1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada dasarnya, Tuhan menciptakan manusia baik adanya. Ada manusia
laki-laki dan manusia perempuan. Keduanya memiliki persamaan, di antaranya
adalah sama-sama memiliki akal budi, jiwa, kodrat diciptakan, kehendak bebas,
dan sebagainya. Perbedaan yang menonjol dari kedua manusia itu adalah
perbedaan seksual. Selain itu, nampak jelas bahwa pandangan-pandangan akan
realitas lebih terfokus pada penilaian laki-laki daripada perempuan. Hal ini
menyebabkan perbedaan yang sangat menonjol bahwa laki-laki lebih dominan
daripada perempuan. Hal itu dengan jelas menyebabkan adanya hirarki.
Contohnya, dalam realitas hidup bermasyarakat, laki-laki adalah pemimpin,
sedangkan perempuan adalah yang dipimpin oleh lelaki. Laki-laki adalah ordinat
atau titik utama, sedangkan perempuan adalah subordinat atau titik bawahan yang
letaknya bergantung pada ordinat utama.1
Kamla Bhasin, seorang aktivis dari New Delhi-India yang aktif dalam
pergerakan perempuan, penulis masalah-masalah perempuan dan pembangunan,
perempuan dan media, perempuan dan pendidikan, berkata:
Laki-laki dan perempuan hidup di atas pentas, di mana mereka memainkan peran-peran yang diberikan, yang sama pentingnya. Drama tidak bisa berlangsung tanpa kedua jenis pemain. Tidak satupun “menyumbang” lebih atau
1
Bdk. AYU UTAMI, Pengakuan Eks Parasit Lajang, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2013,
2 kurang kepada keseluruhan permainan: tidak satupun yang marginal dan tidak
diperlakukan, tetapi panggungnya disusun dan dirancang oleh laki-laki. Laki-laki menulis ceritanya, menyutradarai pertunjukannya, serta menafsirkan makna adegan-adegannya. Mereka memberikan peran yang paling menarik, paling heroik kepada laki-laki sendiri dan memberi perempuan peran pendukung.2
Kehidupan manusia dianalogikan sebagai sebuah drama kolosal yang
terdiri dari berbagai jutaan adegan, yang diperankan oleh laki-laki dan perempuan.
Keduanya memiliki kedudukan, kewajiban dan hak yang sama. Akan menjadi
masalah ketika keduanya saling memarjinalkan, menyingkirkan, dan meniadakan
peran pihak lain. Terjadinya ketimpangan, ketidakadilan dan diskriminasi
sebagian besar dilakukan oleh para lelaki yang memiliki kuasa dan pengendalian
dalam sebuah drama kolosal.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa saat ini laki-lakilah yang
memiliki kuasa. Selama berabad-abad, bahkan mungkin sampai detik ini,
perempuan adalah warga dunia kelas dua. Dengan kata lain, peradaban yang
sedang berlaku sebenarnya adalah milik laki-laki.3 Penguasaan laki-laki terhadap
perempuan pada akhirnya menimbulkan superioritas dalam diri laki-laki. Rasa
superior dalam diri laki-laki inilah yang menyebabkan perlakukan dan tindakan
ketidakadilan terhadap perempuan, seperti pelecehan seksual, pornografi,
kekerasan fisik maupun psikis, dan lain sebagainya.4
Ketidakadilan sering dialami oleh perempuan. Ketidakadilan ini bukan
disebabkan oleh kelemahan dan kebodohan perempuan, melainkan terjadinya
ketidakadilan terhadap perempuan, karena perempuan adalah perempuan.5 Hal ini
2
Bdk. KAMLA BASHIN, Menggugat Patriarkhi, Bentang Budaya, Jakarta 1995, 20. 3
Bdk. HASTANTI WIDY N, Diskriminasi Gender, Hanggar Kreator, Yogyakarta 2002, 2. 4
Ibid., 3.
5
3
tentu tidak dapat diterima dan dibenarkan karena pada dasarnya manusia tidak
pernah dapat memilih untuk dilahirkan dengan jenis laki-laki atau perempuan.
Dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan adalah sesuatu yang sifatnya kodrati,
“mengada” begitu saja tanpa dapat direncanakan dan diminta.
Untuk memperjuangkan keadilan yang diakibatkan oleh diskriminasi
gender yang sering terjadi, lahirlah feminisme.6 Secara etimologis istilah
feminisme berasal dari bahasa latin femina yang berarti perempuan atau wanita.7
Dalam kamus filsafat, “The Cambridge Dictionary of Philosopy” feminis
diartikan sebagai berikut:
Feminist philosophy a discussion of philosophical concerns that refuses to identity the human experience with the male exprerience. Writing from a variety of perspectives, feminst philosophy on the grounds that they fail (1) to take seriously women’s interests, identities, and issues, and (2) to recognize women’s ways of being, thingking and doing as valuable as those of men.8
Feminisme ternyata tidak hanya soal relevansi antara pengetahuan gender
dan praktek terhadap masalah-masalah gender dalam sudut pandang politik saja.
