Nation State: Journal of
International Studies (NSJIS)
adalah media terbitan berkala ilmiah yang dikelola oleh Program Studi Hubungan Internasional Universitas AMIKOM Yogyakarta. Tujuan dari jurnal ini adalah untuk memfasilitasi penyebarluasan gagasan dan penelitian dalam ruang lingkup. Fokus dari jurnal ini adalah tema-tema hubungan internasional yang meliputi ekonomi-politik global, diplomasi dan ekonomi-politik luar negeri, kepemerintahan gobal, globalisasi dan masyarakat sipil global, keamanan internasional dan kawasan atau topik lain yang relevan dengan hubungan internasional.
Redaksi mengundang rekan-rekan dosen, peneliti dan pengkaji Hubungan Internasional untuk menulis di Nation State: Journal of International Studies. Naskah dapat berupa opini pemikiran maupun hasil penelitian yang disesuaikan dengan fokus dan ruang lingkup jurnal
dengan panjang antara 10-25 halaman 1.15 spasi dengan font Garamond 14 pts. Petunjuk penulisan terdapat pada bagian akhir jurnal ini.
SK Penerbitan No.
0005.2620391X/JI.3.1./SK.ISSN/2018.04 P ISSN 2620-391X
E ISSN 2621-735X
Pemimpin Redaksi
Rezki Satris, S. IP, M.A.
Penyunting Bagian
Aditya Maulana Hasymi. Seftina Kuswardini. Yoga Suharman. Sannya Pestari Dewi.
Reviewer
Elisabeth Adyanintyas Satya Dewi, (Universitas Katholik Parahyangan, Indonesia).
H. R. Dudy Heryadi, M.Si., (Universitas Padjajaran, Indonesia).
Surwandono, (Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia). Agus Haryanto, (Universitas Jenderal
Soedirman, Indonesia). Ahmad Sahide (Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia). Farahdiba Rahma Bachtiar, RMIT
(University, Melbourne, Australia)
Alamat Redaksi
Gedung VI.3.2
Universitas AMIKOM Yogyakarta
Jl. Ringroad Utara, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55283
Telp: (0274)-884201 ext. 632 /
085270764035 (Rezki Satris)
Email: journalnationstate@amikom.ac.id
Online Journal System:
DAFTAR ISI
Vol. 2 No. 2 | Desember 2019
Editorial
Diplomasi dan Ekonomi Politik Global
...
iii-vYoga Suharman, Rezki Satris
Upaya Tiongkok dalam Mengatasi Ketimpangan Pembangunan Antardaerah
Pada Masa Kepemimpinan Jiang Zemin dan Hu Jintao ... 105-122
Adi Wibawa, Puguh Toko Arisanto
The Politics of Chinese Investment in Africa under
Belt and Road Initiative (BRI) Project ... 123-133
Andika Raka Dianjaya
Perbandingan Sistem Pinjaman IMF dan BRICS New Development Bank
Serta Potensi Dominasi Sistem Moneter Internasional ... 134-150
Mahendra Lantang Pamungkas, Riswanti Dyah Sekar Rahayu, Trieska Ayu Krisyanti
Peran Pondok Pesantren Modern Gontor Sebagai Instrumen
Multitrack Diplomacy Pendidikan dalam Kerjasama Internasional ... 151-161
Novi Amalia
Pembangunan Pariwisata Kulon Progo Melalui Konsep
Green Economy dan Blue Economy ... 162-173
Harits Dwi Wiratma, Tanti Nurgiyanti
Peran Indonesia dalam Meningkatkan Daya Saing Produk Kosmetik
Di Pasar Asean Melalui E-Commerce ... 174-187
Tanti Nurgiyanti, Dwinur Laela Fithriya
Tobacco Control Politics in Indonesia: Regional and Global Perspective ... 188-210
Arie Kusuma Paksi, Nanik Prasetyoningsih, Dianita Sugiyo
The Dyanmics of Ethnic Conflict in Southern Province Thailand ... 211-222
Andi Firmansah
Petunjuk Penulisan
Editorial
Diplomasi dan Ekonomi Politik Global
Yoga Suharman, Rezki Satris Salam redaksi
Pembaca Nation State: Journal of International Studies (NSJIS) yang terhormat,
Pertama, dewan redaksi
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh penulis yang telah berkontribusi dalam menuangkan hasil penelitian dan opini pemikirannya kepada NSJIS pada edisi kali ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh dewan redaksi dan mitra bebestari yang telah menyempatkan waktunya untuk meninjau naskah jurnal kali ini.
Kedua, perlu kami sampaikan bahwa jurnal yang ada di hadapan pembaca kali ini adalah Volume 2. Nomor 2 Desember 2019. Pada kali ini, NSJIS menyajikan 8 naskah dari 14 naskah yang telah masuk ke meja redaksi. Pada edisi kali ini, tulisan yang dipublikasikan terdiri dari kajian tentang ekonomi politik global dan
diplomasi serta kerjasama
internasional.
Tren globalisasi telah mendorong perubahan dalam tatanan ekonomi-politik global. Perubahan ini tidak hanya menciptakan pertumbuhan di berbagai belahan dunia, tetapi juga
menciptakan kesenjangan. Pandangan demikian mengindikasikan bahwa aktor-aktor hubungan internasional memperoleh berbagai peluang sekaligus tantangan yang bersumber dari perubahan yang ada.
Hal ini dapat kita lihat dari naskah yang ditulis oleh Adi Wibawa dan Puguh Toko Arisanto yang menulis
tentang adanya ketimpangan
pembangunan Tiongkok antar daerah serta upaya-upaya untuk mengatasi ketimpangan tersebut pada masa kepemimpinan Jiang Zemin dan Hu Jintao. Tiongkok saat ini dinilai sebagai negara yang berhasil meningkatkan kemampuan ekonomi nasional. Namun kemajuan yang diperoleh
Tiongkok tidak benar-benar
mencerminkan keberhasilan negara tersebut dalam pembangunan. Pada kenyataannya, penulis menyatakan bahwa perumbuhan ekonomi yang melejit justru meninggalkan berbagai permasalahan sosial seperti korupsi, kesenjangan sosial, dan jumlah populasi yang membengkak (Wibawa & Arisanto 2019, 106). Dalam hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan.
Naskah kedua ditulis oleh Andika Raka Dianjaya. Naskah ini mengkaji tentang politik investasi Tiongkok di Afrika dalam bentuk Belt and Road
Project. Naskah ini dikaji dengan
pendekatan ekonomi politik dengan mempersoalkan mengapa Tiongkok bersedia untuk menawarkan bantuan kepada Afrika. Penulis memberikan alasan bahwa kesediaan Tiongkok menawarkan total investasi $60 miliar ke Afrika sebagai salah satu strategi politik investasi dan kerjasama untuk menghubungkan jalur perdagangan
Eropa, Asia, Timur Tengah dan Afrika
berjanji untuk membantu mereka membangun infrastruktur, teknologi, pertanian, dan proyek apa pun yang
diperlukan Afrika untuk
mengembangkan negara mereka sehingga mereka dapat bersaing dalam era industri revolusi globalisasi saat ini (Dianjaya 2019, 123).
Naskah ketiga ditulis oleh Mahendra Lantang Pamungkas dkk.. Tulisan ini mengkaji perbandingan antara sistem pinjaman IMF dengan BRICS New Development Bank (NDB) menggunakan pendekatan
structural power theory yang disertai
dengan penggunaan konsep kekuatan menengah (middle power) dalam sistem internasional. Analisis dalam tulisan ini menelaah tentang bagaimana dominasi IMF dan NDB yang dibentuk oleh negara-negara dengan kekuatan
menengah berpotensi untuk
menggantikan dominasi IMF dalam rezim keuangan internasional (Pamungkas et.all 2019, 134).
Pada tulisan berikutnya mengkaji tentang peran aktor non-negara, yakni Pondok Pesantren Modern Gontor (PMDG) dalam melaksanakan salah satu konsep diplomasi multi jalur
(multitrack diplomacy) jalur ke-5 jalur
pendidikan dalam memperluas kerjasama internasional. Dalam argumentasi penulis dinyatakan bahwa era globalisasi saat ini diperlukan bentuk diplomasi yang tidak hanya melibatkan negara tetapi juga aktor non-negara untuk meningkatkan daya tarik calon peserta didik dari luar negeri ke Indonesia (Amalia 2019, 151). Apa yang telah dicapai oleh PMDG dalam meningkatkan peserta didik dari berbagai belahan dunia mulai dari Timur Tengah, Asia dan Eropa menunjukkan bahwa kerjasama internasional yang dijalankan oleh aktor non-negara bidang pendidikan dapat menjadi salah satu alat kampenye perdamaian dunia.
Naskah kelima bertemakan tentang pembangunan pariwisata lokal di Kulon Progo yang ditulis oleh Harits Dwi Wiratma dan Tanti Nurgiyanti. Pariwisata merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar negara setelah sawit. Namun pada praktiknya, pembangunan pariwisata turut berpengaruh atas kerusakan
lingkungan. Dalam naskah ini, penulisn menyatakan bahwa kebijakan ekonomi politik pemerinah di sektor pariwisata perlu memperhatikan dampak lingkungan dan keberlanjutan sektor pariwisata itu sendiri. Hal ini dapat dijalankan jika aktor-aktor terkait memperhatikan konsep green
economy dan blue economy dalam
pembangunan pariwisata (Wiratma & Nurgiyanti 2009, 162).
Tulisan keenam ditulis Tanti Nurgiyanti dan Dwinur Laela Fithriya yang mengkaji tentang peran
pemerintah Indonesia dalam
meningkatkan daya saing ekonomi nasional melalui bidang industri kosmetik di pasar ASEAN. Penulis menilai bahwa melalui liberalisasi perdagangan yang diwujudkan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas cakupan komoditas yang diperjualbelikan dalam perdagangan internasional, terlebih lagi dengan adanya tren kemajuan teknologi informasi seperti e-commerce
(Nurgiyanti dan Fithriya 2019, 174).
Tren kemajuan ini pada satu sisi menciptakan peluang dan pada sisi lainnya menciptakan tantangan bagi
pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan daya saing industry kosmetik nasional ditengah-tengah gempuran pasar yang semakin terbuka.
Naskah ketujuh ditulis oleh Arie Kusuma Paksi dkk. Tema yang diusung adalah soal ekonomi politik tembakau di Indonesia. Dalam tulisannya, penulis menyatakan bahwa kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia melibatkan aktor nasional dan internasional, serta peran elit politik dan bagaimana demografi sosial merokok. Analisis dalam tulisan ini menjelaskan hubungan pemain nasional dan internasional yang terkait dengan industri tembakau, minat masyarakat lokal, kekuatan struktural dan politik yang berdampak pada undang-undang tentang pengendalian tembakau. Apalagi pada saat ini perilaku merokok dan penggunaan tembakau dalam sistem sosial Indonesia sedang berada pada level mengkhawatirkan (Paksi et.all 2019, 188).
Naskah terakhir membahas tentang dinamik konflik yang berlangsung di provinsi selatan Thailand. Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana proses konflik etnis yang terjadi di Provinsi bagian Selatan Thailand hingga proses penyelesaian konflik antara Pemerintah Thailand dan penduduk setempat di Provinsi bagian Selatan Thailand. Konflik yang terjadi berdasarkan sejarah wilayah Thailand Selatan antara Pemerintah Thailand dan penduduk Muslim Melayu. Konsep yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada konsep
segitiga konflik dari Johan Galtung dimana konflik ini berasal dari persepsi yang didasarkan pada perbedaan sejarah, kemudian dilanjutkan oleh perbedaan perilaku yang bertentangan dari masing-masing pihak dan perbedaan kepentingan. Kemudian, dengan menggunakan konsep sumber konflik dari Bernard Meyer, sumber konflik yang terjadi berasal dari
perbedaan sejarah sehingga
mempengaruhi cara berkomunikasi, reaksi emosional, nilai dan struktur yang dimiliki (Firmansah 2009, 212).
Akhir kata,
Dewan redaksi berharap bahwa terbitan NSJIS kali ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan dan penyebarluasan gagasan di bidang hubungan internasional dan kajian ilmiah
terhadap isu-isu hubungan
internasional semakin berkembang dinamis.
Selamat membaca!
Upaya Tiongkok dalam Mengatasi Ketimpangan
Pembangunan Antardaerah pada Masa Kepemimpinan
Jiang Zemin dan Hu Jintao
Adi Wibawa, Puguh Toko Arisanto
Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Teknologi Yogyakarta – Indonesia Email: adi.wibawa@staff.uty.ac.id
Diserahkan: 6 Agustus 2019 | Diterima: 25 Desember 2019
Abstract
The Chinese economic revolution launched since 1978 by Deng Xiaoping put national economic growth as a priority but ruled out the aspect of equity which was one of the main characteristics of the socialist state. The reVolution resulted a spectacular national economic growth as well as inequality between regions in China. Therefore, the Chinese Government, since the leadership of Jiang Zemin and continued by Hu Jintao, has been trying to improve the condition. This article will explain the strategies and policies of equitable development between regions in China during the reign of Jiang and Hu. By using descriptive qualitative methods, the data used are secondary data obtained from official publications of the Chinese government and supported by scientific articles that can be accessed through the internet. The results obtained indicate the seriousness of the Chinese Government under Jiang and Hu in revising national development priorities. The target of economic growth is lowered and no longer became a priority of development programs. On the other hand, underdeveloped regional development programs such as infrastructure and industrial development are accelerated to catch up with the developed regions.
Keywords: Chinese, Development, Policy, Inequality, Jiang Zemin, Hu Jintao.
Abstrak
Revolusi ekonomi Tiongkok yang digulirkan sejak tahun 1978 oleh Deng Xiaoping menjadikan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai prioritas namun mengesampingkan aspek pemerataan yang menjadi salah satu ciri negara sosialis. Sehingga hasil yang diperoleh dari revolusi ekonomi tersebut adalah pertumbuhan ekonomi nasional yang spektakuler sekaligus angka ketimpangan antardaerah di Tiongkok yang juga tak kalah tinggi. Oleh sebab itu, Pemerintah Tiongkok, sejak masa kepemimpinan Jiang Zemin dan dilanjutkan oleh Hu Jintao, telah berusaha untuk memperbaiki kondisi tersebut. Tulisan ini akan menjelaskan strategi dan kebijakan-kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah di Tiongkok pada masa pemerintahan Jiang dan Hu. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari publikasi-publikasi resmi pemerintah Tiongkok serta didukung dengan artikel-artikel ilmiah yang dapat diakses melalui media internet. Hasil yang didapatkan menunjukkan keseriusan Pemerintah Tiongkok di bawah Jiang dan Hu dalam merevisi prioritas pembangunan nasional. Target pertumbuhan ekonomi diturunkan dan tidak lagi menjadi prioritas program pembangunan. Sebaliknya, program-program pembangunan daerah tertinggal seperti pembangunan infrastruktur dan industri dipercepat untuk mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah yang lebih maju.
Kata Kunci: Revolusi, Pembangunan, Kebijakan, Ketimpangan, Jiang Zemin, Hu Jintao.
PENDAHULUAN
Pada awal tahun 2018, konstelasi politik global digegerkan dengan isu
trade war atau perang dagang antara dua
antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Dunia, pada tahun 2017, AS menempati urutan pertama negara dengan perekonomian terbesar
dengan 24,32% dari total
perekonomian dunia sementara Tiongkok menempati urutan kedua dengan proporsi 14,84% (Smith, 2018). Digambarkan dalam Thucydides Trap bahwa Tiongkok sebagai the rising
power diprediksi akan mengambil alih
pimpinan dunia dari the rulling power,
AS. Dengan kata lain era ini menjadi era kebangkitan Tiongkok setelah tenggelam dalam beberapa abad silam. Kebangkitan Tiongkok tersebut pada gilirannya mengancam dominasi AS dalam tatanan internasional (Allison, 2018).
Jauh sebelum perang dagang berlangsung, Tiongkok sudah mencuri perhatian dunia saat berhasil menggeser Jepang pada tahun 2010 yang pada saat itu menempati urutan kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Selain itu, Tiongkok juga berhasil menjadi negara eksportir terbesar di dunia dengan nilai ekspor yang mencapai US$ 2,06 triliun pada tahun 2016 dan selalu mencatatkan pertumbuhan ekonomi di kisaran angka 10% per tahun sejak tahun 2003 (OEC, t.t). Dalam ukuran komparasi nilai ekspor terhadap GDP (Gross
Domestic Product), Tiongkok diakui
sebagai negara megatrader terbesar
dunia dimana 40 % GDP Tiongkok berasal dari aktifitas ekspor (Winanti, 2015).
