• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nation State: Journal of International Studies Vol. 2 No. 1 Juni 2019 P ISSN X E ISSN X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nation State: Journal of International Studies Vol. 2 No. 1 Juni 2019 P ISSN X E ISSN X"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Nation State: Journal of International Studies (NSJIS) adalah media terbitan berkala ilmiah yang dikelola oleh Program Studi Hubungan Internasional Universitas AMIKOM Yogyakarta. Tujuan dari jurnal ini adalah untuk memfasilitasi

penyebarluasan ide dan riset dalam ruang lingkup Hubungan Internasional. Fokus dari jurnal ini meliputi ekonomi-politik global, diplomasi dan politik luar negeri,

kepemerintahan gobal, globalisasi dan masyarakat sipil global, keamanan internasional dan kawasan atau topik lain yang relevan dengan hubungan

internasional.

Redaksi mengundang rekan-rekan dosen, peneliti dan pengkaji Hubungan Internasional untuk menulis di Nation State: Journal of International Studies. Naskah dapat berupa opini pemikiran maupun hasil penelitian yang disesuaikan dengan fokus dan ruang lingkup jurnal dengan panjang antara 10-25 halaman 1.15 spasi kertas ukuran 29.7 × 21 cm dengan font Garamond 14 pts. Petunjuk penulisan terdapat pada bagian akhir jurnal ini.

SK Penerbitan No.

0005.2620391X/JI.3.1./SK.ISSN/2018.04 P ISSN 2620-391X

E ISSN 2621-735X Pemimpin Redaksi Rezki Satris, S. IP, M.A. Penyunting Bagian Aditya Maulana Hasymi. Seftina Kuswardini. Yoga Suharman. Sannya Pestari Dewi. Reviewer

 Elisabeth Adyanintyas Satya Dewi, (Universitas Katholik Parahyangan, Indonesia).

 H. R. Dudy Heryadi (Universitas Padjajaran, Indonesia).

 Surwandono, (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia).

 Agus Haryanto, (Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia).

 Ahmad Sahide (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia).

 Farahdiba Rahma Bachtiar, RMIT (University, Melbourne, Australia) Alamat Redaksi

Gedung VI.3.2

Universitas AMIKOM Yogyakarta

Jl. Ringroad Utara, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55283

Telp : (0274)-884201 ext. 632 / 085270764035

Email : journalnationstate@amikom.ac.id Online Journal System :

(3)

DAFTAR ISI

Vol. 2 No. 1 | Juni 2019

Tentang Jurnal ... i Daftar Isi ... ii Editorial ... iii Reconstructing Westphalian Sovereignty as an Effort to Enforce Human Rights

Case Study: Humanitarian Intervention in the Libyan Conflict ... 1-10 Anna Kharisma Fehmita Mubin

Tinjauan Hukum Humaniter Internasional dalam Operasi Enduring Freedom

Amerika Serikat ke Afghanistan dan Peran International Criminal Court (ICC) ... 11-24 Reno Ismadi, Awatar Bayu Putranto, Tiffany Setyo Pratiwi

Analisis Peran IMF terhadap Fenomena Inflasi Tahun 1997-1998

di Negara Thailand ... 25-34 Aliya Nur Aziza, Audita Fathan, Ayun Faiza Yulianto

Analisis Strategi Cina Melakukan Foreign Direct Investment (FDI)

Berbasis Minyak dengan Sudan Tahun 2009 ... 35-43 Syelda Titania Sukarno Putri, Gamaly Gamaly, Yolanda Dwi

Strategi Korea Selatan dalam Pemulihan Krisis Moneter

Tahun 1997 Melalui IMF ... 44-56 Yola Natasyah Kaloka, Putri Tegar, M. Eldy

The Response of International Campaign to Ban Landmines (ICBL)

in Resolving Humanitarian Issue ... 57-70 Alfredha Shinta Putri

Asian Insfrastructure Investment Bank (AIIB) Sebagai

Bentuk Hegemoni Baru Tiongkok ... 71-87 Cindy Rezma Fanny, Dwi Nur Arifianti, Erlandi Daffa Augusta

Kontradiksi Demokrasi Liberal dan “Akhir Sejarah” yang Tertunda ... 88-104 Eva Novi Karina

Petunjuk Penulisan Redaksi

(4)

Editorial

Mengkaji Peran Negara dan Organisasi Internasional

Rezki Satris, Yoga Suharman Salam redaksi

Pembaca Nation State: Journal of International Studies (NSJIS) yang terhormat,

Pertama, Dewan redaksi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh penulis yang telah memberikan kontribusi hasil penelitian dan opini pemikirannya kepada NSJIS kali ini. Selain itu, tak lupa pula ucapan terima kasih terhaturkan kepada seluruh dewan redaksi dan mitra bebestari yang telah menyempatkan waktunya untuk meninjau naskah jurnal kali ini.

Kedua, perlu kami sampaikan bahwa jurnal yang ada di hadapan pembaca kali ini adalah Volume 2. Nomor 1 Juni 2019. Pada kali ini, NSJIS menyajikan 8 naskah dari 14 naskah yang telah masuk ke meja redaksi. Pada edisi kali ini, tulisan yang dipublikasikan umumnya didominasi oleh kajian tentang negara dan organisasi internasional.

Tren globalisasi mendorong negara untuk membagi perannya dengan aktor-aktor lainnya. Tatanan dunia kontemporer tampak seolah menunjukkan adanya kontestasi antar aktor dalam hubungan internasional. Munculnya organisasi multilateral, korporasi multinasional maupun

kelompok organisasi sipil global membentuk dinamika baru dalam hubungan internasional kontemporer. Keberadaan organisasi internasional dalam beberapa hal malah justru

meminggirkan peran dan

tanggungjawab sosial negara.

Pandangan tersebut

mengindikasikan bahwa peran negara tidak lagi dominan dalam kancah hubungan internasional. Atas kondisi ini, muncul kelompok masyarakat sipil yang mendorong partisipasi masyarakat global untuk memberi perhatian terhadap isu-isu dalam

hubungan internasional.

Konsekuensinya, negara berada dalam posisi dilematis, yakni antara mempertahankan kedaulatan atau membagi perannya dengan aktor-aktor internasional lainnya.

Bisa kita lihat dari tulisan pertama yang ditulis oleh Anna Kharisma Fehmita Mubin. Dalam tulisannya membahas tentang kedaulatan negara dan intervensi kemanusiaan adalah dua sisi mata uang yang menghadirkan ancaman bagi penegakan hak asasi manusia, terutama ketika pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara. Kegagalan suatu negara untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warganya akan

(5)

menyebabkan intervensi dari komunitas internasional yang mengatasnamakan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan secara tidak langsung akan melemahkan prinsip-prinsip kedaulatan negara dalam konsepsi Westphalian. Artikel ini merupakan studi kasus tentang konflik Libya pada 2011 dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme untuk menganalisis kontradiksi antara prinsip-prinsip kedaulatan, konsep intervensi kemanusiaan, dan hubungan dengan norma-norma hak asasi manusia di komunitas internasional.

Naskah kedua ditulis oleh Reno Ismadi (et.al) tentang Invasi militer Amerika Serikat ke Afghanistan pasca serangan 9/11 terhadap World Trade Center tahun 2001. Tidak lama setelah kejadian tersebut, Amerika Serikat mendeklarasikan kebijakan Global War on Terror diberbagai belahan dunia. Salah satu kebijakan Global War on Terror ini diwujudkan dalam bentuk Operation Enduring Freedom di Afghanistan. Dalam penelitian ini para penulis mengkaji tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada invasi Afghanistan khususnya pada saat Operation Enduring Freedom yang ditinjau melalui Hukum Jenewa dan Statuta Roma. Alih-alih memperkuat pengarusutamaan HAM, negara dalam hal ini Amerika Serikat justru

dipandang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Naskah ketiga ditulis oleh Aliya Nur Aziza (et.al) yang mengusung tema tentang Peran IMF dalam mengatasi inflasi di Thailand tahun 1997-1998. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa krisis moneter Asia merupakan suatu keadaan dimana pada saat itu terjadi Inflasi besar-besaran yang melanda hampir semua negara dikawasan Asia Tenggara. Thailand menjadi negara pelopor dari krisis moneter yang terjadi dinegara Asia. Jatuhnya nilai mata uang Thailand (Baht) disebabkan karena adanya keputusan pemerintah Thailand untuk menerapkan kebijakan ‘sistem mengambang’ pada nilai tukar Baht terhadap dolar Amerika. Konsekuensinya, pemerintah Thailand mengambil keputusan untuk meminta bantuan kepada IMF dengan tujuan menstabilkan perekonomian mereka kembali. Namun, upaya ini tidak berlangsung mulus. Alasannya adalah karena IMF mensyaratkan adanya deregulasi dalam sektor perekenomian dalam negeri Thailand melalui Kebijakan Konsensus Washington (Washington Consensus).