Feminisme memiliki fokus pada filsafat yang menolak pembahasaan identitas
pengalaman manusia dari perspektif pengalaman laki-laki. Para feminis secara
serius berfokus pada perempuan, identitas dan isu-isu, dan mengenali cara berada
perempuan, cara berpikir dan tindakan yang sama nilainya dengan yang dilakukan
oleh laki-laki.
Kamla Bhasin mengungkapkan bahwa feminisme tidak mengambil dasar
konseptual dan teoretisnya dari suatu rumusan teori tunggal seperti banyak paham
6
Ibid., 71.
7
Bdk. F.A AWUY, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Jentera Wacana Publika,
Yogyakarta 1995, 87.
8
Bdk. ROBERTAUDI, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Second Edition, Cambridge Press,
4
atau “isme” lainnya. Oleh karena itu, tidak ada definisi khusus tentang feminisme
yang dapat diterapkan bukan lagi pada semua persoalan perempuan, tapi pada
semua upaya memperjuangkan keadilan dan menolak diskriminasi bagi
perempuan. Dengan demikian, definisinya dapat berubah-ubah, karena feminisme
mendasarkan diri pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkret, juga
pada tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan.9
Meskipun demikian, ia mengungkapkan bahwa feminisme adalah suatu
kesadaran akan penindasan dalam masyarakat, seperti di tempat kerja atau dalam
rumah tangga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut. Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang mencolok
antar kaum feminis dahulu dengan saat ini.
Kaum feminis dahulu pada abad ke 16-18, berjuang demi hak-hak
demokrasi perempuan, yakni hak atas pendidikan dan pekerjaan, hak milik, hak
pilih, dan hak menjadi anggota parlemen, hak atas pengaturan kelahiran, dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, kaum feminis dahulu berjuang demi perbaikan
hukum, demi kedudukan sama secara hukum di dalam masyarakat. Pada
hakikatnya, fokus perjuangan mereka adalah di luar rumah atau keluarga.
Mulai abad ke-19 sampai saat ini, kaum feminis beranjak lebih jauh
daripada sekadar menuntut perbaikan hukum untuk mengakhiri diskriminasi,
antara lain: hak atas pendidikan dan pekerjaan, hak pilih, hak menjadi anggota
parlemen, dan sebagainya. Kini, mereka bekerja untuk mewujudkan emansipasi
9
Bdk. KAMLA BHASIN dan NIGHAT SAID KHAN, Feminisme dan Relevansinya, Gramedia, Jakarta
5
perempuan, yang meliputi perjuangan menentang subordinasi perempuan terhadap
laki-laki di lingkungan rumah tangga mereka, menentang status yang
terus-menerus rendah di tempat kerja, dalam masyarakat, dalam budaya, serta dalam
agama di negerinya, dan menentang beban rangkap yang mereka derita dalam
produksi serta reproduksi.10
Dengan demikian, kaum feminis menganggap bahwa perempuan tidak
hanya harus berjuang menentang diskriminasi, tetapi juga berjuang demi
emansipasi serta pembebasan dari segenap bentuk penindasam oleh pemerintah,
oleh masyarakat serta kaum laki-laki. Perempuan selalu menjadi korban
pemerasan (umpamanya upah yang tidak sama, gaji rendah), ketergantungan (di
bawah kekuasaan lelaki), penindasan (kekerasan terhadap perempuan). Menurut
Kamla Bhasin, “Pada hakekatnya feminisme masa kini adalah perjuangan untuk
mencapai kesederajatan/kesetaraan, harkat, serta kebebasan untuk memilih dalam
mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah
tangga.”11
Berangkat dari keprihatinan terhadap ketidakadilan yang diterima oleh
perempuan, muncul kesadaran dalam diri penulis bahwa perempuan haruslah
bebas atau memiliki kebebasan bagi dirinya sendiri untuk bersikap, bertindak dan
berpikir. Kebebasan adalah hal yang mendasar bagi manusia dan merupakan
10
Ibid
11
6
syarat penting bagi humanisasi. Karena itulah, Erich Fromm tidak salah ketika
menyatakan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan kebebasan.12
Kebebasan di sini diartikan sebagai kebebasan eksistensial. Kebebasan
eksistensial menyatu dengan manusia sebagai pribadi. Dalam arti ini, orang bebas
adalah dia yang memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri dan
mengakui diri sebagai pribadi yang otonom, serta bersikap dewasa dalam
bertindak. Kebebasan eksistensial berkaitan dengan realisasi
kemungkinan-kemungkinan di dalam diri seseorang secara mandiri.13 Intensitas kebebasan
eksistensial seseorang terletak pada kemampuan menentukan perbuatan dan
kesadarannya menjalankan berbagai aktivitas.
