan pelaksanaan Pilkada serentak 2015 ini sangat mempengaruhi roda pemerintahan di provinsi, kabupaten dan kota. Pelaksanaan Pilkada ini juga merupakan proses demokrasi di Indonesia, keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan Pilkada sangat mempengaruhi proses demokrasi di Indonesia. Kata kunci :Demokrasi, Pemilu, Pemilu Kepala Daerah, Kepala Daerah

PENDAHULUAN

Pemilihan kepada daerah gubernur, bupati dan walikota telah dilakukan secara serentak di Indonesia pada 9 Desember 2015. Calon kapala daerah berasal dari partai politik dan melalui non-partai. Penyelenggraan pilkada serentak dilakukan secara bertahap, dengan 269 pemilihan kepada daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 36 kota. Saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan bersamaan dengan wakil kepala daerah.

(36)

pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. UU ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004. Khususnya di Aceh, peserta pilkada dapat diusulkan oleh partai politik lokal.

Penyelenggaraan pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh). KPU sebagai penyelenggara pilkada harus memperhatikan potensi yang menimbulkan konflik dalam pelaksanaan pilkada, salah satu potensi konflik muncul adalah daftar pemilih. Tahap ini sangat rentan konflik karena masih banyak warga yang tidak memiliki identitas atau belum terdaftar sebagai pemilih. Kasus ini sering kali muncul, terutama di daerah-daerah perbatasan, dimana para calon saling mengklaim warga perbatasan sebagai warganya untuk memperoleh suara lebih banyak. Selain itu, permasalahan kampanye, debat terbuka dan iklan kampanye juga berpotensi besar menimbulkan konflik. Selain potensi yang dihadapi dalam pilkada serentak tersebut, terdapat tantangan yang dihadapi oleh KPU sebagai penyelenggara pilkada. Berdasarkan uraian diatas, penulis akan membahas mengenai potensi dan tantangan dalam pilkada serentak di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA 1. Pemilihan Umum

Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud dengan pemimpin politik adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik di tingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti presiden, gubernur, atau bupati/walikota.

(37)

Kedua, pemilu merupakan sarana untuk membentuk perwakilan politik. Melalui pemilu, rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang dipercaya dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya. Semakin tinggi kualitas pemilu, semakin baik pula kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat.

Ketiga, pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara konstitusional. Pemilu bisa mengukuhkan pemerintahan yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan reformasi pemerintahan. Melalui pemilu, pemerintahan yang aspiratif akan dipercaya rakyat untuk memimpin kembali dan sebaliknya jika rakyat tidak percaya maka pemerintahan itu akan berakhir dan diganti dengan pemerintahan baru yang didukung oleh rakyat.

Keempat, pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi. Pemberian suara para pemilih dalam pemilu pada dasarnya merupakan pemberian mandat rakyat kepada pemimpin yang dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemimpin politik yang terpilih berarti mendapatkan legitimasi (keabsahan) politik dari rakyat.

Kelima, pemilu merupakan sarana partisipasi politik masyarakat untuk turut serta menetapkan kebijakan publik. Melalui pemilu rakyat secara langsung dapat menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya kepada kontestan yang memiliki program-program yang dinilai aspiratif dengan kepentingan rakyat. Kontestan yang menang karena didukung rakyat harus merealisasikan janji-janjinya itu ketika telah memegang tampuk pemerintahan.

2. Pemilu Kepala Daerah

(38)

Pilkada masuk dalam rezim Pemilu setelah disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sehingga sampai saat ini Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lebih dikenal dengan istilah Pilkada. Pada tahun 2008, tepatnya setelah diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peserta Pilkada adalah pasangan calon dari:

a. Partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling rendah 15% (lima belas perseratus) dari jumlah kursi DPRD di daerah bersangkutan atau memperoleh suara sah paling rendah 15% (lima belas perseratus) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Anggota DPRD di daerah bersangkutan.

b. Perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang telah memenuhi persyaratan secara berpasangan sebagai satu kesatuan, dengan ketentuan sebagai berikut (UU No.12 Tahun 2008 perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah):

1. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling rendah 6,5% (enam koma lima per seratus);

2. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling rendah 5% (lima per seratus);

3. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling rendah 4% (empat per seratus);

Tahapan penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah:16 a. Pemutakhiran data dan daftar pemilih;

b. Pencalonan; c. Kampanye; d. Masa tenang;

e. Pemungutan suara dan penghitungan suara;

f. Penetapan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah;

16

(39)

g. Pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

3. Komisi Pemilihan Umum

Komisi Pemilihan Umum atau KPU adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia. Dalam Pasal 10 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut:17

1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;

2. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;

3. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;

4. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;

5. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;

6. Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:

1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Sedangkan dalam Pasal 11 UU No. 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

17

(40)

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan adalah bersifat deskriptif-analisis, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk menggambarkan, mencatat, menganalisa dan menginterpretasikan kondisi yang terjadi atau ada, dengan kata lain bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai suatu keadaan dan melihat kaitannya antara variabel-variabel yang ada. 18Dengan metode ini, penulis berusaha mengambarkan potensi dan tantangan pilkada serentak di Indonesia tahun 2015.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi konflik yang timbul dalam pilkada serentak 2015 adalah potensi kekerasan yang yaitu (1) konflik antar calon gubernur, bupati/walikota, terkait dengan relasi kekuasaan antar calon yang cenderung tidak adil dan seimbang. Adanya upaya penjegalan calon yang dianggap potensial menang dan popular, hal dilakukan adalah kampanye hitam, intimidasi dan lain-lain. Hal ini memicu kemarahan dari pendukung calon kepada daerah. Sejarah konflik antar calon kepala daerah yang memiliki massa loyal dan berbasis pada identitas tertentu seperti suku, agama dan geografis; (2) isu kecurangan pemilu, melalui persoalan kecurangan pemungutan dan rekapitulasi suara. Politik uang juga masih menjadi masalah utama; (3) konteks lokal, yang berkaitan dengan identitas masyarakat pemilih (agama, suku/etnik, geografis); (4) profesionalisme dan netralitas dari penyelenggara pilkada (KPU, KPUD, BAWASLU, PANWASLU (5) lemahnya penegakan hukum, untuk mengantisipasi kecurangan, maka penegak hukum harus dapat berdiri sendiri dan tidak terpengaruh. (6) sengketa hasil akhir. Menurut UU No.8 Tahun 2015 perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilhan diperiksa dan diadili oleh bada peradilan khusus, yang sampai dengan terbentuknya badan tersebut maka perselisihan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan keputusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan terakhir dan final. Namun, keputusan MK tidak selamanya bisa diterima oleh pasangan calon serta para pendukungnya, dan dapat menimbulkan aksi unjuk rasa yang ditunjukan lewat aksi –aksi kekerasan.

18

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait