• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

83 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu:

Tingkat kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam berpacaran pada dua sekolah berada pada tingkat sedang. Responden dengan tingkat kecenderungan sedang menunjukkan bahwa sampel responden yang diperoleh berada pada posisi rata-rata untuk kecenderungan dalam melakukan kekerasan dalam pacaran.

Tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan status pacaran responden, diperoleh hasil pada responden yang tidak pacaran memiliki tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran pada tingkat sedang, dan pada responden yang pacaran memiliki tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran yang berada pada tingkat sedang.

Berdasarkan tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa pada wanita terdapat tingkat kecenderungan tinggi, sedangkan pada tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran pada pria tidak ada. Pada tabel tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa tingkat kecenderungan tinggi pada responden wanita di dua sekolah (Lihat tabel: 4.12) memiliki dimensi-dimensi yang dominan secara berurutan, yaitu dimensi agresi verbal (verbal aggression), dimensi kecemburuan (Romantic jealousy) dan dimensi tingkat agresi interpersonal umum (General interpersonal aggression).

Selain itu tabel tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin, pada responden pria di dua sekolah berada pada tingkat rendah (Lihat tabel: 4.11) diketahui dimensi-dimensi yang dominan secara berurutan terdapat pada dimensi agresi verbal (verbal aggression), dimensi tingkat agresi interpersonal umum (General interpersonal aggression), dimensi kecemburuan

(2)

(romantic jealousy), dimensi sikap terhadap kekerasan (attitudes toward violence) dan dimensi sikap peran gender (Sex role attitudes).

Tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin pada pria yang tertinggi ada pada dimensi sikap peran gender/sex role attitudes (MS: diukur dengan skala Macho) dan pada wanita yang tertinggi ada pada dimensi received violence (RV).

5.2 Diskusi

Tingkat kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran pada dua sekolah dominan berada pada tingkat sedang. Tingkat kecenderungan sedang untuk melakukan kekerasan dalam pacaran menunjukkan bahwa responden yang memiliki kecenderungan perilaku kekerasan dalam berpacaran dominan berada pada taraf rata-rata untuk cenderung melakukan kekerasan dalam pacaran.

Berdasarkan tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa pada wanita terdapat tingkat kecenderungan tinggi, sedangkan pada tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran pada pria tidak ada. Pada tabel tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa tingkat kecenderungan tinggi pada responden wanita di dua sekolah (Lihat tabel: 4.12) memiliki dimensi-dimensi yang dominan secara berurutan, yaitu dimensi agresi verbal (verbal aggression), dimensi kecemburuan (Romantic jealousy) dan dimensi tingkat agresi interpersonal umum (General interpersonal aggression). Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menjelaskan bahwa dengan mempertimbangkan hasil analisis regresi pada wanita, ditemukan bahwa seorang wanita lebih mungkin untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya, apabila pasangan prianya melakukan agresi secara fisik terhadap dirinya, ketika wanita secara verbal bertindak agresif, ketika wanita bertindak keras dalam suatu konteks lainnya, dan ketika wanita mengalami kecemburuan di dalam suatu hubungan pacaran. Berkenaan dengan kecemburuan (romantic jealousy) pada wanita, diketahui bahwa pada usia remaja wanita condong untuk memiliki rasa ketertarikan secara seksual terhadap lawan jenis, hal ini pun terjadi di dalam hubungan antar pria terhadap wanita. Namun, menurut White; White dan Mullen (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan,

(3)