Gambaran keberhasilan ekonomi
Tiongkok tersebut membuat
kebanyakan pengamat memandangnya sebagai contoh keberhasilan pembangunan negara yang bisa menjadi trendsetter dan patut diadopsi oleh negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang. Namun, pada kenyataannya pembangunan Tiongkok tidak sesempurna yang kebanyakan dilihat para pengamat. Perumbuhan ekonomi yang melejit justru meninggalkan berbagai permasalahan sosial seperti korupsi, kesenjangan sosial, dan jumlah populasi yang membengkak.
Permasalahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah Tiongkok pada awal reformasi ekonomi pada tahun 1978. Visi pembangunan ekonomi yang dijalankan pemerintah Tiongkok di bawah Deng Xiaoping saat itu meyakini bahwa “bukan masalah kucing itu putih atau hitam selama ia masih bisa menangkap tikus,” (Cable, 2017, p. 3) artinya pemerintah Tiongkok kala itu tidak perlu peduli
dengan bagaimana komunisme
Tiongkok diterapkan selama itu bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi negara mereka. Pada praktiknya,
berbagai aspek pembagunan
mencapai pertumbuhan ekonomi, tidak terkecuali aspek pemerataan pembangunan (equitable development).
Diperkenalkannya strategi “Tiga Daerah Ekonomi” pada tahun 1985, pemerintah Tiongkok berupaya untuk memprioritaskan daerah timur dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan berbagai keistimewaan (privileges). Hasilnya, daerah timur tumbuh pesat sedangkan pembangunan daerah tengah dan barat relatif terabaikan.
Gambar 1. Peta pembagian 3 daerah Tiongkok
Sumber: Liao & Wei, 2016.
Masalah ketimpangan
pembangunan antardaerah di
Tiongkok baru mendapat perhatian khusus dari pemerintah sejak kepemimpinan Jiang Zemin (1993-2003) dan dilanjutkan oleh suksesornya, Hu Jintao (2003-2013). Tulisan ini berusaha memaparkan
rekam jejak ketimpangan
pembangunan antardaerah di
Tiongkok dan bagaimana
permasalahan itu coba diatasi pemerintah sampai akhir masa kepemimpinan Hu Jintao.
KERANGKA KONSEPTUAL Perdebatan Teori-Teori
Pembangunan
Istilah “Pembangunan” menjadi perdebatan dalam beberapa dekade terakhir. Redefinisi secara kontinyu terjadi karena adanya kegagalan-kegagalan pembangunan di masa lalu serta munculnya sudut pandang baru dalam melihat pembangunan. Pada era tahun 1960-an, muncul Dependency
Theory (teori ketergantungan) yang lahir
dari kritik terhadap pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, terutama di negara-negara Amerika Latin yang sangat bergantung pada negara-negara maju. Beranjak ke era tahun 1970-an, pembangunan lebih dimaknai sebagai upaya pemenuhan basic needs
(kebutuhan dasar manusia) dibanding sebagai upaya mencapai pertumbuhan ekonomi semata (Winarno, 2013). Pergeseran pandangan ini muncul karena pertumbuhan ekonomi yang pesat di negara-negara berkembang pada saat itu gagal terdistribusi secara merata dan justru hanya memunculkan serta memperlebar kesenjangan.
Berdasarkan pandangan
pertumbuhan ekonomi tradisional, tingkat keberhasilan pembanguan suatu negara kerap diukur berdasarkan
besarnya Gross National Product (GNP)
dan Gross Domestic Product (GDP). Di
luar kedua tolak ukur tersebut, keberhasilan pembangunan secara ekonomi juga dapat dilihat dari besarnya GNP maupun GDP per kapita. Besaran GNP maupun GDP per kapita dapat menggambarkan kemakmuran masyarakat di suatu wilayah dan sejauh mana pembanguan telah dicapai. Setelah tahun 1970-an, pertumbuhan ekonomi tidak lagi hanya diukur berdasarkan indikator-indikator tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai belum dapat dikatakan berhasil sebagai suatu proses pembangunan jika tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran di negara tersebut masih tinggi. Sejak saat itu, selain perhitungan GDP danGNP, besaran angka kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran dimasukkan ke dalam tolak ukur keberhasilan
pembangunan secara ekonomi
(Todaro, 1999).
Berbeda dari dimensi ekonomi, keberhasilan pembangunan dalam dimensi sosial cenderung lebih sulit untuk diukur. Pada tahun 1970-an, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Research Institute
on Social Development (UNRISD)
merumuskan 16 indikator, terdiri atas 9 indikator sosial dan 7 indikator ekonomi, yang dikenal sebagai Indeks
Pembangunan Sosial. Dengan
menggunakan indeks ini UNRISD
membuktikan bahwa tingkat
pertumbuhan GNP per kapita suatu negara tidak selamanya sejalan dengan
pencapaian ke-16 indikator
pembangunan sosial. Namun,
indikator-indikator ini kemudian dikritik karena dua hal. Pertama, mereka terlalu menekankan aspek perubahan struktural sehingga
mengesampingkan aspek
kesejahteraan manusia yang riil. Kedua, secara implisit, indikator-indikator tersebut menunjukkan bahwa negara-negara berkembang harus mengikuti alur pembangunan negara maju (Todaro, 1999).
Usaha untuk mengukur tingkat pembangunan secara sosial terus dilakukan. Sampai akhirnya pada tahun 1990 PBB melalui United Nations
Development Program (UNDP)
mengeluarkan terbitan serial berjudul
Human Development Reports. Unsur yang
terpenting dalam laporan tersebut adalah konstruksi dan penyempurnaan Indeks Pembangunan Manusia (HDI).
HDI mencoba memeringkatkan
semua negara berdasarkan tiga kriteria hasil pembangunan, yaitu ketahanan hidup (yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup pada saat kelahiran), pengetahuan (berdasarkan tingkat literasi dan angka rata-rata masa sekolah), serta kualitas standar hidup (berdasarkan pendapatan per kapita riil yang disesuaikan dengan
paritas daya beli atau purchasing power
parity) (Todaro, 1999). Meskipun
mendapat beberapa kritik, namun sampai saat ini HDI dianggap sebagai tolok ukur pembangunan yang paling komprehensif dan paling banyak digunakan di seluruh dunia.
Dari penjelasan di atas, dapat kita
pahami bahwapada awalnya
pembangunan dipandang sebagai fenomena ekonomi semata. Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GNP dan GDP, baik secara keseluruhan maupun per kapita, serta indikator lain seperti kemajuan infrastruktur dan indeks pembangunan manusia. Namun, pengalaman pada masa itu menunjukkan fakta bahwa banyak negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam definisi pembangunan selama masa itu (Winarno, 2013).
Pada masa selanjutnya,
pembangunan mengalami redefinisi dengan mulai munculnya pandangan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya,
melainkan penghapusan atau
pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan, dan
penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang. Hal ini biasa disebut dengan konsep “redistribusi kemakmuran” (Todaro, 1999). Sejak saat itu, pemerataan dan penurunan angka kemiskinan telah dimasukkan ke dalam agenda pembangunan diseluruh dunia.
Dari beberapa fase pendefinisian pembangunan dapat diambil sebuah
kesimpulan idealis bahwa
pembangunan di masa kini harus dipandang sebagai suatu proses yang multidimensi dengan menempatkan berbagai aspek kehidupan di samping pertumbuhan ekonomi. Dengan mencoba membatasi pembangunan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan, karena keterbatasan kemampuan mereka, di berbagai negara kerap muncul perdebatan mengenai aspek mana yang harus didahulukan: mengejar pertumbuhan ekonomi nasional terlebih dahulu, namun mengesampingkan aspek pemerataan, atau mengedepankan pemerataan dengan konsekuensi
pertumbuhan ekonomi yang
cenderung lebih lambat.Kedua tujuan ini hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain.
PEMBAHASAN
Asal Mula Ketimpangan Antardaerah di Tiongkok
Tiongkok diyakini telah menjalankan proses pembangunan yang tidak seimbang antara daerah timur, tengah, dan barat sejak kekaisaran dinasti Qing masih berkuasa. Beberapa provinsi di daerah pantai seperti Jiangsu, Zhejiang, Fujian dan Guangdong telah membuka pelabuhan-pelabuhannya untuk transaksi perdagangan internasional antara tahun 1500 sampai 1800. Periode ini disebut oleh beberapa pengamat sebagai fase “globalisasi awal” (Zhao, 2013). Pada saat itu, daerah tengah dan barat Tiongkok semata-mata hanya difungsikan sebagai daerah pendukung bagi perekonomian di daerah timur. Pada masa itu kota-kota di wilayah pesisir timur Tiongkok telah mampu memproduksi 70% dari total produksi industri nasional, sedangkan wilayah barat belum memiliki industri modern sama sekali. Industrialisasi dan perdagangan yang begitu masif menjadikan beberapa kota dan daerah seperti Shanghai, Tianjin, Jiangsu, Guangdong, dan Manchuria jauh lebih maju dibandingkan daerah lain di seluruh Tiongkok (Liao & Wei, 2016). Secara garis besar, perjalanan sejarah menuju pembentukan Republik Rakyat Tiongkok memang telah diwarnai dengan kebijakan-kebijakan
pembangunan antardaerah yang kurang berimbang. Pada akhirnya ketika RRC diproklamirkan pada tahun 1949, Mao Zedong sebagai pemimpin pertama RRC dihadapkan pada kenyataan bahwa Tiongkok saat itu merupakan negara miskin dengan tingkat ketimpangan pembangunan antardaerah yang begitu besar (Shen, Teng & Song, 2019).
Sebagai seorang penganut sosialisme sejati, paradigma
pembangunan Mao berupaya
menjadikan aspek kesetaraan sebagai tujuan utamanya, karena hal tersebut merupakan ciri utama sebuah negara sosialis. Obsesi untuk mencapai kesetaraan ini sangat jelas ditunjukkan dalam dua hal: distribusi pendapatan
yang seragam dan tingkat
pembangunan yang seimbang di seluruh daerah. Akibatnya, pemerintah
pusat Tiongkok mulai
mendistribusikan dan menyalurkan investasi dalam jumlah besar, yang sebagian besar berasal dari kawasan pantai di timur, ke wilayah tengah dan barat yang kurang berkembang dengan harapan dapat menciptakan skenario pembangunan yang "seimbang" dan "merata" dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah pedalaman (Li & Haynes, 2012).
Investasi pemerintah pusat bagi pembangunan daerah tengah dan barat pada era Mao telah berlangsung sejak Rencana Lima Tahun (RLT) yang
pertama (1953-1957). Dimulai dengan program Great Leap Forward, Pemerintah Tiongkok berambisi meningkatkan produksi besi dan baja secara besar-besaran dengan menggandalkan tenaga para petani yang dimobilisasi. Kebijakan ini berujung pada bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah Negara Tiongkok. Mobilisasi petani ke industri besi dan baja menjadikan produksi bahan pangan jauh menurun. Kelangkaan pangan menyebabkan munculnya banyak wabah penyakit dan kelaparan massal yang berakhir dengan tewasnya puluhan juta penduduk Tiongkok pada saat itu (Jung & Chen, 2019).
Di saat yang bersamaan dengan
Great Leap Forward, Mao juga
menggulirkan sebuah proyek ambisius yang dikenal dengan sebutan Third
Front. Proyek Third Front lebih didasari
oleh kepentingan politik keamanan dibanding semangat pemerataan pembangunan. Third Front sendiri merupakan strategi keamanan yang ditempuh Mao guna melindungi Tiongkok dari ancaman dunia internasional pada saat itu. Mao
bermaksud mengalihkan
pembangunan industri berat seperti besi, baja, dan persenjataan dari kota-kota pesisir (first front) dan daerah sekitarnya (second front) yang rentan akan ancaman ke daerah daratan yang letaknya lebih ke dalam (third front)
(Yasuo, t.t). Untuk merealisasikan kedua program tersebut, Pemerintah Tiongkok melalui RLT Pertama (1953–1957) mengalokasikan 56% investasi negara ke provinsi pedalaman, 59% di RLT Kedua (1958–1962) dan puncaknya pada RLT Ketiga (1966-1970) pemerintah mengalokasikan 71% investasi negara di provinsi pedalaman, dengan sebagian besar di Sichuan, Hubei, Gansu, Shaanxi, Henan, dan Guizhou. Secara keseluruhan, sejak tahun 1965 sampai 1980 pemerintah telah menginvestasikan lebih dari 200 miliar yuan di wilayah tengah dan barat (Global Security, t.t).
Karena sifatnya yang lebih didasari pada kepentingan politik dan keamanan, pada akhirnya stategi-strategi yang dijalankan Mao Zedong di atas tidak dapat memberikan banyak kemajuan pada upaya pemerataan di Tiongkok. Sampai akhirnya Mao digantikan oleh Deng Xiaoping di awal dekade 1970. Pembangunan pada masa kepemipinan Deng berbeda jauh dengan pembangunan pada masa Mao. Melalui reformasi ekonomi di tahun
1978, Deng lebih memilih
menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas, sekaligus memaksa ia untuk mengesampingkan masalah pemerataan antardaerah. Kebijakan
“open door” menjadi salah satu ciri
reformasi ekonomi Deng. Pemerintah Tiongkok perlahan mulai membuka
diri bagi masuknya investasi asing. Provinsi-provinsi di pesisir pantai seperti Guangdong dan Fujian ditetapkan sebagai Special Economic
Zones (SEZ). Letaknya yang dekat
dengan Hongkong dan Taiwan diharapkan dapat menjadi jendela Tiongkok untuk masuk ke sistem perdagangan internasional. Penetapan SEZ ini memberikan peluang bagi provinsi-provinsi tersebut untuk menerima Foreign Direct Investment
(FDI) yang bermanfaat bagi
pembagunan daerahnya.
(Azarhoushang, Wu & Zaroki, 2019). Strategi Deng di atas telah mengubah wajah perekonomian Tiongkok secara signifikan. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Tiongkok meningkat sekitar empat kali lipat dari ¥657 menjadi ¥2970 atau sebesar 9,3% per tahun. Bahkan menurut Bank Dunia, rata-rata pertumbuhan PDB Tiongkok pasca reformasi ekonomi 1978 mencapai sekitar 10% per tahun, dan menjadi negara dengan pertumbuhan PDB tertinggi di dunia (World Bank, 2019). Namun pencapaian ekonomi yang luar
biasa tersebut, justru
menjadikanTiongkok menjadi salah satu negara yang paling tinggi angka ketimpangannya, terutama dalam hal
pembangunan antardaerah.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sejak reformasi ekonomi pada tahun 1978 memang tidak diiringi dengan
pemerataan yang baik. Ketimpangan antardaerah dapat dilihat dari besaran
petumbuhan PDB per kapita
penduduk di daerah timur, tengah dan barat. Pada periode tahun 1978 sampai tahun 1990, PDB per kapita daerah timur tumbuh paling besar dengan pencapaian 8,29% per tahun jika dibandingkan dengan daerah tengah yang tumbuh sebesar 7,23% dan daerah barat sebesar 7,44%. Ketimpangan ini meningkat di periode berikutnya yaitu antara tahun 1990 samai tahun 2000. Pada periode ini PDB per kapita masyarakat daerah tengah dan barat hanya tumbuh sebesar 9,37% dan 9,18% ketika daerah timur dapat tumbuh sampai 12,31% (Liao & Wei, 2016).
Reorientasi Kebijakan
Pembangunan di Era Jiang Zemin
Besarnya ketimpangan
pembangunan pada akhir dekade 1980-an, membuat pemerintah Tiongkok saat itu berpikir untuk segera mengubah kebijakan reformasi ekonomi yang telah berjalan sejak 1978. Peralihan kekuasaan dari Deng Xiaoping ke Jiang Zemin, dan ditambah dengan terjadinya krisis finansial Asia tahun 1997, pemerintah Tiongkok mulai mengalihkan fokus pembangunannya ke daerah tengah dan barat untuk memperkuat struktur perekonomian negara yang selama ini rentan terhadap ancaman krisis. Sejak
saat itu pemerintah mulai merevitalisasi pusat-pusat industri di daerah tengah dan barat yang telah diabaikan sejak reformasi 1978 (Crane, Albrecht, Duffin, & Albrecht, 2018).
Pada bulan Agustus tahun 1995, sebagai bagian dari persiapan perumusan RLT periode berikutnya, para gubernur dari beberapa provinsi di daerah tengah dan barat melobi pemerintah pusat untuk segera menjalankan langkah nyata dalam mengurangi ketimpangan antardaerah. Keinginan para pemimpin daerah tersebut dikabulkan pemerintah pusat melalui RLT periode 1996-2000, RLT yang pertama di masa Jiang Zemin. Seperti yang dipublikasikan dalam situs berita resmi pemerintah Tiongkok (China.org.cn, t.t.) terdapat enam kebijakan pokok terkait pembangunan daerah dalam RLT, yakni (1)
memberikan prioritas pada
pengembangan sumber daya dan proyek-proyek infrastruktur dan secara bertahap meningkatkan dukungan keuangan untuk daerah tengah dan barat; (2) mengalihkan industri pengolahan sumber daya dan industri padat karya ke bagian tengah dan barat; (3) merasionalisasi harga produk sumber daya untuk meningkatkan kemampuan pengembangan diri di wilayah tengah dan barat; (4) memperbaiki iklim investasi di daerah tengah dan barat dan mengarahkan lebih banyak investasi asing ke
kawasan-kawasan ini; (5) memperkuat kerjasama ekonomi antara daerah timur dengan daerah tengah dan barat; (6) mendorong provinsi-provinsi di daerah timur untuk berinvestasi lebih banyak di daerah tengah dan barat;dan (7) mengarahkan sumber daya manusia yang berbakat ke daerah-daerah ini.
Setelah RLT ini disahkan sebagai patokan awal upaya pemerataan pembangunan, pemerintah Tiongkok di bawah Jiang Zemin merumuskan suatu langkah nyata yang lebih aplikatif. Jiang meluncurkan suatu strategi pembangunan yang secara spesifik menargetkan pengejaran pembangunan di daerah barat yang disebut dengan Western Development
Strategy (WDS) pada tahun 1999.
Secara umum, WDS merupakan strategi yang diciptakan untuk membuat beragam kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan pemerintah menjadi lebih terstruktur. Pada dasarnya strategi ini ditujukan untuk merevitalisasi pusat-pusat industri di daerah barat Tiongkok yang sebelumnya pernah dibangun di era kepemimpinan Mao. Komponen-komponen utama strategi ini di antaranya; pembangunan infrastruktur dan sistem transportasi, jaringan telekomunikasi, dan pembangkit listrik; kebijakan-kebijakan khusus di sektor energi, pertambangan, pertanian dan pariwisata; peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan;
serta kebijakan-kebijakan lain untuk menarik investasi asing seperti keringanan pajak dan perizinan (Crane, Albrecht, Duffin, & Albrecht, 2018).
Untuk merealisasikan strategi WDS, pada bulan Oktober tahun 2000 pemerintah Tiongkok menerbitkan dokumen Notice of the State Council on
Implementing Several Policies and Measures
for the Western Development Strategy.
Dokumen ini berisi panduan pelaksanaan WDS. Setelah itu, pada bulan September tahun 2001 pemerintah kembali mengeluarkan sejumlah kebijakan implementatif yang terangkum dalam Notice of the Opinions of the State Council Western Development Offce on Implementing Policies and Measures for the Western Development Strategy.
Melalui kedua dokumen tersebut secara keseluruhan pemerintah telah menerbitkan 70 kebijakan dalam
penerapan dan pengukuran
keberhasilan WDS (Song, Wu & Xu., 2019).
Implementasi Kebijakan Pemerataan di Era Hu Jintao
Baru dua tahun WDS berjalan atau pada tahun 2003, tampuk kepemimpinan Tiongkok beralih dari Jiang Zemin ke Hu Jintao. Hu diangkat menjadi presiden ketika RLT 2001-2005 yang dirumuskan Jiang Zemin sedang berjalan, sehingga Hu hanya
bertugas untuk meneruskan
pelaksanaan kebijakan dan
program-program yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah RLT tersebut berakhir, pemerintah Tiongkok di
bawah Hu merumuskan RLT
berikutnya (2006-2010) yang disebut-sebut sebagai RLT yang revolusioner. RLT ini menjadi titik balik yang
menggambarkan keseriusan
pemerintah Tiongkok di bawah pemerintahan Hu dalam mengubah prioritas dan strategi pembangunan mereka. RLT ini memberikan peluang bagi masyarakat di daerah-daerah tertinggal untuk dapat turut serta menikmati buah dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang selama ini belum mereka rasakan.Kesejahteraan yang merata (common prosperity) telah menggeser slogan getting rich first
sebagai tujuan pembangunan negara (Naughton, 2005, p. 2).
Untuk menafsirkan slogan pembangunan yang baru ini, pemerintah telah menetapkan berbagai target yang harus dicapai melalui RLT 2006-1010. Di bidang ekonomi,
pemerintah menargetkan
pertumbuhan PDB per tahun “hanya” sebesar 7,6% selama tahun 2006 sampai tahun 2010. Angka ini berada jauh di bawah pertumbuhan PDB mereka saat itu (2005) yang sebesar 9,3%. Selain itu, ditetapkan pula target pertumbuhan penduduk maksimum 0,8% per tahun, tingkat urbanisasi sebesar 47%, menyediakan lapangan kerja bagi 45 juta tenaga kerja,
pendapatan meningkat sebesar 4,9% baik di kota maupun di desa, jangkauan asuransi pensiun perkotaan meningkat dari 170 juta menjadi 223 juta jiwa, jangkauan asuransi kesehatan meningkat dari 23,5% menjadi 80% total penduduk perkotaan, dan rata-rata pendidikan penduduk meningkat dari 8,5 menjadi 9 tahun. Dalam hal pemerataan, pemerintah berkomitmen untuk tetap melanjutkan upaya pembangunan daerah barat dengan meningkatkan dukungan melalui kebijakan-kebijakan yang mendorong pembangunan yang ditetapkan secara bertahap setelah RLT ini resmi berjalan (Fan, 2006).
Terdapat 18 aspek kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah
Tiongkok untuk mempercepat
pembangunan di wilayah barat. Kedelapan belas aspek tersebut adalah (1) meningkatkan investasi modal di bidang konstruksi; (2) menentukan prioritas proyek konstruksi; (3) meningkatkan transfer pemerintah pusat; (4) meningkatkan dukungan kredit keuangan; (5) meningkatkan iklim investasi mikro; (6) memberikan keringanan pajak; (7) memberikan kebijakan preferensial agraria; (8) menentukan prioritas investasi eksplorasi sumber daya mineral; (9) mengatur perekonomian daerah; (10) memperbesar peluang bagi investasi asing; (11) memperluas saluran bagi pemanfaatan modal asing; (12)
melonggarkan peraturan yang membatasi pemanfaatan modal asing; (13) meningkatkan perdagangan luar negeri; (14) meningkatkan kerjasama dan bantuan regional; (15) meningkatkan daya tarik dan pemanfaatan potensi daerah; (16) menekankan peran ilmudan teknologi
dalam pembangunan; (17)
meningkatkan input pendidikan; serta (18) memperkuat infrastruktur kebudayaan dan fasilitas kesehatan (Deng & Bai, 2014, 20).
Kebijakan-kebijakan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok kebijakan, yakni (1) transfer fiskal dan keringanan pajak; (2) dukungan kredit dan finansial; (3) pembangunan infrastruktur; dan (4) panduan kebijakan dan kerjasama antardaerah.
Transfer Fiskal dan Keringanan Pajak
Transfer fiskal dari pusat ke daerah merupakan mekanisme yang umum digunakan untuk mendukung desentralisasi seperti yang diterapkan
Tiongkok untuk melimpahkan
wewenang kepada pemerintah daerah menyediakan berbagai pelayanan publik. Minimnya pendapatan asli daerah di provinsi-provinsi barat menjadikan mereka amat bergantung pada bantuan pemerintah pusat guna
menjalankan fungsi-fungsi
pembangunan. Oleh karena itu, transfer fiskal pemerintah pusat ke pemerintah daerah memainkan peran yang amat penting dalam pelaksanaan program-program pemerataan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
pemerintah secara bertahap
meningkatkan transfer fiskal mereka bagi pembangunan di daerah barat sejak tahun 2000. Antara tahun 2000 dan 2005 setidaknya pemerintah pusat telah mengalokasikan ¥404 milyar untuk pembangunan daerah barat (Lu & Deng, 2013).
Ketika WDS dirumuskan oleh Jiang Zemin pada tahun 1999, transfer fiskal pemerintah pusat yang dialokasikan untuk daerah barat hanya sebesar 29,01% dari total transfer fiskal pusat secara nasional. Di bawah pemerintahan Hu, setidaknya sampai tahun 2010 rasio ini telah mencapai 39,42%. Jumlah dan persentase kenaikan transfer fiskal dari pemerintah pusat ke daerah barat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Diagram 1 di bawah ini (Lu & Deng, 2011, p. 4).
Diagram 1 Jumlah dan Presentasi Fiskal Pemerintah Pusat ke Daerah
Sumber: Lu & Deng, 2011, p. 4
Diagram 1 (Lu & Deng, 2011, 4) di atas menunjukkan bahwa besaran transfer fiskal pemerintah pusat untuk pembangunan di daerah barat meningkat secara konstan dari tahun ke tahun. Bedasarkan persentase nasional, transfer fiskal pemerintah
pusat ke daerah barat Tiongkok memang sempat beberapa kali menurun, namun jika dilihat berdasarkan kuantitas, jumlah transfer fiskal dari secara konsisten terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999 ketka WDS baru dimulai
besaran transfer pemerintah ke daerah barat hanya berkisar pada angka ¥120 juta. Angka tersebut terus meningkat selama satu dekade berikutnya hingga tahun 2009 dimana jumlah transfer pemerintah pusat ke daerah barat telah melebihi angka ¥1 milyar. Berdasarkan persentase total transfer fiskal pemerintah pusat, pada tahun 2003 transfer pusat ke daerah barat hanya sebesar 32%, namun di tahun 2009 persentase tersebut hampir mencapai angka 40%.
Selain transfer fiskal dari pusat ke daerah, kebijakan untuk mengurangi pajak juga menjadi faktor penting yang mempercepa pembangunan di daerah barat. Pengurangan pajak perusahaan menjadi sasaran utama kebijakan ini.
Perusahaan-perusahaan, baik
domestik maupun asing, yang bergerak di bidang-bidang yang telah ditentukan
pemerintah berhak menerima
keringanan pajak sebesar 15%. Bahkan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Tiongkok, sejak tahun 2006 pemerintah menghapuskan secara penuh pajak pertanian (Lu & Deng, 2013). Perusahaan-perusahaan domestik baru yang bergerak di sektor transportasi, listrik, konservasi air, layanan pos, radio dan televisi di daerah barat dibebaskan dari pajak selama dua tahun pertama. Perusahaan asing juga dapat menikmati kebijakan tersebut jika ia beroperasi selama minimal sepuluh tahun. Pemerintah
juga memberikan pembebasan dari tanggung jawab pajak bagi barang-barang impor yang akan digunakan dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur di daerah barat (Lu & Deng, 2011, p. 4).
Dukungan Kredit dan Finansial
Peningkatan transfer fiskal dari pusat ke daerah barat harus didukung dengan ketersediaan lembaga keuangan yang memadai untuk
membantu pemerintah dalam
mengelola dan menyalurkan
pendanaan pembangunan. Untuk itu pemerintah dan PBC (People’s Bank of
China) mengeluarkan regulasi-regulasi
bagi bank dan institusi-institusi keuangan agar bersedia menambah jumlah penyediaan kredit bagi pembangunan daerah barat. Hasilnya, sampai tahun 2010 persentase pinjaman yang dikeluarkan DBC
(Development Bank of China) untuk
pembangunan daerah barat mencapai 22,36% dari total pinjaman yang dikeluarkan. Angka tersebut meningkat dari tahun 2001 yang hanya sebesar 17,78%. Selain itu, pemerintah juga mendorong bank-bank asing untuk membuka cabang-cabang baru di daerah barat, menggandeng pihak swasta dalam pendirian
lembaga-lembaga keuangan, serta
mengembangkan bank dan koperasi di pedesaan (Lu & Deng, 2011, p. 6).
Pembangunan Infrastruktur
Ketimpangan infrastuktur antara daerah maju di pesisir timur dengan daerah tertinggal di tengah dan barat
mencakup berbagai sektor
infrastruktur seperti industri, energi, transportasi dan sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan infrastruktur memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi di daerah. Sebagai contoh, infrastruktur transportasi yang memadai akan memangkas biaya produksi yang
kemudian meningkatkan produktivitas daerah.
Sejak digulirkannya WDS, proporsi investasi pemerintah bagi pembangunan infrastruktur di daerah barat terus meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan persentase alokasi investasi infrastuktur pemerintah Tiongkok bagi daerah barat selama sepuluh tahun pertama WDS (2000 sampai 2010).
Tabel 1. Persentase pembagian investasi pemerintah di bidang infrastruktur berdasarkan daerah (2000-2010)
Tahun timur (%) Daerah tengah (%) Daerah barat (%) Daerah timurlaut (%) Daerah terklasifikasi (%) Tidak
2000 25,56 20,64 25,93 7,25 20,62 2001 24,46 18,39 25,61 8,82 22,71 2002 17,80 17,14 34,23 6,84 23,99 2003 24,40 19,41 38,68 7,92 9,58 2004 24,70 20,03 33,61 7,61 14,05 2005 24,01 19,86 32,84 9,01 14,28 2006 21,06 21,82 33,13 10,15 13,84 2007 22,17 24,39 32,12 11,16 10,16 2008 23,50 24,50 33,08 10,24 8,69 2009 21,81 24,46 39,24 9,70 4,79 2010 20,64 23,77 41,15 8,70 5,74
Sumber: (Lu & Deng, 2011, p. 6) Sampai dengan tahun 2010, daerah barat telah menjadi tujuan bagi 41,15% dari total belanja pemerintah di bidang infrastruktur. Hal ini memberikan peluang bagi daerah barat
untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan proyek-proyek
infrastruktur yang selama ini belum pernah dilakasanakan. Meningkatnya
persentase secara nasional juga diikuti dengan meningkatnya jumlah investasi pemerintah di bidang infrastruktur dari tahun ke tahun. Anggaran tersebut digunakan untuk berbagai proyek pembangunan seperti infrastruktur transportasi, energi, pendidikan dan kesehatan. Beberapa diantara kebijakan pembangunan infrastruktur
tersebut kemudian dilanjutkan melalui RLT periode 2011-2015. Beberapa
proyek utama pembanguanan
infrastruktur yang tercantum dalam RLT ini antara lain (Gu, 2012); (1) melanjutkan pembangunan rel kereta antara Urumqi, Lanzhou-Chongqing dan Guilin-Guangzhou; (2) membangun jalan raya yang akan menghubungkan Beijing dengan Kunming dan Shanghai dengan Chengdu pada akhir periode RLT; (3) membangun rel dan jalan raya untuk menghubungkan Mongolia, Xinjiang dan Qinghai; (4) melakukan renovasi dan pembangunan bandar udara baru untuk meningkatkan hubungan antara daerah barat dengan negara lain; (5) meningkatkan jaringan transportasi minyak dan gas, termasuk proyek pipa minyak mentah China-Kazakhstan, Dushanzi-Urumqi, dan Jiaopiao-Ruili-Kunming sebagai bagian dari proyek pipa minyak mentah
Tiongkok-Myanmar; (6) meningkatkan
pemanfaatan sumberdaya alam daerah untuk mendorong rantai industri; dan (7) meningkatkan upaya pelestarian alam. Area tutupan hutan harus mencakup seperlima dari seluruh tanah di daerah barat dan konsumsi air harus berkurang sebanyak 30% pada akhir 2015.
Panduan Kebijakan dan Kerjasama Antardaerah
Dalam upaya merencanakan dan menata pembangunan daerah barat, pemerintah mengeluarkan panduan pembangunan bagi beberapa aspek pendukung (Lu & Deng, 2011), antara lain; (1) memastikan ketersedian modal bagi pertumbuhan ekonomi daerah barat, pemerintah pusat telah mengeluarkan panduan bagi
institusi-institusi pembiayaan agar
meningkatkan jumlah pinjaman modal mereka; (2) untuk modal yang datang dari sektor swasta maupun sumber luar negeri juga diberikan panduan pengalokasian investasi dangan dikeluarkannya Catalogue of Priority Industries for Foreign Investment in the
Central-Western Region; (3) selain modal
pendanaan, pemerintah juga
mengeluarkan panduan untuk
mendorong para tenaga kerja terdidik agar mau bekerja di daerah barat dengan Go West College Graduates
Volunteer Program. Program ini
merekrut para sarjana baru untuk bekerja secara sukarela di daerah barat selama satu sampai dua tahunsebagai tenaga pengajar, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan; dan (4) pemerintah juga mengeluarkan kerangka kerjasama antara kota dan provinsi daerah timur dengan provinsi-provinsi di daerah barat dalam program Hand-in-Hand Aid
HHA mengarah pada pemberian bantuan infastruktur, pendidikan, teknologi industri, dan investasi modal dari daerah timur ke daerah barat,
sementara EWI mendorong
peningkatan aliran faktor produksi antardaerah untuk mencapai target produksi nasional.