Tulisan keempat dari Syelda Titania (et.al) yang mengkaji tentang perkembangan ekonomi Tiongkok yang sangat pesat dalam dua dekade terakhir. Saat ini Cina menjadi salah satu negara industri terbesar di dunia.

(6)

Perkembangan ini mendorong tingginya ketergantungan Cina terhadap impor minyak bumi melebihi kapasitas produksi domestiknya. Cina untuk pertama kalinya melewati Amerika Serikat sebagai importir minyak terbesar di dunia pada tahun 2015 dengan kawasan Afrika seperti Sudan. Investasi China berbasis minyak di Sudan kemudian menjadi perhatian dunia internasional karena kebijakan non-intervensi Cina dianggap tidak memperdulikan permasalahan konflik dalam negeri yang ada di Sudan.

Tulisan kelima dari Yola Natasyah (et.al) yang membahas tentang krisis perekonomian Korea Selatan tahun 1997. Salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat utang luar negeri dari kalangan Chaebol. Ditambah lagi dengan penurunan pendapatan hasil ekspor Korea Selatan yang memengaruhi cadangan devisa negara. Sejalan dengan hal tersebut, sentiment ketidakpercayaan kreditur luar negeri menjadi semakin tinggi, sehingga mereka menarik kembali dana yang sudah di tanam dalam perjanjian investasi besar-besaran beberapa tahun sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, Korea Selatan tak sanggup lagi menghadapi gejolak ekonomi domestik sehingga pada 21 November 1997 memaksa pemerintah untuk menggandeng IMF sebagai ikhtiar

menstabilkan perekonomian nasional, dengan dana bantuan total US$ 57 miliar. Seiring dengan adanya peran IMF, artinya Korea Selatan diwajibkan mengikuti aturan main yang diberikan oleh IMF. Konsekuensinya, Korea Selatan mengalami situasi dimana intervensi organisasi internasional terhadap otoritas negara untuk memulihkan ekonomi nasional sangat tinggi.

Naskah keenam ditulis oleh Alfredha Shinta Putri yang mengkaji tentang peran International Non-Governmental Organization (INGO) bidang humaniter dan keamanan global yang dikenal dengan nama International Campaign to Ban Landmines (ICBL). Keberadaan ICBL bertujuan untuk mengatasi permasalahan ranjau darat di dunia sebagai masalah darurat dan genting di dunia internasional saat ini. Hal ini dikarenakan efek dari ranjau darat dan explosive remnants of war sangat membahayakan manusia maupun hewan. Oleh karena itu, ICBL mengajak negara-negara di dunia untuk melakukan kesepakatan dan perjanjian internasional dalam melarang penggunaan dan produksi ranjau darat. Kajian ini menunjukkan bahwa keberadaan kelompok masyarakat sipil internasional yang bergerak dalam masalah kemanusiaan menguji kembali peran dan tanggungjawab negara dalam

(7)

menyediakan rasa aman bagi masyarakat.

Naskah ketujuh berasal dari Cindy Rezma Fanny (et.al) tentang munculnya Tiongkok sebagai ‘great power’ yang menjadikan negara tirai bambu tersebut terus memperluas pemgaruh dan kekuasaannya di sektor ekonomi. Perannya yang dirasa tidak signifikan di lembaga multilateral dunia membuat Tiongkok berinisiatif untuk membentuk lembaga finansial tandingan yang bernama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) selain Bank Dunia. Selain itu, kondisi keuangan Bank Dunia yang dianggap tidak mencukupi kebutuhan pembangunan infrastruktur di kawasan Asia membuat Tiongkok semakin yakin dengan keputusannya untuk mendirikan AIIB. AIIB sendiri diinisiasikan oleh Presiden Xi Jinping dan diumumkan pendiriannya pada tahun 2014.

Naskah terakhir ditulis oleh Eva Novi Karina yang menyoroti tentang perkembangan historis dan karya Francis Fukuyama dan hubungan antara pasar bebas dan demokrasi,

serta dimensi ketimpangan di dalamnya. Dalam tulisannya, Karina menyatakan bahwa klaim pemikiran ekonomi politik ‘arus utama’ yang didominasi oleh kaum libertarian dan penganut pasar bebas tampak berlebihan dalam menggambarkan tingkat kemajuan manusia. Pada praktiknya, ekonomi pasar bebas dan demokrasi justru menimbulkan kontradiksi. Hal ini menegaskan bahwa cita-cita kemajuan masyarakat yang lahir sejak abad modern belum mencapai tujuannya.

Akhir kata,

Dewan redaksi berharap bahwa terbitan NSJIS kali ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan dan penyebarluasan gagasan di bidang hubungan internasional. Kami berharap bahwa kajian ilmiah terhadap isu-isu hubungan internasional semakin berkembang dinamis.

Selamat membaca!

(8)

Reconstructing Westphalian Sovereignty as an Effort

to Enforce Human Rights

Case Study: Humanitarian Intervention in the Libyan Conflict

Anna Kharisma Fehmita Mubin

International Relations Department, University of Indonesia, Jakarta – Indonesia Email: anna.kharisma.fm@gmail.com

Submitted: 09 April 2019 | Accepted: 24 April 2019 Abstract

State sovereignty and humanitarian intervention are two sides of a coin, presenting a threat to human rights enforcement, especially when human rights violation is done by the state. Failure from a state to provide human rights protection for its citizen will lead to intervention from the international community to enforce human rights in the name of humanitarian norms. The humanitarian intervention will indirectly weaken the principles of Westphalian state sovereignty as the main premise in the politics of international relations. This article is a case study of the Libyan conflict in 2011. This study uses the constructivism approach to analyze the contrasting relation between the principles of traditional Westphalian sovereignty and humanitarian intervention concept, and how this relationship may shift the human rights norms in the international community. In the constructivism approach, it is not enough to offer a causal explanation in order to understand international politics. Instead, it needs a more interpretative understanding. Hence, this study is conducted with a qualitative method, a critical approach to human rights in contemporary international politics.

Keywords: State, Sovereignty, Humanitarian, Intervention, Constructivism. Abstrak

Kedaulatan negara dan intervensi kemanusiaan adalah dua sisi mata uang yang menghadirkan ancaman bagi penegakan hak asasi manusia, terutama ketika pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara. Kegagalan suatu negara untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warganya akan menyebabkan intervensi dari komunitas internasional dalam nama kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan secara tidak langsung akan melemahkan prinsip-prinsip kedaulatan negara Wesphalian sebagai premis utama dalam politik hubungan internasional. Artikel ini merupakan studi kasus tentang konflik Libya pada 2011 dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme untuk menganalisis kontradiksi antara prinsip-prinsip kedaulatan, konsep intervensi kemanusiaan, dan hubungan dengan norma-norma hak asasi manusia di komunitas internasional. Dalam pendekatan konstruktivisme, tidaklah cukup untuk menawarkan penjelasan sebab akibat untuk memahami politik internasional, melainkan perlu pemahaman yang lebih interpretatif. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan mengadopsi pendekatan kritis terhadap hak asasi manusia dalam politik internasional kontemporer.

Kata Kunci: Kedaulatan, Negara, Intervensi, Kemanusiaan, Konstruktivisme. INTRODUCTION

A recent development in international relation studies faces a

conflict with its own main premise when addressing the issue of human

(9)

rights enforcement, in particular, a conflict between state sovereignty and humanitarian norms. There is a contradiction between Westphalian state sovereignty norms, which have been adopted in the international laws by all state actors in international politics, and the humanitarian intervention norms as measures to enforce human rights enforcement, which have been growing more attention from international societies, both state and non-state actors. It is such an irony that the fundamental concepts of human rights and state sovereignty norms are being contradicted, their definitions being debated, as well as which is the more important norms (Brooke, 2017).

Rooted from liberal ideas, human rights are the fundamental rights and freedoms that all human should be guaranteed, by virtue of them being a human. These rights are characterized as universal, basic, and absolute. Universal means that human rights are the same everywhere, regardless of race, sex, nationality, ethnicity, language, religion, or any other status. The essence of human rights is the principles of equality, justice, and freedom, to protect human dignity from any form of unlawful imprisonment, torture, and execution (Soetjipto, 2015, pp. 15-16).

The development of human rights by political philosophers, such

as Hugo Grotius, Thomas Hobbes, and John Locke, have consistently used the conception of rights and natural laws, which evolved into the term “liberal positions on rights” (Soetjipto, 2015, p. 17), consisting of two main aspects. First, each individual has the right to life, liberty, property, as well as the freedom of opinion and expression, which cannot be traded, transacted, and is unconditional. The only reason that can be accepted to limit these rights is in order to protect other individual’s right. Second, the government must protect and guarantee these fundamental rights, and their performance shall be measured as such.

The liberal positions on rights promoted a growing sense in-state actors’ responsibility to protect and guarantee human rights. As stated in the international law on human rights, state actors are responsible for acting or not acting in such a way to promote and protect human rights and fundamental freedoms of individuals and groups (Dewi, 2015).

On the other hand, from an international relations perspective, the Westphalian international law and political system, adopted since 1648, stated that any sovereign state possesses full sovereign rights (Hall, 2010). Sovereignty refers to the concept of highest independent

(10)

authority in a territory. It can be seen as a norm where each state cannot interfere with each other’s problems, and each state has the highest independent authority over its own territory (Delbruck, 1982).

The problem arises when action by the state, as a consequence of the possessed sovereignty, results in violations in human rights. It is often caused by a broad and limitless interpretation of state sovereignty, that a state is free to use the however authority it possesses and no other states may interfere (Ramdhany, 2015, p. 51). This problem creates a paradox between international law and political system, which is based on the principles of state sovereignty, and the international human rights policies, which prioritize state’s moral on humanitarian, thus protecting human rights. These antagonistic roles result in the difficulty to process human rights violations occurring in a sovereign state’s territory, particularly for domestic conflict cases.

The paradox between

international law and political system and international human rights policies creates various debates among international law communities. Among them, state authority should be restricted, such as through the “doctrine of restrictive interpretation”. In this doctrine, the state should be restricted to its sovereign rights when

dealing with human rights (Lauterpacht, 1958).

The interrelation between state sovereignty and human rights protection has also shifted the paradigm of state sovereignty from Westphalian school to Hobbessian school, where international community shall not be isolated, and there should be freedom in interstate relations (Snyman, 2009, p. 18). Hobbesian school, developed by Thomas Hobbes, Immanuel Kant, and Hans Kelsen perceived state sovereignty as a relative-control from a sovereign state to its people and justified the role of external forces in creating and maintaining social stability for individuals or groups in a sovereign state (May 2005; Reuter, 1983). The hobbesian school has promoted the shift from traditional politics of state-centered to mixed actors, where non-state actors such as non-government organization, international media, and inter-government organization are increasingly acknowledged for their roles in creating order and values in modern international communities.

Furthermore, the shift from Westphalian state sovereignty system in the international politics is also due to the rise in the concept of “responsibility to protect” (R2P) which is rooted from humanitarian intervention norms in enforcing severe

(11)

human rights violations (Ramdhany, 2015, p. 36). This concept was first given by Francis Deng to justify the obligation of other states to intervene to a state’s problem when that state cannot resolve its own problem according to the international standards (Deng, 1996). This concept is then comprehensively reformulated by the International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) as a response to the Millennium Report from UN Secretary-General (ICISS, 2001).

The humanitarian intervention started to evolve after the cold war. It is a manifestation of the disappointment that states could not exercise its moral obligation to its people properly. Humanitarian crisis rises from internal factors, thus external intervention is perceived as a better way to save humanity from the discrepancies of the Westphalian sovereignty (Heywood, 20017, pp 577-578). Hence, this study aims to reconstruct the Westphalian state sovereignty by analyzing the contrasting relation between the principles of traditional Westphalian sovereignty and humanitarian intervention concept, and how this relationship may shift the human rights norms in the international community, using the case study from the Libyan conflict in 2011.

CASE STUDY

For more than forty years after the military coup in 1969, Libyan people lived under the authoritarian regime of Moammar Gadhafi. United Nations Commission on Human Rights (UNHCR) received many reports on human rights violations during this regime period. (Vandewalle, 2006, pp. 77-96). The most recent and major conflict started in January 2011, when Libyan people started to hold demonstrations to protest the regime, which was responded by the regime with heavy military aggression, using machine guns, snipers, tanks, and other military weapons. As demonstrations became widespread across the country, violent aggression became worse, even using bomb attack targeted to the people. In regards to the situation, international media and NGO started to actively report the regime’s violent reactions to the demonstrators and civilians.

By March 2011, the opposition party, National Transition Council, was formed, comprising of civilians, former government officials, as well as military deserters. Even then, some Libyan government officials and ambassadors, as well as military personnel, declared their resignation as a sign of protest against the regime’s violent aggression to their own people. Soon after, on March 10th, 2011, France recognized the council as the

(12)

legitimate government of Libya, and in the following day, the European Council issued a declaration condemning the violence against civilians in Libya and recognizing the National Transition Council as the political interlocutor. Meanwhile, inside Libya, opposition party started to claim the Benghazi region. Gadhafi’s regime reacted by launching massive airstrike in the region.

Since the beginning of the conflict, international societies have been very vocal in criticizing and condemning the regime’s violent measures. UN Secretary-General Ban Ki-Moon expressed his anger and the UN issued a statement expressing deep condolence as well as condemning in response to press reports on unarmed civilians being shot from aircrafts and helicopters, as well as other facts on civil massacre, unauthorized arrests, detentions, tortures, and the usage of foreign mercenaries (Security Council UN, 2011). UNHCR expressed their highest concerns on those facts, urged the regime to stop the severe human rights violations, and demanded an

independent international

investigation be held immediately. Various regional organizations also raised their concerns. European Council condemned the violence. Council of the Arab League conducted an emergency meeting and seized the

membership of Libya. Peace and Security Council of the African Union also condemned the use of excessive military forces to the unarmed civilians which violates human rights and international humanitarian law. Gulf Cooperation Council called the violent reaction of the regime as a genocide.

The Libyan conflict generated intense debates in the UN Security Council, which eventually led to the adoption of Resolution 1970 in February 26th, 2011, condemning the use of lethal force by the government of Moammar Ghadafi against protesters and imposed a series of international sanctions in response. UN concluded that based on the Charter of the United Nations, given the existence of a threat to the peace and act of aggression as stated in Article 39, UN Security Council has the mandate to act according to Chapter VII and take measures according to Article 41. UN demanded the regime to stop the act of violence and honor their obligation to human rights in international humanitarian law. Furthermore, UN demanded the severe human rights violations in Libya to be brought to International Criminal Court and called for international sanctions on Ghadhafi’s regime, including weapons embargo, travel ban, and assets freezing.

Following the adoption of Resolution 1970, international

(13)

communities started to conduct a humanitarian intervention in the region to protect the civilians. The parliament of the European Union, for instance, regarded the adoption of the resolution as an obligation to protect the civilians against the ruling regime. The humanitarian intervention involved, among others, the joint international peacekeeping forces from NATO and the UN. The military intervention from NATO effectively neutralized Libyan air force, and significantly reduced the heavy weapons, thus changing the force strength’s balance to benefit the opposition party. In early October 2011, the National Transition Council of Libya has effectively gained the whole country, thus ending the humanitarian intervention in October 31st, 2011, after a period of 222 days (Daalder and Savrides, 2012).

ANALYSIS AND DISCUSSION In international relations, constructivism acts as a critique of traditional views such as realism. Constructivism departs from the failure of mainstream traditional views in explaining global politics after the cold war. Referring to the Libyan case, there is a contradiction between the traditional view on sovereignty and the humanitarian intervention concept. Hence, in constructivism, it is not enough to offer a causal explanation in

order to understand international politics. Instead, it needs a more interpretative understanding (Soetjipto, 2015, p.102).

Constructivism uses basic assumptions as follows (Viotti and Kauppi, 2010, p. 277): (i) it views identity and actors interest in international relations as a constructive process, not as given, and actors comprise of both state and non-state actors; (ii) As in other social structures, international structures are influenced by ideational factors, including norms, rules, and laws; (iii) As a consequence of viewing the world in a constructive process, all process is dynamic, nothing is given; (iv) it emphasizes the importance of subjectivity, there is no pure objectivity, and it believes that inter-subjectivity enriches the understanding of factors affecting the constructive process.

Constructivism believes that idea and matter are of the same importance. Changes, in reality, are possible due to the reality being constructed socially. It means that everything is influenced by values, norms, and social assumptions so that understanding cannot come solely from an individual understanding (Fierke, 2010). Social and cultural dimension and context play a big role in social construction. Different context causes different understanding, hence there is no single objectivity.

(14)

The importance of social norms in affecting action in international politics is a product of differentiating between “logic of consequences” and “logic of appropriateness”. Action follows a logic of consequences when it is driven by subjective assessments of outcomes of alternative courses of action; whereas action follows a logic of appropriateness when it is shaped by rules relevant to the current situation (Schulz, 2014). In the context of international relations, the logic of appropriateness comes into play, when international norms including rules on human rights were made in the hope that actors will act according to set of rules and norms that have been constructed (Amanda and Trina, 2015).

The same framework is used in changing or constructing new international norms. Certain actors may have the ability to form alternative norms or reference, but these actors have to act beyond what is considered appropriate to change the normative limit (Viotti and Kauppi, 2010, p. 287). Therefore, transnational communities play a significant role in shifting the norms, as a major tool to transform the system under certain conditions (Finnemore and Sikkink, 1998, p. 894). In the Libyan case, UN, NATO, international media, NGO, and other international communities contributed to the shifting of norms.

Several aspects need to be considered when investigating the shifting process of traditional sovereignty norms, such as the humanitarian intervention in the Libyan conflict. First, it is important to understand how the humanitarian intervention norm emerges in international relations and how the new norm follows the logic of appropriateness. Second, how international communities respond to the humanitarian intervention norm. Lastly, how the norm can eventually be internalized globally so that a consensus is reached on the norm as an alternative to view the interaction between state sovereignty values in the modern state system and the human rights enforcement.

Traditionally, the state system in international politics rejects intervention. In fact, international laws were constructed based on state sovereignty. However, the state’s inability to protect human rights, or even the state’s action that violates human rights, caused intervention to be done by virtue of humanitarian norms, which is then named humanitarian intervention (Heywood, 2017, p. 577).

Humanitarian intervention goes beyond the just war idea that self-defense is the key justification for the use of force. Instead, in the case of humanitarian intervention, the use of

(15)

force is justified by the desire to protect people from different societies or to save strangers. Humanitarian intervention is based on the idea that the doctrine of human rights provides standards of conduct that can be applied to all governments and all peoples. Furthermore, human intervention may allow the last resort principle to be downgraded. For example, when faced with the imminent danger of genocide, it may be a waste of time to try non-violent options, thus military force may become the first resort response (Heywood, 2017, p. 586).

Reports from international media and NGO on the crimes against humanity done by the Gadhafi regime have shocked the international communities and have shown the inability of the state to guarantee human rights. International

communities responded by

legitimizing a humanitarian intervention through the adoption of UN Resolution 1970, based on the threats to the peace as in Chapter VII. NATO also joined the humanitarian intervention and sent its peacekeeping force to protect civilians in Libya as well as to stop the military aggression of the Ghadafi’s regime.

The role of international organizations in modern politics is indisputable. Having been able to produce conventions that bind its

members, the international organization serves as an important agent in the process of changing international norms. The role of international organizations can be seen in the adoption of Resolution 1970 and the actions following the adoption. The humanitarian intervention in the EU is viewed according to the doctrine “responsibility to protect” (R2P). EU, as an intergovernmental organization in Europe, has the instrument to constitute laws, and hence has the ability to create a new law according to the R2P doctrine in its region. Furthermore, considering the power and position of EU in global international relations, it is possible for the EU to spread and internalize the doctrine globally.

Humanitarian intervention norm according to the R2P doctrine is related to the responsibility values inherent in sovereignty. When a state cannot resolve its own problem according to the international standards, it became the obligation for other states to intervene in that state’s problem (Deng, 1996). Humanitarian intervention concept then evolves beyond international communities’ obligation to serve as a positive image in international political diplomacy that helped the internalization of humanitarian intervention in the modern state concept.

(16)

The human rights doctrine is a moral framework for human intervention and its internalization to a higher level. It is reflected in the comprehensive reformulation of humanitarian intervention by the International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) as a response to the Millennium Report from UN Secretary-General (Ramdhany, 2015, p. 36).

The internalization of human intervention norm creates a new norm in the dynamics of international relations and human rights, giving a fresh view on state sovereignty doctrine in the modern state system when coinciding with the universal human rights principle. In particular, when a state cannot guarantee and protect the human rights of its people according to the international standards, it became the obligation for other states to intervene in that state’s problem.

CONCLUSION

Humanitarian intervention is based on equal human rights for all humanity, which entails a moral obligation beyond any state. The obligation to act to the certain case of human rights violations the consequence of international communities’ awareness on the importance of human rights values. A

humanitarian emergency such as Libyan conflict tends to give a radical indication on the balance of regional forces and creates instability as well as contagious unrest. The anxiety caused by this situation will eventually lead other states to support humanitarian intervention. Thus, humanitarian intervention is a reflection of the international communities’ commitment to protecting peace and human rights values. Furthermore, the humanitarian intervention also contributes to the construction of global order bound to international law. Intervention norm may strengthen human rights enforcement by reconstructing the “absolute” and “independent” state sovereignty doctrine into limited sovereignty under the occurrence of severe human rights violations by the state to its people, using the R2P doctrine. Hence, the reconstruction of the traditional sovereignty paradigm in the modern state system provides a solution for human right enforcement.

REFERENCES

Amanda, S, Putri, V.R.Triya. (2015) Konflik Identitas dan Pelanggaran HAM di Rwanda dalam Soetjipto, A. Ham dan Politik Internasional. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Brooke, H. (2017) State Sovereignty and Human Rights-Irreconcilable Tensions (Online). Available at:

https://medium.com/@hollybrooke/

(17)

state-sovereignty-and-human-rights-irreconcilable-tensions-462d356ae063 (Diakses: 12 Januari 2019).

Daalder, Ivo H. and Stavridis, James G. (2012) “NATOs Victory in Libya”,

Forreign Affairs, 91(2). Delbruck, J. (1982) “International

Protection of Human Rights and State Sovereignty”, Indiana Law Journal, 57(4).

Deng, F.M (et.al) (1996) Sovereignty as Responsibility: Conflict Management in Africa. Washington: Brookings Institution Press.

Denny Ramdhany, H. J. (2015) Perspektif Politik Terkait Hukum Humaniter Internasional Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dewi, K. N. (2015) HAM di Indonesia Paska Reformasi: Tinjauan dari Hak Sipil dan Politik dalam A. W. Soetjipto, HAM dan Politik Internasional: Sebuah Pengantar. Depok: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Fierke, K. M. (2010) Constructivism. In T. Dunne, M. Kurki, & S. Smith (Eds.),

International Relation Theoris: Discipline and Diversity. New York: Oxford University Press.

Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998) “International Norm Dynamics and Political Change”, International Organization, 52(4).

Hall, A. (2010) The Challenges to State Sovereignty from the Promotion of Human Rights (Online). Available at:

https://www.e- ir.info/2010/11/17/the-challenges- to-state-sovereignty-from-the-promotion-of-human-rights/ (Diakses: 7 Februari 2019). Heywood, A. (2017) Politik Global. Edisi

kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

ICISS. (2001) Report of the ICISS: the

Responsibility to Protect Ottawa (Online). Available at:

http://responsibilitytoprotect.org/ICI SS%20Report.pdf (Diakses: 14 Februari 2019).

Lauterpacht, H (1958) The Development of International Law by International Court. New York: Frederick A. Praeger Publisher, pp. 300-306

May, L. (2004) Crimes against Humanity: A Normative Account. United Kingdom: Cambridge University Press. Reuter, P. (1983) Droid International Public.

Paris: Presses Universitaires de France p. 235.

Schulz, Martin. (2014) Logic of Consequences and Logic of

Appropriateness, in M. Augier and D. Teece (eds) Palgrave Encyclopedia of Strategic Management (Online). Available at:

http://www.palgraveconnect.com/es m/doifinder/10.1057/978113729467 8.0377 (Diakses: 15 Februari 2019). Security Council United Nation. (2011) Press

Statement on Libya. Press Release SC/10180, AFR/2120, Februari 22. Snyman-Ferreira, M. P. (2009) The Evolution

of State Sovereignty: A Historical Overview. Thesis at University of Leiden. Soetjipto, A. W. (2015) HAM dan Politik

Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Viotti, P. R., & Kauppi, M. V. (2010)

International Relation Theory (4th edition). New York: Longman Pearson.

Vandewalle, D, A. (2006) History of Modern Libya (2nd Edition). United Kingdom: Cambridge University Press.

(18)

Tinjauan Hukum Humaniter Internasional dalam Operasi

Enduring Freedom Amerika Serikat ke Afghanistan dan

Peran International Criminal Court (ICC)

Reno Ismadi, Awatar Bayu Putranto, Tiffany Setyo Pratiwi Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Teknologi Yogyakarta – Indonesia

Email: enhorio11@gmail.com

Diserahkan: 2 April 2019 | Diterima: 24 April 2019 Abstract

The US military invasion to Afghanistan took place when the War on Terror declared by the United States after the incident in September, 2001 at World Trade Center. One of the military operations in this invasion was called Enduring Freedom. This research will discuss the violations committed by America in the invasion of Afghanistan, particularly during the Enduring Freedom operation, which it was reviewed through Geneva Law and The Rome Statute. The author using literature studies with qualitative methods. The author found that the violations of the Geneva Conventions of 1949 and The Rome Statute Article 8 and 11 were carried out by America during the deliberate Enduring Freedom Operation. The violation was proven but the International Criminal Court (ICC) did nothing.

Keywords: United States of America, Afghanistan, Geneva Law, Rome Statute, War, Crimes. Abstrak

Invasi militer Amerika Serikat ke Afghanistan terjadi pasca War on Terror yang di deklarasikan Amerika Serikat setelah kejadian di World Trade Center September Tahun 2001. Salah satu operasi militer dalam invasi ini disebut Enduring Freedom. Tulisan ini akan membahas mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada invasi Afghanistan pada saat operasi Enduring Freedom yang ditinjau melalui Hukum Jenewa dan Statuta Roma. Penulis menggunakan studi kepustakaan dengan metode kualitatif. Penulis menemukan bahwa pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma Pasal 8 dan 11 dilakukan oleh Amerika Serikat selama Operasi Enduring Freedom secara sengaja dilakukan. Pelanggaran tersebut sudah terbukti namun Pengadilan Kejahatan Internasional tidak berbuat apa-apa.

Kata Kunci: Amerika Serikat, Afganistan, Hukum Jenewa, Statuta Roma,Kejahatan, Perang. PENDAHULUAN

Perhatian warga Amerika Serikat masih tertuju pada serangan yang terjadi di World Trade Center (WTC),

pesawat American Airlines jenis Boeing 757 berputar mengelilingi Washington DC sebelum akhirnya menabrakkan diri ke sisi barat markas Pentagon pada pukul 09:45 waktu Amerika Serikat.

Serangan ketiga ini terjadi satu jam setelah serangan pertama yang kemudian menyebabkan 125 personil militer Amerika Serikat tewas. Kemudian 15 menit setelah serangan ke Pentagon, gedung WTC yang sebelumnya ditabrak menjadi runtuh. Sedangkan pesawat keempat yang

(19)

sebelumnya dibajak yaitu United Airlines menabrakkan diri, menyebabkan 44 orang dinyatakan tewas. Atas peristiwa tersebut, total ada 2.996 orang terbunuh. WTC menjadi lokasi dengan jumlah korban terbanyak sebesar 2.763 orang yang diantaranya 343 pemadam kebaran dan paramedis, 23 polisi, dan 37 petugas evakuasi. Korban di Pentagon mencapai angka 189 orang termasuk

64 penumpang pesawat

(Widyaningrum, 2018). Inilah awal penyebab kisah tragis di tanah Afghanistan bermula.

Pada 7 Oktober 2001, sebulan setelah serangan, Presiden Bush resmi menjadikan Afghanistan sebagai medan tempur antara Amerika Serikat dengan kelompok ekstrimis Taliban dan Al-Qaeda. Amerika Serikat dan negara barat berupaya menjadikan terorisme sebagai bentuk ancaman baru terhadap demokrasi. “Either you are with us or you are with the terrorism” merupakan penggalan pidato George Bush yang membuat negara-negara di dunia menjadi dilematik karena harus menentukan posisi mereka. Pihak yang sejalan dengan Amerika Serikat akan disebut sebagai teman dan yang menolak akan disebut sebagai musuh. Jika menolak, maka siap dicap sebagai anti demokrasi dan poros kejahatan (the axis of evil). Hal ini menunjukkan betapa kuatnya hegemoni Amerika Serikat di dunia hingga dapat

mengakomodir banyak negara untuk mengganggap terorisme sebagai musuh bersama. Namun dampak dari hegemoni Amerika Serikat terhadap isu terorisme memunculkan bias definisi terorisme. Untuk dapat disebut sebagai teroris dan bukan teroris harus sesuai dengan kriteria yang dibuat Amerika Serikat (Bhaskara, 2018).

Dalam pidatonya juga, Bush (2002) merincikan tentang tiga tugas untuk melindungi Amerika Serikat dengan menyatakan:

We wil defend the peace by fighting terrorist and tyrants. We wil preserve the peace by building good relations among the great powers. We will extend the peace by encouraging free and open societies on every continent”

(Bush, 2002).

Kalimat yang diucapkan oleh George Bush tersebut bertentangan dengan apa yang sebelumnya dicita-citakan oleh Bill Clinton pada 1998 yang mendorong peningkatan ekonomi melalui promosi demokrasi dan hak asasi manusia di luar negeri. Pernyataan Bush menggambarkan cara apa yang akan digunakan nantinya untuk mencapai tujuan tersebut, dan bisa dilihat bahwa ucapannya berakhir dengan invasi Amerika Serikat Serikat ke Afghanistan yang biasa dikenal sebagai War on Terror dan operasi

Enduring Freedom (Kattelman, 2014, p. 12).

(20)

Rencana utama dari operasi ini adalah menggunakan persenjataan udara dengan presisi tinggi ditambah lagi dibantu dengan bantuan pasukan darat khusus Amerika Serikat yaitu

Special Operation Forces (SOF). Serangan pertama dari operasi ini dimulai pada 7 Oktober 2001 di mana Amerika Serikat memulai serangan pada malam hari. Dari serangan ini beberapa markas dan faasilitas Taliban berhasil dilumpuhkan (Lambeth, 2005). Namun semakin jauh operasi tersebut berjalan, banyak pelanggaran perang yang melibatkan tentara Amerika Serikat, mulai dari serangan, pembunuhan, dan pengeboman terhadap kelompok sipil.

Sejumlah pelanggaran ini menjadi penting untuk diteliti berdasarkan perspektif hukum humaniter internasional. Tulisan ini fokus pada 2 hal penting. Pertama, penerapan Hukum Jenewa dan Statuta Roma terkait kasus kejahatan perang pada operasi Enduring Freedom tahun 2001-2003. Kedua, menganalisis peran lembaga pengadilan internasional (ICC) untuk membawa Amerika Serikat ke meja persidangan. Selain itu, tulisan ini juga akan membandingkan bentuk kejahatan perang yang terjadi dalam peristiwa Nanking.

KERANGKA ANALISIS

Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of War

Konvensi atau Hukum Jenewa mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada 1906, 1929, 1949, dan protokol tambahan 1977. Tulisan ini akan fokus pada konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat poin. Pertama, Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan bagi yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field). Kedua, Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka, Sakit dan Korban Karam di Laut (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members or Armed Forces at Sea). Ketiga, Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War). Keempat, Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in the Time of War).

Konvensi 1949 tersebut kemudian dikenal dengan nama Hukum Jenewa (Kusumaatmadja, 2011). Hukum Jenewa dan juga Hukum Den Haag disebut sebagai Hukum Humaniter yang istilah lamanya adalah Hukum Perang.

(21)

Hukum Humaniter bersifat mengikat bagi negara yang telah meratifikasi termasuk di dalamnya individu-individu angkatan bersenjata, kepala negara, menteri dan pejabat-pejabat lainnya (Deliana, 2011, p. 259).

Statuta Roma

Kejahatan perang menurut Hukum Jenewa dijelaskan pada pasal 8 ayat 2 (a): Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang diantaranya (Nasution, 2006, 674); (i) pembunuhan yang dilakukan dengan sadar; (ii) penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis; (iii) secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan; (iv) perusakan meluas dan perampasan hak milik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan; (v) memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan; (vi) secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil; (vii) deportasi tidak

sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah; (viii) menahan sandera.

Pasal 8 ayat (b) pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut: (i) Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu; (ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek-objek yang bukan merupakan sasaran militer; (iii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata; (iv) Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidential terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu

(22)

besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkrit dan langsung dan yang dapat diantisipasi; (v) Menyerang atau membom, dengan sarana apapun, kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dapat dipertahankan atau bukan objek militer.

Pasal 11 Yuridiksi Ratione Temporis menyatakan bahwa Pengadilan mempunyai yuridiksi hanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta ini. Kalau suatu negara menjadi pihak dari statuta ini setelah statuta ini mulai berlaku, Pengadilan dapat melaksanakan yuridiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya statuta ini untuk negara tersebut, kecuali kalau negara tersebut telah membuat suatu deklarasi berdasarkan pasal 12 ayat 3, negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan kepada Panitera, menerima pelaksanaan yuridiksi oleh pengadilan berkenaan dengan kejahatan yang dipersoalkan. Negara yang menerima kerjasama dengan pengadilan tanpa ditunda-tunda lagi atau pengecualian. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelanggaran HAM dalam Operasi

Enduring Freedom

Berdasarkan data yang dirilis

Human Rights Watch ditemukan beberapa bukti bahwa operasi militer

Enduring Freedom telah melanggar hak asasi manusia. Beberapa pelanggaran tersebut dapat dicontohkan dengan adanya penangkapan yang tanpa pandang bulu dengan kekuatan masif, adanya korban salah tangkap, dan penahanan dengan waktu yang lama tanpa proses pengadilan, adanya penganiayaan terhadap tahanan dan tindakan–tindakan lain yang telah menimbulkan luka fisik hingga korban nyawa (HRW, 2004).

Kasus Penangkapan Ahmed Khan Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi dalam operasi militer ini adalah terjadinya penangkapan dengan menggunakan kekuatan yang berlebihan. Salah satu kasus nyata dari tindakan ini adalah peristiwa yang terjadi pada Ahmed Khan dan keluarganya pada akhir Juli 2002. Pada malam yang naas tersebut pasukan dari Amerika Serikat melakukan penggeledahan terhadap rumah dari Ahmed Khan yang terletak pada distrik Zurmat provinsi Paktia, Ahmed Khan dan kedua anaknya yang berumur 17 dan 18 tahun ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat dan koalisinya. Aksi penangkapan ini juga memakan korban jiwa dan satu korban terluka, satu orang petani meninggal karena luka tembak dari prajurit Amerika Serikat dan satu orang wanita yang bertempat tinggal dekat dengan

(23)

rumah dari Ahmed Khan juga terluka (HRW, 2004).

Human Rights Watch yang melakukan wawancara terhadap warga sekitar yang menyaksikan aksi dari pasukan Amerika Serikat dan menyatakan bahwa pada penangkapan Ahmed Khan ini. Pasukan Amerika Serikat menggunakan senjata peledak dan bahkan menggunakan kendaraan seperti helikopter yang sempat menembakan senapan mesin. Pada saat serangan itu terjadi, Ahmed dan keluarganya bersembunyi di bawah tempat tidur di kamar lantai kedua di rumahnya. Ketika serangan dengan helikopter telah selesai, pasukan dari Amerika Serikat memasuki rumah dari Ahmed dengan menembak pintu dari rumah tersebut, beberapa prajurit memasuki rumah tersebut melalui jendela yang telah pecah karena serangan dari helikopter, setelah itu Ahmed dan keluarganya ditodong dengan senapan mesin dan diminta untuk mengangkat tangan mereka ke udara dan berjalan ke halaman rumah mereka.

Setelah kasus ini mereda, Ahmed Khan dan kedua anaknya dipulangkan, Ahmed menyatakan pada Human Rights Watch bahwa pada saat serangan tersebut terjadi ada beberapa barang pribadi dan harta kekayaan dari Ahmed yang hilang, barang–barang tersebut disebut oleh Ahmed seperti perhiasan dan harta berharga lainnya.

Penangkapan keluarga Ahmed adalah salah satu kasus yang terungkap dari data Human Rights Watch.

Penahanan dan Prosekusi serta Kesalahan Penangkapan

Saksi bisu lain pelanggaran HAM adalah Bagram, sebuah kota di utara Kabul, Afghanistan, tempat rahasia sebagai penjara mereka yang ditangkap oleh pasukan militer Amerika Serikat. Diketahui bahwa beberapa mantan tahanan dari Bagram menyatakan bahwa selain adanya kekerasan fisik dan perlakuan tidak manusiawi dari penjaga dan pasukan di sana, tahanan juga merasakan adanya trauma psikologis yang disebabkan karena lamanya waktu mereka menjadi tahanan dan terkadang adanya prosekusi yang tidak adil, kedua hal di atas menjadi alasan dari beberapa tahanan merasa kehilangan harapan dan putus asa.

Salah satu bentuk perlakuan di atas dapat kita teliti lebih jauh melalui banyaknya kasus yang didapat dari DFIP atau detention facility in Paswan. Salah satu kasusnya di mana Ayaz pemuda berumur 15 tahun yang pergi ke Afghanistan untuk mencari perkerjaan di sana, Ayaz berasal dari Pakistan. Pada satu hari ketika Ayaz sedang bekerja di sebuah restoran, pasukan Amerika Serikat datang dan menanyakan informasi tentang Ayaz, tidak berselang lama Ayaz dibawa ke

(24)

salah satu markas militer di Provinsi Paktia, Ayaz memiliki kecurigaan bahwa rekan kerjanya telah memberikan informasi palsu kepada pasukan Amerika Serikat sebagai ganti uang. Setelah enam tahun mengahabiskan waktu sebagai tahanan di sana Ayaz berhasil kembali ke Pakistan pada tahun 2011 melalui program repatriasi (Belhadi, 2009).

Selain Ayaz ada pula Malik seorang pedagang Irak juga mengkritik keras sistem yang berlaku di sana. Malik merupakan exportir beras dari Irak yang pada suatu hari ditangkap oleh pasukan Inggris dan diserahkan kepada pasukan Amerika Serikat. Pada masa tahanan Malik di Paswan hampir sama seperti tahanan yang lain Mailk menjadi korban kekerasan fisik. Pada saat persidangan Malik memberikan pernyataan dengan keadaan yang cukup parah dengan mata yang membengkak, tulang rusuk yang patah, dan mulut yang terluka. Malik juga merasa putus asa karena sebagai seorang tahanan ia ditangkap tanpa ada alasan yang jelas. Malik juga pernah meminta pada biro yang akan mewakili sidangnya untuk memberikan bukti asosiasinya dengan teroris (Belhadi, 2009).