1992) bahwa kecemburuan wanita lebih berhubungan dengan dependensi/ ketergantungan wanita terhadap hubungan yang berjalan, sedangkan pada kecemburuan pria lebih berhubungan dengan sikap peran gender tradisional yang dimilikinya. Sehingga, pada wanita memiliki suatu ikatan emosional yang lebih besar untuk mempertahankan suatu hubungan pacaran yang dijalani. Berbeda dengan pria, pada wanita, menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) terdapat perbedaan signifikan dalam skor agresi verbal antara subjek pria dan wanita, dengan pria memperoleh skor yang lebih rendah. Sehingga, sesuai dengan penjelasan yang telah disampaikan bahwa apabila wanita mengalami kecemburuan di dalam suatu hubungan maka terdapat kecenderungan yang tinggi untuk wanita pada usia remaja untuk menggunakan agresi verbal terhadap pasangannya. Berkenaan dengan tingkat dimensi agresi interpersonal umum (general interpersonal aggression) bahwa pada wanita cenderung untuk menggunakan pelepasan emosi melalui pertemanan, yang diungkapkan melalui percakapan diantara sesama wanita, atau melalui perenungan dalam kesendirian mengenai apa yang ia hadapi di dalam suatu hubungan pacaran serta menggunakan buku catatan harian sebagai cara untuk melupakan emosi yang dihadapi bersama dengan pasangan. Pada situasi tertentu, wanita condong untuk tidak menunjukkan emosi atau kemarahan terhadap pria dikarenakan, secara peran gender, wanita akan cenderung untuk di label sebagai seorang yang kasar, jahat atau tidak baik apabila mengungkapkan emosi secara langsung, terutama di depan umum, oleh karena itu, pada umumnya wanita condong untuk menggunakan alternatif-alternatif tindakan yang dapat melepas emosi yang ia hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dampak langsung dari sebuah emosi yang dilepas dalam percakapan antara wanita dan pria adalah terjadinya hubungan interaksi yang merenggang, yang mengakibatkan hilangnya pertemanan, dijauhi oleh teman sebaya, di labeli dengan sebutan negatif, dan cenderung untuk diperlakukan dengan tidak adil karena suatu pelepasan emosi secara langsung di depan umum. Situasi ini menyebabkan adanya suatu kehendak untuk menekan emosi dan tidak melepas kecenderungan agresi terhadap pasangan pria secara langsung, namun mencari alternatif tindakan yang dapat melepaskan agresi tanpa menyebabkan dampak negatif pada diri wanita.

Selain itu, tabel tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin, pada responden pria di dua sekolah berada pada tingkat

(4)

rendah (Lihat tabel: 4.11) diketahui dimensi-dimensi yang dominan secara berurutan terdapat pada dimensi agresi verbal (verbal aggression), dimensi tingkat agresi interpersonal umum (General interpersonal aggression), dimensi kecemburuan (romantic jealousy), dimensi sikap terhadap kekerasan (attitudes toward violence) dan dimensi sikap peran gender (Sex role attitudes). Responden pria diketahui memiliki tingkat kecenderungan rendah untuk melakukan kekerasan dalam pacaran, dengan dimensi kecemburuan (romantic jealousy) sebagai salah satu dimensinya. Menurut White; White dan Mullen (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) pada kecemburuan pria lebih berhubungan dengan sikap peran gender tradisional yang dimilikinya. Sikap peran gender tradisional dapat diartikan sebagai sikap peran gender yang cenderung mengarah ke maskulinitas (kepriaan) atau feminimitas (kewanitaan). Sikap peran gender pada pria dapat menggambarkan bahwa pria cenderung mendorong nilai-nilai maskulinitas di dalam hubungan yang ia jalani dan mendorong pandangan nilai-nilai feminimitas pada wanita, terutama dalam suatu hubungan pacaran. Menurut Tisyah dan Rochana (2009) Pandangan ini secara langsung berhubungan dengan kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran pada pria, bahwa pada pria yang memiliki sikap peran gender yang lebih tradisional maka ia akan lebih condong untuk menekankan peran gender sebagai yang utama terhadap pasangannya, namun pada sikap peran gender yang kurang tradisional maka pria akan lebih kurang dalam menekankan sikap peran gender yang ia miliki (maskulinitas) terhadap pasangannya. Sehubungan dengan kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran, maka Guamarawati (2009) menjelaskan bahwa penyebab munculnya kekerasan dalam pacaran dilihat dari perspektif peran gender, dapat terjadi dikarenakan adanya ketimpangan peran gender yang diperkuat dengan tekanan konstruksi sosial Patriakal. Tekanan yang dihadapi oleh suatu gender di dalam suatu masyarakat yang mengusung konstruksi sosial patriakal, akan condong mendorong pria dengan sikap peran gender yang lebih tradisional untuk menekan pasangan yang memiliki sikap peran gender yang juga tradisional. Kondisi demikian dapat menyebabkan munculnya penekanan oleh individu dengan gender yang dianggap superior (pengekang) dan menindas gender yang dianggap inferior (dikekang). Menurut Shinta (2009) menjelaskan bahwa peran gender pria dan gender wanita yang tidak setara dapat menyebabkan adanya dominansi kekerasan pada satu gender terhadap gender lainnya. Sehingga, suatu peran gender yang