KESIMPULAN
Berbagai dinamika yang dilalui dalam pembangunan Tiongkok telah berhasil menempatkan negara tersebut menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Meskipun demikian, berbagai prestasi perekonomian tersebut tak lantas menjadikan seluruh rakyat Tiongkok dapat menikmati buah pembangunan secara adil dan merata. Ini bisa dilihat dari angka ketimpangan juga tumbuh dengan subur dalam kurun waktu yang bersamaan.
Besarnya angka ketimpangan dan masalah yang ada serta kemampuan ekonomi nasional yang telah memadai kemudian membawa pemerintah Tiongkok di bawah kepemimpinan Jiang Zemin untuk mulai melakukan reorientasi kebijakan pembangunan. Upaya pemerataan pembangunan bagi daerah-daerah tertinggal di bagian barat Tiongkok mulai digulirkan dalam suatu kerangka strategi kebijakan bernama WDS (Western Development
Stategy). Jiang mengawalinya dengan
mulai memberikan beberapa perlakuan
khusus bagi daerah barat melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Tiongkok.
Pemerintah Tiongkok
menjadikan RLT yang ke-11 (2006-2010) sebagai penegasan untuk
mengubah arah kebijakan
pembangunan. Berlawanan dengan reformasi ekonomi era Deng Xiaoping, kali ini pemerintah
Tiongkok rela mengorbankan
pertumbuhan ekonomi demi
tercapainya common prosperity. Target pertumbuhan ekonomi diturunkan dari tahun-tahun sebelumnya, sebaliknya, pencapaian dalam bidang-bidang kesehatan, pendidikan,
lingkungan, dan percepatan
pembangunan daerah tertinggal terus ditingkatkan. Pemerintah memberikan beberapa stimulus bagi pembangunan daerah barat seperti peningkatan transfer fiskal, kredit, keringanan pajak, pembagunan infrastruktur besar-besaran, serta kerjasama antardaerah.
REFERENSI Buku dan Terbitan
Azarhoushang, Behzad; Wu, Jennifer Pédussel & Zaroki, Shahryar. (2019) “Chinese regional inequality and sectoral foreign direct investment,”
Working Paper, No. 119/2019,
Hochschule für Wirtschaft und Recht Berlin, Institute for International Political Economy (IPE), Berlin. Cable, Vince. (2017) “Deng: Architect of
Yu (ed), From Deng to Xi: Economic Reform, The Silk Road and The Return of The Middle Kingdom, Ideas Publishing, London.Liao, F.H., and Wei, Y.D. (2016) “Sixty Years of Regional
Inequality in China: Trends, Scales and Mechanisms,” Working Paper Series N° 202. Rimisp, Santiago, Chile.
Song, Xiaowu, Wu, Shiguo., & Xu, Xin. (2019) The Great Change in the Regional Economy of China under the New Normal,
Zhejiang University Press, Beijing. Winarno, Budi. (2013) Etika Pembangunan,
CAPS, Yogyakarta.
Artikel Jurnal
Crane, Bret. (et.al) (2018) “China’s Special Economic Zones: An Analysis of Policy to Reduce Regional Disparities,”
Regional Studies, Regional Science, Vol. 5, No. 1.
Deng, Xiangzheng & Bai, Xuemei. (2014) “Sustainable Urbanization in Western China,” Environment Science and Policy for Sustainable Development, Vol. 56, No. 3. Fan, C.C. (2006) “China’s Eleventh
Five-Year Plan (2006-2010) - From Getting Rich First to Common
Prosperity,”Eurasian Geography and Economics, Vol. 47, No. 6.
Jung, Hsiung-Shen & Chen, Jui-Lung., (2019) “Causes, Consequences and Impact of the Great Leap Forward in China,“ Asian Culture and History, Vol. 11, No. 2.
Li, Huaqun. & Haynes, Kingsley, (2012) “Foreign direct investment and China's regional inequality in the era of new regional development strategy,” Regional Science Policy and Practice, Vol. 4, No. 3. Lu, Zheng & Deng, Xiang. (2013) “Regional
Policy and Regional Development: A Case Study of China’s Western Development Strategy,” Annales Universitatis Apulensis Series Oeconomica, Vol. 15, No. 1.
Naughton,B.J. (2005)“The New Common Economic Program: China’s Eleventh Five Year Plan and What It
Means,”China Leadership Monitor, No. 16.
Shen, Hongyan., Teng, Fei. & Song, Jinping., (2018) “Evaluation of Spatial Balance of China’s Regional
Development,” Journal Sustainability,
Vol. 10, Issue 9.
Zhao, Gang. (2014) “The Qing Opening to the Ocean: Chinese Maritime Policies, 1684-1757,” The American Historical Review, Vol. 119, Issue 3.
Artikel Internet
Gu, J. (2012) China Approves 12 Five Year Plan for Western Region [daring]. Tersedia di:
http://www.china- briefing.com/news/2012/02/27/china-
approves-12th-fiveyear-plan-for-western-regions.html (Diakses: 17 Juli 2019).
Lu, Zheng & Deng, Xiang. (2011) China’s Western Development Strategy: Policies, Effects and Prospects, [daring]. Tersedia di:
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/id/eprint/35201 (Diakses: 17 Juli 2019).
The Observatory of Economic Complexity: OEC. (t.t) [daring]. Tersedia di: https://atlas.media.mit.edu/en/profile /country/chn/ (Diakses: 7 Juli 2019). Report on the Outline of the Ninth Five-Year
Plan (1996-2000) for National Economic and Social Development and the Long-range Objectives to the Year 2010 (daring). Tersedia di:
http://www.china.org.cn/95e/95-english1/2.htm (Diakses: 19 Desember 2019).
Smith, Rob. (2018) The World's Biggest Economies in 2018 [daring]. Tersedia di: https://www.weforum.org/agenda/201 8/04/the-worlds-biggest-economies-in-2018/ (Diakses: 5 Juli 2019).
Third-Front / Third-Line (t.t) Global Security.org (daring). Tersedia di:
https://www.globalsecurity.org/militar y/world/china/third-front.htm
(Diakses: 19 Desember 2019).
Yasuo, Onishi. (2001) Chinese Economy in the 21st Century and the Strategy for Developing
the Western Region, Institute of
Developing Economies, Japan External Trade Organization [daring]. Tersedia di:
http://d-arch.ide.go.jp/idedp/SPT/SPT002200_ 003.pdf (Diakses: 25 Juli 2019).
The World Bank in China. (2019, The World Bank [daring]. Tersedia di:
https://www.worldbank.org/en/countr y/china/overview (Diakses: 18
Desember 2019).
Video
Allison, G.T. Is War Between China and the U.S Inevitable? September 2018,
<https://www.ted.com/talks/graham_ allison_is_war_between_china_and_the _us_inevitable/transcript#t-71389> diakses 8 Juni 2019.
Paper
Winanti, Poppy S. Penguatan Posisi Runding Indonesia dengan Megatraders dalam Perdagangan Internasional. Paper
dipresentasikan dalam Seminar “Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri: Penguatan Kinerja Diplomasi Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi Perkembangan Rezim Investasi dan Perdagangan Internasional”, UGM, 22 September 2015.
The Politics of Chinese Investment in Africa under
Belt and Road Initiative (BRI) Project
Andika Raka Dianjaya
Magister Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta – Indonesia Email: raka.tjitroharsojo@gmail.com
Submitted: 24 Juni 2019 | Accepted: 28 December 2019
Abstract
BRI project that will be held by China to connect countries in Europe, Asia, Middle East and Africa through Maritime Silk Road and Land Silk Road. This project will accelerate economy between countries who joined with this project. Africa as the potential partner have abundant resources energy that China require to maintain their position as the largest industrial producer in the world. China offering investment total of $ 60 billion to Africa and pledge to assist them to build infrastructure, technology, agriculture and any project that Africa need to develop their countries so they can compete in this globalization revolution industrial era. On this paper, we will analyse China position with their BRI project in Africa using Political Economy Approach by Weingast & Wittman and why China willingly to give investment total of $ 60 billion to Africa which is some Africa countries maybe can’t pay back their loans. Is this will become risk investment for China itself in the future?
Keywords: BRI, Investment, China, Africa, Development, Assistance, Debt.