Selain kedua pria di atas, Jibran seorang remaja dari Pakistan yang baru berumur 16 tahun juga dipenjarakan di Paswan hingga lima tahun, Jibran ditahan pada tahun 2004. Jibran

ditangkap oleh Pasukan Amerika Serikat ketika sedang menemani temannya yang memiliki kelainan mental, untuk mencari tabib. Setelah itu Jibran dijebloskan selama 40 hari ke dalam penjara di Kandahar, kemudian ia ditransfer ke tempat penahanan lainnya. Masa penahanan Jibran selama 5 tahun tersebut secara perlahan membuat remaja itu mulai kehilangan harapan untuk kembali ke Pakistan. Pada tahun 2009, Jibran dilepaskan dari Paswan, karena otoritas yang terkait tidak dapat mencari bukti yang mencukupi, salah satu dari Pasukan Amerika Serikat meminta maaf atas penangkapan dan penahanannya, namun Jibran masih merasa marah karena lima tahun dari kehidupannya telah hilang sebagai tahanan (Belhadi, 2009). Ayaz, Malik, dan Jibran adalah tiga orang yang disiksa tanpa proses pengadilan, bahkan mereka tidak bersalah oleh Amerika Serikat dalam operasi Enduring Freedom.

Penegakan Hukum Jenewa dan Statuta Roma dalam Operasi

Enduring Freedom

Pada kasus serangan terhadap keluarga Ahmed Khan, pasukan Amerika Serikat telah melanggar Hukum Jenewa 1949 pada poin mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang dan melanggar Statuta Roma pasal 8 ayat 2 (a) nomor 4 mengenai perusakan meluas dan

(25)

perampasan hak milik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan serta pasal 8 ayat (b) nomor 1 dan 2 tentang larangan untuk menyerang penduduk sipil dan objek sipil. Sedangkan pada kasus kekerasan terhadap anak-anak di provinsi Uruzgon, pasukan Amerika Serikat telah melanggar Hukum Jenewa 1949 pada poin mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang dan melanggar pasal 8 ayat (b) Statuta Roma nomor 1 tentang larangan menyerang penduduk sipil.

Untuk kasus ketiga yaitu pembunuhan pasangan dan enam orang anak di Koswen, Amerika Serikat telah melanggar Jenewa 1949 pada poin mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang dan melanggar Statuta Roma pasal 8 ayat 2 (a) nomor 1 mengenai pembunuhan yang dilakukan dengan sadar dan pasal 8 ayat (b) nomor 1 dan 2 tentang larangan untuk menyerang penduduk sipil dan objek sipil serta nomor 4 secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidential terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar

dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkrit dan langsung dan yang dapat diantisipasi. Nomor 5 tentang menyerang atau membom, dengan sarana apapun, kota-kota, desa, perumahan atau

gedung yang tidak dapat

dipertahankan atau bukan objek militer. Selain itu Amerika Serikat juga memperlakukan tahanan dengan sangat tidak manusiawi, seperti memberikan makanan yang tidak layak, kondisi penjara yang tidak memadai sehingga waktu istirahat bagi tahanan menjadi sangat minim dan adanya larangan untuk para tahanan yang notabenenya merupakan pemeluk agama Islam untuk menjalankan ibadah.

Tindakan-tindakan seperti ini telah jelas melanggar Konvensi III Jenewa, terlebih banyaknya bukti dan kesaksian dari mantan tahanan juga memperkuat pandangan bahwa Amerika Serikat Serikat tidak secara sepenuhnya menegakan isi dari konvensi Jenewa dalam operasi militer mereka.

Berdasarkan pasal 11 Yuridiksi

Ratione Temporis, ketiga kasus di atas seharusnya dapat diselesaikan melalui

International Criminal Court (ICC) karena peristiwa tersebut terjadi setelah Statuta Roma resmi berlaku pada 1 Juli 2002. Namun kekuatan yuridiksi ICC patut dipersoalkan ketika yang dihadapi adalah negara yang tidak

(26)

meratifikasi Statuta Roma seperti Amerika Serikat.

Ketidakberdayaan ICC pada Kasus Kejahatan Perang Operasi

Enduring Freedom

ICC adalah institusi yudisial yang dibentuk dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM. ICC merupakan lembaga yang bersifat permanen yang didirkan berdasarkan Statuta Roma tahun 1998. Mulai berlaku pada 1 Juli 2002 dan diratifikasi oleh 60 negara. ICC hanya memiliki wewenang atas kejahatan-kejahatan serius yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Yuridiksi ICC hanya bisa diterapkan kepada negara yang meratifikasi Statuta Roma atau kewarganegaraan pelaku merupakan warga negara peserta Statuta Roma (Sujatmoko, 2015, p. 50).

Pada awalnya, Amerika Serikat merupakan negara yang turut serta meratifikasi Statuta Roma, tepatnya pada era Bill Clinton tahun 1998. Keputusan Clinton tersebut cukup banyak ditentang oleh senat dan bahkan beberapa senator dari partainya sendiri. Namun Amerika Serikat kemudian menarik diri dari Statuta Roma pada saat George Bush memimpin (Casey, 2001, pp. 840-841). Amerika Serikat dalam kasus ini

memang bukan merupakan negara yang meratifikasi Statuta Roma. Namun dalam kasus invasi ke Afghanistan, Amerika Serikat tetap dapat dibawa ke meja pengadilan. Seorang Jaksa bernama Fatou Bensouda telah meminta kekuasaan

kepada tiga hakim untuk

menginvestigasi kejahatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat perang seperti Taliban, ISIS, tentara Afghanistan dan tentara Amerika Serikat.

Meskipun Amerika Serikat bukan merupakan negara yang meratifikasi Statuta Roma, ICC menganggap memiliki kekuasaan untuk menjerat Amerika Serikat karena terjadinya kejahatan perang tersebut berada di wilayah Afghanistan yang notabene merupakan negara peserta Statuta Roma (Davert, 2018). Akan tetapi, langkah ICC untuk dapat membawa Amerika Serikat ke persidangan akan sangat sulit. Pasalnya Amerika Serikat mengancam memberhentikan bantuan kepada negara yang mendukung ICC untuk menyeret warga Amerika Serikat ke pengadilan. Kemudian Amerika Serikat membuat perjanjian dengan beberapa negara berdasarkan pasal 98 Statuta Roma yang berisi:

“Cooperation with waiver of immunity and consent to surrender: (1) the court may not proceed with a request for surrender or assistance which would require the requested state to act

(27)

inconsistenly with its obligation under international law with respect to the state or diplomatic immunity of a person or property of a third state, unless the court can first obtain the cooperation of that third state for the waiver of the immunity; (2) the court may not proceed with a request for surrender which would require the requested state to act inconsistenly with its obligations under international agreement pursuant to which the consent of a sending state is required to surrender a person of that state to the court, unless the court can obtain the cooperatioan of the sending state for giving of consent for the surrender”.

Pasal dari Statuta Roma tersebut memilki celah yang dapat meloloskan negara-negara dari ICC (Effendi, 2007, 24-25). Kembali lagi bahwa hegemoni Amerika Serikat membuat Hukum Humaniter tidak berdaya. Amerika Serikat menjadi aktor antagonis dengan menolak untuk bekerjasama dengan pengadilan ICC. Amerika Serikat secara aktif menghambat atau menekan negara lain untuk melakukan hal yang sama. Wakil Menteri bidang Kontrol Senjata dan Keamanan Nasional menyebut bahwa ada tiga hal yang akan membuat ICC tidak berdaya sebelum Office of the Prosecutor (Kantor Kejaksaan) benar-benar stabil. Bolton menyebutnya dengan “the three noes”,

yang berarti “no financial support, directly or indirectly, no collaboration, and no further negotiations with other governments to

improve the statue (Chang, 2009). Dengan adanya pernyataan tersebut menunjukkan betapa seriusnya ancaman Amerika Serikat terkait ICC. Perbandingan Kejahatan Perang Pada Kasus Pembantaian dan Pemerkosaan Nanking

Sebelum invasi Amerika Serikat ke Irak, dunia sudah diperlihatkan pada konflik militer dengan skala yang lebih besar seperti Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Jepang selalu diingat sebagai negara yang menjajah dengan kekejaman yang luar biasa seperti penjajahan yang terjadi di Nanking, Cina. Penjajahan yang disertai pembunuhan dan pemerkosaan di Nanking meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Nanking. Ketika negara pemenang perang seperti Amerika Serikat dan sekutunya mengorganisir persidangan bagi para penjahat perang, di situlah sebuah asa rakyat Nanking untuk menuntut keadilan mulai terlihat (Chang, 2009).