Aktivitas menulis yang dilakukan oleh perempuan, misalnya memiliki
tujuan. Salah satu tujuan itu adalah untuk membangun atau merumuskan kembali
aspek-aspek kultural yang sangat penting bagi perempuan. Seorang filsuf feminis
bernama Cora Kaplan dalam karyanya Sea Changes and Feminism (1986)
mengungkapkan bahwa kegiatan menulis sebagai bagian dari proses politik
perlawanan. Menurutnya, “Perlawanan merupakan sebuah komponen dari
tindakan menulis bagi perempuan”.14
Melalui aktivitas menulis itulah, perempuan
mengetahui bagaimana ia mampu mendefinisikan kekhasan perempuan, tanpa
terjebak kembali dalam kerangka kerja patriarkal yang ingin dihindari. Hal itu
ditegaskan kembali oleh seorang filsuf feminisme yang bernama Irigaray. Ia
12
Bdk. ERICH FROM, The Fear of Freedom, Routlege dan Kegan Paul, London 1960, khusus bab II
dan III.
13
Bdk. KASDIN SIHOTANG, Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 2000, 78. 14
7
mengatakan bahwa perempuan membutuhkan rumah bahasa mereka sendiri.15
Rumah bahasa di sini diartikan sebagai teori, konsep dan bahasa sebagai tempat
tinggal yang memungkinkan mereka bertumbuh kembang sebagai syarat bagi
mereka untuk terus menjadi.
Melalui novel yang ia tulis, Ayu Utami berusaha untuk mengetahui
bagaimana ia mampu mendefinisikan kekhasan perempuan, tanpa terjebak
kembali dalam kerangka kerja patriarkal. Sastra berguna sebagai sarana
pengungkapkan pikiran dan perasaan yang berbeda dari jenis tulisan-tulisan
lainnya. Sebuah karya sastra berbeda dari reportase seorang wartawan, catatan
perjalanan seorang wisatawan, atau otobiografi seorang tokoh. Sastra menjadi
berbeda dari jenis-jenis tulisan lainnya karena di dalam sebuah karya sastra,
terdapat makna referensial dan makna tekstual.16 Makna referensial adalah makna
yang lahir dari hubungan antara teks dan dunia diluar teks, sedangkan makna
tekstual adalah makna yang lahir dari hubungan-hubungan di dalam teks itu
sendiri.
Sastra adalah salah satu sarana pengungkapan realitas yang ampuh. Hal ini
terjadi sebab sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat
dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan.17 Novel merupakan salah satu
bentuk karya sastra yang memuat konteks dan kebudayaan di mana karya itu
dihasilkan. Hal itulah yang dilakukan oleh Ayu Utami. Penulis hendak
15
Bdk. MADAM SARUP, Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan
Posmodernime, Jalasutra, Yogyakrta 2011, 188.
16
Bdk. IGNAS KLEDEN, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
2004, 7-8.
17
8
menjadikan tema tersebut sebagai bahan penelitian dengan judul “KEBEBASAN
PEREMPUAN DALAM NOVEL PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG
KARYA AYU UTAMI”.
1.2 PEMBATASAN MASALAH
Persoalan mendasar yang ingin dijawab dalam karya tulis ilmiah ini adalah
apa pengertian kebebasan perempuan dalam novel Eks Parasit Lajang karya Ayu
Utami. Penulis berusaha menemukan bagaimana Ayu Utami berjuang
mendefinisikan kekhasan perempuan, tanpa terjebak kembali dalam kerangka
kerja patriarkal, secara khusus konsep kebebasan perempuan dalam novel
Pengakuan Eks Parasit Lajang. Selanjutnya, penulis ingin pula menjawab dua
pertanyaan mendasar. Pertama, alasan mengapa konsep kebebasan perempuan itu
penting menurut Ayu Utami? Kebebasan yang dimaksud di sini tak lepas dari
pemahaman akan kebebasan eksistensial. Kedua, bagaimana penerapan konsep
kebebasan perempuan di Indonesia.
Konsep kebebasan perempuan ini menjadi penting dalam pemikiran Ayu
Utami karena ia ingin agar perempuan mampu mengetahui bagaimana ia mampu
dan mau untuk mendefinisikan kebebasan perempuan sebagai manusia mandiri.