(5)

mengarah ke lebih tradisional pada pria, dapat memprediksikan adanya kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran. Sehubungan dengan itu, studi Literatur yang dilakukan oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), mengenai penelitian sebelumnya, tentang sikap terhadap kekerasan (attitudes toward violence) dan kekerasan dalam pacaran, pada pria yang melakukan agresi dalam masa pacaran cenderung menunjukkan sikap penerimaan yang lebih besar dibandingkan wanita yang melakukan agresi. Penerimaan terhadap kekerasan ini menunjukkan bagaimana pria menganggap sebuah hubungan pacaran akan berjalan dengan baik atau akan berakhir dengan kurang baik. Penerimaan terhadap kekerasan yang tinggi menunjukkan bagaimana seseorang dapat mengembangkan toleransi di dalam hubungan yang dapat berakhir dengan tidak baik dan mengendalikan diri agar tindakannya dalam pacaran tidak mengarah pada kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran. Sedangkan pada penerimaan terhadap kekerasan yang rendah dapat menjadi prediktor terhadap kecenderungan pria untuk mendorong adanya kekerasan yang dilakukan pada pasangan dalam pacaran, yang dilakukan karena toleransi yang rendah terhadap hubungan yang tidak berjalan dengan baik atau dikarenakan sulit mengendalikan diri, sehingga lebih mudah muncul suatu kehendak untuk melakukan pembalasan terhadap kekerasan yang ia terima dalam suatu hubungan pacaran. Maka dari itu, pria dengan kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran yang rendah akan lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan kekerasan dalam suatu hubungan pacaran. Pada dimensi agresi verbal (verbal aggression), menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) pada pria, pengekspresian kekerasan diprediksi melalui keterlibatan pria di dalam agresi verbal antara pria dan pasangan wanitanya, dan juga dorongan dari rasa percaya bahwa hubungan antara pria dan wanita pada dasarnya tidaklah selalu baik; Pandangan ini menjelaskan bahwa responden pria yang terlibat di dalam agresi verbal lebih besar kecenderungannya untuk terlibat dalam kekerasan dalam pacaran. Namun, hasil diskusi penelitian mengutip penjelasan yang disampaikan oleh Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) bahwa pada pria tidak selalu memerlukan cara kekerasan dalam berbagai konteks yang ia hadapi. Sehingga, pada responden pria dengan tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran yang rendah, lebih cenderung mempertimbangkan suatu konsekuensi perbuatan secara matang. Oleh karena itu, responden remaja pria yang mengutamakan pengendalian diri sebelum memutuskan

(6)

tindakan dapat dikatakan memiliki tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran yang rendah. Pada dimensi tingkat agresi interpersonal umum (general interpersonal aggression), Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menjelaskan dimensi general interpersonal aggression sebagai sejauhmana individu-individu memiliki riwayat agresi yang diarahkan kepada orang lain. Agresi yang dilakukan oleh responden pria menunjukkan bahwa tingkat agresi interpersonal umum yang dilakukan berada pada tingkat rendah.

Tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin pada pria yang tertinggi ada pada dimensi sikap peran gender/sex role attitudes. Sikap peran gender menurut Sarwono (2012) merupakan bagian dari peran sosial yang disandang oleh seseorang yang menentukan sejauh mana seseorang memiliki pencapaian di dalam masyarakat. Pencapaian yang dimaksud adalah apa yang menjadi sebuah batasan bagi suatu gender dalam menjalankan tugas peran sosialnya di dalam masyarakat dan mengembangkan pola perilaku yang menggambarkan gender yang disandangnya di dalam masyarakat. Menurut Guamarawati (2009) menjelaskan bahwa penyebab munculnya kekerasan dalam pacaran bila dilihat melalui perspektif peran gender, yang dikarenakan adanya ketimpangan peran gender yang diperkuat dengan tekanan konstruksi sosial Patriakal. Tekanan konstruksi sosial patriarkal menentukan sejauhmana suatu peran gender dapat mengembangkan kemampuan dirinya sesuai dengan hak dan kewajiban yang ia sandang di dalam suatu sistem masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat yang mengusung konstruksi sosial patriarkal sebagai yang utama di dalam aturan, norma dan pola perilaku dalam masyarakat. Situasi yang dihadapi oleh suatu gender akan semakin baik apabila suatu sistem konstruksi sosial patriarkal mendukung satu gender sebagai yang lebih memliki daya di dalam suatu sistem masyarakat, namun pada satu gender lainnya, dapat menjadi suatu pembatasan terhadap kemampuan seseorang yang memiliki gender yang berbeda dengan sistem yang diusung sebagai yang utama, dalam meraih pencapaian gender di dalam masyarakat tersebut. Sehingga, menurut Shinta (2009) peran gender pria dan gender wanita yang tidak setara dapat menyebabkan adanya dominansi kekerasan pada satu gender terhadap gender lainnya. Kondisi demikian, dapat menyebabkan munculnya penekanan oleh individu dengan gender yang dianggap superior (pengekang) dan menindas gender yang dianggap inferior (dikekang). Situasi demikian, dapat menjadikan suatu gender

(7)

mengalami penekanan apabila terlalu mengusahakan untuk berkehendak mengapai pencapaian diatas dari kepentingan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh suatu gender yang superior terhadap gender yang dianggap inferior. Situasi ini menurut Guamarawati (2009) dikarenakan adanya ketimpangan sosial yang terjadi diantara dua gender yang diakui dalam masyarakat. Ketimpangan gender menyebabkan munculnya penekanan satu gender pada gender lainnya. Bentuk-bentuk penekanan tersebut terjadi dalam bentuk adanya batasan fungsi sosial, adanya identitas gender (peran gender), penekanan gambaran suatu gender yang digambarkan dalam beragam cerita, mitos, legenda yang menyiratkan nilai-nilai yang dimiliki suatu gender yang cenderung dianggap inferior dibandingkan lawan gendernya. Pembatasan yang tidak tertulis ini, merupakan suatu warisan dari konstruk sosial patriarki yang telah berakar lama. Kondisi ketimpangan sosial ini akan mempengaruhi bagaimana individu berlainan gender dalam bertindak, bersikap dan memandang situasi di masyarakat. Baik itu dalam memahami aspek biologis reproduksi seseorang maupun pola-pola yang digunakan untuk mengendalikan peran dan ruang gerak gender lainnya. Tisyah dan Rochana (2009) di dalam tulisannya, mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dapat menciptakan penindasan, kekerasan, pelemahan posisi suatu gender dan mengurangi peluang suatu gender untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan suatu peran gender merupakan bagian dari peran sosial yang disandang oleh seseorang, yang menentukan arah hidup, kewajiban dan hak, serta peran seseorang dalam bertindak di dalam masyarakat. Suatu solusi yang ditawarkan oleh Sandra Bem mengenai penyeimbangan antara peran sosial atau peran gender pria dan gender wanita adalah dengan konsep kepribadian Androgini, konsep ini dipandang dapat menyelaraskan hubungan peran yang ada pada peran gender pria dan peran gender wanita tanpa merusak tatanan sosial yang telah ada di dalam masyarakat. Konsep Kepribadian androgini dijelaskan oleh Sandra Bem (1981) sebagai jawaban atas situasi yang dihadapi oleh gender wanita yang mengalami penekanan oleh oknum-oknum yang memanfaatkan peran gender seseorang untuk membatasi peran sosial gender lainnya di dalam masyarakat, sehingga dapat melakukan penekanan terhadap suatu gender pada tingkat normatif (aturan tidak tertulis) yang berlaku di masyarakat. Konsep Androgini menjelaskan bahwa konsep kepribadian Androgini tidak mengubah seseorang menjadi suatu bentuk kepribadian baru, namun memperkecil batasan gender antara pria dan

(8)

wanita agar dapat semakin setara melalui upaya-upaya penyetaraan yang ada di dalam masyarakat, yang dilakukan melalui penyelarasan antara hak dan kewajiban, yang pada umumnya spesifik dikaitkan pada wanita, namun sebenarnya dapat dilakukan oleh pria sebagai bagian dari fungsi sosialnya, sedangkan pada hak dan kewajiban yang pada umumnya spesifik dikaitkan pada pria, namun sebenarnya dapat dilakukan oleh wanita sebagai bagian dari fungsi sosialnya. Penyesuaian pola perilaku dan aktivitas yang dipaparkan dalam kepribadian androgini sesungguhnya mengetengahkan bagaimana seseorang dapat menjalankan fungsi sosialnya secara dinamis atau dalam hal ini adalah dibutuhkan adanya fleksibilitas seseorang untuk dapat mengerjakan tugas tanpa mengaitkan dirinya dengan gender yang ia sandang di dalam kehidupannya dan secara perlahan mampu menyadari gender lainnya sebagai individu yang setara. Kesetaraan ini berkaitan dengan bagaimana seseorang menempatkan diri dalam suatu konteks antara sisi sifat wanita (sifat feminim) dan sisi sifat pria (sifat maskulin) secara berimbang dalam konteks interaksi dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam interaksi sosial, pola perilaku dalam masyarakat dan tindakan yang ia lakukan dalam masyarakat. Oleh karena itu, kepribadian Androgini dianggap dapat menjadi suatu solusi dalam pencapaian kesetaraan gender di dalam masyarakat patriarkal.

Tingkat kecenderungan perilaku kekerasan dalam pacaran berdasarkan jenis kelamin pada wanita yang tertinggi pada dua sekolah berada pada dimensi received violence (RV). Dimensi penerimaan terhadap kekerasan menurut Bernard dan Bernard; Cate et al; Marshall dan Rose; Gwartney-Gibbs et al; Sigelman et al (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) menunjukkan bahwa prediktor kuat adanya kekerasan dalam pacaran dapat dilihat melalui adanya salah seorang pasangan yang melakukan permulaan kekerasan dalam suatu hubungan pacaran. Permulaan kekerasan dalam pacaran sering dikaitkan dengan perlawanan balik yang dilakukan oleh salah satu pasangan dikarenakan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan sebelumnya pada dirinya, baik itu dalam bentuk provokasi seperti dengan mengungkapkan sebutan atau panggilan yang merendahkan untuk memicu kemarahan pasangan, bahkan intimidasi dengan memberikan gestur tubuh yang berkesan merendahkan pasangan atau mengejek dengan niatan menyakiti hati pasangan, atau dalam bentuk kekerasan fisik yang diarahkan terhadap diri pasangan, misalnya dengan melempar barang, menendang atau memukul ke arah pasangan. Sedangkan penjelasan mengenai hubungan ini dijelaskan

(9)

oleh Geen (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) bahwa anak-anak yang akan tumbuh menjadi pria yang bersosialisasi dalam masyarakat kita untuk melindungi diri mereka dan melawan balik bila mengalami penyerangan, dan pada waktu yang bersamaan, pria bersosialisasi untuk tidak agresif terhadap wanita. Menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), norma yang mengalami konflik satu sama lain ini mungkin bisa jadi menciptakan hasil yang bercampur pada pria dan wanita dalam hal dampak kekerasan pada pasangan. Pendapat ini mendukung dengan hasil penelitian yang dipaparkan oleh Makepeace (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) melaporkan dalam penelitiannya, bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan wanita dapat dideskripsikan sebagai sebuah tindakan melindungi diri, sedangkan pada pria menjelaskan perilaku kekerasan yang ia lakukan sebagai bentuk intimidasi. Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa pada suatu hubungan pacaran yang berlangsung, wanita akan menyerang balik ke pasangannya, bila sebelumnya mengalami kekerasan oleh pasangannya, namun tujuan dari tindakan tersebut semata-mata adalah untuk pembelaan diri, namun pada pria, suatu tindakan kekerasan merupakan tindakan yang condong mengarah pada intimidasi. Sehubungan dengan tindakan yang mengarah pada intimidasi tersebut, diketahui bahwa pada responden pria dalam penelitian ini diketahui memiliki dimensi sikap peran gender (sex role attitudes) tertinggi, menurut Follingstad, Rutledge, Polek, dan McNeill-Hawkins (dalam Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan, 1992) memaparkan bahwa sikap peran gender yang lebih tradisional terhadap peran wanita cenderung memiliki asosiasi dengan permulaan suatu kekerasan untuk terjadi dalam suatu hubungan pacaran. Oleh karena itu, suatu sikap peran gender yang besar dapat menjadi suatu prediktor adanya kecenderungan pada pria untuk melakukan kekerasan dalam pacaran. Sedangkan menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992), wanita akan memiliki suatu kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran apabila pasangan prianya melakukan agresi secara fisik terhadap dirinya, ketika wanita secara verbal bertindak agresif, ketika wanita bertindak keras dalam suatu konteks lainnya (misal: meluapkan emosi), dan ketika wanita mengalami kecemburuan di dalam suatu hubungan pacaran. Walaupun demikian, Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) mengungkapkan bahwa pria tidak selalu memerlukan cara kekerasan dalam berbagai konteks yang ia hadapi. Sehingga, menurut Bookwala, Frieze, Smith dan Ryan (1992) menyatakan bahwa maskulinitas atau sikap peran gender yang lebih

(10)

rendah diantara beberapa pria berasosiasi dengan kehendak untuk melakukan kekerasan yang lebih sedikit untuk mengarahkan kekerasan kepada wanita.

5.3 Saran

Pada bagian saran, penulis hendak menyampaikan beberapa hal yang menjadi batasan dari penelitian ini, yang penulis sadari, bahwa di kemudian hari dapat diperbaiki melalui penelitian selanjutnya agar dapat menjadi penelitian yang baik.

1. Pada bagian penyusunan skala Passionate Love untuk pengukuran dimensi romantic jealousy (Kecemburuan), penulis belum menyertakan butir-butir soal dari skala yang dikembangkan oleh Grote. Penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat menambahkan skala tersebut, sehingga dapat diperoleh validitas dan reliabilitas yang akurat untuk mengukur dimensi kecemburuan.

2. Pada bagian penyusunan skala adversarial sexual belief dan skala Macho untuk pengukuran dimensi attitudes toward violence (sikap terhadap kekerasan) dan dimensi sex role attitudes (sikap peran gender), penulis belum dapat memperoleh dua skala dengan jumlah butir soal lengkap untuk masing-masing skala tersebut. Penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat memperoleh dua skala tersebut, sehingga dapat diperoleh validitas dan reliabilitas yang akurat untuk mengukur dimensi sikap terhadap kekerasan dan sikap peran gender.

2. Saran Praktis

- Pada saran praktis ini, penulis mengetahui bahwa dalam penelitian “gambaran tingkat kecenderungan siswa/i SMA di Jakarta Barat untuk melakukan kekerasan dalam pacaran”, dapat menyumbangkan saran praktis berupa penelitian-penelitian kecenderungan dengan kekerasan dalam pacaran yang dapat dihubungkan dengan dimensi sikap peran gender (Sex role attitudes pada pria dan dimensi Attitudes toward violence pada wanita) serta kajian hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan dimensi verbal aggression (VA).

Referensi

Dokumen terkait

Variabel terikat yang digunakan dalam model ini adalah tarikan pergerakan kendaraan ke hotel tersebut, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan,

Perlu dikaji formula minuman fungsional temu mangga dengan penambahan barbagai jenis flavoring agent (jeruk nipis, jeruk lemon, dan jeruk nipis+lemon) serta berbagai

Saponin adalah glikosida triterpenoida dan sterol.Senyawa golongan ini banyak terdapat pada tumbuhan tinggi, merupakan senyawa dengan rasa yang pahit dan mampu membentuk

Hal yang harus dihindari adalah keadaan dimana seorang anak takut untuk mengungkapkan tentang suatu hal kepada Ibunya, karena dalam posisi tersebut komunikasi keluarga

Pembelajaran dalam kurikulum 2013 harus menggunakan pembelajaran tematik, hal ini sudah tertuang dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013, mengenai Standar Proses Pendidikan Dasar

1. Peraturan disiplin karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Kuala Pembuang adalah aturan yang mengatur kewajiban, larangan dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau

Jika diteliti secara teoritis mengenai manfaat kegiatan bermusik bagi anak, karakteristik angklung sebagai alat musik dan nilai-nilai yang terkandung pada saat bermain

Hipotesis dari penelitian Analisis Produksi Dan Pendapatan Usahatani Ikam Mas (Cyprinus Carpio L) di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu adalah : Diduga faktor faktor