Upaya untuk menyeret penjahat perang ke meja pengadilan sudah dimulai bahkan sebelum Perang Dunia II berakhir. Amerika Serikat dan pemerintahan nasionalis Cina membuat skenario dahulu untuk pengadilan-pengadilan tersebut. Pada Maret 1944, PBB menciptakan badan investigasi untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan perang, sebuah sub-komite untuk kejahatan-kejahatan

(28)

perang Timur Jauh dan Pasifik yang didirikan di Chungking, ibukota Cina selama masa perang. Setelah Jepang menyerah, rencana pengadilan mulai dilakukan dengan serius. Para penguasa Jepang yang terlibat kejahatan seperti pemerkosaan diadili di Nanking dan juga Tokyo (Chang, 2009).

Pengadilan yang dilakukan di Jepang dikenal dengan nama

International Military Tribunal for Far East (IMFTE). Persidangan dimulai pada 3 Mei 1946 dengan membawa 200.000 penonton dan 419 saksi mata. Transkrip persidangan menghabiskan 49.000 halaman, berisi 10.000.000 kata, 779 afidavit, dan 4.336 bukti. Persidangan IMFTE berlangsung selama 2,5 tahun dan dianggap akan menjadi persidangan terpanjang dalam sejarah (Chang, 2009, p. 209).

Beberapa tokoh yang diseret pada persidangan salah satunya adalah Tani Hisao. Tani Hasao adalah seorang Letnan Jenderal Divisi ke-6 yang bertugas pada tahun 1937 di Nanking. Divisi yang dibawahi oleh Tani Hisao dianggap banyak melakukan kekejaman di Nanking. Pada 1946 Tani Hisao dibawa kembali ke Cina untuk menjalani persidangan. Tani Hisao didakwa dengan bukti 5 kuburan massal yang berisi ribuan kerangka manusia di dekat pintu gerbang Chunghua. Tani Hisao dituduh atas kasus pembunuhan yang berjumlah

ribuan, pembakaran, penenggelaman, pencekikan, pemerkosaan, pencurian, dan penghancuran yang dilakukan Divisi Hisao. Tani Hisao kemudian dituntut bersalah pada 10 Maret 1947 yang kemudian dijatuhi hukuman mati karena dinilai melanggar Konvensi Den Haag tentang kebiasaan perang darat dan perlakuan tahanan perang selama perang berlangsung (Chang, 2009, pp. 207-208).

Selain Tani Hisao, tokoh yang kemudian diadili lainnya adalah Matsui Iwane, Komandan Pasukan Ekspedisi Cina Pusat Jepang. Sebelum invasi ke Nanking dilakukan, Matsui menyebut bahwa misinya adalah untuk

menghukum pemerintah dan

masyarakat Nanking. Matsui dinyatakan bersalah atas seluruh kejahatan yang terjadi di Nanking. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman mati kepada Matsui beserta 7 orang lainnya termasuk Menteri Luar Negeri Jepang, Hirota Koki yang kemudian digantung di penjara Sugamo Jepang (Chang, 2009, pp. 211-213).

Standar Ganda Amerika Serikat dan Penegakan Keadilan atas Kejahatan Perang

Ketika melihat lebih jauh tentang penegakan keadilan terhadap korban-korban kejahatan perang, maka salah satu kasus yang relevan adalah

(29)

East (IMFTE) di Tokyo. Pada masa itu, Amerika Serikat merupakan pihak yang berkontribusi besar untuk membawa para pejabat Jepang ke meja pengadilan hingga repot-repot merancang pengadilan ad hoc

(Martowirono, 2001). IMFTE memang merupakan pengadilan yang dibuat khusus untuk mengadili tokoh-tokoh Jepang dan bukan merupakan lembaga permanen seperti ICC. Nama-nama pejabat yang terlibat dipublikasikan dan proses persidangan dihadiri ratusan ribu penonton dan saksi. Hal ini menunjukkan pemberlakuan hukum yang adil bagi korban. Singkatnya, Amerika Serikat menunjukkan citra yang baik sebagai negara pemenang perang dan melakukan standar ganda dengan memaksa negara lain untuk menjalani proses hukum namun menolak apabila hukum tersebut menjerat Amerika Serikat.

Berdasarkan kasus penegakan hukum terhadap Amerika Serikat pada operasi Enduring Freedom, dapat dilihat bahwa lembaga yudisial permanen seperti ICC sekalipun kesulitan menjerat Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga pengadilan ad hoc pada sejarahnya lebih memiliki peran yang efektif dan maksimal karena adanya kontribusi negara pemenang perang dibanding lembaga permanen seperti ICC. Masalah utama penegakan hukum

humaniter bukan pada seberapa kuat legitimasi hukumnya, namun lebih kepada seberapa kuat aktor yang mendukung penegakan hukum.

KESIMPULAN

Pada dasarnya, dalam operasi militer Enduring Freedom terdapat banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia baik terhadap tahanan perang maupun terhadap warga sipil. Hampir tidak ada pembedaan antara warga sipil dan kombatan dari pasukan teroris. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi, di antaranya: penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam penangkapan, penyiksaan tahanan, masa tahanan yang sangat lama dan penyiksaan, yang melanggar Hukum Jenewa poin ke III tentang perlakuan terhadap tahanan dan poin ke IV tentang perlindungan terhadap warga sipil. Bahkan senjata yang digunakan dalam operasi militer ini terlalu berlebihan.

Implementasi Hukum Jenewa dan Statuta Roma jelas tidak terjadi pada kasus Enduring Freedom, apalagi terkendala dengan tidak kooperatif-nya Amerika Serikat untuk menjunjung penegakan hukum perang. Jika melihat pada asas proportion dalam kaitannya dengan Jus in Bellum, tindakan Amerika Serikat yang menginvasi Afghanistan atas dasar war on terror tampak irasional. Irasionalitas ini dapat ditunjukkan dalam tindakan

Gambar

Diagram 1: Number of Causalities as a Result of
Diagram 2: Comparison of Causalities Due to
Table 1: States that Join in the Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling,
Table 3: List of National Support Countries in 2016
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan proses belajar mengajar teori umum dilaksanakan di dalam kelas sedangkan untuk kegiatan belajar mengajar praktik di laksanakan di BLPT (Balai Latihan Pendidikan

Adanya wabah pandemi Covid-19 yang sedang melanda bumi pertiwi (Indonesia) hal ihwal yang sangat mengesankan ialah kebijakan pemerintah belum berpihak kepada siswa,

Terlihat pada gambar 7 untuk hasil korelasi marshall-palmer juga memiliki hubungan yang positif dengan nilai prediksi sebesar 61 %, artinya kurang baik untuk

Kecepatan rata-rata adalah perpindahan dibagi dengan selang waktu. Jika disediakan grafik v terhadap t seperti soal diatas, perpindahan bisa dicari dengan mencari luas di bawah

8 Hasil pengujian kadar debu kayu dalam tabel 1 menunjukkan bahwa: (1) Kadar debu kayu di lokasi pemotongan bahan dengan gergaji lengan/arm saw diketahui sebesar 6,501 mg/m 3 ,

Dengan demikian, renstra ini akan menjadi “jembatan” yang akan mengantar FKIK Untad meraih mimpi tersebut melalui beberapa tahapan, antara lain : peningkatan

Berdasarkan hasil wawancara terhadap salah satu guru mata pelajaran matematika kelas VII SMP Negari 17 Medan, Ibu Maryuna S.Pd diperoleh bahwa untuk pelajaran matematika