Abstrak
Proyek BRI yang akan diadakan oleh China untuk menghubungkan negara-negara di Eropa, Asia, Timur Tengah dan Afrika melalui Maritime Silk Road dan Land Silk Road. Proyek ini akan mempercepat ekonomi antar negara yang bergabung dengan proyek ini. Afrika sebagai mitra potensial memiliki energi sumber daya melimpah yang dibutuhkan Cina untuk mempertahankan posisi mereka sebagai produsen industri terbesar di dunia. China menawarkan total investasi $ 60 miliar ke Afrika dan berjanji untuk membantu mereka membangun infrastruktur, teknologi, pertanian, dan proyek apa pun yang diperlukan Afrika untuk mengembangkan negara mereka sehingga mereka dapat bersaing dalam era industri revolusi globalisasi ini. Pada makalah ini, kami akan menganalisis posisi Cina dengan proyek BRI mereka di Afrika menggunakan Pendekatan Ekonomi Politik oleh Weingast & Wittman dan mengapa Cina bersedia memberikan total investasi $60 miliar ke Afrika yang beberapa negara Afrika mungkin tidak dapat membayar kembali pinjaman mereka. Apakah hal ini akan menjadi investasi risiko bagi China sendiri di masa depan.
Kata kunci: BRI, Investasi, China, Afrika, Pembangunan, Banuan, Hutang.
INTRODUCTION
China’s ‘One Belt One Road Initiative (BRI) was a grand design to increase economy between countries in Europe, Asia, Middle East, Latin America and Africa. This concept introduced by President Xi Jinping
during his visit to Kazakhstan in September 2013. This is the first time for Chinese Leadership mentioned the strategic Vision (Xinhua, 2015). Xi suggested that China and Central Asia cooperate to build a Silk Road
Economic Belt, specifically, road and rail construction along a route that following the ancient trade route connecting China to Europe via Central Asia. One month later, October 2013 in Indonesia. Xi proposed a connection building that
will connect China-ASEAN
community and offered guidance on constructing a 21st Century “Maritime Silk Road” to promote maritime cooperation. This Maritime Silk Road would pass along the Indian Subcontinent, doubling back around the Bay of Bengal then across the Indian Ocean, grazing the east coast of Africa before heading straight up through the Suez Canal (Murphy, 2016). During this period as well, Xi proposed establishing the Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) to finance infrastructure construction and promote regional inter-connectivity and economic integration between the regions. In October 2014, twenty- one Asian countries willing to join the AIIB as founding members by signed the Memorandum of Understanding on Establishing AIIB. Beijing will become the host city for AIIB’s Headquarters. Finally on January 2015, founding members rose into 25 when New Zealand, Maldives, Saudi Arabia and Tajikistan officially joined. And today when this paper is written, total of
member are joined grown into 93 worldwide.
Wherever Chinese leader goes, the BRI diplomacy always follows. During Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) in Beijing, September 2018. China signed memorandums of understanding (MOU) with 37 African countries from total of 53 countries who attended FOCAC forum and the African Union (AU) on jointly developing BRI (China daily, 2018). China’s strategy to obtain African countries trust by offering $60 Billion. $20 billion in new credit lines, $15 billion in foreign aid as grants, interest-free loans or concessional loans, $10 billion for special fund for development financing, and $5 billion for a special fund for financing imports from Africa. The remaining $10 billion will come from Chinese company. It means China put $50 billion from their own money in the stake.
China also offering investment in human resource. This kind of offer significantly increase since the last FOCAC in 2015. China offering government-sponsored training opportunities for 1,000 Africans in China. China will host 50,000
workshop, awarding 50,000
government scholarships and sponsoring 2,000 students exchange. To encourage exchanges related to
science, technology and entrepreneurship, FOCAC 2018 would also to launch China-Africa Centre. Vocational training programs and investment in human resource are important to bound China-Africa relations. As FOCAC 2018 Action Plan pledges for training in defines and military program, anti-corruption officers, law-enforcement personnel, peacekeeping and police units, agriculture development and local Chinese language teacher. Another projects that well-received by Africans are training programs to share technical knowledge and transfer expertise (Robertson, Winslow & Lina, 2018).
With China’s influence by using investment in Africa led them indirectly have power to drive Africa policy. This main issues become our main topic of analysis. China’s ambition to become super power nation led them to use investment as their main attraction to have influence on another countries, especially for development countries in Africa.
BRI PROJECTS IN AFRICA
History of China investment in Africa started by former China’s President Jiang Zemin who visited Africa in May 1996. He proposed five points for establishing cooperation between China-Africa. They are
friendship, sovereign equality, non-intervention, mutually beneficial development and international cooperation (Alden, C. (2005). This concept of win-win policy attract African attention. To follow up Jiang Zemin’s proposal, China established Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) in 2000 in Beijing. This sealed cooperation between China and Africa. Trough FOCAC, China start to invest more to Africa and this action led into process of Belt Road Initiative (BRI).
There are several places that become China’s first attention for BRI projects. Djibouti, Egypt, Ethiopia, Tanzania, Zambia and Angola. China invest the highest money on Egypt’s Suez Canal Corridor than any other countries. Chinese company also got a contract for constructing the new multi-purpose terminal at Alexandria Port (Egypt). The Port operated by the
Hong Kong based company,
Hutchison Ports. On August 2018, another Chinese company, China Harbour Engineering Company (CHEC) started new project to construct new terminal basin in Sokhna Port south of the Suez Canal northeast of Egypt. The China Railway Construction Corporation (CRCC) got several contracts to build railways in Africa.
In Djibouti, China built Doraleh port with the jointly financed by China
Merchant Holding Int. (CMHI) and Djibouti Port. They also initiated The Djibouti Ports & Free Zones Authority (DPFZA). From Djibouti, to connect with Ethiopia, the rich resource neighbour country. Railway from Addis Ababa, the capital of Ethiopia to Djibouti capital and Doraleh Ports were created.
This Railway expected to be have 750 Km length. This project was founded by loan from EXIM Bank. Both of China Railway Group Ltd (CREC) and China Civil Engineering Construction Corporation (CCECC) become the one that got the contract to build this project. Finally in 2017, Ethiopia-Djibouti railway and Djibouti port start to operate. In Kenya, There are Kenyan standard gauge railway (SGR) which is connected Mombasa with Nairobi. This SGR costly around $3.6 billion and become the highest expensive infrastructure project since Kenya independent. China Road and Bridge Corporation (CRBC) become the one who get the contract to run this project. The next plan, there will be railway lines via Nairobi linking with South Sudan, Uganda, Rwanda and Burundi. As President Uganda said on August 2018, BRI will reach Uganda by constructing SGR that will connect Uganda with Kenya’s Mombasa (Xinhuanet, 2018). With this BRI Project, many countries in Africa who
join in BRI project believe with the help from China, the economic acceleration of African community will be flourished.
The Politics of investment become China method to gain influence in Africa. In political economy, investment only happens when actor believe they will get the return. Weingast & Wittman (2006) use legislators as the sample. Expertise from legislators likened to investment, Good Expertise will need costly investment. Legislators will undertake this costly investment only if the system somehow compensates them from this (Weingast & Wittman, 2006, p. 11). This perspective becomes a reference when state or actor doing investment.
POLITICS, INVESTMENT AND CONTESTATION: LESSON FROM CHINESE
INVESTMENT IN AFRICA
China Political economy by using Foreign Direct investment as their method to gain influence in Africa become one big topics on this decade. This FDI’s inclusive on Belt and Road Initiative project. Increasement on FDI in Africa each year. The latest data in 2017, China FDI seems to be escalated. This shown how China have interest to have cooperation with Africa (Caixin, 2018).
Picture 1. China’s Investment in Africa
Source: China Ministry of Commerce
The ambition of China to build BRI in Africa lead into some speculation by questioning the true china intention. In a point of view political economy, China as an actor that have power to control wealth and policy to make accumulate their capital. To spread its control, China often using diplomatic or Political way to generate wealth. As Weingast & Wittman (2006) said on their book “The Reach of Political Economy, The Oxford Handbooks of Political Science.
They view Political Economy as the methodology of economics applied to the analysis of political behaviour and institutions. Political behaviour and institutions are themselves a subject of study, politics also becomes the subject of political economy. All of this is tied together by a set of methodologies, typically associated
with economics, but now part and parcel of political science itself. In the book “The Reach of Political Economy”, Weingast & Wittman (2006) discussed a set of
approachment that can be
considerable used to analysis Policy or Act of political Actor from point of view Political Economy.
There are four approaches that used by Weingast & Wittman (2006). First, The important to do research on endogenous institutions. They believe, research agenda on institutions follows a natural progression. First step that should be done by determining how institutions can affect behavior. This step is necessary conditions to know how endogenous institutions choices to deliver their policy. This approach can be used by collecting data and evidence (quantitative and qualitative).