Kebebasan eksistensial itu sendiri harus dibahasakan sebagai sebuah
jawaban untuk menghilangkan anggapan bahwa manusia perempuan sebagai
warga dunia kelas dua yang diciptakan oleh budaya partriakal. Dengan
9
diharapkan sungguh bahwa ketidakadilan yang rentan terjadi pada diri perempuan
berkurang atau tidak ada.
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mendalami dan memahami
apa dan bagaimana Ayu Utami menjabarkan konsep kebebasan perempuan dalam
novelnya “Pengakuan Eks Parasit Lajang”. Dengan dasar konsep kebebasan
perempuan yang ditawarkan oleh Ayu Utami, penulisan karya tulis ini hendak
memberikan sebuah pemikiran aktual bagi upaya konkret menghargai martabat
perempuan lepas dari bayang-bayang diskriminatif. Dengan pemahaman akan
kebebasan perempuan, diharapkan tercipta masyarakat yang bebas dari sekat-sekat
diskriminasi, khususnya antara laki-laki dan perempuan.
Pada akhirnya, penulisan karya tulis ini juga memiliki tujuan untuk
memenuhi syarat dalam menyelesaikan program studi strata satu (S1) di Fakultas
Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.
1.4 METODE PENULISAN
Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Penulis
berusaha menelusuri, mendalami dan kemudian memaparkan konsep kebebasan
perempuan menurut Ayu Utami dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang.
Oleh karena itu, sumber utama karya tulis ini adalah novel Pengakuan Eks Parasit
Lajang. Agar kita dapat memahami lebih dalam maksud dari konsep tersebut
10
Ayu Utami yang sebelumnya yaitu Pengakuan Parasit Lajang dan Cerita Cinta
Enrico sebagai bahan perbandingan awal.
Studi kepustakaan juga diadakan terhadap buku-buku yang menjelaskan
pemikiran tentang kebebasan perempuan atau feminis. Hal itu ditujukan karena
penulisan karya tulis ini berusaha untuk memberikan suatu konsep kebebasan
perempuan yang dimiliki oleh Ayu Utami yang terdapat dalam novel Pengakuan
Eks Parasit Lajang.
Tidak hanya menggunakan metode studi pustaka, tetapi penulis juga
menggunakan metode analisis isi sastra dalam perspektif feminisme. Metode
analisis isi karya sastra adalah menganalisis keseluruhan isi dan pesan komunikasi
dalam kehidupan manusia. Isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan yang dengan
sendirinya sesuai dengan hakikat sastra. Sedangkan isi dalam metode analisis isi
terdiri atas dua macam yaitu isi laten dan komunikasi.18
Isi laten (tersembunyi) adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan
naskah. Isi laten merujuk pada isi sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis.
Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti. Sedangkan, analisis isi
komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang
terjadi, sehingga terdapat hubungan antara naskah dengan pembaca, dan analisis
terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna. Dengan kata lain, isi
komunikasi pada dasarnya juga mengimplikasikan isi laten, tetapi belum tentu
sebaliknya. Objek formal analisis ini adalah isi komunikasi.
18
11
Selain itu, dalam karya tulis ini penulis tidak hanya menggunakan metode
studi pustaka dan analisis isi karya sastra dalam perspektif feminisme. Penulis
juga akan melengkapi penyusunan skripsi ini dengan korespondensi antara penulis
dengan Ayu Utami.
1.5 SKEMA PENULISAN
Karya tulis ini akan penulis bagi ke dalam empat bab dengan skema
sebagai berikut:
o Bab I: Pendahuluan
Pada bab ini, penulis menyajikan latar belakang pemilihan tema dan batasan
masalah. Selain itu, penulis juga menguraikan tujuan, metode, serta sistematika
penulisan karya tulis ini.
o Bab II: Hidup dan Karya Ayu Utami
Dalam bab ini, penulis mencoba menggali riwayat hidup Ayu Utami. Penulis
juga hendak melihat pergulatan hidup dan iman dalam membuat karyanya dan
perhatian terhadap perempuan dalam melepas belenggu diskriminasi patriakal.
o Bab III: Kebebasan Perempuan dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang
Pada bab ini, penulis masuk dalam inti karya tulis ini yakni membahas konsep
kebebasan perempuan menurut Ayu Utami. Dengan konsep itu, penulis
hendak melihat bagaimana Ayu Utami memperjuangkan kebebasan
12 o Bab IV: Kesimpulan dan Refleksi Kritis Filosofi dan Teologis atas Novel
Pengakuan Eks Parasit Lajang.
Pada bagian ini, penulis hendak memaparkan kesimpulan dan refleksi kritis
filosofis dan teologis atas konsep kebebasan yang diungkapkan oleh Ayu